PEDANG NAGA HITAM

PEDANG NAGA HITAM JILID 01

   Pulau Naga adalah sebuah pulau di Lautan Timur, sebuah pulau kecil yang memanjang sehingga di lihat dari jauh bentuknya seperti seekor Naga, yaitu bentuk bukit-bukit kecil dan lembahnya. Sejak puluhan tahun yang lalu, pulau itu menjadi semacam pulau keramat yang di takuti orang. Para Nelayan tidak ada yang berani mendekat ke pulau ini karena pulau itu terkenal sebagai tempat tinggal seorang datuk besar bernama Poa Yok Su yang berjuluk Hek Liong Ong (Raja Naga Hitam).

   Hek Liong Ong Poa Yok Su ini mempunyai sebuah rumah besar di pulau itu dan mempunyai sedikitnya tigapuluh orang anak buah yang juga tinggal dipulau itu.

   Akan tetapi pada pagi hari itu, pulau itu berkabung. Sebuah peti mati besar berada di ruangan depan bangunan besar itu dan tiga puluh orang anak buah itu berkabung dan nampak lesu berduka. Hek Liong Ong Poa Yok Su yang sudah berusia lanjut, kurang lebih sembilan puluh tahun itu telah meninggal dunia.

   Di ruangan berkabung itu nampak menyeramkan, seperti biasa terdapat di ruangan dimana terdapat peti mati dan sembahyangan. Asap dupa dan hio memenuhi ruangan, baunya menyengat hidung. Para anak buah siap untuk menerima tamu yang datang melayat. Mereka telah menyebarkan berita di daratan akan kematian majikan mereka. Akan tertapi sejak pagi tidak ada seorangpun datang melayati. Siapa yang akan datang melayat seorang datuk yang terkenal sebagai tokoh sesat itu?.

   Murid tunggal Hek Liong Ong yang bernama Cia Bi Kiok, yang kini tentu sudah berusia limapuluhan tahun. Sejak tigapuluh tahun lebih yang lalu, telah meninggalkan gurunya karena Hek Liong Ong hendak memaksa murid yang cantik itu menjadi istrinya, pengganti istrinya yang meninggal dunia. Sejak itu Cia Bi Kiok itu melarikan diri dari Pulau Naga, kemudian membentuk anak buah sendiri dan tinggal di pulau Hiu sebagai bajak laut. Sekarang ia tidak lagi tinggal di pulau hiu dan orang tidak tahu lagi kemana perginya.

   Setelah ditinggal pergi murid tunggalnya, Hek Liong Ong hidup tanpa sanak keluarga. Istrinya meninggal tanpa meninggalkan anak dan dia hanya hidup bersama anak buahnya yang hidupnya juga dari hasil pembajakan di laut.

   Setelah matahari naik tinggi, mendadak muncul seorang pria tinggi besar yang bermuka hitam dan pria yang usianya lebih lima puluh tahun ini membawa sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.

   Si tinggi besar muka hitam ini memandang dengan sepasang matanya yang lebar dan membaca tulisan dimeja sembahyang depan peti mati.

   "Hek Liong Ong Poa Yok Su, kau telah benar-benar mampus? Hidup atau pun mati, aku harus memenggal batang lehermu. Ini sudah menjadi sumpah Toat Beng Kwi To (Golok Setan Pencabutnyawa) dan aku harus memenuhi sumpahku ini"

   Setelah berkata demikian, dengan goloknya dia menghampiri peti mati dan siap mencokel tutup peti mati. Akan tetapi, sepuluh anak buah Hek Liong Ong segera berlompatan maju dengan pedang ditangan menghalangi orang bermuka hitam itu.

   "Siapa-pun tidak boleh mengganggu peti jenazah majikan kami" bentak seorang diantara mereka dan sepuluh orang itu sudah siap melawan dengan pedang mereka.

   Si Muka hitam itu tertegun, lalu berdongak dan tertawa bergelak "Ha-ha-ha-ha, Hek Liong Ong, agaknya anak buah mu ini setia juga kepadamu dan biarlah merekan mengikutimu ke neraka jahanam"

   Setelah berkata demikian goloknya berkelebat. Cepat dan kuat bukan main golok besar itu menyambar-nyambar. Sepuluh orang anak buah Hek Liong Ong bukanlah orang-orang lemah. Mereka adalah para bajak laut yang biasa berkelahi dan menggunakan kekerasan. Mereka menggerakan perang melawan, akan tetapi sia-sia saja. Biarpun mereka sudah menangkis, tetap saja mereka itu roboh satu demi satu dengan bermandikan darah sendiri, tewas seketika terbabat golok ditangan simuka hitam yang mengaku berjuluk Toat Beng Kwi To itu.

   Dua puluh lebih anak buah Hek Liong Ong yang lain, melihat betapa sepuluh orang rekan mereka roboh dengan leher hampir putus dan tewas seketika, menjadi gentar dan mereka mundur menjauh dari peti mati. Mereka tidak berani menghalangi lagi ketika Toat Beng Kwi To maju dan hendak mencokel tutup peti mati agar terbuka karena dia ingin memenggal leher jenazah Hek Liong Ong.

   Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar suara keras dan tutup peti itu terbuka.

   "Braaak" dan dari dalam peti mati itu berkelebat sosok bayangan ke atas. Ternyata itu adalah "mayat" Hek Liong Ong yang setelah tiba diatas, berjungkir balik dan dengan gerengan mengerikan menukik dan kedua tangannya membentuk cakar mencengkram ke arah kepala Toat beng kwi to.

   Toat Beng kwi to adalah seorang datuk yang lihai dan berani. Akan tetapi saat itu mukanya berubah pucat sekali karena dia tidak mengira akan terjadi hal seperti itu. Benerkah Hek Liong Ong yang sudah mati hidup kembali dan kini mayat hidup itu menyerangnya?. Dengan hati berguncang dia menggerakkan goloknya memapaki sosok tubuh mengerikan itu. Dia membacok ke atas sambil memandang dengan mata terbelalak ngeri.

   Karena terkejut dan ngeri, maka Toat Beng kwi to kehilangan kewaspadaannya. Bacokan goloknya ditangkis begitu saja oleh tangan kiri "mayat hidup" itu dan tangan kanannya masih terus mencengkram ke arah kepala.

   Toat Beng kwi to menangkis dengan tangan kirinya, akan tetapi tangkisannya kalah kuat, tangan kirinya terpental dan tahu-tahu jari-jari tangan itu telah menancap dan mencengkram kepalanya. Toat Beng kwi to mengeluarkan teriakan mengerikan dan darah keluar dari kepalanya yang ditembusi jari-jari tangah mayat hidup itu. Dia masih berusaha untuk meronta, akan tetapi kedua kakinya seperti kehilangan tenaga dan terkulai roboh dengan kepala berlubang-lubang dan berdarah. Hanya sejenak dia berkelonjotan lalu tewas.

   Kini "Mayat hidup" itu duduk diatas sebuah kursi. Ternyata dia bukanlah mayat, melainkan Hek Liong Ong Poa Yok su dengan pakaian lengkap. Dia memandang kepada sepuluh orang anak buahnya yang tewas, lalu memandang kepada mayak Toat Beng kwi to, lalu meludah kearah mayat itu.

   "Heran benar, sampai sesudah matipun orang masih mencariku untuk membalas dendam" Dia lalu menggapai duapuluh lebih anak buahnya yang tadiketakutan dan mundur.

   Mereka datang menghadap dan Hek Liong Ong Poa Yok Su berkata kepada mereka "Siasatku berpura-pura mati untuk menghindari balas dendam pada usiaku yang sudah tua ini harus dilanjutkan, Akan tetapi aku tidak lagi bersembunyi didalam peti mati. Terlalu berbahaya. Aku akan mengganti tubuhku dalam peti dengan bata. Kemudian, sediakan sebelas peti mati untuk para anak buahku dan untuk Golok Setan ini, bariskan semua peti mati berjajar dengan peti matiku. Kalian jaga baik-baik dan setelah semua peti mati dikubur, kalian boleh meninggalkan pulau ini dan membagi semua barang yang berada disini diantara kalian. Aku mau pergi sekarang juga. Awas, jangan ada yang melanggar pesanku ini"

   Hek Liong Ong Poa Yok Su yang dalam usianya yang sudah lanjut itu masih nampak gagah dan tinggi besar itu lalu pergi dengan langkah lebar. Dua puluh tiga orang anak buah Hek Liong Ong lalu sibuk melaksanakan pesan majikan mereka. Mereka lalu mengeluarkan peti-peti mati yang memang banyak tersedia dipulau itu, memasukan semua jenazah lalu mengatur peti-petii mati itu sejajr dengan peti mati majikan mereka yang mereka isi dengan bata dan mereka tutup kembali. Di Depan setiap peti mati si Golok Setan mereka juga menuliskan nama julukan itu.

   Kemudian mereka membakar lagi dupa dan sudah bersiap-siap untuk mengubur semua peti mati. Mereka cepat menggali dua belas lubang kuburan dan kini beramai-ramai mengangkuti peti-peti mati itu ke kuburan yang berada di tengah-tengah pulau. Baru saja mereka menurunkan peti-peti mati itu dari pikulan dan meletakkan diatas tanah dekat lubang-lubang yang mereka gali, tiba-tiba terdengar seruan halus"haiiii, berhenti dulu, jangan di kubur"

   Semua orang memandang ke sekeliling akan tetapi tidak nampak ada orang di situ. Dan mereka melihat seseorang datang berlari-lari dari pantai. Sungguh mengherankan kalau orang itu yang bicara tadi. Orangnya masih begitu jauh akan tetapi suaranya seperti dia berada di dekat mereka. Dan larinya demikian cepat seperti terbang saja dan tak lama kemudian, seorang berpakaian tosu telah berdiri di situ. Tosu ini berusia kurang lebih enampuluh tahun, tinggi kurus dan mukanya demikian kurus sehingga tinggal tulang terbungkus kulit seperti tengkorak hidup. Matanya yang sipit kecil itu mencorong bagaikan dua titik bunga api. Tangan kirinya memegang sebuah hud tim, semacam kebutan yang biasa dipegang para pendeta dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat putih.

   "Peti-peti jenazah siapa saja ini?" dia bertanya kepada mereka yang memandang kepadanya penuh kecurigaan. Seorang yang menjadi pimpinan anak buah Pulau Naga itu lalu menjawab "Yang ini adalah peti jenazah majikan kami Hek Liong Ong Poa Yok Su, yang itu adalah peti jenazah Toat Beng kwi to dang yang sepuluh ini peti jenazah rekan-rekan kami"

   "Hek Liong Ong mati? Mana mungkin? Dan Toat Beng kwi to mati pula di sini? Aneh sekali, apa yang telah terjadi?"

   Anak buah Pulau Naga yang mewakili teman-temannya itu menceritakan dengan singkat"Toat Beng kwi to datang membikin kacau, sepuluh orang anak buah pulau naga dibunuhnya. Majikan kami yang sudah tua dan sakit terpaksa maju melawannya. Dan keduanya tewas oleh perkelahian itu" Cerita yang masuk di akal, akan tetapi tosu tinggi kurus itu menggunakan gagang kebutannya untuk menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan penuh kebimbangan.

   "Toat Beng kwi to dapat membuhuh sepuluh orang anak buah pulau naga, hal itu tidak aneh. Akan tetapi dia dapat menandingi Hek Liong Ong sampai mati bareng? Ah, mana mungkin ini? Ingin aku memberi hormat kepada sahabatku Hek Liong Ong" Dia menghampiri peti jenazah Hek Liong Ong dan para anak buah pulau naga tidak curiga karena tosu itu menyebut majikan mereka sebagai sahabat. Dan tosu itupun menepuk-nepuk peti jenazah itu dari ujung ke ujung dengan perlahan sambil berkata, suaranya lirih akan tetapi terdengar mengerikan.

   "Hek Liong Ong, kenapa kau mati menginggalkan pinto? Ini tidak adil, dan tidak jujur. Hemm, benarkah kau yang berada didalam peti mati ini?" Dan sekali tangannya bergerak terdengar suara keras dan peti mati itu bergoyang, tutupnya terbuka.

   Semua anak buah pulau naga menjadi terkejut sekali, apalagi melihat betapa semua tumpukan bata didalam peti mati telah remuk. Tentu ketika menepuk-nepuk peti mati itu tosu tadi mengerahkan tenaga saktinya, menyerang ke arah "mayat" di dalam peti sehingga bata itu remuk semua. Kini mereka dengan pedang di tangan sudah mengepung dan menyerang tosu itu karena kebohongan mereka sudah diketahui. Lebih baik mendahului turun tangan membunuh tosu itu daripada membiarkan mereka diserang.

   Akan tetapi, ternyata kepandaian tosu itu jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Toat Beng kwi to yang dahsyat tadi. Tongkat dan kebutan itu menyambar-nyambar dan duapuluh tiga orang itupun roboh satu demi satu dan tewas seketika. Tidak ada yang sempat melarikan diri sama sekali saking cepatnya gerakan tosu itu yang seperti melayang-layang diantara mereka. Setelah semua orang roboh dan tewas, tosu itu menghampiri peti jenazah yang terisi bata itu dan menggeleng-geleng kepalanya lalu menghela napas panjang.

   "tsk-tsk-tsk... Hek Liong Ong, kau sungguh cerdik dan licik" Mata yang kecil itu memandang acuh kepada kepada duabelas buah peti mati dan duapuluh tiga buah mayat yang berserakan itu, lalu menghela napas lega, lalu berlari seperti terbang menuju ke rumah besar bekas tempat tinggal Hek Liong Ong. Setelah memeriksa dan tidak menemukan seorangpun di sana, tosu itu lalu membakar rumah itu.

   "Hem, Hek Liong Ong" gumannya sambil memandang api yang berkobar melalap bangunan itu "biarpun pinto belum berhasil membunuhmu, setidaknya pinto telah membasmi sarangmu dan semua anak buahmu. Setelah berkata demikian, diapun cepat lari ke pantai, melepas tali perahunya dan tak lama kemudian diapun sudah melayarkan perahunya menuju daratan.

   ***

   Hek Liong Ong Poa Yok Su telah berhasil meninggalkan pulau naga tanpa ada yang mengetahui kemana dia pergi. Begitu tiba di daratan dia langsung memotong rambutnya sampai gundul dan dengan pakaian compang camping seperti seorang pengemis dia melanjutkan perjalanan. Mengapa seseorang yang sedemikian lihainya seperti Hek Liong Ong Poa Yok Su, majikan pulau naga yang mempunyai banyak anak buah menjadi ketakutan dan berpura-pura mati untuk menyembunyikan dirinya? Siapa yang di takutinya?

   Sebetulnya, dia tidak takut kepada siapa pun. Tidak ada orang didunia ini yang ditakutinya. Dia adalah datuk besar di timur yang terkenal dan sukar dicari tandingannya. Akan tetapi setelah usianya semakin tua, setelah dia menyadari benar-benar bahwa kematian pasti akan tiba, dia menjadi ketakutan. Hek Liong Ong Poa Yok Su takut akan kematian. Dia merasa tidak berdaya menghadapi maut, tidak kuasa melawan maut. Oleh karena itu dia membayangkan bahwa musuh-musuhnya tentu akan datang membalas dendam dan akhirnya dia akan mati. Dia takut, dia ngeri menghadapi kematiannya sendiri, walaupun sudah tidak terhitung banyaknya die menghadapi kematian kematian orang lain melalui tangan atau senjatanya. Kalau dia menbayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya setelah mati, bagaimana dengan tubuhnya yang akan membusuk dan hancur, apa yang akan dijadapinya. Lebih-lebih teringat akan cerita bahwa dosa-dosa yang bertumpuk banyaknya tentu akan mengalami hukuman sesudah mati, dia merasa takut bukan main.

   Perjalanannya membawa dia ke dekat kota raja. Tadinya dia bermaksud hendak ke kota raja menghadap Kaisar Yang Chien yang pernah dibantunya ketika kaisar itu masih muda dan masih berjuang menumbangkan kekuasaan Raja Toba sehingga akhirnya berhasil menggulingkan pemerintah asing dan mendirikan Kerajaan Sui (baca kisah Sepasang Naga Lembah Iblis). Akan tetapi setelah tiba di luar kota raja dia meragu. Dia tahu bahwa di kota raja terdapat banyak pendekar yang kini menduduki jabatan penting dan die mempunyai permusuhan dengan banyak pendekar. Di kota raja juga terdapat banyak musuhnya. Lebih mengerikan lagi karena para pendekar itu tentu tidak akan melupakan dia sebagai musuh dan diantara pendekar itu terdapat banyak orang sakti. Hal ini membuat dia takut memasuki kota raja dan membalikkan tubuhnya lagi untuk meninggalkannya.

   Tiba-tiba dia melihat sebuah bangunan kuil dibukit, tak jauh diluar kota raja. Kuil. Hidup dikuil sebagai seorang hwesio itulah jalan terbaik. Selain dia dapat bersembunyi dari musuuh-musuhnya, diapun dapat menebus dosa-dosanya dengan tekun beribadat. Untuk dapat mengusir perasaan takutnya. Dengan langkah lebar dan hati mantap dia menuju ke kuil itu, mendaki bukit.

   Kuil itu merupakan sebuah kuil besar di huni oleh duapuluh orang hwesio. Kepala kuil itu bernama Tiong Gi Hwesio, seorang tokoh dari kuil siauw lim si. Karena itu, kuil itupun merupakan cabang siauw lim si dan di situ terdapat pula belasan orang pemuda remaja yang belajar ilmu silat dari Tiong Gi Hwesio.

   Ketika Hek Liong Ong tiba di kuil itu, dia diterima oleh seorang hwesio yang bertugas jaga.

   "Paman tua, apakah keperluanmu datang berkunjung ke kuil ini kalau tidak ingin bersembahyang?" tanya hwesio penjaga.

   "Tolong, pertemukan saya dengan ketua kuil, saya mempunyai permohonan kepadanya" kata Hek Liong Ong merendah.

   Kebetulan sekali Tiong Gi Hwesio keluar dari kuil itu dan melihat seorang kakek ingin bertemu dengannya, diapun segera menghampiri "Sobat, pinceng adalah Tiong Gi Hwesio, kepala kuil ini. Ada keperluan apakah, kau hendak bertemu dengan pinceng?" tanyanya dengan nada ramah sekali.

   Kakek itu memandang kepada Tiong Gi Hwesio dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki hwesio itu.

   "Losuhu, tolonglah saya, saya ingin menebus dosa dengan masuk menjadi hwesio dan mempelajari Kitab-Kitab agama, hidup beribadat. Tolonglah saya, saya mau bekerja sebagai apa saja di dalam kuil ini" dalam suara Hek Liong Ong terkandung kesungguhan hatinya dan suaranya seperti orang yang ketakutan dan hampir menangis.

   "Omitohud.... Biarpun kau sudah tua, kau masih belum terlambat untuk bertaubat dan mengubah jalan hidup mu. Sang Budha akan memberkati-mu" Tiong Gi Hwesio merasa iba kepada Hek Liong Ong "Siapakah namau, sobat?"

   "Saya bermarga Liong, nama saya Beng" kata Hek Liong Ong berbohong.
Karena kalau dia berterus terang siapa dirinya, tentu hwesio itu tidak akan mau menerimanya. Nama Hek Liong Ong Poa Yok Su sudah terlalu tersohor dan pasti akan membikin takut para hwesio ini.

   "Baiklah, pinceng suka menerima-mu menjadi murid di kuil ini dan tentang pekerjaan nanti saja kita lihat apa yang dapat kau bantu untuk kami"

   Hek Liong Ong merasa gembira sekali. Dia mencium ujung kaki Tiong Gi Hwesio dan mengeluarkan sepuluh potong emas yang selama ini dia simpan dikantungnya "Banyak terima kasih atas kemurahan hati lo suhu, dan ini seluruh milik yang ada pada saya, saya serahkan untuk keperluan kuil"

   Tiong Gi Hwesio terbelalak, sepuluh potong emas itu besar sekali harganya, akan tetapi karena orang tua itu menyerahkannya dengan rela, maka harta itu diterimanya untuk kepentingan kuil.

   Mulai hari itu jadilah Hek Liong Ong seorang hwesio dan dia diberi julukan Ho Beng Hwesio. Setelah beberapa hari berada di kuil itu dan Tiong Gi Hwesio mendapat kenyataan bahwa hwesio itu pandai memasak, maka Ho Beng Hwesio diberi tugas sebagai tukang masak.

   Hek Liong Ong yang sudah menjadi Ho Beng Hwesio merasa senang sekali tinggal di kuil itu. Dia mendapatkan dua keuntungan. Pertama, setelah menjadi hwesio tidak akan ada lagi musuhnya yang dapat mengenalnya sehingga dia dapat bersembunyi di kuil itu dengan hati tenang dan tentram dan kedua, dia dapat menentramkan hatinya dengan mempelajari agama sehingga dia dapat mengusir rasa takutnya menghadapi kematian.

   Diapun dapat menyembunyikan kepandaiannya. Biarpun disitu terdapat banyak murid yang mempelajari ilmu silat, namun dia tidak pernah memperdulikan dan acuh saja seolah dia seorang tua yang lemah dan sama sekali tidak mengerti tentang ilmu silat.
Setelah lewat beberapa bulan, Hek Liong Ong merasakan kedamian dalam hatinya dan dia sudah merasa benar-benar aman dari ancaman musuh-musuhnya.

   ****

   Cerita ini dimulai pada tahun 594, baru tiga belas tahun kerajaan Sui berdiri. Setelah perjuangan selama belasan tahun dengan gigih, Pendekar Yang Chien, akhirnya dalam tahun 581 dapat mengalahkan pemerintah penjajah Toba dan mendirikan Kerajaan Sui. Dalam Kisah Sepasang naga lembah iblis diceritakan tentang perjuangan Yang Chien. Kaisar Yang Chien berhasil mempersatukan kembali semua daerah sehingga Kerajaan Sui menjadi besar dan Jaya. Kaisar Yang Chien pandai memerintah dan Kerajaan Sui menjadi terkenal, keamanan dapat dikembalikan dan keadaan dalam negeri diperkuat.

   Pemerintah diselenggarakan dengan bijaksana, pajak-pajak diperingan, hukum-hukum negara ditegakkan dan dilaksanakan dengan baik. Bahkan untuk kepentingan pertanian dan perdagangan, Kaisar Yang Chien memerintahkan penggalian terusan-terusan yang menghubungkan kedua Sungai Huang Ho dan Yang Ce. Untuk melaksanakan pekerjaan besar ini dibutuhkan tenaga ratusan ribu orang dan Kaisar Yang Chien tidak mau mempergunakan kekerasan system kerja paksa seperti kaisar-kaisar yang terdahulu, akan tetapi dia mengharuskan para petugas untuk memberi upah kepada para pekerja sehingga pekerjaan dapat berjalan lancar tanpa protes dari pihak rakyat jelata.

   Sikapnya untuk urusan keluar daerah juga tegas. Daerah-daerah yang tidak mau tunduk di serbu dan ditaklukan kembali. Daerah Tong Kin dan Annam ditundukkan dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sui.
Kaisar yang bijaksana dan adil selalu mendapat dukungan rakyat jelata dan menarik hati para cendikiawan untuk berdatangan dan membantu. Dan Kaisar Yang Chien menerima para cerdik pandai dengan tangan terbuka, setelah menguji mereka memberi kedudukan yang sepadan dengan kepandaian mereka sehingga roda pemerintahan dapat berputar sedemikian lancar. Para pejabat tinggi yang dekat dengan kaisar memperlihatkan kesetiaan mereka. Kalau pohonnya sehat maka cabang-cabang, ranting-ranting dan daun-daunnya pun sehat dan pohon yang sehat ini tentu menghasilkan buah yang baik. Demikian pula kalau kaisar sebagai orang tertinggi kedudukannya bijaksana dan adil, maka para pembantu atau bawahannya tentu juga bijaksana dan atasan yang adil bijaksana dapat menegur bawahan yang tidak benar sehingga kebijaksanaan ini dapat terus mengalir sampai kepada pejabat yang tingkatnya paling rendah. Kebijaksanan harus dimulai dari tingkat paling atas sebagai tauladan pertama. Bagaimana mungkin mencegah anak buah bertindak jahat kalau pemimpin mereka sendiri juga jahat?.

   Diantara para pejabat tinggi yang paling dekat dengan kaisar Yang Chien adalah seorang Panglima besar bernama Cian Kauw Cu. Sejak mudanya Cian Kauw Cu menjadi sahabat, bahkan seperti saudara sendiri dari Kaisar Yang Chien. Mereka berdua berjuang bersama, bahkan mereka berdualah yang di kenal sebagai Sepasang Naga Lembah Iblis. Mereka berdua menemukan sepasang pedang yang kemudian menjadi milik mereka berdua, yang putih disebut Pek Liong Kiam (Pedang Naga Putih) menjadi milik Kaisar Yang Chien dan yang hitam di sebut Hek Liong Kiam (Pedang Naga Hitam) menjadi milik Cian Kauw Cu.

   Selain mendapatkan sepasang pedang itu, mereka berdua juga menemukan kitab pelajaran ilmu silat Bu Tek Cin Keng di dalam sebuah gua. Hanya bedanya, kalau Yang Chien mempelajari ilmu dari kitab itu yang kemudian membuat dia menjadi seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Cian Kauw Cu hanya mempelajarinya dari gambar-gambar di dinding sehingga mutu ilmu yang dikuasai Cian Kauw Cu masih kalah dibandingkan yang dikuasai Yang Chien. Hal ini disebabkan Cian Kauw Cu memiliki latar belakang pendidikan yang rendah sekali. Sejak kecilnya dia hidup liar seperti binatang dan dipelihara oleh seekor kera betina. Semua itu diceritakan dengan lengkap dalam kisah sepasang naga lembah iblis.

   Sekarang Cian Kauw Cu atau Cian Ciangkun telah berusia lima puluh tahun.Selama belasan tahun dia ikut pula berjuang di samping Yang Chien. Setelah mereka berhasil, Yang Chien menjadi kaisar dan Cian Kauw Cu di angkat menjadi panglima besar. Dia menikah dengan seorang wanita pilihannya yang bernama Ji Goat, puteri mendiang perdana menteri Kerajaan Toba. Ji Goat juga bukan wanita biasa. Wanita yang sudah berusia empatpuluh tujuh tahun ini adalah seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi pula. Mereka memiliki seorang anak tunggal, seorang putera berusia sepuluh tahun yang diberi nama Cian Han Sin.

   Demikianlah sedikit riwayat sepasang pendekar yang dikenal sebagai sepasang naga lembah iblis dan yang kini telah menjadi kaisar dan panglima besarnya.

   Pada hari itu, Kaisar Yang Chien sengaja memanggil Panglima Cian untuk menghadap dan kedua orang sahabat yang kini telah menjadi orang-orang besar dengan usia yang mulai tua itu, duduk berhadapan disebuah ruangan dalam istana. Mereka tidak kelihatan seperti seorang kaisar dengan panglimanya, nampak seperti dua orang sahabat saja. Demikianlah kalau kaisar sedang bercakap-cakap berdua saja dengan Cian-Ciangkun. Keakraban yang dahulu masih nampak dalam sikap mereka walau pun Cian"Ciangkun lebih bersikap hormat.

   "Cian-Ciangkun" kata Kaisar setelah dia mempersilahkan Panglimanya minum arak dari cawan yang disuguhkan "Bagaimana pendapatmu tentang gerakan bangsa-bangsa bar-bar di Utara itu? Bangsa Toba tiada hentinya berusaha untuk menegakkan kembali kekuasaan mereka dan mereka selalu menggangu daerah perbatasan utara yang demikian luasnya. Dan agaknya mereka itu hendak mengajak Bangsa Turki dan Mongol untuk bersekutu, Kalau mereka sampai bersekutu, mereka akan merupakan kekuatan yang tidak boleh dipandang ringan"

   "Apa yang paduka katakan itu benar sekali, Yang Mulia" Kata Cian Ciangkun yang walaupun mereka namapak duduk berhadapan dengan akrabnya, tetap saja menunjukkan sikap seorang bawahan kepada atasannya" dan satu-satunya jalan untuk menghilangkan ancaman dari Utara itu hanyalah dengan mengirim pasukan dan menundukkan mereka. Setelah kini kekacauan di selatan sudah dapat ditundukkan dan semua balatentara berada dalam keadaan menganggur, maka sudah tiba saatnya untuk mengerahkan pasukan ke utara"

   "Tepat, kamipun berpendapat demikian, Cian Ciangkun, akan tetapi karena usaha pembersihan di utara ini merupakan pekerjaan besar yang penting sekali, sama sekali tidak boleh gagal, maka kami bermaksud untuk memimpin sendiri pasukan besar menyerbu ke utara. Bagaimana pendapatmu, Cian Ciangkun?"

   "Yang Mulia, hamba kira hal itu tidak perlu dilakukan. Untuk membunuh anjing tidak perlu mempergunakan pedang pusaka, untuk menundukkan para perusuh di utara itu hamba kira tidak perlu sampai paduka sendiri turun tangan. Keberadaan paduka di istana masih sangat diperlukan untuk memperlancar jalannya pemerintahan yang berwibawa, Kalau paduka pergi sendiri sampai waktu yang lama, hamba khawatir, akan terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan di kota raja"

   Hemm, habis bagaimana Ciangkun? Pekerjaan ini amat berat dan penting, juga berbahaya. Kami tidak ingin melihat operasi pembersihan ini gagal"

   "Yang Mulia, apa gunanya hamba berada disini kalau untuk urusan begitu saja paduka harus turun tangan sendiri? Yang mulia, biarlah hamba yang akan mewakili paduka, memimpin pasukan dan menundukkan bangsa"bangsa yang mengancam di perbatasan utara itu"

   Kaisar Yang Chien memandang sahabatnya itu dan mengangguk-angguk senang. Diapun percaya, kalau Cian Kauw Cu yang mewakilinya dan memimpin pasukan, tentu operasi pembersihan itu akan berhasil baik.

   "Bagus, kalau kau sendiri yang memimpin pasukan itu, kami yakin pembersihan itu akan berhasil baik. Pergilah umumkan keputusan ku. Cian Ciangkun. Persiapkan pasukan sebanyak yang kau kehendaki dan berangkatlah dalam minggu ini juga"

   "Baik, hamba siap melaksanakan perintah Yang Mulia" Kata Cian Ciangkun yang segera memberi hormat dan mengundurkan diri.

   Cian ciangkun lalu mengumumkan kepada semua menteri dan pejabat tinggi tentang perintah kaisar dan dia sendiri lalu menghubungi para panglima mempersiapkan pasukan yang akan dibawanya ke utara untuk menundukkan Bangsa Nomad di uatara itu. Karena perjalanan ke utara melalui daerah pegunungan dan gurun yang serba keras dan sukar, maka Cian Ciangkun memberi waktu sekitar satu minggu kepada pasukan untuk mempersiapkan perbengkalan.

   Dirumah gedungnya, Cian Kauw Cu bercerita kepada istrinya tentang tugasnya mewakili Kaisar untuk melakukan pembersihan ke utara. Istrinya maklum akan tugas suaminya sebagai panglima besar. Bukan baru kali ini suaminya pergi meninggalkannya untuk memimpin pasukan berperang, sudah berulang kali. Karena itu, iapun tidak merasa khawatir. Ia percaya akan kemampuan suaminya. Apalagi sekarang yang akan dibersihkan hanyalah pengacau-pengacau perbatasan.

   "Berapa lamanya gerakan pembersihan itu, suamiku?" tanyanya.

   Ciang Ciangkun menggeleng kepalanya "Belum dapat kuperkirakan sekarang. Biarpun mereka itu hanya pengacau-pengacau yang kukira tidak berapa besar kekuatannya, namun medannya amat sukar. Dan mereka adalah penunggang kuda yang mahir, mudah melarikan diri di daerah yang liar itu. Mereka itu berkelompok dan berpindah-pindah. Itulah sukarnya. Kalau mereka bersarang, mudah saja membasmi sarang mereka. Akan tetapi, dengan serbuan-serbuan pasukan kita, ku kira mereka akan cerai berai dan tidak dapat bersatu lagi dan mudah"mudahan saja tidak terlalu lama aku akan dapat pulang"

   Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun berlari-lari masuk ke ruangan itu. Dia adalah Cian Han Sin. Anak ini memiliki tubuh seperti ayahnya, tinggi besar dan tegap. Akan tetapi kulitnya tidak hitam seperti ayahnya, melainkan putih bersih seperti ibunya. Juga wajah anak ini seperti ibunya, maka dia kelihatan tampan. Tampan dan gagah karena tubuhnya tegap.

   "Han Sin, kenapa kau berlari-lari?" tegur ibunya.

   Akan tetapi anak itu berlari menghampiri ayahnya.

   "Ayah, aku melihat pasukan bersiap-siap dan katanya ayah hendak memimpin pasukan menuju ke utara, ke mongol. Benarkan, ayah?"

   Cian Ciangkun tersenyum dan mengelus kepala puteranya "Memang benar, Han Sin. Kaisar memerintahkan ayahmu untuk memimpin pasukan dan mengadakan pembersihan kepada para pengacau diperbatasan"

   "Aihh, aku ingin sekali ikut, ayah. Aku ingin melihat daerah utara. Kabarnya banyak pegunungan liar dan daerah gurun pasir. Ingin aku melihatnya"

   Ayahnya tertawa, mengangkat anak itu dan dipangkunya. Sebagai anak tunggal, tentu saja Han Sin agak dimanja oleh ayahnya.

   "Han Sin, kau kira ayahmu pergi pesiar maka kau hendak ikut? Ayahmu pergi memerangi orang-orang yang mengacau diperbatasan, bangsa bar-bar yang liar dan kejam"

   "Jadi aku tidak boleh ikut, ayah?" Han Sin merajuk dan turun dari pangkuan ayahnya.

   "Tentu saja tidak boleh, bagaimana kalau aku bertempur, apakah kau akan bertempur pula?"

   "Aku selama ini sudah berlatih silat bertahun-tahun berlatih silat, aku tidak takut bertempur"

   Cian Ciangkun tertawa "Ha-ha-ha, sudahlah kau tinggal dirumah saja menemani ibumu" Di dalam hatinya dia merasa bangga melihat keberanian puteranya.

   "Han Sin, jangan ganggu ayahmu. Ayah melaksanakan tugas penting yang berat, bukan main-main. Kau tidak boleh ikut. Rngkau harus tinggal dirumah bersama ibu, melatih silat dan menghafal pelajaran mu membaca dan menulis. Kau harus rajin belajar agar kalau ayahmu pulang kau sudah memperoleh banyak kemajuan" kata Ji Goat.

   "Benar kata-kata ibumu, Han Sin"

   "Kalau begitu, aku minta oleh-oleh. Kalau ayah pulang, agar aku dibawakan pedang mongol yang bentuknya melengkung itu" kata Han Sin.

   "Baiklah, akan kubawakan untukmu" kata ayahnya. Barulah Han Sin tidak rewel lagi dan dia segera keluar untuk bermain-main.

   ***

   Seminggu kemudian, berangkatlah Cian Kauw Cu, memimpin pasukan yang cukup besar jumlahnya. Tidak kurang dari selaksa orang prajurit dalam pasukannya, dengan belasan orang perwira tinggi menjadi pembantunya. Kelak diperbatasan, jumlah ini akan ditambah pula dengan pasukan yang berjaga diperbatasan.

   Pagi itu Cian Kauw Cu meninggalkan gedungnya di antar oleh istrinya dan puteranya sampai di pintu pekarangan. Panglima berusia setengah abad lebih ini masih nampak gagah perkasa dalam pakaian panglima yang mentereng.

   Dipinggangnya tergantung pedang pusakanya yaitu Hek Liong Kian (Pedang Naga Hitam) yang dahulu dikenal di dunia kang ouw sebagai pusaka yang ampuh. Setelah berpamit sekali lagi kepada istri dan puteranya, dia lalu menunggang kudanya yang berbulu hitam menuju ke benteng dimana pasukannya telah siap.

   Pasukan besar itu meninggalkan kota raja menuju ke utara. Berhari-hari pasukan itu menempuh perjalanan yang melelahkan, naik turun gunung sampai akhirnya mereka tiba di perbatasan dan berhenti di benteng pasukan penjaga dalam tembok besar. Disini Cian Ciangkun berunding dengan para perwira pembantunya dan panglima yang memimpin pasukan perbatasan, membicarakan keadaan didaerah perbatasan itu. Dia mendapat laporan bahwa memang orang-orang Toba, Turki dan Mongol seringkali menggangu daerah itu bahkan beberapa kali menyerang perbentengan untuk menyerbu ke dalam tembok besar. Adakalanya penyerangan mereka demikian kuatnya sehingga beberapa kali hampir saja pasukan penjaga itu kebobolan.

   Setelah memperoleh petunjuk darimana gerombolah pengacau itu muncul, mulailah Cian Ciangkun memimpin pasukannya untuk melakukan gerakan pembersihan. Dia memecah pasukannya menjadi beberapa bagian, menyerang dari barat, timur dan selatan untuk menggiring para gerombolan musuh ke tengah untuk dihancurkan.

   Terjadilah pertempuran-pertempuran kecil karena gerombolan pengacau yang terdiri dari bermacam suku bangsa telah digempur dan hanya melakukan perlawanan kecil-kecilan saja. Akan tetapi diwaktu malam, selagi pasukan kerajaan berkemah dan beristirahat, gerombolan pengacau itu melakukan serangan dengan panah api, menunggang kuda mengitari perkemahan pasukan itu dan menyerang sambil melarikan kuda. Pasukan dibawah pimpinan Cian Ciangkun segera melakukan perlawanan dan gerombolan pengacau itu melarikan diri. Akan tetapi telah mendatangkan korban yang tidak sedikit pada pasukan Kerajaan Sui.

   Dihadapi perang gerilya seperti ini, Cian Ciangkun menjadi marah sekali dan akhirnya dia membawa pasukannya ke daerah Shansi karena pusat gerombolan pengacau itu berada di Shansi utara, dipimpin Bangsa Toba yang bersekutu dengan Bangsa Turki dan Mongol.

   Gubernur atau kepala daerah Shansi pada waktu itu adalah sorang bernama Li Goan yang berusia kurang lebih empat puluh tahun. Li Goan diangkat menjadi kepala daerah Shansi oleh Kaisar Yang Chien karena ketika Yang Chien berjuang membangun Kerajaan Sui, Li Goan juga berjasa dalam perjuangan. Terutama dalam menundukkan daerah di utara. Li Goan berjasa besar sekali. Dalam tugas ini pula Li Goan mempersunting puteri seorang kepala daerah berketurunan Turki menjdai istrinya sampai saat itu.

   Ketika mendengar bahwa pasukan kerajaan yang sedang melakukan pembersihan di utara itu datang ke Shansi, Li Goan cepat menyambut dan mempersilahkan Cian Kauw Cu dan para perwira tinggi memasuki gedungnya. Didalam gedung itu mereka mengadakan perundingan dan Li Goan menceritakan keadaan para suku -suku bangsa yang berada di utara.

   "Bangsa Turki hanya terbawa saja oleh Bangsa Toba dan Mongol" Kata li Goan.

   "Sebetulnya, mudah membujuk bangsa Turki agar jangan mengganggu perbatasan dan menjadi tetangga yang baik. Akan tetapi Bangsa Toba masih penasaran dan ingin membangun kembali kerajaan mereka yang telah hancur. Mereka bersekutu dengan Bangsa Mongol dan kedua suku bangsa itu kalau dapat ditundukkan dengan sendirinya bangsa Turki tentu juga akan mundur.

   "Dimana pusat dari orang-orang Toba itu?" tanya Cian Ciangkun.

   "Menurut penyelidikan para mata-mata kami, mereka itu berpusat disekitar lembah Huang Ho, di sebelah utara perbatasan Shansi. Mereka membuat sebuah benteng yang kokoh kuat di sana dan seluruh kekuatan sisa pasukan Toba yang terusir dari selatan kini berhimpun di sana.

   "Hmmm, kalau begitu kami akan menyerang benteng mereka itu" kata Cian Ciangkun.

   "Harap Ciangkun berhati-hati. Jumlah mereka cukup besar, tidak kurang dari selaksa orang banyaknya dan daerah itu cukup sulit untuk di serang. Selain itu juga banyak orang mongol membantu bangsa toba.

   "Harap tai-jin jangan khawatir, aku pasti akan dapat menghancurkan mereka. Harap Tai-jin suka memerintahkan panglima disini untuk berjaga-jaga sajan dengan pasukannnya, tidak perlu ikut menyerbu. Dengan pasukan kami itu rasanya sudah cukup untuk membasmi sisa pasukan Toba"

   Demikianlah, setelah beristirahat sehari semalam di situ, pada keesokkaan harinya, pagi-pagi sekali pasukan yang dipimpin Cain Ciangkun berangkat menuju ke Lembah Huang Ho. Mereka menemukan benteng itu yang dibangun di tepi sungai, sebuah benteng yang besar dan kokoh kuat. Karena hari sudah senja, Cian Ciangkun memerintahkan pasukannya mendirikan perkemahan dan melakukan penjagaan ketat agar jangan sampai disergap musuh pada malam hari. Akan tetapi malam hari itu gelap sekali. Udara penuh dengan awan hitam sehingga pihak musuh juga tidak berani melakukan serangan diwaktu gelap gulita. Untung bagi pasukan Cian Ciangkun bahwa tidak turun hujan dimalam hari itu.

   Pada keesokan harinya Cian Ciangkun sudah mengatur pasukkannya untuk mengepung perbentengan itu dan mulai menyerang dengan anak panah. Pihak musuh membuka pintu gerbang untuk mengeluarkan sepasukan besar prajurit mereka dan terjadilah perang hebat didepan benteng. Cian Ciangkun memimpin sendiri pasukannya, dengan Pedang Naga Hitam dia mengamuk dan entah berapa banyaknya prajurit musuh yang roboh oelh pedangnya.

   Dari barisan musuh muncul seorang perwira yang tinggi besar seperti raksasa, bersenjatakan tombak, seperti juga Cian Ciangkun, perwira toba dengan tombaknya itu mengamuk dan telah merobohkan banyak prajurit Sui. Akhirnya perwira itu berhadapan dengan Cian Kauw Cu. Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang panglima itu segera saling serang dengan dahsyatnya. Para prajurit di sekeliling mereka bertempur sendiri, tidak ada yang berani mencampuri pertandingan antara dua orang perwira tinggi yang dahsyat itu.

   Berdentang-denting bunyi pedang dan tombak ketika bertemu dan ternyata tombak perwira Toba itu juga terbuat dari baja yang baik sehingga tidak mudah patah bertemu Pedang Naga Hitam.

   Cian Kauw Cu menjadi penasaran bahwa sampai lebih dari tigapuluh jurus dia belum juga mampu merobohkan perwira itu. Dia lalu mengeluarkan teriakan seperti seekor binatang buas, tubuhnya meloncat tinggi ke atas dan tubuh itu menukik dan dengan dahsyatnya dia menyerang dari udara. Bukan main hebatnya serangan ini. Perwira Toba itu terkejut dan berusaha menangkis dengan tombaknya.

   "Traaangggg" Sekali ini tombaknya tidak kuat bertahan terhadap serangan pedang yang berubah menjadi sinar hitam yang ganas itu. Ujung tombak yang runcing itu patah dan sebelum perwira itu mengelak, Pedang Naga Hitam telah menembus lehernya. Perwira tinggi besar itu terjengkang ketika kaki Cian Ciangkun menendangnya sambil mencabut pedangnya, lalu meloncat turun. Akan tetapi ketika tubuhnya masih di udara, sebatang anak panah melesat cepat sekali dari belakang dan tanpa dapat dihindari lagi, anak panah itu menancap dan menembus punggung Cian Kauw Cu sampai tembus di dadanya.

   Cian Kauw Cu mengeluarkan gerangan aneh. Tubuhnya cepat turun ke atas tanah lalu dia memutar tubuh membalik untuk melihat siapa yang menyerangnya dari belakang. Dia melihat seorang perwira pembantunya membuang busurnya dan perwira itu menghampirinya. Cian Kauw Cu menundingkan telunjuknya dan tubuhnya terhuyung.
"kau... Kau" dan diapun terpelanting roboh. Perwira itu berlutut dan memeriksa dan ternyata Cian Kauw Cu telah tewas. Anak panah itu menembus jantungnya. Perwira itu lalu mengambil Pedang Naga Hitam dari genggaman tangan jenazah Cian Ciangkun lalu menyembunyikan pedang itu dibalik bajunya. Kemudian dia memondong jenazah itu dibawa ke bagian belakang pasukan yang sedang bertempur.

   Walaupun Cian Ciangkun telah gugur, namun para perwira pembantu terus memimpin pasukan sampai musuh dapat dipukul mundur dan benteng itu dapat diduduki. Baru setelah benteng dapat diduduki dan musuh dapat di usir, semua prajurit mendengar berita mengejutkan bahwa Cian Ciangkun telah gugur dalam pertempuran itu, terkena anak panah yang menembus punggungnya.

   Biarpun pulang membawa kemenangan, namun pasukan itu diliputi kedukaan karena kehilangan pemimpin mereka. Karena untuk membawa jenazah Cian Ciangkun ke kota raja jaraknya terlalu jauh, maka terpaksa jenazah itu dibawa ke Shansi dan dengan upacara kebesaran yang diatur oleh kepala daerah Shansi, Li Goan, jenazah itu di makamkan di tanah kuburan terhormat ditempat itu. Setelah itu, pasukan bergerak pulang ke kota raja dan para perwira segera memberi laporan kepada Kaisar.

   Kaisar Yang Chien merasa terkejut sekali mendengar berita gugurnya Cian Ciangkun. Dia benar-benar merasa terpukul dan tidak mengira bahwa sahabatnya itu akan tewas dalam pertempuran itu. Kaisar lalu memanggil Ji Goat dan Han Sin ke Istana.
Istri iang Ciangkun itu cepat menghadap kaisar, disertai putranya dan ketika mendengar akan gugurnya suaminya tercinta, Ji Goat menjadi pucat wajahnya. Akan tetapi tidak ada setetes pun air mata tumpah. Wanita itu menyadari benar bahwa suaminya adalah seorang panglima perang yang sewaktu-waktu dapat saja jatuh dan gugur. Betapa pun juga, suaminya gugur sebagai seorang pahlawan dan ia merasa bangga.

   "Suami hamba gugur sebagai seorang pahlawan. Di atas kesedihan karena kehilangan suami dan ayah kami ibu dan anak merasa bangga sekali" kata Ji Goat yang berlutut bersama puteranya. Sian Han Sin juga tidak menangis walaupun matanya agak kemerahan. Hatinya seperti diperas-peras rasanya kalau dia membayangkan ayahnya ketika hendak berangkat dan berjanji akan membawakan sebatang pedang bengkok untuknya. Tidak, ia tidak boleh menangis, begitu pesan ibunya tadi. Di depan Kaisar mereka patut menjadi keluarga seorang Pahlawan Besar.
Kaisar Yang Chien yang mengenal istri Cian Kauw Cu ini semenjak ia masih gadis, lalu berkata lembut, hatinya diliputi keharuan" Ji Goat, bangkit dan duduklah di kursi itu. Demikian pula anakmu, eh siapa namanya? Kami lupa lagi"

   "Hamba Cian Han Sin, Yang Mulia" Kata anak itu dengan sikap gagah dan hormat.

   
😮

   
"Oya, kaupun duduklah, Han Sin. Kami ingin bercakap-cakap dengan kalian. Ada urusan penting yang akan kami sampaikan"

   "Terima kasih Yang Mulia" kata Ji Goat dan ia pun bangkit berdiri lalu duduk di atas kursi. Han Sin juga duduk di sebelah ibunya. Keduanya menundukkan kepala, menanti ucapan sang kaisar.

   "Ketahuilah, Ji Goat, bahwa suami mu telah berjasa besar sekali kepada Kerajaan. Bukan hanya berjasa dengan kedudukannya sebagai seorang panglima, bahkan jauh sebelum itu dia telah membantu perjuangan dan menjadi tokoh penting dalam mendirikan Kerajaan Sui. Lebih lagi dari itu, dia yang menunjukkan kepada kami adanya sebuah rahasia yang kemudian kami miliki berdua. Akan tetapi, kami merasa kecewa sekali mendengar laporan tentang kematiannya. Kematiannya memang wajar sebagai seorang panglima perang, akan tetapi caranya dia gugur sungguh mengandung rahasia yang aneh"

   "Bagaimanakah rahasia itu, Yang Mulia?" tanya Ji Goat sambil mengangkat muka memandang wajah Kaisar itu.

   "Suamimu tewas karena terkena anak panah yang menembus punggungnya. Menembus punggung, masuk dari punggung, bukan dari dada. Ini berarti bahwa anak panah itu datangnya dari belakang. Hal ini sungguh aneh dan mencurigakan. Selain itu, juga Pedang Naga Hitam tidak dapat ditemukan, padahal semua prajurit tahu bahwa dia menggunakan pedang itu untuk bertempur. Kematiannya yang aneh, diserang dari belakang dan leyapnya Pedang Naga Hitam sungguh merupakan rahasia yang merisaukan hati. Akan tertapi bagaimana hal ini dapat diselidiki kalau terjadi dalam sebuah pertempuran besar seperti itu? Setiap orang sibuk dalam pertempuran, tentu setiap perhatian ditujukan untuk bertempur dan menjaga diri, tidak sempat ada yang memperhatikan keadaan suamimu. Perwira yang menemukan jenazah suamimu juga tidak melihat apa-apa, hanya melihat suamimu sudah menggeletak dan tewas, maka lalu diangkatnya jenazah itu"

   Ji Goat mengerutkan alisnya "hamba akan memikirkan hal itu, Yang Mulia. Mudah-mudahan hamba akan menemukan jalan untuk menyelidikinya"

   "Kamipun akan memerintahkan para panglima melakukan penyelidikan, Ji Goat. Dan masih ada satu hal lagi ingin kusampaikan kepadamu" Suamimu dan kami ketika muda dahulu telah menemukan sepasang pedang dan sebuah kitab ilmu silat. Pedang itu kami bagi dua, Pedang Naga Putih menjadi milik kami dan Pedang Naga Hitam menjadi milik suami mu. Akan tetapi kalau kami mempelajari ilmu itu dari kitab, suamimu tidak sabar dan mempelajarinya dari gambar-gambar didinding. Kami merasa bahwa diapun berhak menguasai ilmu itu, akan tetapi dia tidak pernah mau belajar seperti petunjuk dalam kitab. Karena itu, kami telah menuliskan semua ilmu itu dalam sebuah kitab dan sekarang kami hendak menyerahkan kitab itu kepadamu, agar puteramu kelak dapat mempelajari Bu Tek Cin Keng sebagai warisan ayahnya. Kami sendiri tidak mengajarkan kepada keturunan kami karena dengan kedudukan kami sebagai kaisar, maka tidak perlu mempelajari ilmu silat sampai mendalam. Berbeda dengan puteramu yang kelak tentu membutuhkannya" Kaisar Yang Chien mengeluarkan sebuah kitab yang ditulisnya sendiri, terisi pelajaran tigapuluh enam jurus ilmu Bu Tek Cin Keng, lalu menyerahkannya kepada Ji Goat.

   Karena Kaisar mengatakan bahwa ilmu dalam kitab itu sebagai warisan suaminya kepada putera mereka, Ji Goat menerimanya dan menghaturkan terima kasih. Selain itu, Kaisar juga memberikan gedung beserta semua isinya kepada janda itu. Bahkan Ji Goat masih berhak menerima tunjangan setiap bulan dari kerajaan.

   Baru setelah pulang kerumah Ji Goat merasa hidupnya kosong dan sepi, dan ia memasuki kamarnya lalu menangis diatas tempat tidur, memeluk bantal yang biasa dipakai tidur suaminya. Semua kebanggan dan kekerasan hatinya hancur luluh dilanda duka karena kehilangan orang yang dicintainya.

   " Ibu, ibu menangis?"

   Ji Goat terkejut. Bangkit dan melihat Han Sin sudah berada didalam kamarnya dan memandang kepadanya dengan pandang mata dan sikap khawatir dan penuh iba. Ji Goat tidak dapat menahan kesedihannya. Dirangkulnya Han Sin dan ia pun menangis tersedu-sedu.

   "Han Sin ayahmu" janda itu sesenggukan di dada puteranya sehingga baju di bagian dada itu menjadi basah air mata.

   Han Sin merangkul leher ibunya" Ibu, bukankan ibu sendiri yang mengatakan bahwa ayah tewas sebagai seorang pahlawan besar dan kematiannya tidak perlu disedihkan akan tetapi malah membanggakan? Ibu, Ibu tadi begitu tabah didepan Kaisar, kenapa sekarang?"

   Ji Goat menyusut air matanya dan sekuat tenaga menahan tangisnya"Benar, Han Sin... akan tetapi.... aku... aku merasa kehilangan sekali.... bayangan ayahmu akan selalu nampak.... dan aku merasa kehilangan sekali"

   "Ibu, disini masih ada aku yang menemani ibu " kata anak itu dan melihat anak itu berdiri tegak didepannya dengan gagahnya. Ji Goat merasa terhibur dan merangkul lagi, mencium kedua pipi puteranya.

   ***

   Sejak dia berusia lima tahun, Han Sin telah digembleng ilmu silat oleh ayah dan ibunya dan kini dalam usia sepuluh tahun, dia telah menjadi seorang anak yang bertubuh kokoh kuat dan sudah memiliki ilmu silat yang lumayan. Kalau hanya orang dewasa biasa saja jangan harap akan mampu mengalahkan Han Sin.

   Cerita Kaisar tentang kematian suaminya membuat hati Ji Goat merasa penasaran sekali. Telah berhari-hari ia memikirkan dan membayangkan tentang kematian itu. Di panah dari belakang. Tidak mungkin panah itu datangnya dari pihak musuh. Kalau dari pihak musuh tentu panah itu mengenai dada, bukan punggung. Dan Pedang Hek Liong Kiam juga di curi dari tangan suaminya. Agaknya ada suatu rahasia besar dibalik kematian suaminya. Ada pengkhianat? Akan tetapi siapa? Akhirnya ia berpendapat bahwa untuk menemukan pembunuh suaminya, haruslah ditemukan dulu pedang pusaka itu. Pemilik pedang pusaka itu agaknya pembunuh gelap suaminya atau setidaknya pencuri pedang pusaka itu nebgetahui siapa sebenarnya yang mebunuh suaminya. Kalau suaminya tewas dalam pertempuran melawan musuh, hal itu adalah wajar dan urusan habis sampai di situ saja. Akan tetapi kalau pembunuhnya pengkhianat yang membokong dari belakang, hal ini lain lagi dan menimbulkan penasaran, menimbulkan dendam.

   Akan tetapi kemana harus mencari pedang itu? Ia tidak mungkin dapat meninggalkan puteranya untuk mencari pencuri pedang. Tidak, ia tidak akan mencarinya dan biarlah ini menjadi tugas pertama Han Sin kelak. Ia harus menggembleng Han Sin menjadi seorang yang pandai dan tangguh sekali agar dia kelak dapat mencari pencuri pedang dan pembunuh ayahnya.

   Akan tetapi Han Sin masih terlalu kecil untuk disuruh mempelajari kitab Bu Tek Cin Keng. Kaisar berpesan kepadanya bahwa ilmu itu baru boleh dipelajari kalau Han Sin sudah remaja. Biar dia mempelajari ilmu-ilmu silat sebagai dasarnya dan tiba-tiba Ji Goat teringat kepada Tiong Gi Hwesio, Ketua kuil diluar kota raja itu. Tiong Gi Hwesio adalah seorang tosu Siauw lim pai, ilmu silatnya tinggi. Biarlah Han Sin belajar di sana, mempelajari ilmu silat dan juga sastra dan agama agar kelak Han Sin menjadi seorang pendekar yang berwatak budiman. Suaminya pernah menyatakan pendapatnya untuk mengirim Han Sin belajar di kuil itu, dan sekarang ia yang akan melaksanakan pendapat suaminya itu.

   Ketika Ji Goat membicarakan niat hatinya itu kepada Han Sin, anak yang patuh kepada ibunya ini tidak membantah "Kau belajarlah dengan tekun di kuil itu, Han Sin. Setelah kau remaja dan memperoleh dasar ilmu yang mendalam, baru kau akan kuberi kitab ilmu peninggalan ayahmu untuk kau latih. Kau harus menjadi seorang yang tangguh untuk kelak mencari pembunuh ayahmu"

   Han Sin memandang wajah ibunya penuh selidik "Ibu, kalau ibu menghendaki aku belajar di kuil, akan ku lakukan. Akan tetapi, mengapa ibu menyebut tentang pembunuh ayah? Bukan kah ayah tewas dalam peperangan dan menurut ayah yang sudah sering berkata kepadaku, tewas dalam perang adalah kematian yang terhormat bagi seseorang perajurit dan kematian dalam pertempuran tidak ada hubungannya dengan permusuhan pribadi"

   "Memang benar kalau kematian itu terjadi secara wajar, yaitu tewas karena berperang dengan musuh. Akan tetapi kematian ayahmu penuh rahasia dan mencurigakan. Ayahmu tewas karena terkena anak panah yang datangnya bukan dari musuh, bukan dari depan melainkan dari belakang. Ini hanya berarti bahwa ayahmu tewas karena dibokong oleh seseorang pengkhianat, dan juga Pedang Naga Hitam, pusaka ayahmu lenyap dari tangan ayahmu. Nah, sudah menjadi tugasmu kelak untuk mencari pedang yang lenyap itu, Han Sin. Dan pemilik pedang itu tentu pencuri pedang. Dia mungkin pembunuh gelap itu, atau setidaknya dia tentu mengetahui tentang pembunuhan curang itu. Dan untuk dapat menyelidiki dan mengungkap rahasia itu, kau harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. maka belajarlah baik-baik dari Tiong Gi Hwesio, anakku"

   Han Sin mengerutkan alisnya dan mengepal tinju tangannya "Ah, kalau begitu ayah tewas secara tidak wajar. Baik, Ibu aku akan belajar dengan tekun dan kelak akan aku cari pembunuh ayah" Han Sin yang biasanya lincah jenaka itu kini nampak bersungguh-sungguh karena dia penasaran dan marah mendengar akan kematian ayahnya.

   Demikianlah, beberapa hari kemudian, Han Sin membawa sebuah buntalan pakaian besar, diatar oleh ibunya naik kereta menuju ke kuil Siauw lim si di luar kota yang diketuai oleh Tiong Gi Hwesio itu. Sebelumnya, janda panglima ini sudah mengirim surat kepada Tiong Gi Hwesio tentang maksudnya mengirim puteranya untuk belajar silat, sastra dan agama. Karena keluarga Panglima Cian merupakan penyumbang besar dari kuil itu dan dikenal baikoleh Tiong Gi Hwesio, maka permintaan janda itu diterima dengan senang hati.

   Kedatangan Ji Goat dan puteranya disambut sendiri oleh Tiong Gi Hwesio di ruangan tamu "Nah, lo-suhu, inilah puteraku Cian Han Sin seperti yang sudah kuberitahukan dalam surat itu" kata janda itu dengan sikap ramah.

   "Seorang anak yang baik, Toa-nio, pinceng merasa terhormat sekali dan dengan adanya Cian-Kongcu menjadi murid disini"

   "Losuhu, karena aku akan menjadi muridmu, maka janganlah kalau losuhu menyebutku kong-cu (tuan muda). Namaku Cian Han Sin dan sebut saja namaku tanpa embel-embel tuan muda" kata Han Sin sambil tersenyum.

   "Omitohud.... masih begini muda sudah pandai bersikap rendah hati. Baguss... bagus" puji Hwesio itu sambil mengangguk-angguk.

   "Apa yang dikatakan Han Sin benar, losuhu, hubungan antara guru dan murid akan menjadi janggal kalau losuhu menyebutnya kong-cu. Sebut saja namanya dan bersikaplah kepadanya seperti kepada seorang murid biasa" kata Ji Goat.

   "Omitohud, baiklah Toa-nio"

   "Nah, Han Sin, kau harus memberi hormat kepada suhumu" kata janda itu. Han Sin yang sudah mempelajari tentang tata cari itu, segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan hwesio itu.

   "Suhu, terimalah hormat teecu (murid)" katanya sambil memberi hormat delapan kali.

   "Omitohud.... kau anak dan murid yang baik sekali, Han Sin" kata hwesio itu sambil mengangkat bangun Han Sin. Ibunya memandang dengan gembira.

   "Nah, Han Sin, mulai hari ini kau tinggal disini dan belajarlah dengan tekun. Kau tidak boleh meninggalkan kuil dan kalau kau rindu kepada ibu, aku yang akan datang menjengukmu ke sini. Tidak perlu kau pulang"

   Han Sin sudah maklum bahwa dia harus belajar dengan tekun, maka dia mengangguk.

   "Baiklah, ibu harap jangan khawatir. Aku akan belajar dengan tekun sesuai dengan pesanmu"

   Setelah akhirnya ibunya naik kembali ke dalam kereta dan meninggalkan kuil, mau tidak mau Han Sin merasa seolah semangatnya ikut pergi bersama ibunya. Kini, ayahnya telah meninggal dunia dan ketika ibunya meninggalkannya, ia merasa kehilangan dan kesepian sekali. Akan tetapi dia mengeraskan hatinya, bahkan segera memutar tubuhnya menghadapi Tiong Gi Hwesio.

   "Suhu, harap perintahkan apa yang sekarang harus teecu lakukan"

   Hwesio itu tersenyum. Dia kagus melihat sikap anak ini. Akan tetapi, diapun maklum bahwa anak ini sebagai putera seorang panglima yang kabarnya berilmu tinggi, tentu sudah mendapat gemblengan dari ayah ibunya. Hwesio ini pun pernah mendengar bahwa ibu anak ini pun seorang yang pandai ilmu silat. Karena itu, dia sudah mengambil keputusan untuk tidak tergesa-gesa mengajarkan ilmu silat kepada anak ini, melainkan menggemblengnya agar dia memiliki dasar tenaga yang kuat dan terutama sekali melatih kesabaran dan menanamkan pelajaran agama kedalam batinnya sehingga kelak akan menjadi seorang yang budiman, tidak hanya mengandalkan kekerasan ilmu silat.

   "Hari ini pinceng antarkan ke kamarmu lebih dulu, setelah itu baru pinceng akan memberitahukan apa tugasmu setiap hari didalam kuil ini"

   Han Sin mendapatkan sebuah kamar tersendiri di dalam kuil itu, tidak seperti belasan murid lain yang tinggal didalam kamar bertiga atau berempat. Bagaimanapun juga, Tiong Gi Hwesio masih merasa sungkan kepada ibu anak itu, seorang penyumbang besar dan janda seorang panglima besar pula.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 02

   Setelah mendapatkan kamar, Han Sin lalu di beri tugas oleh Tiong Gi Hwesio. Tugas pekerjaan yang berat. Setiap hari dia harus mengisi bak-bak air, mencari kayu bakar, membelah kayu-kayu besar itu menjadi kayu bakar. Di waktu malamnya, dia diharuskan membaca kitab-kitab agama dan menghafalnya.

   Han Sin tidak menyangka sama sekali bahwa dia harus bekerja berat dikuil itu. Dan pekerjaan itu pun dilakukan dengan cara-cara yang seolah menyiksanya. Dia diharuskan memikul air dengan kedua kaki mengenakan bakiak (alsa kaki dari kayu) yang amat berat. Baru memakai bakiak itu saja dia sudah hampir tidak dapat berjalan dengan baik. Apalagi harus memikul air yang berat dan bergoyang-goyang. Dan pikulannya pun terbuat dari lidi bambu yang banyak diikat menjadi satu.

   Setelah dia mampu berjalan dengan bakiak memikul dua tong air yang penuh dengan baik, dengan langkah ringan dan cepat yang baru dapat dilakukan setelah dia bekerja lebih dari tiga bulan, batang-batang lidi itu dikurangi satu demi satu.

   Sudah setahun lamanya Han Sin berada di kuil dan belum juga dia dilatih ilmu silat oleh Tiong Gi Hwesio. Bahkan pekerjaannya pun semakin berat saja. Pada pikulannya di ikat dua potong besi yang beratnya tidak kurang dari sepuluh kilo dan dia diharuskan memikul air dengan tong air yang bocor. Setiap kali dia sampai di bak air, pikulannya sudah kosong karena airnya habis membocor dalam perjalanan dari sumber air ke bak air dibelakang kuil.

   Dia tidak boleh mengganti tong air. Terpaksa dia harus berjalan atau bahkan berlari secepat mungkin agar setibanya di bak air, tong itu belum habis sama sekali.

   Dalam waktu setahun, seringkali dia menjadi bahan tertawaan murid-murid yang lain yang tidak diharuskan bekerja berat seperti halnya Han Sin. Namun, biar mendapat perlakuan seperti itu, Han Sin tidak pernah mengeluh. Bahkan kepada ibunya yang hampir setiap bulan sekali datang menjenguknya, tidak ada sepatahpun kata keluhan atau aduan kepada ibunya. Han Sin sudah dapat mengendalikan perasaanya dan belajar untuk bersabar diri.

   Di waktu malam, seringkali Tiong Gi Hwesio datang kemarnya dan hwesio ini memberi petuah-petuah mengenai soal-soal kebatinan kepada anak itu. Ditekankan oleh hwesio itu agar Han Sin dapat menerima kenyataan, menerima keadaan dengan penuh kewaspadaan, menerima keadaan bukan berarti putus asa atau mengalah, melainkan penuh kepasrahan kepada kekuasaan Tuhan.

   "Setiap saat kau waspadalah terhadap segala perbuatanmu, gerak gerik semua anggota tubuhmu kalau sedang melakukan sesuatu. Juga jangan lengah untuk mengamati apa yang terjadi dengan hati dan pikiranmu. Kewaspadaan ini akan membuat kau mengenal benar siapa dirimu dan mengikuti semua ulah nafsu yang menguasai dirimu lahir batin. Hanya kewaspadaan yang menyeluruh ini yang akan membawamu ke dalam jalan kehidupan yang benar, Han Sin "

   Setiap kali menerima wejangan hwesio itu, tentu saja Han Sin merasa agak pusing. Ucapan hwesio itu terlalu dalam untuk pikiran seorang anak berusia sepuluh tahun. Akan tetapi setelah hwesio itu pergi meninggalkan kamarnya, Han Sin suka merenungkan semua itu sampai dia samar-samar dapat menangkap intinya. Makin dia mengerti, makin sabarlah dia dan kehidupan dikuil itu makin terasa ringan. Kejenakaannya yang menjadi watak dasarnya timbul kembali sehingga dia dapat bersenda gurau dengan murid-murid yang lain di dalam kuil itu.

   Karena pekerjaannya, Han Sin jadi dekat dengan Ho Beng Hwesio, tukang masak dikuil itu. Dalam pekerjaan membelah kayu bakar, mula-mula dia diberi sebuah kapak. Akan tetapi dia dilarang keras mengasah kapak itu. Tentu saja dalam setahun, kapak itu menjadi tumpul, tidak terasa oleh Han Sin dan dia tetap dapat sekali pukul membelah kayu yang besar. Ternyata ini pun merupakan latihan yang amat besar manfaatnya untuk menghimpun tenaga

   Ho Beng Hwesio seringkali melihat anak itu bekerja dan diluar tahunya Han Sin, seringkali dia mengangguk dan tersenyum. Kakek tua renta ini sudah tahu bahwa Han Sin adalah putera mendiang panglima Cian Kauw Cu. Terbayanglah dia akan masa lalunya, tiga puluh tahun yang lalu, ketika dia masih berjuluk Hek Liong Ong, dia menjadi guru Cian Kauw Cu (baca Sepasang Naga Lembah Iblis). Dan Cian Kauw Cu merupakan seorang murid yang baik sekali. Sama sekali tidak terpengaruh oleh wataknya yang ketika itu masih menjadi seorang datuk sesat yang kejam. Kemudian bahkan muridnya yang membujuknya membantu para pejuang, membantu Yang Chien menaklukkan Kerajaan Toba sehingga membangun Kerajaan Sui yang sekarang. Diapun mendengar bahwa muridnya itu telah gugur dalam perang, dan kini putera muridnya itu menjadi murid dalam kuil itu.

   Sudah dua tahun Han Sin berada di kuil itu. Pekerjaan berat yang sebetulnya merupakan latihan menghimpun tenaga itu membuat tubuhnya nampak semakin tegap. Dalam usianya yang dua belas tahun, Han Sin telah memiliki tenaga yang melebihi orang dewasa. Pada suatu hari ibunya datang menjenguknya. Seperti biasa, ibunya datang membawakan makanan yang enak-enak untuk puteranya. Setelah mereka bercakap-cakap melepaskan rindu, ibunya lalu bertanya "Han Sin, sampai dimana pelajaran ilmu silatmu?"

   "Ditanya begini, Han Sin menjadi bingng bagaimana untuk menjawab "Ah, biasa-biasa saja ibu"

   "Hari ini ibu ingin melihatnya. Berlatihlah dengan ilmu silat yang kaupelajari dari Tiong Gi Hwesio"

   Sekarang Han Sin tidak dapat menjawab lagi. Dia tidak tahu mau berbohong kepada ibunya, walaupun dia tidak ingin mengadu dan mengeluh.

   "Hayo, Han Sin, kenapa diam saja? Kau tidak malu kepada ibumu sendiri bukan? Ibu ingin melihat hasil latihan mu disini"

   Han Sin menghampiri ibunya dan memegang tangan ibunya. Dia amat sayang kepada ibunya dan tidak ingin mengecewakan hati ibunya.

   "Ibu, sebetulnya aku belum pernah berlatih silat disini, akan tetapi aku tidak kecewa, banyak mendapat pelajaran memperdalam sastra dan pengetahuan agama, juga banyak mendapat petuah dari suhu. Dan pekerjaan disini juga menyenangkan"

   Akan tetapi Ji Goat sudah marah sekali. Ia bangkit berdiri, memanggil seorang hwesio lalu berkata dengan suara dingin.

   "Tolong undang Tiong Gi Hwesio agar datang ke sini"

   Hwesio itu melihat sikap seorang yang tidak senang makan cepat ia pergi kedalam dan tak lama kemudian Tiong Gi Hwesio masuk ke dalam ruangan tamu itu.

   "Ah, Cian-toanio. Selamat pagi, toa-nio" kata Tiong Gi Hwesio dengan ramah dan hormat

   "Losuhu, apa yang terjadi disini? Aku minta kepada anakku untuk berlatih ilmu silat yang dia pelajari disini dan dia mengatakan bahwa dia belum pernah berlatih silat. Apa artinya ini, losuhu?"

   "Omitohud.... Han Sin tidak pernah mengeluh"

   "Suhu, teecu sama sekali bukan bermaksud mengeluh atau mengadu kepada ibu. Akan tetapi karena ibu minta teecu berlatih ilmu silat yang teecu pelajari disini, terpaksa teecu mengatakan terus terang"

   "Omitohud.... pinceng tidak menyalahkanmu, Han Sin, juga sama sekali tidak menyalahkan toa-nio" Dia lalu menghadapi nyonya itu dan mengangkat kedua tangan didepan dadanya.

   "Toa-nio, lupakan toanio ketika pertama kali membawa Han Sin ke sini, minta kepada pinceng untuk mengajarkan dasar-dasar ilmu silat yang dalam? Han Sin adalah putera mendiang Cian Ciangkun dan Cian-toanio yang pinceng tahu memiliki ilmu silat yang tinggi. Oleh karena itu, pinceng tekankan kepada latihan gerakan dasar yang membuat kaki tangannya ringan dan membangkitkan tenaga tubuh yang benar-benar kuat. Silahkan Toanio mengajaknya berlatih ilmu silat yang pernah dia pelajari dirumah dan toanio akan mengetahui kemajuannya"

   Jo Goat memandang kepada puteranya penuh perhatian. Ia masih belum melihat kemajuan itu, hanya harus mengakui bahwa tubuh puteranya menjadi semakin tegap.

   "Han Sin, mari kita berlatih Lo-hai-kun (Silat Pengacau Lautan) yang pernah kuajarkan kepadamu sebentar" katanya dengan nada memerintah.

   "Baik, ibu" kata Han Sin yang melihat bahwa ibunya marah dan dia mentaati untuk menghibur hati ibunya.

   Ibu dan anak itu memasang kuda-kuda, lalu ibunya berseru "jaga seranganku" dan iapun menyerang dengan ilmu silat itu. Han Sin bergerak dan keduanya, ibu dan anak itu terkejut. Ji goat melihat gerakan puteranya demikian ringan dan cepat. Juga Han Sin kaget sendiri melihat gerakannya dan sadarlah dia bahwa ini berkat latihan memikul air dengan tong bocor sehingga dia terpaksa berlari cepat.

   Ibunya mulai gembira dan menyerang dengan cepat. Han Sin menangkis "Dukkk" kembali keduanya terkejut. Tenaga tangkisan itu membuat Ji Goat merasa lengannya terguncang hebat, dan Han Sin juga merasakan betapa tenaganya mampu menolak tenaga ibunya yang biasanya dirasakan amat berat. Mereka berlatih semakin cepat dan ternyata Han Sin dapat mengimbangi permainan silat ibunya. Ji Goat lalu melompat ke belakang.

   "Cukup, Han Sin" katanya dan nyonya itu lalu memberi hormat kepada Tiong Gi Hwesio "Lo-suhu, maafkan saya. Baru sekarang saya mengerti apa yang lo-suhu maksudkan dan banyak terima kasih atas semua bantuan lo-suhu. Saya serahkan sepenuhnya kepada lo-suhu" Ji Goat memang merasa gembira bukan main, anaknya yang baru berusia dua belas tahun itu telah memperoleh kemajuan yang demikian pesatnya sehingga hampir dapat mengimbanginya dalam hal tenaga dan kecepatan.

   Nyonya janda itu pulang dengan hati gembira dan puas. Sebaliknya Han Sin juga menyadari bahwa semua pekerjaan berat yang diberikan Tiong Gi hwesio kepadanya, yang nampaknya seperti menyiksanya, sebenarnya merupakan latihan yang amat bermanfaat. Dia teringat betapa murid dikuil itu sering kali menertawakannya. Dan kini dia yang menertawakan mereka. Mereka itu hanya memperoleh ilmu sebagai kulitnya saja, tanpa mendapatkan inti dan isinya. Akan tetapi kalau begini terus, kapan dia akan memperoleh latihan ilmu silat?

   Malam itu terang bulan, setelah menghafalkan isi kitab agama, Han Sin duduk dalam kamarnya. Jendela kamarnya dia buka sehingga dia dapat menikmati keindahan malam terang bulan. Malam itu sunyi. Di luar nampak hijau kekuningan dan angin malam yang lembut bersilir, menggerakkan daun-daun pohon yang tumbuh diluar kamar jendelanya.

   Memandangi keindahan malam itu, Han Sin melamun. Nampak awan putih berarak diangkasa dan dibalik awan itu sinar bulan menciptakan keindahan di angkasa seolah angkasa menjadi sorga yang diceritakan dalam dongeng, Han Sin teringat kepada ayahnya. Apakah ayahnya berada dibalik awan-awan itu? Dia terkenang kepada ayahnya dan makin dalam tenggelam ke dalam lamunannya. Dia selalu membayangkan ayahnya sebagai orang yang paling gagah didunia. Dan diapun ingin kelak menjadi seperti ayahnya. Orang gagah yang menentang kejahatan, dan yang selalu ditakut musuh-musuhnya.

   Tiba-tiba dia melihat daun-daun pohon itu bergoyang agak keras, padahal angin tetap lembut seperti tadi. Dia seperti melihat bayangan dipohon. Han Sin bangkit berdiri dan menghampiri jendela agar dapat melihat lebih jelas. Setelah tiba ditepi jendela dia memandang dan benar saja, bayangan dipohon itu adalah seorang manusia yang tahu-tahu telah duduk di atas cabang pohon itu dan dia segera mengenal orang itu. Ho Beng Hwesio, tukang masak yang tua renta itu duduk di sana sambil tersenyum kepadanya. Hampir dia tidak dapat percaya. Bagaimana tahu-tahu hwesio tua itu telah berada di atas pohon?.

   "Ho Beng suhu"

   "Ssssttttt....... mari kau ikut denganku, nanti kita bicara. Maukah kau?" tanya hwesio tua itu dengan suara lirih.

   "Keluarlah dari jendela dan tutupkan daun jendela dari luar"

   Seperti dalam mimpi, Han Sin memenuhi permintaan hwesio tua itu meloncat keluar dari jendela dan menutupkan daun jendela. Hwesio tua itu meloncat turun dari atas cabang pohon, gerakannya demikian ringan seperti sehelai daun kering, kemudian memberi isyarat dengan gapaian tangan kepadanya untuk mengikuti.

   Han Sin meloncat kedepan, akan tetapi kakek itu juga bergerak cepat ke depan. Han Sin menjadi penasaran dan dia berlari secepatnya untuk mengejar. Namun dia tidak pernah dapat menyusul kakek itu. Jarak antara mereka masih tetap. Padahal kakek itu nampaknya seperti berjalan seenaknya saja. Ho Beng Hwesio terus membawanya menuju ke sumber air dilereng bukit di belakang kuil. Han Sin tetap membanyangi dan akhirnya kakek itu berhenti diatas sumber air dimana ada lapangan rumput. Tempat itu terang karena agak jauh dari pohon-pohon besar. Han Sin segera menghampirinya dengan perasaan kagum dan heran.

   "Ho Beng suhu, apa maksudmu mengajak aku ke sini?" tanya Han Sin. Dia sudah mengenal baik hwesio tukang masak ini karena beberapa hari sekali dia mendapat tugas membelah kayu bakar di dapur.

   "Han Sin, maukah kau belajar silat dariku? Aku pernah mempelajari beberapa macam ilmu silat. Kini aku sudah tua dan sebelum mati aku ingin meninggalkan semua ilmuku kepadamu "

   "Kenapa kepadaku, Ho Beng suhu?"

   "Karena kau seorang anak yang tekun, rajin dan tahan uji. Aku sudah melihat kau bekerja giat dan sabar selama dua tahun ini. Akan tetapi ada satu syaratnya kalau kau hendak belajar silat dariku"

   "Apa syaratnya, Ho Beng suhu?"

   "Syaratnya kau tidak boleh mengatakan kepada siapapun juga bahwa kau belajar silat dariku sehingga aku akan mengajarmu seperti sekarang ini, secara sembunyi di waktu malam. Sanggupkah kau memenuhi syarat itu?"

   "Aku sanggup. Akan tetapi kalau kau akan mengajarkan ilmu silat kepadaku, aku juga mempunyai syarat, yaitu, kau harus lebih dulu membuktikan bahwa kau lihai dan dapat mengalahkan aku. Bagaimana Ho Beng suhu?"

   "Bagus, memang kau tidak boleh percaya apapun sebelum membuktikan sendiri. Nah, sekarang seranglah aku dengan segala kepandaian dan kerahkan semua tenagamu"

   Dalam hatinya, Han Sin merasa tidak tega menyerang hwesio yang sudah tua renta ini. Bagaimana kalau pukulannya mengenai tubuh yang sudah nampak rapuh itu. Membuat tubuh itu terluka. Maka, tentu saja dia tidak ingin menyerang dengan sepenuh tenaganya.

   "Ho Beng suhu, jaga seranganku" katanya dan diapun menyerang mempergunakan sebagian saja dari tenaganya namun gerakannya cepat bukan main.

   Kakek itu melangkah dan memutar tubuh ke kira sehingga pukulan itu luput dan dari kiri tangannya mendorong tubuh Han Sin, dan dia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan roboh terpelanting.

   "Omitohud, kenapa kau membatasi tenagamu? Hayo serang lagi, kerahkan semua tenagamu dan pergunakan jurus silatmu yang paling hebat" tantang hwesio itu.

   Han Sin bangkit dan diam-diam terkejut dan penasaran. Begitu mudahnya dia dirobohkan. Kini dia menyerang lagi, menggunakan jurus Lo-hai-kun dan mengerahkan tenaga sepenuhnya.

   Hebat serangannya ini, akan tetapi sebelum tangannya yang memukul itu mengenai sasaran, kakek itu mengelebatkan tangannya dan seketika tangan Han Sin, yang memukul menjadi lumpuh. Dia menyusulkan tamparan dengan tangan kiri, akan tetapi dengan mudahnya kakek itu mengelak dan begitu tangan kiri Han Sin lewat, dia memutar tubuh mendorong pundak anak itu dan untuk kedua kalinya Han Sin terpelanting roboh.

   Kini yakinlah Han Sin bahwa kakek itu memang memiliki ilmu silat yang lihai sekali maka tanpa ragu lagi diapun menjatuhkan diri berlutut didepan tukang masak itu.

   "Teecu siap menerima petunjuk suhu"

   "Husshhh, lupakah kau akan syaratku tadi? Kau sama sekali tidak boleh bersikap begini kepadaku, tentu orang lain akan mengetahui. Bersikaplah biasa saja, jangan seperti seorang murid terhadap gurunya, mengerti?"

   "Han Sin bangkit lalu mengangguk" Aku...... aku mengerti, Ho Beng suhu" katanya dengan sikap dan nada suara biasa.

   "Bagus, nah, mari kita mulai. Perhatikan baik-baik dan tirulah gerakan jurusku ini"

   Mulailah Ho Beng Hwesio atau Hek Liong Ong Poa Yok Su mengajarkan ilmu silat tinggi kepada anak itu. Dia mengajarkan dengan sungguh-sungguh hati dan Han Sin yang maklum bahwa dia telah menemukan seorang guru yang pandai sekali juga belajar dengan tekun.

   Mulai malam itu, boleh dibilang setiap malam karena jarang sekali berhenti, Han Sin dilatih ilmu-ilmu silat oleh kakek itu.

   Mereka selalu bertemu dimalam hari, di atas sumber air itu. Di waktu siangnya, Ho Beng Hwesio bekerja di dapur seperti biasa, dan kadang Han Sin membelah kayu bakar di dapur dan sikap kedua orang itu sama lain nampak biasa saja. Selain ilmu silat, juga Ho Beng Hwesio mengajarkan cara bersemadi menghimpun tenaga sakti.
Dan pada siang harinya, Tiong Gi Hwesio yang pernah di tegur Ji Goat juga mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu silat siuw-lim-pai yang amat tangguh itu. Han Sin juga mempelajarinya dengan tekun karena dia telah diberitahu ibunya bahwa ilmu silat siauw-lim-pai adalah ilmu silat yang hebat, yang menjadi sumber dari aliran lain, karena ilmu silat siau-lim-pai mengandung pokok-pokok dasar gerakan ilmu silat pada umumnya.

   ***

   Sang waktu terbang dengan cepatnya. Kalau tidak diperhatikan, tahun-tahun lewat bagaikan berhari-hari saja. Sebaliknya, kalau kita memperhatikan waktu, sehari rasanya setahun. Tanpa disadari, sejak Han Sin di latih ilmu silat oleh Ho Beng Hwesio lima tahun telah lewat. Selama tujuh tahun Han Sin berada di kuil itu dan kini dia telah menjadi seorang pemuda berusia tujuh belas tahun. Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dan gagah. Wajahnya selalu cerah dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya. Matanya bersinar lembut, akan tetapi seperti mata Naga. Sikapnya tenang akan tetapi dia lincah jenaka, suka bergurau dan memandang dunia ini dari segi yang indah dan menggembirakan. Pelajaran agama dan sastra sudah ditekuni selama tujuh tahun dan pemuda ini memiliki pandangan yang luas akan kehidupan.

   Dia pun seorang yang patuh memegang janjinya. Dia merahasiakan tentang keadaan Ho Beng Hwesio, bahkan kepada ibunya sendiri rahasia itu tidak pernah diceritakan. Juga Tiong Gi hwesio sama sekali tidak pernah menduga bahwa muridnya yang paling pandai itu di samping ilmu-ilmu silat siaw-lim-pai yang di ajarkannya, juga mempelajari ilmu silat lain yang luar biasa dari seorang datuk persilatan yang namanya pernah tersohor di dunia kang"ouw.

   Setelah dia menjadi dewasa, barulah dia yakin benar akan manfaat pekerjaan kasar dan berat yang ditugaskan oleh Tiong Gi Hwesio kepadanya ketika dia masih kecil. Hasilnya terpetik plehnya setelah dia menjadi dewasa dan untuk itu dia merasa bersukur dan berterima kasih kepada ketua kuil itu.

   Pada suatu hari, pagi-pagi sekali, kuil siauw-lim-pai itu didatangi seorang tosu tinggi kurus berusia enam puluh tujuh tahun. Matanya sipit mencorong, tangan kiri memegang sebatang hud-tim dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat putih. Sikapnya tenang sekali dan karena pada hwesio penjaga dia menyatakan ingin bertemu dengan Tiong Gi hwesio, maka hwesio penjaga melapor ke dalam dan tak lama kemudian Tiong Gi Hwesio keluar menjumpai tosu itu. Mereka saling memberi hormat.

   "Siancai. Kalau pinto tidak salah duga, tentu losuhu ini yang bernama Tiong Gi hwesio dan menjadi ketua kuil siauw-lim-pai ini, bukan?" kata tosu itu dengan suaranya yang terdengar dingin namun sikapnya lembut.

   "Omitohud, dugaan to-yu memang tepat. Pinceng adalah Tiong Gi Hwesio yang bertugas memimpin dikuil ini. Tidak tahu siapakah to-tiang dan apakah keperluan to-tiang memberi kehormatan berkunjung ke kuil kami?"
"Pinto disebut orang Ngo Heng Thian Cu. Kalau tidak salah, di kuil ini terdapat seorang hwesio yang baru menjadi hwesio sekitar tujuh tahun lebih, mukanya hitam seperti arang. Benarkah ada hwesio itu, Tiong Gi hwesio?" Sepasang mata sipit itu memandang tajam penuh selidik.

   "Omitohud, mungkin to-yu maksudkan adalah Ho Beng Hwesio yang menjadi tukang masak kami. Benarkah dia yang to-yu maksudkan?"

   "Pinto tidak tahu nama barunya sebagai hwesio, akan tetapi pinto mengenalnya dengan baik sebelum dia menjadi hwesio. Bolehkah pinto bertemu dengan dia untuk melihat apakah dia orang yang pinto cari?"

   Kebetulan Han Sin berada pula di depan dan melihat pemuda itu, Tiong Gi hwesio lalu berkata kepadanya

   "Han Sin, coba panggil Ho Beng Hwesio untuk keluar sebentar. Katakan bahwa pinceng yang memanggilnya ke sini"

   "Baik, suhu" Han Sin segera masuk kedalam kuil, langsung menuju ke dapur. Di situ dia melihat Ho Beng Hwesio sedang menyalakan api dapur, agaknya hendak mulai dengan tugasnya sehari-hari, yaitu memasak.

   "Ho Beng suhu"

   "Eh Han Sin, ada keperluan apakah kau sepagi ini masuk ke dapur?" tegur Ho Beng Hwesio sambil tersenyum. Semua ilmu pilihannya telah di ajarkan kepada murid ini dan dia merasa puas karena Han Sin membuktikan bahwa dia seorang murid yang berbakat sekali. Semua ilmu itu telah dapat dikuasai dengan baik.

   "Suhu, ada seorang tamu yang ingin bertemu dengan suhu dan Tiong Gi suhu sekarang memanggil suhu untuk keluar menemuinya"

   Tiba-tiba sikap Ho Beng Hwesio berubah. Matanya yang sudah lebar itu terbelalak makin lebar. Mukanya yang hitam menjadi agak pucat dan dia nampak terkejut dan gelisah.

   "Tamu itu.......... dia seperti apakah? Bagaimana macamnya dan berapa usianya" tanyanya kepada Han Sin yang menjadi heran sekali melihat hwesio tua yang sakti itu nampak seperti orang yang ketakutan.

   "Dia seorang tosu, usianya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun. Orangnya tinggi kurus, matanya sipit mencorong"

   "Apakah dia memegang sebatang hud-tim dan sebatang tongkat putih?"

   "Benar sekali, suhu. Dan dia mengaku bernama Ngo Heng Thian Cu"

   "Aduh celaka. Aku... aku tidak mau membunuh dan di bunuh. Han Sin tolonglah aku. Katakan pada Tiong Gi hwesio bahwa aku sedang pergi berbelanja. Sudah, aku mau pergi dan jangan katakan kepada siapapun juga" kakek tua renta itu bergegas keluar dari dapur.

   Han Sin tertegun. Tidak mau membunuh dan dibunuh? Ada apakah diantara gurunya ini dan tosu itu? Dan mengapa orang sesakti Ho Beng Hwesio dapat bersikap ketakutan seperti itu? Dia mengejar keluar ke dapur, akan tetapi hwesio tua renta itu sudah lenyap dari situ, agaknya sudah melarikan diri entah kemana.

   Dengan perasaan heran sekali terpaksa Han Sin kembali ke ruangan depan dimana Tiong Gi hwesio sedang bercakap-cakap dengan tosu yang menjadi tamu. Mereka berdua memandang ketika Han Sin kembali ke ruangan itu, dan tosu itu mengerutkan alisnya melihat Han Sin datang seorang diri saja.

   "Han Sin, mana Ho Beng Hwesio? Kenapa tidak ikut denganmu?" tanya Tiong i hwesio.

   "Ho Beng suhu sedang pergi berbelanja, suhu, dia tidak berada di dapur" Han Sin terpaksa berbohong untuk memenuhi permintaan Ho Beng Hwesio.

   "Pergi berbelanja? Aneh sekali, biasanya bukan dia yang pergi berbelanja" Kata Tiong Gi hwesio.

   Mendengar ini, tosu yang berjuluk Ngo Heng Thian Cu itu nampak marah sekali "Keparat, Hek Liong Ong. Kembali kau dapat meloloskan diri dari tangan pinto" setelah berkata demikian, sekali meloncat tosu itu sudah pergi dari situ.

   Tiong Gi hwesio tertegun dan terbelalak "Hek Liong Ong? apa maksudnya......?"

   "Suhu, siapakah Hek Liong Ong itu? Han Sin bertanya, akan tetapi di dalam hatinya dia sudah dapat menduga. Tukang masak yang bernama Ho Beng Hwesio itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, dan mungkin saja dia seorang tokoh persilatan yang menyamar dan menyembunyikan diri di dalam kuil sebagai tukang masak.

   "Hek Liong Ong adalah nama julukan seorang datuk sesat yang terkenal sekali puluhan tahun yang lalu dan yang kemudian lenyap dari dunia kang-ouw. Mungkinkah dia"

   "Suhu, kalau begitu biarlah teecu menyusul Ho Beng suhu ke pasar kita, tentu dia berbelanja di sana. Akan teecu kabarkan kepadanya bahwa dia di cari oleh tosu tadi"

   "Sebaiknya begitu dan suruh dia cepat pulang, Han Sin" Kata Tiong Gi hwesio dengan khawatir.

   Han Sin segera pergi meninggalkan kuil. Akan tetapi dia tidak pergi ke kota raja, karena tidak mungkin Ho Beng Hwesio pergi ke sana. Kalau suhunya itu pergi untuk menyembunyikan diri, kiranya hanya satu tempat yang akan di datangi suhunya itu dan dia dapat menduga mana tempat itu. Tentu tempat itu tak jauh dari sumber air dimana mereka berdua biasanya berlatih silat di waktu malam. Maka dia lalu mengambil jalan memutar menuju ke bukit di belakang kuil.

   Dugaan Han Sin memang tidak keliru. Ketika mendengar bahwa ada seorang tosu berusia hampir tujuh puluh tahun, kurus tinggi dan memegang sebuah hud-tim dan sebatang tongkat putih, Ho Beng Hwesio segera pergi dengan segera. Kambuh pula rasa takutnya akan kematian karena dia maklum betapa lihai musuh yang kini mencarinya itu. Dia atau tosu itu yang akan mati kalau mereka bertemu dan perkelahian takkan dapat dielakkan lagi.

   Karena tidak ada tempat yang baik baginya untuk bersembunyi, maka dia lalu berlari menuju bukit di mana terdapat sumber air dan dimana biasanya dia melatih ilmu silat kepada Han Sin.

   Tempat ini cukup sunyi dan tersembunyi. Untuk sementara dia dapat bersembunyi di situ sampai keadaan aman dan dia dapat pergi mencari tempat lain yang jauh dari situ. Setelah ada musuh yang tahu bahwa dia bersembunyi di kuil itu sebagai seorang hwesio, tidak ada gunanya lagi menlanjutkan persembunyiannya di situ. Setelah tiba di lapangan rumput yang dikelilingi hutan kecil itu, dia duduk termenung.

   Ngo Heng Thian Cu? Dia ingat betul orang ini. Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, sebagai seorang diantara para datuk besar, dia bermusuhan dengan Thian Te iu Kwi (Setan Arak Langit Bumi) yang terkenal sebagai seorang datuk dari timur. Dia juga disebut sebagai Dewa Mabok, namun ilmu silatnya lihai sekali dan setingkat dengan kepandaian Hek Liong Ong. Beberapa kali terjadi bentrokan antara dia dan Thian Te Ciu Kwi, terutama sekali ketika dia membantu perjuangan Yang Chien, sedangkan Ciu kwi membantu Raja Julan Khan, Raja bangsa Toba yang berkuasa di Tiang-an. Dalam pertempurannya terakhir dengan Thian Te Ciu Kwi mereka berkelahi lagi dan dia berhasil melukai ciu kwi yang menjadi semakin benci dan dendam kepadanya. Dan Ngo Heng Thian Cu adalah murid yang paling lihai dari thain te ciu kwi.

   Bahkan kabarnya tingkat kepandaian Ngo Heng Thian Cu lebih tinggi dari tingkat kepandaian gurunya itu. Maka, kalau Ngo Heng Thian Cu kini mencarinya, tentu akan membalas kekalahan gurunya dan mengingat akan kelihaian orang itu, dia harus melawan mati-matian. Padahal kini dia telah tua dantenaganya sudah berkurang banyak sekali. Sebetulnya dia tidak takut menghadapi siapa pun juga, akan tetapi membayangkan kematian membuat dia kembali merasa ngeri. Sia-sia saja usahanya selama bertahun-tahun ini untuk menghilangkan rasa takut. Bukan lenyap, melainkan hanya mengendap saja. Dan sekarang begitu maut mengancamnya, kembali rasa takut itu timbul dan mencekam hatinya.

   " Hek Liong Ong..." tiba-tiba terdengar seruan yang mengejutkan hati Hek Liong Ong. Dia meloncat bangun dan memutar tubuhnya, menghadapi tosu itu dengan muka berubah pucat, akan tetapi segera dia tertawa dan keberaniannya timbul kembali karena dia memang tidak pernah takut menghadapi musuh.

   "Ha. ha. ha., Ngo Heng Thian Cu. Mau apa kau mencariku?"

   "Hemmmm, Hek Liong Ong, tujuh tahun yang lalu, kau mampu meloloskan diri dari Pulau Naga. Sekarang jangan harap akan dapat meloloskan diri lagi dari tangan pinto.

   Demi suhu Thian Te Ciu Kwi. Kau harus mati di tangan pinto"

   "Thian Te Ciu Kwi pengecut. Suruh dia datang sendiri menghadapi aku. Kenapa menyuruh kau mewakilinya?"

   "Suhu sudah meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu dan pesannya kepada pinto yang terakhir adalah mencari dan membunuhmu, Hek Liong Ong. Sarangmu di Pulau Naga sudah ku bakar, Semua anak buahmu sudah kubunuh. Sekarang tinggal kau yang harus mati di tangan pinto.

   "Haaaiiiiiiiiiiiiiiiiiiitttt" tiba-tiba tosu tinggi kurus itu sudah menerjang dengan dahsyatnya. Tongkatnya berubah menjadi sinar putih yang menyambar-nyambar.

   Hek Liong Ong meloncat kebelakang dan tangannya menyusup ke balik jubahnya dan dilain saat dia sudah memegang sebatang pedang terhunus, kiranya kakek ini ketika melarikan diri tadi sudah membawa pedang yang disembunyikan dibalik jubahnya.

   "Ngo Heng Thian Cu, akan kuantar kau menyusul arwah gurumu" bentaknya dan diapun maju menyambut serangan tosu itu dengan gerakan dahsyat pula.

   Terjadi perkelahian yang hebat dan seru. Biarpun dia sudah tua renta namun Hek Liong Ong masih mampu memainkan pedangnya dengan dahsyat. Kakek raksasa bermuka hitam ini memang tangguh sekali. Dan dalam usia mendekati seratus tahun itu tenaganya masih kuat sehingga pedang yang dimainkan ditangannya itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung.

   Akan tetapi lawannya juga tidak kalah hebatnya, biarpun dia murid Thian Te Ciu Kwi, namun tingkat kepandaiannya sudah melampaui tingkat gurunya sendiri. Hal ini dapat terjadi karena diapun mempelajari ilmu-ilmu silat dari aliran lain. Dan menghadapi Hek Liong Ong yang tangguh, Ngo Heng Thian Cu ini mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Ketika Han Sin tiba di tempat itu, kedua orang sakti itu telah bertanding. Han Sin terkejut melihat tosu yang tadi mengunjungi kuil itu menemukan gurunya dan mereka telah berkelahi dengan serunya. Dia tidak berani mencampuri dan hanya menonton sambil mengintai dari balik batang pohon. Dia melihat bahwa gurunya tidak kalah tangguh dan kedua orang itu saling serang dengan hebatnya.

   Suara berdentingan ketika pedang bertemu tongkat, diseling bentakan-bentakan mereka membuat suasana menjadi menegangkan sekali. Han Sin mengenal jurus-jurus maut dan sekali saja seorang diantara mereka kurang cepat mengelak dan menangkis, tentu akan roboh dan tewas. Hud-tim ditangan tosu itu lihai sekali, kadang dapat digunakan sebagai cambuk melecut, kadang menjadi kaku dan dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah, dipadu dengan tongkat itu menjadi sepasang senjata yang ampuh sekali. Akan tetapi, dia melihat gurunya juga menggerakkan pedang dengan cepatnya dan seringkali pedang itu merupakan ancaman maut bagi si tosu.

   Bagaimanapun juga, dalam adu kekuatan badan, usia juga ikut memegang peran penting sekali. Setelah lewat seratus jurus, nampaklah bahwa usianya merupakan kelemahan bagi Hek Liong Ong. Kekuatannya memang masih ada, akan tetapi daya tahannya yang merosot, napasnya mulai memburu dan keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, dengan sendirinya, setelah napasnya terengah-engah, tenaganya pun berkurang banyak dan dia hanya main mundur sambil menangkis saja.

   Hek Liong Ong adalah seorang yang keras hati dan tidak pernah mau mengaku kalah. Melihat keadaannya yang sudah payah, dia menggunakan tenaga terakhir untuk menyerang. Dia mengayun pedangnya ke atas danmembacok kearah kepala tosu itu. Ngo Heng Thian Cu yang melihat bahwa lawannya sudah mulai kehabisan napas, menggerakkan kebutannya dan bulu kebutan yang panjang itu menahan datangnya pedang. Melihat pedang itu sehingga tidak dapat digerakkan lagi. Hek Liong Ong terkejut dan penasaran. Dia menggunakan tangan kirinya membantu tangan kanan untuk merengut pedangnya dan membikin putus bulu kebutan yang melibat pedangnya. Dengan pengerahan tenaga, dia berhasil. Bulu kebutan itu putus, akan tetapi pada saat itu, tongkat putih di tangan kanan Ngo Heng Thian Cu bergerak meluncur menusuk ke arah dada Hek Liong Ong.

   Hek Liong Ong sedang mengerahkan tenaganya kepada kedua tangannya untuk merengut lepas pedangnya, maka dia tidak dapat lagi melindungi dadanya, tetap saja dia tidak akan mampu menahan tusukan cepat dan amat kuat itu.

   "Craaapp" tongkat putih yang terbuat dari pada baja yang amat kuat itu telah menembus dadanya. Mata Hek Liong Ong terbelalak dan pada saat itu, Ngo Heng Thian Cu menendang perutnya sehingga dia terjengkang roboh dan darah mengucur keluar dari luka di dadanya.

   "Kau.... tosu yang jahat dan kejam" terdengar bentakannyaring dan Han Sin sudah menerjang tosu itu dengan serangannya. Karena pemuda ini tidak membawa senjata, maka dia menyerang dengan tangan kosong. Tosu itu mengelak dengan loncatan ke samping.

   Han Sin menghadapinya dan menundingkan telunjuknya ke arah muka tosu itu.

   "Kau tosu jahat. Kau telah membunuh Ho Beng Hwesio yang tidak berdosa"

   "Ha-ha-ha" Ngo Heng Thian Cu tertawa ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya adalah pemuda murid Tiong Gi hwesio tadi.

   "Dia Ho Beng Hwesio yang tidak berdosa? Ha-ha-ha. Orang muda, agaknya kaupun kena ditipu olehnya. Ketahuilah, dia adalah Hek Liong Ong, seorang datuk sesat yang amat keji dan kejam. Entah sudah berapa ratus orang tewas ditangannya. Sudah bertahun-tahun pinto mencarinya dan dia dapat selalu menghindar. Tidak tahunya dia menyembunyikan diri dikuil dan menjadi hwesio.

   "Akan tetapi selama bertahun-tahun dia menjadi seorang hwesio yang tekun dan tak pernah berbuat dosa. Sekarang kau membunuhnya. Kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu ini" kembali Han Sin menerjang dengan pukulan-pukulannya.

   Menghadapi rangkaian serangan Han Sin, tosu itu dengan mudahnya mengelak ke sana sini, lalu melompat jauh kebelakang sambil berseru "pinto tidak mau bermusuhan dengan siauw-lim-pai. Pinto tidak dapat melayanimu lagi" dan diapun segera melarikan diri dengan amat cepatnya.

   😮

   

   Han Sin maklum bahwa tosu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Gurunya saja kalah dan tewas oleh tosu itu, apalagi dia. Kalau tosu itu tidak mau melayani, bukan karena takut kepadanya, melainkan takut menanam bibit permusuhan dengan siauw lim pai karena bagaimanapun dia murid Tiong Gi hwesio seorang tokoh Siauw lim pai.

   Dia lalu menghampiri jenazah Ho Beng Hwesio dan berlutut didekat jenazah. Ho Beng Hwesio memang sudah tewas, dadanya berlubang oleh tusukan tongkat putih. Kini Ho Beng Hwesio tidak perlu takut lagi menghadapi maut.

   Perasaan takut timbul karena permainan pikiran membayangkan hal-hal yang belum diketahuinya. Kalau hal yang tadinya ditakuti itu sudah tiba, maka rasa takutnya akan hal itupun lenyap, dan rasa takut itu muncul dalam membayangkan hal-hal lain lagi yang belum diketahuinya.

   Han Sin memondong jenazah itu, menuruni bukit dan kembali ke kuil. Tiong Gi hwesio dan para hwesio lain menyambutnya dengan kaget sekali melihat jenazah Ho Beng Hwesio, tukang masak yang sudah tujuh tahun berada di kuil itu dianggap sebagai seorang hwesio yang baik, tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik, bahkan taat sekali kepada ketua kuil. Ketika Han Sin menceritakan apa yang dikatakan Ngo Heng Thian Cu kepadanya tentang Ho Beng Hwesio, Tiong Gi hwesio menghela napas panjang dan menggeleng kepala.

   "Omitohud.... siapa mengira bahwa dia adalah Hek Liong Ong yang tersohor itu? Bagaimanapun juga, pada masa tuanya, dia sudah berusaha untuk bertaubat. Akan tetapi, biarpun demikian, masih saja dia dicari musuh-musuhnya. Demikianlah kehidupan di dunia kang ouw, adanya hanya dendam mendendam, balas membalas, bunuh membunuh. Setiap orang manusia tidak akan lolos dari jaring karmanya sendiri. Akan tetapi, disini dia telah membuktikan dirinya seorang yang baik dan tidak pernah melanggar, maka sudah sepatutnya kalau jenazahnya mendapat perawatan sebagaimana mestinya.

   Semua hwesio merasa setuju sekali, karena tidak ada seorangpun diantara mereka yang tidak menganggap Ho Beng Hwesio seorang yang baik hati. Akan tetapi hanya Han Sin seoranglah yang merasa amat berduka karena tanpa diketahui orang. Ho Beng Hwesio adalah gurunya selama lima tahun mengajarkan banyak ilmu silat yang tinggi kepadanya. Diapun tidak mempunyai gairah lagi untuk melanjutkan tinggal dikuil itu dan ketika ibunya datang menjenguknya, dia mengatakan hendak keluar dari kuil itu. Juga sekali ini, setelah Ho Beng Hwesio meninggal, kepada ibunya dengan terus terang dia membuka rahasia tentang dia belajar ilmu kepada Ho Beng Hwesio.

   "Ho Beng Hwesio itu siapakah?" tanya ibunya yang belum pernah bertemu dengan hwesio tukang masak itu.

   "Dia hwesio tukang masak disini, ibu, dan ternyata dia memiliki ilmu silat yang tinggi dan telah mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku dengan diam-diam karena dia tidak ingin diketahui orang lain bahwa dia memiliki kepandaian"

   "Aneh sekali orang itu. Aku ingin bertemu dan melihat orang yang telah mengajarkan ilmu silat kepadamu"

   "Tidak mungkin, ibu. Dia telah tewas belum lama ini"

   "Tewas? Mengapa?"

   "Tewas terbunuh oleh musuhnya yang amat lihai"

   Nyonya itu terbelalak "Ah, bagaimana terjadinya? Siapa dia sebenarnya dan apa yang telah terjadi di kuil itu, Han Sin?"

   "Ibu, selama lima tahun aku di ajar ilmu silat olehnya, akan tetapi selama itu aku tidak tahu sebenarnya siapa hwesio itu. Baru setalah kedatangan musuhnya itulah aku tahu bahwa suhu Ho Beng Hwesio itu sebetulnya dahulu berjuluk Hek Liong Ong"
"Hek Liong Ong...?" kini Ji Goat bangkit dari duduknya dan memandang kepada puteranya dengan mata terbelalak.

   "Hek Liong Ong Poa Yok Su menjadi Ho Beng Hwesio di kuil Siauw lim si?"

   "Ibu mengenalnya?"

   "Mengenal Hek Liong Ong? Tentu saja aku mengenalnya karena dia dahulu juga membantu perjuangan dan membantu berdirinya Kerajaan Sui. Bahkan lebih dari itu, dia adalah seorang diantara guru-guru dari mendiang ayahmu"

   Kini Han Sin tertegun "Ah, kiranya guru mendiang ayah? Pantas dia mengajarkan ilmu kepadaku, walaupun secara sembunyi-sembunyi dan tidak mengajarkannya kepada orang lain"

   "Akan tetapi bagaimana dia sampai tewas ditangan musuhnya? Siapakah musuhnya itu dan bagaimana terjadinya?"

   Han Sin lalu menceritakan tentang kedatangan tosu tinggi kurus yang bernama Ngo Heng Thian Cu itu dan betapa Ho Beng Hwesio segera melarikan diri ketika mendengar bahwa dia dicari tosu itu.

   "Aku menduga bahwa suhu tentu sembunyi di tempat dimana biasanya dia mengajarkan silat kepadaku dan ternyata dia memang berada di sana, akan tetapi Ngo Heng Thian Cu juga menemukan tempat persembunyiannya itu. Aku melihat mereka berkelahi dengan hebatnya dan akhirnya suhu roboh setelah pertandingan yang amat lama dan seru. Aku mencoba untuk menyerang tosu itu akan tetapi dia menghindar dan mengatakan bahwa dia tidak mau bermusuhan dengan siauw lim pai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa aku adalah murid Ho Beng Hwesio dan menganggap aku murid siauw lim pai. Ibu, apakah ibu juga mengenal Ngo Heng Thian Cu?"

   Ji Goat menghela napas panjang, mengenang semua kejadian masa lalu, ketika dia bersama mendiang suaminya, Cian Kuaw Cu, membantu Yang Chien berjuang menumbangkan kekuasaan Kerajaan Toba.

   "Ngo Heng Thian Cu? Hemmm, kalau aku tidak salah ingat, dia itu adalah murid Thain te ciu kwi. Dahulu Thian Te Ciu Kwi membantu Kerajaan Toba sehingga tentu saja bermusuhan dengan Hek Liong Ong yang membantu perjuangan rakyat yang memberontak terhadap Kerajaan Toba. Akan tetapi aku tidak mengira bahwa Thian Te Ciu Kwi menyuruh muridnya untuk menyerang dan membunuh Hek Liong Ong"

   "Ibu, apakah Hek Liong Ong itu dahulunya seorang datuk sesat yang banyak melakukan kejahatan?"

   "Semua datuk dan tokoh sesat di dunia kang ouw tidak segan melakukan kejahatan, anakku. Mereka tidak mengenal apa yang dinamakan kejahatan. Bagi mereka itu, mereka hanya melakukan segala kehendak hati mereka kalau perlu melalui kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Karena itu, tentu saja Hek Liong Ong sudah banyak melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran"

   Han Sin menghela napas panjang "Hemmmm benar saja dia seorang jahat yang kemudian hendak bertaubat menebus dosa dengan menjadi seorang hwesio"

   "Atau boleh jadi dia menjadi hwesio untuk menyembunyikan dirinya agar lolos dari ancaman musuh-musuhnya. Setelah menjadi tua dan merasa lemah, mungkin Hek Liong Ong lalu menjadi ketakutan. Dia dahulu memang seorang yang berhati keras dan kejam, dan karena itulah maka mendiang ayahmu tidak lama menjadi muridnya"

   "Ibu, apakah sebagai murid suhu Ho Beng Hwesio aku tidak berkewajiban untuk menuntut balas atas kematiannya?"
"Han Sin, Hek Liong Ong itu tidak mati penasaran. Permusuhannya dengan Ngo Heng Thian Cu adalah permusuhan antara orang-orang kang ouw dan kedua pihak memang terkenal sebagai golongan sesat. Kau tidak perlu melibatkan dirimu. Yang terpenting bagimu adalah membalaskan kematian ayahmu. Ayahmu tewas secara penasaran, bukan gugur dalam perang akan tetapi terbunuh oleh pembunuh gelap secara curang dari belakang"

   "Akan tetapi kita tidak tahu siapa yang membunuhnya, bagaimana aku dapat mencarinya, ibu?"

   "Memang tidak mungkin mencari pembunuhnya karena pembunuhan itu terjadi dalam pertempuran dan tidak ada yang melihatnya. Akan tetapi ada satu hal yang akan membawamu kepada pembunuh ayahmu. Han Sin, yaitu Pedang Naga Hitam milik ayahmu. Pedang itu telah lenyap ketika ayahmu terbunuh. Maka pencuri pedang itu tentu pembunuh ayahmu. Jadi yang kau cari bukan bukan pembunuhnya melainkan pedangnya. Kalau pedang itu dapat kau temukan, tentu pembunuh ayahmu dapat kau temukan pula.

   Pedang Naga Hitam tidak ada keduanya di dunia ini, tentu akan dapat kau kenal.
Ibu itu lalu menceritakan dengan jelas ciri-ciri pedang pusaka milik mendiang suaminya itu.

   "Kalau begitu aku akan segera pergi menyelidikinya dan mencari pedang itu, ibu"

   "Tidak, sebelum kau mempelajari ilmu silat yang diwariskan ayahmu kepadamu, Han Sin" Ji Goat mengeluarkan kitab tulisan Kaisar Yang Chien yang menuliskannya dan menggambarkan ilmu silat Bu Tek Cin Keng.

   "Ilmu ini di sebut Bu Tek Cin Keng. Ilmu ini, ditemukan ayahmu dan Kaisar Yang Chien. Karena Kaisar Yang Chien berpendapat bahwa ayahmu yang lebih berhak, maka beliau menuliskan ilmu itu dalam kitab ini agar dapat diwariskan kepadamu. Kaisar tidak mengajarkan ilmu ini kepada orang lain, bahkan kepada para putera puterinya juga tidak.

   Karena itu, sebelum kau pergi mencari pedang dan pembunuh ayahmu, kau harus mempelajari dulu ilmu ini sampai dapat kau kuasai dengan sempurna.

   Han Sin adalah seorang anak yang patuh kepada orang tuanya. Apalagi ayahnya telah tiada, hanya tinggal ibunya. Maka dia selalu berusaha untuk membikin senang hati ibunya.

   Di samping itu, dia memang suka sekali mempelajari ilmu silat, maka ketika menerima kitab Bu Tek Cin Keng itu dia segera mempelajarinya dengan tekun. Ketika dia mendapat kenyataan bahwa kitab itu amat sulit dipelajari, hal ini bahkan menambah semangatnya untuk mempelajarinya. Kesulitan itu merupakan tantangan baginya.

   Ternyata kemudian bahwa semakin dia mendalami pelajaran ilmu Bu Tek Cin Keng, semakin sukar. Han Sin harus berlatih dengan pencurahan perhatian sepenuhnya. Kaisar Yang Chien memang telah berusaha dengan sungguh-sungguh agar ilmu itu dapat diwariskan kepada putera Cian Kauw Cu, maka dia menggambarkan ilmu itu dengan jelas. Juga cara melatih diri menghimpun tenaga sakti dalam ilmu itu ditulisnya dengan jelas dan teratur. Sedikit demi sedikit Han Sin mulai dapat menguasai ilmu itu. Dia tidak mengenal lelah, siang malam mempelajari ilmu itu dan dipraktekkannya dalam latihan. Ibunya senang sekali melihat ketekunan puteranya dan selalu memberi dorongan.

   Setelah tiga tahun lamanya Han Sin mempelajari ilmu Bu Tek Cin Keng dengan penuh semangat, barulah dia berhasil menguasai ilmu yang sukar itu. Dengan dikuasai ilmu yang hebat itu, Han Sin memperoleh kemajuan pesat sekali, terutama dalam hal kecepatan gerakan dan tenaga sakti. Dan kini telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahunan yang amat lihai.

   Pada suatu hari, Ji Goat menonton puteranya latihan. Melihat pemuda itu bersilat dengan tangan kosong dengan gerakan yang amat ringan dan tenaga kedua tangannya itu mendatangkan angin yang membuat rambutnya tertiup angin dan pakaiannya berkibar, nyonya ini merasa gembira bukan main. Kini tingkat kepandaian puteranya sudah lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang ayah pemuda itu. Kemudian ia minta kepada puteranya untuk bersilat dengan menggunakan senjata pedang dan ia semakin kagum. Pedang biasa yang dimainkan Han Sin itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata, mengeluarkan suara berdesing-desing.

   Selagi ibu itu mengagumi ilmu silat puteranya, tiba-tiba seorang pembantu rumah tangga pria berlari-lari menghampiri mereka"Nyonya... Nyonya....... ada berita buruk" katanya dengan gugup.

   Han Sin menghentikan permainan pedangnya dan bersama ibunya dia memandang kepada pelayan it. Ji Goat juga merasa tidak senang dengan adanya gangguan ini "A-seng" tegurnya "Ada apakah kau berlari-lari dan nampak bingung seperti itu?"

   "Berita buruk Nyonya. Sri baginada Kaisar.......... telah meninggal dunia....
Mendengar berita ini tentu saja Ji Goat dan Han Sin menjadi terkejut sekali. Mereka memang telah mendengar bahwa Sri ibaginda Kaisar Yang Chien menderita sakit. Akan tetapi tidak mereka sangka akan meninggal secepat itu.

   "Ahhhh" Nyonya itu menjatuhkan diri duduk di atas bangku dalam ruangan berlatih silat itu. Ia ingat akan semua pengalamannya diwaktu muda, ketika Kaisar Yang Chien belum menjadi Kaisar, melainkan menjadi sahabat baik dari suaminya. Tak terasa lagi air matanya mengalir ke atas kedua pipinya.

   "Aihhhh, Sepasang Naga Lembah Iblis kini telah tiada" katanya kemudian.

   "Ibu, Sri baginda Kaisar adalah seorang kaisar yang bijaksana dan dicintai rakyat jelata, dan lalu meninggal dunia dengan wajar, karena sakit. Kurasa tidak ada yang perlu di buat duka dan sesal"

   "Kau benar, Sri baginda kaisar meninggal dunia dengan wajar walaupun usianya belum tua benar. Berbeda dengan ayahmu yang meninggal dunia dengan penasaran" Kata Ji Goat.

   Ibu dan anak ini segera berganti pakaian berkabung dan siap untuk pergi melayat ke istana, sebagai istri panglima tinggi dan sahabat kaisar, memang selayaknya kalau nyonya ini pergi melayat.

   Kaisar Yang Chien, Kaisar yang dahulunya merupakan seorang jagoan, pemimpin rakyat yang berhasil menumbangkan kekuasaan Kerajaan Toba dan pendiri Kerajaan Sui, telah meninggal dunia dalam usia yang belum tua benar, baru sekitar enampuluh dua tahun. Menurut berita desas desus, Kaisar Yang Chien sakit-sakitan karena merasa kecewa dan berduka melihat bahwa diantara putera-puteranya tidak ada yang menuruni semangat dan kebijaksanaanya. Pangerang Yang Ti, puteranya yang diangkat menjadi putera mahkota, memang cukup bersemangat, akan tetapi kurang meiliki kebijaksanaan dan bahkan menunjukkan gejala suka menggunakan kekerasan dan suka pula kemewahan.

   Sebelum dia meninggal, dia sempat berpesan kepada Pangeran Yang Ti agar memperhatikan nasib rakyat dan berusaha keras mensejahterakan kehidupan rakyat seperti yang telah dilakukannya. Sambil menangis, pangeran mahkota yang usianya sudah tigapuluh delapan tahun itu menyanggupi untuk melaksanakan pesan ayahnya.

   Setelah Kaisar Yang Chien wafat, maka Pangerang Yang Ti diangkat menjadi penggantinya. Setelah Yang Ti menjadi Kaisar, nampaklah dia bahwa meneruskan usaha yang dirintis ayahnya. Terusan"terusan yang menghubungkan Huang-ho dan Yang-ce diperluas, sampai ke Hang-couw. Nampaknya dia bekerja keras untuk melanjutkan cita-cita ayahnya sehingga rakyat jelata merasa senang.

   Pada permulaan pemerintahannya, tidak ada tanda-tanda bahwa Kaisar Yang Ti kelak akan menjadi seorang yang gila perang dan memboroskan uang negara untuk membangun istana-istana yang megah. Juga dia mengangkat banyak panglima dan pejabat tinggi, memilh diantara orang-orang yang sudah berhubungan akrab dengannya ketika dia masih menjadi seorang pangeran.

   Pejabat-pejabat tua yang setia kepada ayahnya dihentikan dan dipensiun. Perubahan ini menimpa diri Ji Goat. Kalau dulu diwaktu kaisar Yang Chien masih hidup, Kaisar itu itu membiarkan janda sahabatnya ini mendiami gedung yang ditempati Panglima besar itu. Setelah Kaisar Yang Ti yang berkuasa, gedung itu diminta kembali untuk ditempati panglima yang baru diangkat dan terpaksa janda bersama puteranya untuk pindah. Sejak kecilnya Ji Goat yang dahulunya puteri Perdana Menteri Kerajaan Toba tinggal dalam istana indah. Kini ia harus meninggalkan gedung yang ditempatinya semenjak suaminya menjadi panglima besar.

   Ji Goat sudah tidak betah lagi tinggal di kota raja, dimana terdapat banyak kenangan tentang suaminya, hal yang sering kali membuat ia termenung dan tenggelam dalam kesedihan. Maka ia lalu mengajak puteranya meninggalkan kota raja. Semua barang milik mereka pribadi mereka jual, semua pembantu rumah tangga mereka suruh pulang dan akhirnya mereka mencari tempat tinggal di sebuah dusun diluar kota raja, dekat kuil siauw lim si.

   Ji Goat kembali membeli sebidang tanah, mendirikan sebuah rumah sederhana dan bekerja di kebun yang ditanami dengan sayur-sayuran dan buah-buahan. Ia merasa lebih tenang dan tentram tinggal ditempat sunyi ini.

   Dan sebulan setelah mereka pindah ke dusun itu, Ji Goat lalu minta kepada puteranya untuk mulai dengan tugasnya, yaitu mencari Pedang Naga Hitam untuk mengetahui siapa pembunuh suaminya.

   "Akan tetapi ibu tinggal di sini seorang diri" kata Han Sin yang merasa kasihan kepada ibunya "Mengapa ibu tidak memakai tenaga bantuan orang lain sebagai pelayan dan juga teman? Siapa yang akan menjaga ibu kalau aku harus pergi sekarang?"

   "Han Sin, jangan bersikap cengeng" kata ibunya dengan tegas"Ibumu bukanlah seorang wanita lemah. Aku dapat menjaga dan melindungi diriku sendiri. Aku masih kuat. Dan tentang pembantu, kalau aku memerlukan kelak, tentu bisa kudapatkan tenaga dari penduduk dusin ini. Berangkatlah dan jangan mengkhawatirkan keadaan ibumu"

   "Akan tetapi, karena aku akan mencari pencuri pedang yang tidak ada jejaknya, mungkin tugas ini akan memakan waktu lama sekali sebelum aku menemukannya, ibu"

   "Jangan gentar menghadapi kesukaran, anakku. Kau sudah dewasa dan baru saja selesai mempelajari banyak ilmu silat. Bekal untuk menjaga dirimu sudah cukup kuat daripada ibu atau ayahmu sendiri diwaktu muda. Kau perlu meluaskan pengalaman hidupmu. Hanya pesanku, berhati-hatilah menjaga dirimu sendiri, bukan hanya terhadap gangguan dari luar, melainkan terutama sekali menghadapi gangguan dari dalam. Jangan membiarkan dirimu dikuasai nafsu-nafsu sendiri yang akan menyeretmu ke dalam tindakan yang menyimpang dari kebenaran. Ibu yakin semua ini sudah kau pelajari dari Tiong Gi hwesio selama kau berada dikuil siauw-lim-si

   Han Sin menangguk "Semua pesan ibu akan aku taati. Jangan khawatir, ibu. Aku dapat menjaga diri baik"baik. Paling lama tiga tahun, berhasil ataukah tidak mencari Pedang Naga Hitam, aku pasti akan pulang, ibu"

   Demikianlah, setelah menerima banyak nasehat dengan membawa bekal emas secukupnya yang diberikan Ji Goat, Han Sin berangkat meninggalkan dusun itu.

   ***

   Sudah lazim bahwa orang yang ditinggalkan seseorang yang dikasihinya akan merasa kesepian dan kehilangan. Demikian pula Ji Goat, nyonya janda itu, begitu Han Sin pergi, ia tidak dapat menahan dirinya lagi dan menangis seorang diri di dalam rumahnya. Ia merasa semangatnya terbang pergi mengikuti puteranya. Akan tetapi, nyonya yang gagah ini akhirnya dapat menekan kesedihan hatinya dan melawannya dengan harapan bahwa puteranya akan berhasil menemukan pedang suaminya dan berhasil pula membalasa dendam kematian suaminya.

   Harapan ini dapat menghibur hatinya. Duka memang datang atau lahir dari pikiran yang merasa iba kepada diri sendiri, karena di tinggalkan. Pikiran ini menguyah-nguyah keadaan dirinya itu, seperti meremas"remas perasaan hatinya sendiri penuh iba diri dan timbulah duka. Kemudian pikiran yang itu juga menciptakan harapan-harapan yang menjadi pegangannya dan harapan ini menjadi penolongnya sehingga ia dapat melupakan kedukaannya. Ia tidak tahu bahwa justru harapan ini yang kelak akan mendatangkan kekecewaan dan duka baru kalau tidak terlaksana seperti yang diharapkannya. Manusia selalu diombang"ambingkan dan dipermainkan oleh pikirannya sendiri.

   Berbeda dengan orang yang di tinggalkan, orang yang meninggalkan tidak terlalu di cekam rasa kesepian atau kehilangan. Hal ini adalah karena yang meninggalkan menghadapi hal-hal baru, pengalaman"pengalaman baru sehingga perhatiannya selalu tertuju ke depan.

   Han Sin juga tidak mengalami rasa duka seperti ibunya yang di tinggalkannya, bahkan dia merasa gembira, merasa bebas lepas seperti seekor burung di udara.
Dia boleh pergi kemana saja dia suka, boleh berbuat apa saja yang dikehendakinya. Boleh memutuskan segala hal menurut kehendaknya sendiri. Dia baru sekali ini merasakan sebagai seorang manusia yang utuh, majikan dari dirinya sendiri, tanpa kekangan.

   Ibunya benar, pikirnya. Dia harus meluaskan pengalaman dalam hidup ini agar tidak menjadi seperti seekor katak dalam tempurung.

   Pemuda itu tersenyum seorang diri. Seorang pemuda berusia duapuluh tahun yang tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang hitam lebat itu diikatkan dengan kain sutera kuning. Dahinya lebar, sepasang alis hitam tebal berbentuk golok. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum manis. Sepasang matanya bersinar lembut, selalu berseri karena dia memang pada dasarnya seorang pemuda yang berwatak riang gembira. Dagunya yang berlekuk itu membayangkan kejantanan walaupun pandang mata yang lembut, mulut yang tersenyum dan sikap yang sederhana itu membayangkan kerendahan dan kelembutan hati. Memang Han Sin bersikap sederhana, sama sekali tidak ada bekas-bekasnya sebagai putera seorang panglima besar. Dia lebih mirip seorang pemuda dusun yang terpelajar, seorang pemuda sastrawan misikin dari dusun. Pakainnya juga sederhana dan ringkas. Buntalan di punggungnya dari sutera kuning juga tidak terlalu besar karena dia hanya menyimpan beberapa stel pakaian dalam bungkusan itu. Sama sekali dia tidak membawa senjata. Bagi Han Sin yang sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, kaki tangannya sudah merupakan senjata yang ampuh dan segala macam benda dapat saja dia pergunakan sebagai senjata tambahan, maka dia tidak memerlukan senjata sebagai bekal. Hal ini pun di nasehatkan oleh ibunya. Kalau dia tidak membawa senjata, maka tidak ada yang akan tahu bahwa dia seorang ahli silat yang tangguh dan hal ini menjauhkan gangguan.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 03

   Sudah lazim di dunia kang ouw bahwa orang yang membawa-bawa senjata akan mudah bertemu lawan yang ingin mengujinya. Beberapa potong emas yang dia terima dari ibunya, di taruh di dalam buntalan.

   Han Sin ingin tertawa kalau teringat akan nasihat ibunya. Ibunya berpesan kepadanya bahwa kalau sampai dia kehabisan bekal di dalam perjalanan, dia boleh saja mengambil uang itu dari rumah seorang hartawan atau bangsawan.

   "Akan tetapi ingat, kau mencuri uang bukan untuk bersenang-senang, melainkan hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dan janganlah sekali-kali membikin susah orang yang uangnya kau curi. Seorang hartawan besar tidak akan merasa kehilangan kalau kau ambil uangnya sedikit. Jangan ganggu orang yang hanya memiliki sedikit harta atau kau boleh merampas harta para perampok"

   Ibunya mengajarkan dia untuk mencuri. Dia tidak akan melakukan itu, kalau tidak amat sangat terpaksa. Dia sendiri sedang mencari seorang pencuri pedang. Bagaimana sekarang dapat menjadi pencuri uang? Akan tetapi dia maklum apa yang dipesankan oleh ibunya itu.

   Han Sin melakukan perjalanan kejurusan timur dan dia sudah mendengar bahwa kalau dia terus ke timur, sampai di sungai kuning dia akan tiba di kota Lok-yang. Dia bermaksud pergi ke Lok-yang dan dari sana dia baru akan mebelok ke utara dan barat menyusuri Sungai Kuning. Tujuannya adalah ke Shansi. Karena di daerah Shansi itulah ayahnya tewas ketika pasukan yang dipimpin ayahnya bertempur melawan pasukan musuh dari utara.

   Ketika malam tiba, Han Sin bermalam di sebuah dusun. Seorang petani menawarkan rumahnya untuk dia tinggal semalam itu, Pertemuan itu terjadi di ladang pada sore hari itu ketika Han Sin menuruni bukit dan menghampiri dusun yang tadi nampak dari atas bukit. Dia melihat seorang petani masih mencangkul ladangnya pada senja yang telah mulai gelap itu. Timbul perasaan iba dihatinya. Petani itu rajin sekali, pikirnya dan tentu seorang petani miskin yang terpaksa bekerja keras untuk mencukupi penghasilannya.

   "Selamat sore, Paman. Wah, paman rajin sekali, hari sudah hampir gelap masih bekerja diladang" tegur Han Sin ramah sambil duduk di tepi ladang itu di atas akar-akar pohon yang menonjol.

   "Selamat sore, kongcu (tuan muda). Ah, rajin sih tidak, melainkan terpaksa karena saya hanyalah buruh tani. Ladang ini bukan milik saya sendiri, melainkan milik tuan tanah dan kalau saya tidak bekerja keras, upah saya tentu tidak cukup untuk biaya hidup"

   Han Sin menghela napas panjang, lagu lama yang di dengarnya ini. Sayang ladang yang luas dimiliki oleh para tuan tanah dan petani seperti orang ini hanya hidup sebagai buruh tani dengan upah yang sedikit. Tak sepadan dengan keringat mereka yang menetes"netes ketika bekerja keras.

   "Ah, tidak. Saya hidup sebatangkara, tidak berani berkeluarga karena penghasilanku kecil. Untuk diri saya sendiri saja hampir tidak cukup, hanya untuk sekedar makan dan pakaian yang sederhana" Petani itu sudah merasa lelah dan mendengar ada orang begitu menaruh perhatian kepada dirinya, dia lalu duduk di atas pematang swah di dekat Han Sin.

   "Sungguh sayang sekali tuan-tuan tanah itu tidak dapat menghargai jasamu yang besar, paman"

   "Ah, kongcu. Saya hanya pekerja tani, mencangkul dan menanam lalu menuai, yang memiliki tanah adalah mereka, mana dapat dikatakan jasaku besar?"

   "Paman, kalau tidak ada orang-orang tani seperti paman ini, bagaimana orang-orang seperti saya dan semua orang yang tinggal di kota dapat makan?. Setiap tetes keringat paman yang membasahi tanah dan menjadi pupuk bagi tanaman, amatlah berharga. Pekerjaan paman adalah pekerjaan yang paling mulia, namun sayangnya semua orang melupakannya bahkan memandang rendah kaum petani. Bahkan para tuan tanah memeras tenaga kalian. Sungguh menyedihkan"

   "Akan tetapi kami sudah biasa hidup begini, kongcu"

   "Bahagiakah hidupmu, paman?"

   Petani itu memandang dengan mata penuh mengandung pertanyaan, kemudian dia bertanya,

   "Kongcu, kebahagiaan itu apakah yang dinamakan bahagia itu bagaimanakah?"

   Di tanya begini, Han Sin tertegun. Apa sih kebahagiaan itu? Apakah dia sendiri juga bahagia? Pernahkah dia merasa bagagia? Dia sendiri tidak tahu maka diapun menjawab asal saja, keluar dari pendapat pikirannya" Bahagia itu.... kalau paman merasa senang dan puas dengan keadaan hidup paman, tidak pernah merasa susah"

   "Ah, begitukah? Kalau begitu aku tidak butuh bahagia itu. Asalkan aku menerima upah, dapat membeli makanan dan pakaian, sudah senanglah hatiku. Aku tidak menginginkan apa-apa juga tidak membutuhkan kebahagiaan itu"

   Han Sin kembali tertegun. Tidak butuh bahagia? Dan bagaimana mencari kebahagiaan itu? Kemana mencarinya dan bagaimana akan dapat mengenalnya kalau dia belum pernah merasakan? Teringatlah dia akan wejangan Tiong Gi hwesio tentang kebahagiaan.

   Han Sin bangkit dan wajahnya berseri "Kalau begitu kau seorang yang berbahagia, paman. Kau berbahagia"

   Petani itu memandang heran kepada pemuda yang bergembira itu dan agaknya dia menyangsikan apakah pemuda didepannya itu waras ataukah tidak.

   "Aku? Berbahagia? Entahlah, aku tidak butuh bahagia. Akan tetapi kongcu ini orang dari manakah? Dan apa yang kongcu cari di sini?"

   "Aku seorang perantau yang kebetulan lewat disini dan kemalaman, paman. Aku mencari rumah penginapan untuk dapat melewatkan malam ini"

   "Wah, di dusun kami tidak ada rumah penginapan, kongcu"

   "Kalau begitu aku akan mencari kuil atau rumah kosong untuk melewatkan malam ini"

   "Kuil juga tidak ada, apa pula rumah kosong. Akan tetapi kalau kongcu mau, boleh kongcu menginap di rumah saya yang buruk. Saya hanya tinggal seorang diri di rumah itu"

   Han Sin tersenyum girang "Ah, kau baik sekali paman. Tentu saja aku suka tinggal dirumah paman"

   "Kalau begitu, mari kita pulang" Petani itu mencuci kaki tangannya dengan air saluran yang terdapat didekat ladangnya, kemudian memanggul cangkulnya dan mengajak Han Sin pulang ke rumahnya yang berada di tepi dusun itu.

   Rumah itu memang sederhana sekali, akan tetapi lumayan lah untuk melewatkan malam, dari pada berada di tempat terbuka. Ada pula sebuah meja dan dua buah kursinya terbuat dari kayu secara kasar. Tidak mempunyai perabot lain, akan tetapi ada sebuah tempat tidur yang kecil dan isinya hanya sebuah dipan kayu sederhana.

   "Silahkan duduk, kongcu. Beginilah tempat tinggalku, akan tetapi bagiku amat menyenangkan" Petani itu lalu menyalakan penerangan.

   Han Sin menghela napas. Betapa pun misikinnya keadaan seseorang, kalau orang itu tidak mengeluh dan dapat menerima dengan hati jauh dari pada iri, keadaan itu tetap akan mendatangkan perasaan senang. Jadi jelaslah dia akan satu hal, yaitu bahwa kebahagiaan bukan terdapat di dalam kekayaan harta benda. Dan diapun mengerti mengapa ibunya sama sekali tidak berduka, bahkan nampak gembira setelah pindah ke rumah sederhana di susun, padahal tadinya mereka tinggal disebuah gedung besar menyerupai sebuah istana kecil di kota raja. Dia mengerti kini akan makna wejangan gurunya bahwa setiap orang manusia haruslah dapat bebas dari ikatan apapun juga di dunia ini karena ikatan itulah yang mendatangkan duka. Kalau ibunya terikat oleh keadaan yang megah dan mewah di kota raja, tentu ibunya akan berduka kehilangan semua itu. Diam-diam dia merasa bangga akan sikap ibunya.

   "Paman, perutku terasa lapar dan aku yakin paman juga tentu lapar sekali setelah bekerja berat. Karena itu, harap paman suka membelikan masakan dan nasi di dusun ini. Dan juga arak untuk kita makan dan minum berdua"

   Han Sin membuka buntalannya dan mengeluarkan kantung uangnya. Dia mengambil beberapa keping uang dan menyerahkan kepada petani itu. Petani itu nampak tertegun melihat banyak potongan emas dalam kantung itu dan dengan tangan gemetar dia menerima uang itu.

   "Di sini tidak ada yang menjual makanan, kong cu. Akan tetapi saya dapat menyuruh tetangga sebelah untuk membeli ayam dan bahan makanan untuk dimasak. Harap kong-cu menunggu sebentar"

   Tak lama kemudian petani itu sudah kembali membawa dua ekor ayam, beras dan beberapa macam sayuran berikut bumbu-bumbunya dan segera dia sibuk di bagian belakang rumahnya. Dia memasak ayam dan sayur itu dibantu oleh seorang wanita setengah tua yang pandai memasak dan ramailah mereka bekerja sambil bercakap-cakap.

   Han Sin tersenyum. Mungkin bagi petani itu, peristiwa menyembelih ayam dan memasaknya dengan bermacam sayuran ini merupakan sebuah peristiwa yang istimewa. Terharu rasa hatinya membayangkan bahwa mungkin petani itu tidak pernah mampu membeli ayam, mungkin belum tentu sebulan atau dua bulan sekali merasakan daging. Menyembelih bagi mereka tentu merupakan sebuah pesta besar.

   Setelah masakan itu selesai dan dihidangkan di atas meja, Han Sin lalu mengajak petani itu makan bersama-sama. Mula-mula petani itu dengan sungkan menolak, akan tetapi Han Sin memaksanya dan akhirnya petani itu mau juga makan bersama. Mereka makan dan minum sampai kenyang.

   Setelah selesai, makanan itu masih bersisa banyak dan oleh si petani lalu diberikan kepada tetangga yang tadi membantunya masak. Kemudian dia duduk bercakap-cakap dengan Han Sin "Paman, apakah sejak muda paman bekerja sebagai petani" tanya Han Sin.

   Dia melihat tadi gerak-gerik petani itu cukup gesit dan mengandung tenaga, bukan seperti orang biasa. Juga perawakannya tegap dan menyembunyikan kegagahan.

   Petani itu mengangguk "sejak muda saya memang petani, kong-cu, tinggal disini sejak bertahun-tahun" jawab petani itu dengan pendek.

   Karena merasa lelah melakukan perjalanan jauh sehari itu. Han Sin lalu mengatakan bahwa dia hendak mengaso.

   "Kongcu tidurlah dikamar itu" kata sang petani.

   "Akan tetapi tempat tidur itu hanya kecil, hanya cukup untuk seorang saja. Dan paman akan tidur dimana?"

   "Ah, saya akan dapat mencari tempat tidur, itu urusan mudah, kong-cu. Saya bisa tidur dilantai bertilamkan tikar, atau dapat mengungsi ke rumah tetangga. Tidurlah kongcu"

   Han Sin tidak sungkan lagi, lalu memasuki kamar itu dan merebahkan dirinya di atas dipan. Dia membawa buntalannya dan meletakkan buntalan itu di dekat kepalanya di atas dipan.

   Malam itu sunyi sekali. Dalam kamar itu tidak terdapat penerangan, akan tetapi karena rumah itu terbuat dari pada bilik bambu, maka penerangan dari lampu di luar masuk dan mendatangkan penerangan yang remang-remang. Saking lelahnya, sebentar saja Han Sin sudah tidur pulas.

   Menjelang tengah malam, biarpun sedang tidur nyenyak, Han Sin terbangun juga oleh suara berkerietnya daun pintu kamar itu dibuka orang. Begitu terbangun, seluruh urat syarafnya ditubuhnya telah siap dan dia menjadi waspada. Memang seluruh tubuhnya telah terlatih sehingga dia dapat siap dalam keadaan bagaimanapun juga. Dia tidak bergerak dan pura-pura masih pulas, akan tetapi matanya terbuka dan dia melihat bayangan orang di depan pintu kamarnya. Kemudian pintu itu terbuka dari luar dan nampaklah bayangan petani tuan rumah itu melangkah maju setapak demi setapak dengan kedua tangannya mengangkat cangkul tinggi-tinggi diatas kepalanya. Bermacam perasaan mengaduk hati Han Sin. Heran, kecewa, penasaran dan juga geli. Petani yang siang tadi nampak demikian akrab dan manis budi, jujur dan lugu, bahkan yang dianggapnya seorang yang berbahagia hidupnya kini tiba-tiba saja berubah menjadi iblis yang siap membunuhnya. Membunuh seorang yang sedang tidur dengan darah dingin. Dia diam saja dan ketika orang itu sudah dekat dan mengayunkan cangkulnya ke arah kepalanya, secepat kilat Han Sin menggulingkan tubuhnya dari atas dipan.

   "Croookkkk"

   Dipan yang dihantam cangkul itu patah menjadi dua potong menunjukkan betapa kuatnya ayunan cangkul tadi. Dan petani itu mengeluarkan seruan kaget melihat cangkulnya mengenai dipan dan orang yang diserangnya sudah tidak berada disitu lagi. Bahkan buntalannya pun sudah lenyap. Petani itu cepat meloncat keluar dari dalam kamar dan matanya terbelalak melihat Han Sin sudah duduk diatas kursi menghadapi meja dan buntalannya sudah berada pula di atas meja. Pemuda itu nampaknya tenang saja. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu.

   Sejenak petani itu berdiri seperti patung, pandang matanya bingung dan ragu seolah dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi melihat pemuda itu duduk membelakanginya, tiba-tiba dia menerjang maju sambil mengayun cangkulnya ke arah kepala Han Sin dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

   "Wuuuutttt....... Plakkk" Han Sin menjulurkan tangannya ke belakang dan dapat menangkap gagang cangkul itu sambil memutar tubuhnya. Dia menarik cangkul itu lalu tangan yang sebelah lagi mendorong dengan telapak tangannya kearah dada petani itu.

   "Buuukkkk" Tubuh petani itu terjengkang dan terlempar sampai menabrak dinding sedangkan cangkulnya terampas oleh Han Sin. Pemuda itu meletakkan cangkul di atas tanah dan memandang kepada petani dengan mata mencorong.

   Petani itu merasakan dadanya sesak dan kini maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang lihai. Barulah dia teringat akan keadaan dirinya, kesalahan yang dilakukannya dan setelah bangkit berdiri dia menundukkan mukanya, tidak tahan menentang pandangan mata yang siang tadi begitu lembut akan tetapi kini nampak mencorong itu dan berkata lirih.

   "Saya... saya.... telah bersalah, boleh kong-cu membunuh saya"

   Han Sin tersenyum "Paman, duduklah"

   Orang itu menurut dan duduk di depan Han Sin terhalang meja, seperti sore tadi ketika mereka makan minum berdua "Sekarang ceritakan mengapa paman melakukan perbuatan tadi dan siapa sebenarnya paman ini"

   Orang itu menghela napas panjang beberapa kali, menelan ludah seperti mengumpulkan keberaniannya, kemudian dia berkata "Kong-cu saya pernah menjadi seorang perampok di waktu muda, mengumpulkan harta benda dengan cara merampok. Akan tetapi lima belas tahun yang lalu, gerombolan perampok yang saya pimpin dibasmi habis oleh pasukan pemerintah. Istri dan anak-anak saya ikut tewas dalam pembasmian itu, harta benda saya habis. Saya menjadi orang buruan pemerintah. Setelah tertimpa bencana itu, yang merampas habis harta benda saya bahkan membasmi keluarga saya, saya menjadi sadar bahwa saya telah memetik buah daripada pohon tanaman saya sendiri. Maka saya mencuci tangan, mengubah jalan hidup saya. Saya menjadi petani, bahkan saya menyembunyikan keadaan saya dengan menyamar sebagai petani lemah yang hidup sebatang kara. Akan tetapi sore tadi muncul kong-cu. Sungguh mati, saya menyambut kong-cu dengan hati setulusnya dan saya merasa girang dapat menyambut kong-cu. Akan tetapi.... ah, mengapa kong-cu membuka buntalan memperlihatkan emas yang demikian banyaknya? Saya tidak tahan melihatnya. Nafsu iblis telah mencengkram diri saya dan saya tidak menentangnya, maka saya mengambil keputusan untuk membunuh kong-cu dan merampas emas itu"

   Orang itu kembali menghela napas dan kini bahkan kedua matanya basah.

   Han Sin mengangguk-angguk kembali dia teringat akan wejangan gurunya "Godaan datang dari dalam hati akal pikiran sendiri melalui panca indera. Dan diantara semua penggoda, yang paling berbahaya adalah godaan harta benda. Harta benda dapat menutupi pertimbangan dan kebijaksanaan. Kita kehilangan kewaspadaan dan mau melakukan perbuatan apa saja demi harta benda" Demikianlah wejangan dan sekarang dia melihat buktinya. Seorang yang sudah mengubah jalan hidupnya, begitu melihat emas di depan mata, menjadi lupa segalanya dan siap untuk membunuh dengan cara pengecut untuk menguasai emas itu. Melihat emas merupakan kesempatan baginya. Andaikata dia tidak melihat emas itu, tidak mungkin akan timbul keinginan untuk menguasai dan membunuh pemiliknya.

   "Sudahlah, paman, aku memaafkanmu. Dahulu, kau sudah mendapat pelajaran bahwa perbuatan merampok itu mendatangkan akibat buruk kepadamu, keluarga mu terbasmi habis, harta bendamu juga musnah. Dan kembali malam ini kau melihat bahwa perbuatan merampok itu sesungguhnya mencelakakan dirimu sendiri. Sudahlah, lupakan urusan tadi. Aku masih mengantuk dan mau tidur lagi"

   Han Sin lalu meninggalkan meja, meninggalkan buntalannya dan memasuki kamar, lalu merebahkan dirinya diatas dipan yang kini terpaksa diletakkan diatas lantai tanpa kaki karena sudah patah dua.

   Petani itu tertegun. Sampai lama dia duduk di atas kursi itu, memandang buntalan diatas meja. Pemuda lihai itu bukan saja memaafkannya, bahkan meninggalkan buntalan diatas meja. Akan tetapi, kini sudah tidak ada lagi gairah di hatinya untuk merampok emas itu. Dia sudah yakin benar bahwa akibatnya tentu akan buruk bagi dirinya kalau dia menggunakan kesempatan itu untuk melarikan buntalan itu. Dia pun merebahkan diri lagi di atas lantai akan tetapi sekali ini dia tidak dapat tidur lagi.

   Bukan gelisah karena ada dorongan untuk mencuri emas, melainkan takut kalau-kalau ada orang luar datang dan mencuri buntalan itu. Maka, dia tidak tidur untuk menjaga buntalan itu agar tidak diambil orang.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin terbangun dan ketika dia keluar dari kamar itu, dia melihat petani itu sudah duduk di atas kursi menghadapi buntalan yang masih terletak diatas meja. Dia tersenyum kepada diri sendiri.

   "Selamat pagi, paman. Kau sudah bangun?" tegurnya ramah.

   Petani itu cepat bangkit berdiri, merasa malu bukan main melihat pemuda yang hampir dibunuhnya itu masih bersikap ramah dan lembut kepadanya.

   "Selamat pagi, kong-cu dan.......... maafkan perbuatanku semalam"

   "Ah, aku sudah melupakan hal itu, paman" kata Han Sin. Dan dia membuka buntalannya, mengambil sepotong emas dari dalam kantung dan menyerahkannya kepada petani itu.

   "Ambillah ini, paman dan terima kasih atas kebaikanmu"

   Petani itu terbelalak dan melompat kebelakang seperti hendak diserang. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya memandang sepotong emas itu, seperti melihat benda yang menakutkan.

   "Tidak.......... tidak kong-cu...... saya tidak menghendaki emas lagi........"

   "Terimalah, paman. Ini lain lagi. Ini adalah pemberianku yang rela. Dengan emas ini kiranya kau dapat menggarap ladangmu sendiri. Terimalah, aku akan tersingung kalau kau tidak mau menerimanya"

   Karena kalimat terakhir inilah sang petani tidak berani menolak lagi dan diterimanya sepotong emas itu dengan kedua tangannya dan dia hanya berkata lirih "Terima kasih, kong-cu" dan kedua matanya menjadi basah.

   Han Sin sudah mengikatkan lagi buntalan dibelakang punggungnya dan dia berkata "Nah, selamat tinggal, paman. Mudah-mudahan kalau aku kebetulan lewat disini lagi, aku dapat singgah di rumahmu"

   "Selamat jalan kongcu dan terima kasih" Dia mengantar tamunya sampai meninggalkan rumah itu dan setelah pemuda itu pergi jauh, masih saja dia berdiri disitu sambil memandangi emas di telapak tangannya.

   "Ahhh.........., aku lupa menanyakan namanya" Katanya sambil berlari mengejar. Akan tetapi pemuda itu sudah tidak tampak bayangannya lagi.

   Petani itu hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya saking heran dan kagum, kemudian dia berjalan pulang dengan hati merasa gembira sekali telah bertemu dengan seorang pemuda pendekar, karena dia tentu seorang pendekar perkasa, yang bijaksana dan budiman.
***

   Han Sin berjalan menuruni bukit. Dari atas tadi dia sudah melihat sebuah telaga kecil dan ingin sekali dia dapat mandi di sana. Sejak pagi dia meninggalkan dusun itu menuju ke timur dan dia belum membersihkan badan sejak pagi-pagi sekali tadi. Perutnya belum lapar karena semalam dia sudah makan sampai kenyang di rumah petani itu.

   Hatinya terasa ringan dan senang. Dia tidak tahu mengapa hatinya terasa demikian ringan dan senang. Tidak tahu bahwa hal ini adalah akibat perbuatannya terhadap petani yang bekas perampok itu. Setiap perbuatan yang baik selalu mendatangkan perasaan ringan dan senang bagi pelakuknya, asalkan perbuatan itu dilakukan tanpa pamrih dan dengan rela hati.

   Han Sin menuruni bukit dengan cepat sekali karena dia menggunakan ilmu berlari cepat. Gin Kang (ilmu meringankan tubuh) pemuda ini memang mencapai tingkat tinggi setelah dia menguasai ilmu Bu-tek-cin-keng dan dia dapat berlari seperti terbang cepatnya. Tak lama kemudian dia telah tiba di tepi danau dan ternyata di situ terdapat sumber air yang keluar dari pecahan batu besar. Air itu terjun dan membentuk danau yang kecil terus mengalir menjadi sebuah anak sungai yang mungkin saja mengalir terus memasuki Sungai Kuning di timur.

   Danau dari sumber itu dikelilingi sebuah hutan lebat dan keadaan di situ sunyi dan indah bukanmain. Matahari pagi bermain-main di danau dengan bayangannya yang membentuk garis kemerahan dari bayangnya, dikelilingi warna hijau pantulan pohon-pohon ditepi danau.

   Sinar matahari yang menerobos masuk lewat celah-celah daun pohon membentuk berkas-berkas cahaya keputihan yang amat indah, membuat tempat itu seperti surga dalam dongeng. Seekor kelinci putih berlari keluar dari semak-semak, dikejar kelinci lain yang berbulu kelabu. Han Sin memandang ambil tersenyum geli melihat tingkah dua ekor kelinci itu yang segera lenyap lagi dibalik semak-semak.

   Bunga-bunga liar mekar bebas, digoyang-goyang perlahan oleh hinggapnya kupu-kupu yang mencari madu. Burung-burung berlompatan dari ranting ke ranting sambil berkicau. Semua ini menjadi selingan suara air kecil terjun ke danau yang mengeluarkan dendang yang tak kunjung henti. Titik"titik air embun berjatuhan dikala burung-burung hinggap di sebuah ranting.

   Han Sin berdiri bengong di tepi telaga seperti dalam mimpi. Tak disangkanya bahwa danau yang terlihat dari atas bukit tadi merupakan tempat yang demikian indahnya. Melihat disitu sunyi tidak ada seorangpun manusia kecuali dirinya, tanpa ragu lagi lalu Han Sin menanggalkan seluruh pakaiannya menumpuk pakaian itu diatas buntalannya yang diletakkan di atas batu. Kemudian diapun terjun memasuki air danau itu. Sejuk dan menyegarkan sekali. Airnya jernih, dasarnya dari batu dan pasir dalam dalamnya sebatas dada. Sejuknyaman bukan main mandi di pagi hari itu. Han Sin beberapa kali menyelam dan berenang dengan hati gembira.

   Tiba-tiba dia mendengar suara yang mencurigakan, datangnya dari tepi telaga. Cepat dia menengok dan masih melihat berkelebatnya bayangan orang. Cepat bukan main gerakan itu, hanya bayangannya saja dapat ditangkap pandang matanya. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hati Han Sin adalah ketika dia melihat keatas batu dimana buntalannya dan pakaiannya tadi dia tinggalkan. Buntalan berikut pakaiannya tadi telah lenyap.

   "Celaka....." Dia mengeluh. Andai kata kantung emasnya yang hilang, dia tidak akan segelisah ini, akan tetapi, semuanya telah lenyap dan kini dia dalam keadaan telanjang bulat. Bagaimana dia dapat keluar dari dalam air menemui orang dalam keadaan seperti itu?.

   "Hei......... Kembalikan pakaianku" Dia berteriak sambil melangkah ke tepi, akan tetapi tubuhnya masih terendam dalam air.

   Suaranya dikeluarkan dengannyaring sehingga menimbulkan gema. Akan tetapi, tidak ada jawaban. Suasana sunyi dan burung-burung terbang ketakutan, terkejut oleh teriakannya yangnyaring tadi. Han Sin menjadi gelisah. Jangan-jangan pencuri itu telah melarikan diri dan tidak akan kembali lagi. Bagaimana dia dapat melakukan dan melajutkan perjalanan tanpa sehelaipun pakaian untuk menutupi ketelanjangannya? Apakah petani itu telah kumat kembali dan dia yang mencurinya? Tidak mungkin, gerakan petani itu tidaklah secepat orang yang tadi dilihat bayangannya.

   Han Sin merasa gelisah sekali dan tidak berdaya. Dia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, yang tidak gentar menghadapi lawan bagaimana pun juga, kini menjadi gelisah menghadapi ketelanjangannya dan dia merasa tidak berdaya sama sekali.

   "Haaiiiiii....... saudara yang mengambil buntalanku. Kau boleh memiliki buntalan dan semua isinya, akan tetapi kembalikan pakaianku. Tolong kembalikan pakaianku" Dalam suaranya terkandung permohonan yang sungguh-sungguh. Sialan, pikirnya. Dia yang kecurian malah dia yang memohon dan minta tolong.

   Tiba-tiba dia melihat sebuah kepala keluar dari balik semak-semak. Bukan kepala binatang, melainkan kepala manusia, dan melihat rambutnya yang hitam panjang itu tentulah kepala seorang wanita muda. Wajah itu cantik pula, dengan hidung yang mancung dan mulut tersenyum menggairahkan. Kepala itu nongol sebentar, sepasang mata berkedip-kedip memandangnya, lalu menyusup lagi dibelakang semak-semak.

   "Haiiii...... nona atau nyonya......... keluarlah dan kembalikan pakaianku" katanya, dan pandangan matanya mencoba untuk menembus semak belukar itu. Hening sejenak, kemudian kepala itu nongol lagi. Kini muka yang cantik itu tertawa.

   "Hi-hi-hi-hik, lucunya" kini muka itu lebih jelas kelihatan dan ternyata wajah seorang gadis yang cantik, akan tetapi suara tawanya aneh, dan matanya yang indah itu berkedip-kedip aneh.

   Han Sin menggapai "Nona.... harap mengasihani aku. Tolong kembalikan pakaianku"

   Dia memohon. Kini nona itu keluar dari balik semak-semak. Tubuhnya ramping, rambutnya hitam panjang hanya diikat dengan sutera kuning. Kulitnya putih dan wajah itu cantik dengan mata yang berbinar-binar, hidungnya yang mancung dan mulut yang selalu tersenyum lebar, memperlihatkan kilatan gigi yang putih berderet rapi. Akan tetapi pakaiannya sungguh aneh. Berkembang-kembang dan potongannya longgar kedodoran. Kakinya memakai sepatu hitam dari kulit kayu. Gadis itu berdiri dan memandang kepada Han Sin seperti orang yang terheran-heran, akan tetapi Han Sin melihat bahwa gadis itu tidak membawa apa-apa. Dan diapun bersangsi apakah gadis itu yang mencuri buntalannya, karena tidak mungkin gadis itu dapat bergerak secepat bayangan tadi.

   "Nona, kesinilah" Dia menggapai karena biarpun gadis itu bukan pencurinya, dia dapat minta tolong kepadanya untuk mencarikan pakaian sebagai penutup ketelanjangannya.

   Gadis itu mendekat, dengan langkah yang aneh, berlari-lari kecil seperti tingkah seorang kanak-kanak. Kini dia berdiri di tepi telaga memadang Han Sinm dengan terbelalak dan penuh perhatian.

   "Hik-hi-hi-hi, lucunya" kembali ia berkata dan sikapnya itu membuat Han Sin merasa bulu tengkuknya meremang.

   Ada sesuatu yang tidak wajar dalam sikap gadis cantik itu. Masa seorang gadis dewasa seperti itu bersikap kekanak-kanakkan dan tertawa lucu melihat dia berendam dalam air.

   "Nona apa kau melihat orang yang mengambil pakaian dan buntalanku?" tanya Han Sin akan tetapi yang ditanya hanya terkekeh seperti orang yang merasa melihat hal yang lucu

   Han Sin merasa jengkel juga. Pertanyaannya hanya di jawab dengan kekeh yang aneh.

   "Nona" Katanya" Tolonglah aku, carikan pakaian agar aku tidak telanjang"

   Kembali nona itu terkekeh, kemudian terdengar suaranya, suaranya sebetulnya merdu seperti suara seorang gadis, akan tetapi nadanya aneh seperti orang yang asing "Kau.... kau ini binatang apakah?"

   Sialan, pikir Han Sin. Akan tetapi karena diapun pada dasarnya berwatak lincah dan gembira. Dia tidak menjadi marah, bahkan tertawa " Ha-ha-ha-ha, kau lucu sekali, nona"

   "Hik-hi-hi-hik, kau juga lucu" gadis itu kini tertawa-tawa sambil bertepuk-tepuk tangan dan meloncat-loncat seperti seorang anak kecil kegirangan. Tentu saja Han Sin memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Tidak salah lagi, Gadis cantik itu berotak miring.

   "Hik-hi-hik, apakah kau ini sebangsa monyet? Monyet putih tidak berbulu?" tanya gadis itu sambil mendekat dan tubuhnya mendoyong kedepan sehingga Han Sin khawatir merasa kalau-kalau gadis itu akan terjatuh ke dalam danau.

   "Hussshhh" katanya gemas " aku bukan monyet, aku juga manusia seperti kau"

   "Ahhh, manusia? Dan kau laki-laki ya? Kau tampan loh" Gadis itu memuji dan mengancungkan jempol. Tanpa disadarinya, muka Han in menjadi merah.

   "Nona, aku ingin minta tolong kepadamu. Ketahuilah, semua barangku termasuk pakaianku di curi orang. Aku kini telanjang sama sekali. Karena itu, tolonglah aku, carikan pakaian untukku, sedikitnya sebuah celana"

   "Hik-hi-hik, minta tolong boleh akan tetapi katakan dulu siapa namamu"

   Wahh gadis ini gila tapi pintar menggoda orang, pikirnya. Mau menolong akan tetapi menjual mahal. Pakai syarat segala macam. Akan tetapi mau tidak mau dia harus menjawab karena dia butuh pakaian.

   "Namaku Cian Han Sin"

   "Cian Han Sin, namamu aneh, Han Sin. Dan aku bernama Kui Ji"

   "Namamu indah, nona"

   "Heiii, sudah tahu namaku mengapa menyebut aku nona. Sebut saja adik Kui Ji yang baik"

   "Oya, adik Kui Ji yang baik, tolonglah carikan pakaian untuk aku agar aku dapat naik ke darat"

   "Kalau mau ke darat, naik saja sekarang"

   "Tidak mungkin, adik Kui ji yang baik, aku bertelanjang bulat"

   "Oh ya, ibu bilang hanya binatang yang telanjang bulat. Kalau manusia harus berpakaian. Kau memerlukan celanaku" Dan gadis itu pun lalu melepaskan tali kain ikat pingganganya dan hendak menurunkan celananya. Tentu saja Han Sin terkejut sekali dan dia memejamkan matanya.

   "Tidak, jangan lakukan itu. Jangan berikan celanamu kepadaku, nanti kau telanjang"

   "Hik-hi-hik, sudah kubilang kau lucu dan juga bodoh. Siapa yang mau telanjang?" katanya dan tetap saja gadis itu menurunkan celananya yang berkembang-kembang. Han Sin nekat membuka matanya dan sudah bersiap-siap untuk menutupnya kembali kalau gadis itu bertelanjang. Akan tetapi ternyata dia memakai celana rangkap berapa, entah rangkap berapa karena pakaiannya kedodoran seperti itu.

   "Nih, pakai celana ini" kata gadis itu sambil menggulung celana itu dan melemparkannya kepada Han Sin.

   Han Sin menerima celana itu, akan tetapi bagaimana dia dapat memakainya kalau nona itu berada di situ? Untuk mengenakan celana itu dia harus lebih dulu keluar dari dalam air.

   "Nona, pergilah dulu"

   
😮

   
"Siapa nona?"

   "Oh ya, adik Kui ji yang baik, harap pergi dulu agar aku dapat naik dan mengenakan celana ini"

   "Aku tidak akan pergi dan aku mau menonton kau memakai celana. Tentu lucu sekali" Gadis itu terkekeh-kekeh dan kembali wajah Han Sin menjadi merah. Gadis ini benar-benar gila tidak ketulungan lagi, sudah lupa akan rasa malu dan sopan santun. Dia lalu mengerahkan tenaganya dari dalam air itu dia meloncat jauh ke depan, kearah sebuah batu besar. Tubuhnya melayang seperti burung terbang dan cepat dia berdiri di balik batu besar agar gadis itu tidak melihatnya. Tergesa-gesa dia mengenakan celana itu. Celaka, celana itu ujungnya kecil sekali sehingga ketika dia memaksa dan menariknya ke atas, terdengarlah suara kain robek. Terpaksa dia memotong bagian bawahnya dan kini dia memakai sebauh celana sebatas lutut yang berkembang-kembang.

   Biarpun pakaian itu minim sekali, akan tetapi setidaknya membuat dia berani menghadapi orang, tidak bertelanjang bulat. Sementara itu gadis yang pakaiannya berkembang-kembang itu terbelalak melihat Han Sin meloncat dari dalam air ke atas batu, agak jauh darinya. Ia masih tertegun memandang Han Sin yang muncul dari balik batu dengan mengenakan celana kembang sebatas lutut, kemudian, sekali ia mengayun tubuhnya, tubuh itu berkelebat dan telah berada di depan Han Sin, membuat pemuda itu terkejut sekali. Kiranya gadis gila ini pandai ilmu silat dan dapat meloncat dengan gerakan demikian cepatnya. Kembali timbul kecurigaannya bahwa yang mencuri buntalannya tentulah gadis ini pula.

   "Aih, kiranya kau memiliki ilmu kepandaian pula, Han Sin? Bagus, mari kita bermain-main sebentar" katanya sambil tertawa terkekeh dan tahu-tahu tangan kanannya telah menyerang Han Sin dengan gerakan melengkung aneh. Akan tetapi tangan yang semula tidak kelihatan seperti hendak memukulnya itu, tahu-tahu telah membelok dan menampak ke arah mukanya dengan gerakan demikian cepatnya. Juga amat kuat karena tamparan itu di dahului angin pukulan yang terasa panas oleh pipi Han Sin.

   Han Sin cepat mengelak dengan menarik ke belakang tubuh atasnya, akan tetapi Kui Ji menyerang lagi dengan tamparan susulan. Ia pun menyerang bertubi-tubi dengan tamparan dan totokan dan gerakannya makin lama makin aneh namun lihai bukan main. Han Sin terus mengelak, setelah mengelak atau menangkis selama belasan jurus, ketika tangan gadis itu mencengkram ke arah lehernya, dia sengaja mengerahkan tenaganya dan menangkis keras

   "Duukkk" kedua lengan bertemu dengan kuatnya dan gadis itu terdorong mundur. Lalu memegangi lengan yang tertangkis itu dan menangis.

   "Hu-hu-hu-hu-hu... kau nakal.......... hu-hu-hu... kau menyakiti lenganku" akan tetapi sambil menangis ia menyerang terus dan kini ia sudah memungut sebatang tongkat berbentuk ular yang tadi ditinggalkan diatas batu.

   Hebat sekali serangan dengan tongkat ini, dan gerakannya tetap aneh sekali, berbeda dengan ilmu-ilmu silat biasa. Kalau ujung tongkat itu menggetar menyerang dengan tusukan ke arah dada, ternyata penyerangan yang sesungguhnya adalah pukulan ke arah kepala. Kalau nampaknya pada permulaan menyerang ke kanan, ternyata menyerang ke kiri.

   Seperti serangan orang yang kebingungan dan nampaknya ilmu silat gadis itu kacau balau seperti kacau balaunya jalan pikirannya. Akan tetapi justru kekacauan itu lah yang membuat ilmu silat itu lihai dan berbahaya sekali, tidak dapat diduga perkembangannya.

   Han Sin yang hanya bertahan saja, terpaksa beberapa kali menjadi korban tamparan dan totokan, akan tetapi karena dia sudah melindungi tubuhnya dengan sin-kang yang kuat, maka dia tidak sampai robih. Akhirnya dia tahu bahwa kalau dia tidak membalas, mungkin saja dia dapat terluka oleh tongkat yang gerakannya terkadang seperti seekor ular itu. Maka, mulailah dia mengerahkan tenaga dan memainkan Bu-tek-cin-keng.

   Ketika tongkat meluncur menusuk matanya, Han Sin menangkis sehingga tongkat terpental dan dengan tangan kirinya diapun mendorong dengan telapak tangannya kedepan sambil mengerahkan tenaga yang dia kendalikan agar jangan sampai dia melukai gadis itu.

   "Wuuutttt.... aighhh" Kui ji terdorong kebelakang dan ia menjerit, kemudian jatuh terduduk. Napasnya agak terengah. Dorongan itu ternyata mengeluarkan hawa pukulan yang menghimpit dadanya dan menyesakkan napasnya. Gadis itu memandang bengong sesaat, kemudian dia meloncat dan menundingkan telunjuk kirinya ke arah muka Han Sin.

   "Han Sin, kau menggunakan ilmu iblis apakah?" Ia lalu memutar tongkatnya ke atas kepala dan melanjutkan " Akan tetapi, aku tidak takut, hayo kita lanjutkan" Dan diapun sudah menyerang lagi kalang kabut dan agaknya gadis itu merasa penasaran dan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Dan kini ia menyerang sambil mengeluarkan suara melengking tinggi dan panjang. Han Sin kembali terkejut. Teriakan melengking itu bukan sembarangan teriakan melainkan teriakan yang mengandung khikang dan bagi lawan yang kurang kuat sin-kangnya tentu akan terguncang hatinya dan mengacaukan pikirannya sehingga mudah dirobohkan dan serangannya itupun hebat bukan main. Sekali tongkat bergerak, ujung tongkat tergetar dan menotok secara bertubi-tubi ke arah jalan darah di tubuhnya bagian depan.

   "Hemmm" Han Sin mengelak dan ketika ia mendapat kesempatan, tangannya meraih, menangkap tongkat itu dan tangan yang sebelah lagi menotok lengan yang memegang tongkat dekat siku sehingga lengan itu menjadi lumpuh seketika dan dengan mudah dia telah merampas tongkat itu.

   Gadis itu terkejut dan melompat kebelakang, matanya yang indah itu memandang kepada Han Sin dengan terbelalak. Han Sin merasa tidak enak hati. Gadis itu telah menolongnya memberi celana dan kini dia mengalahkannya.

   "Maafkan aku dan terimalah kembali tongkatmu" katanya sambil menyerahkan tongkat yang bentuknya seperti ular itu.

   Kui Ji menerima tongkatnya dan sungguh aneh sekali. Kini ia tersenyum dan menunjukkan mukanya yang menjadi kemerahan dan sikapnya menjadi seperti seorang gadis yang malu-malu.

   "Kau telah mengalahkan aku... Kau telah mengalahkan aku" demikian katanya berulang-ulang seolah tidak percaya bahwa ada orang yang dapat mengalahkannya.

   "Maaf, adik Kui Ji yang baik, kepandaian mu hebat sekali dan aku merasa kagum" kata Han Sin dengan sungguh hati karena memang dia kagum melihat ilmu silat gadis itu yang aneh dan lihai sehingga dia sendiri beberapa kali terkena tamparan dan totokan gadis itu.

   "Hik-hi-hi-hik. Akhirnya kau datang juga, koko. Kaulah pemuda yang mampu mengalahkan aku. Jadi kau yang pantas menjadi suamiku. Dan Aku senang menjadi istrimu, koko Han Sin" Gadis itu lalu menghampiri Han Sin dan kedua tangannya siap untuk memeluk.

   Han Sin terkejut sekali dan dia melangkah mundur.

   "Ah, tidak, Kui Ji... adik yang baik, jangan begitu. Aku tidak mempunyai pikiran sama sekali untuk berjodoh, aku bukan jodohmu"

   Kui Ji seperti terheran dan terkejut mendengar ini dan kedua tangan yang sudah terangkat untuk memeluk itu, jatuh kembali "Apa? Kau......... kau menolak menjadi
suamiku............?"

   "Aku belum mempunyai niat untuk menjadi suami siapa saja" jawab Han Sin singkat. Dia mau mengalah terhadap seorang yang otaknya tidak waras, akan tetapi kalau harus mengawininya, tentu saja dia tidak mau.

   Tiba-tiba gadis itu menangis dan teriakannya melengkingnyaring. Han Sin menjadi serba salah. Tadinya dia hendak mencari buntalannya, akan tetapi dalam keadaan seperti itu tentu Kui Ji tidak mau bicara tentang buntalan itu. Kalu gadis itu di tinggalkan, lalu bagaimana dengan buntalannya yang terisi pakaian dan uang bekal? Kalau tidak ditinggalkan dan dihadapi terus, bagaimana dia harus bersikap melihat kegilaan ini. Selagi dia hendak pergi saja meninggalkan gadis itu, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan terdengar suara yang tinggi melengking.

   "Heiiiii.... siapa berani mengganggu anakku sampai ia menangis sedih? Siapa.........?"

   Dan tiba-tiba didepan Han Sin berdiri seorang wanita. Sekali pandang saja tahulah Han Sin bahwa wanita ini pun keadaanya sama dengan Kui Ji. Usianya sekitar empat puluh delapan tahun. Wajahnya masih membayangkan bekas kecantikan, tubuhnya juga masih ramping padat. Rambutnya terurai panjang seperti rambut Kui Ji. Akan tetapi kalau rambut Kui Ji diikat sutera kuning, rambut wanita ini riap-riapan, sebagian ada yang menutupi wajahnya sehingga kelihatan menyeramkan. Rambut itu panjang sampai ke pinggul dan masih hitam lebat. Pakaian wanita ini pun berkembang-kembang dan tangan kanannya memegang sebatang pecut seperti yang biasa dipergunakan para penggembala kerbau dan lembu mereka.

   "Ibu....... oh, ibu..." Kui Ji makin meledak-ledak tangisnya "Dia....dia ini menolak untuk menjadi suamiku, padahal aku telah menjatuhkan pilihan ku kepadanya, ibu....... hajarlah dia agar dia mau menjadi suamiku"

   Wajah yang masih cantik itu nampak menyeramkan, sepasang matanya seperti bersinar-sinar penuh kemarahan, mulutnya cemberut "Apa....? Berani cacing pita ini menolak anakku? Anakku cukup pantas menjadi isteri seorang pangeran, apalagi hanya cacing macam ini. Orang muda, siapa kau?"

   "Ibu, namanya Cian Han Sin dan ilmu silatnya cukup tinggi, dia telah mengalahkan aku" kata Kui Ji dan mendengar ini, wanita itu kelihatan semakin penasaran.

   "Cian Han Sin, anakku telah memilih kau menjadi suami. Hayo katakan, apakah kau tetap tidak mau" tanya wanita itu dengan suaranya yang galak.

   Han Sin merasa serba salah. Dia tidak marah melihat sikap mereka yang hendak memaksanya menjadi suami Jui Ji karena dia maklum bahwa ibu dan anak ini tidak waras pikirannya. Dia pun tidak ingin bermusuhan dengan mereka, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menjadi suami Kui Ji? selain gadis itu seorang yang miring otaknya, juga dia sama sekali belum berniat untuk menjadi suami orang.

   "Maafkan saya, bibi yang baik. Akan tetapi saya belum mempunyai keinginan untuk menikah, karena itu terpaksa saya menolak keinginan adik Kui Ji yang baik"

   "Hik-hi-hik, kau sudah menyebut Kui Ji sebagai adik yang baik, tentu kau suka kepadanya. Kau harus menjadi suaminya, harus dan tidak boleh menolak lagi. Kau mantuku yang baik, tidak usah malu-malu kucing, katakanlah kau mau"

   "Ibu, koko Han Sin bahkan sudah memberi emas kawin berupa beberapa stel pakaiannya dan sekantung emas" kata Kui Ji.

   "Nah, apalagi sudah memberi emas kawin. Dan Itu" Wanita itu menunjuk ke arah celana yang dipakai Han Sin "Bukankah itu celana mu, Kui Ji?"

   "Benar, ibu. Celanaku itu sengaja kuberikan kepadanya untuk kenang-kenangan"

   "Wah, sudah begitu jauh hubungan kalian ya? Hayo, Han Sin kau ikut kami untuk merayakan pernikahan kalian"

   "Tidak bibi aku tidak mau" kata Han Sin yang merasa terdesak dan menjadi mendongkol juga. Agaknya biarpun gila, gadis itu cukup licik untuk menyudutkannya.

   "Kau harus mau, harus mau" Wanita itu melengking-lengking, akan tetapi Han Sin tetap menggeleng kepala. Kini mulai timbul kemarahannya setelah mendengar ucapan Kui Ji bahwa buntalannya benar dicuri oleh gadis itu dan dikatakan sebagai emas kawin.

   "Kalau begitu, aku akan memaksamu" Kata wanita itu dan ketika ia menggerakkan cambuknya di udara, terdengar suara meledak-ledaknyaring. Akan tetapi Han Sin yang sudah marah tidak merasa takut. Dia malah ingin menundukkan wanita ini dan puterinya agar dapat dipaksanya mengembalikan buntalannya.

   "Wuuuutttt.... tarrrr" cambuk itu menyambar ke arah kepala Han Sin dan meledak ketika Han Sin cepat mengelak. Wah, ilmu kepandaian wanita ini lebih lihai daripada puterinya, pikirnya dan diapun cepat menggunakan ilmu Bu-tek-cin-keng untuk menghadapinya.

   Memang hebat ilmu cambuk wanita itu. Cambuk itu menyambar-nyambar dan meledak-ledak seolah-olah cambuk itu menjadi banyak, menyerang keseluruh pusat jalan darah di tubuh Han Sin. Pemuda itu mengelak dan kadang menangkis, kulitnya telah dilindungi sinkang sehingga kebal terhadap lecutan cambuk dan diapun balas menyerang untuk merobohkan wanita itu. Terjadilah pertandingan yang seru sekali. Gerakan cambuk itu aneh dan sukar di duga, seperti juga gerakan tongkat di tangan Kui Ji tadi sehingga beberapa kali usaha Han Sin untuk menangkap ujung cambuk selalu gagal. Setiap kali tangannya meraih ujung cambuk itu tiba-tiba melejit dan menghindar.

   Suatu ketika, dengan tangan kirinya Han Sin berhasil menangkap ujung cambuk, akan tetapi tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang hitam panjang itu menyambar dan ujung gumpalan rambut itu menotok pergelangan tangan Han Sin yang menangkap ujung cambuknya.

   Han Sin merasa betapa lengannya tergetar hampir lumpuh dan cambuk itu sudah ditarik lepas dari tangannya. Dia terkejut sekali, tidak menyangka bahwa selain lihai dengan cambuknya wanita itupun lihai memainkan rambut kepalanya sebagai cambuk. Dia menjadi penasaran dan tidak mau mengalah lagi.

   Dengan cepat kaki tangannya membalas serangan wanita itu dengan pukulan dan tendangan yang amat kuat. Wanita itu mengeluarkan teriakan aneh karena terkejut dan iapun terdesak mundur. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan Kui Ji dan gadis ini sudah memasuki pertandingan itu dan mengeroyok Han Sin dengan tongkat ularnya.

   Han Sin tersenyum "Bagus. Majulah kalian berdua, aku memang ingin menundukkan kalian berdua ibu dan anak yang sinting" katanya dan dia pun melayani pengeroyokan itu. Akan tetapi mudah saja berkata demikian, namun pada kenyataannya amatlahsukar mengalahkan ibu dan anak itu setelah mereka maju berdua. Ternyata ibu dan anak yang sama-sama gilanya ini dapat bekerjasama dengan baik sekali. Tiga macam senjata yaitu cambuk, rambut dan tongkat yang kacau balau gerakannya dan tak dapat dui duga perkembangannya itu mengeroyok Han Sin. Pemuda ini mengerahkan tenaga dan kelincahannya untuk berkelebat menhindar, kadang menangkis dan membalas dengan serangan pukulan dan tendangannya. Biarpun di keroyok dua oleh ibu dan anak yang lihai itu, perlahan-lahan Han Sin dapat mempelajari gereka mereka setelah dia mengetahui cara perkembangan serangan lawan yang serba terbalik itu. Dia yakin bahwa akhirnya dia akan mampu mengalahkan mereka.

   Akan tetapi mendadak terdengar suara parau membentak "Orang gila dari mana berani mengganggu istri dan anakku?" Dan ada hembusan angin pukulan yang kuat sekali menghantam kepala Han Sin mengelak, sebatang tongkat menyambar dengan dahsyat. Dia membalik dan melihat seseorang laki-laki berusia limapuluh tahun. Bertubuh sedang, pakaian berkembang-kembang, rambutnya juga riap-riapan dan mulutnya menyerengai seperti orang tertawa, Tentu saja Han Sin terkejut sekali dari sambaran tongkatnya tadi saja dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaian laki-laki ini lebih tinggi dari pada tingkat wanita itu dan Kui Ji, akan tetapi dia tetapi sempat banyak berpikir karena mereka bertiga, ayah, ibu dan anak itu, sudah mengeroyoknya seperti tiga ekor serigala kelaparan.

   "Ayah, ayah. Jangan bunuh dia. Dia adalah suamiku" sambil memainkan tongkatnya Kui Ji berteriak kepada ayahnya.

   "Heh? Suamimu? Kenapa kalian keroyok?" Tanya si ayah sambil terus mendesak Han Sin dengan tongkatnya.

   "Dia menolak menjadi suami anak kita" jawab si isterinya.

   "Hah? Dia menolak menjadi suami Kui Ji? Ha-ha-ha-ha, tentu dia gila, gila sekali" si ayah lalu tertawa bergelak akan tetapi tongkatnya terus mendesak.

   Sekali ini Han Sin benar-benar terdesak. Biarpun dia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu tidak pernah melakukan serangan untuk membunuhnya, akan tetapi mereka itu menggunakan senjata mereka untuk menotok jalan darahnya dan ternyata totokan mereka itu lihai sekali dan tidak mungkin untuk melindungi semua jalan darah ditubuhnya dengan sin-kangnya. Dia menjadi bingung. Kalau dia mau menggunakan pukulan-pukulan yang hebat dari Bu-tek-cin-keng, mungkin saja dia akan mampu merobohkan mereka.

   Akan tetapi kalau hal itu dia lakukan, boleh jadi dia akan memukul mati kepada mereka dan hal ini sama sekali tidak dia kehendaki. Tiga orang itu adalah orang-orang sinting, bukan orang jahat. Dan agaknya biarpun gila, tiga orang itu cerdik sekali. Mereka membentuk kepungan segitiga yang menutup semua jalan keluar, sehingga diapun tidak dapat meloloskan diri dari kepungan itu.

   Biarlah, pikirnya kemudian, biarkan mereka menawanku. Kalau ada kesempatan, dia masih dapat melarikan diri.

   Hanya itu jalan satu-satunya karena dia tidak tega menurunkan tangan maut membunuh mereka. Khirnya serangan hebat dari tiga orang itu secara berbarengan, membuat dia roboh tertotok dalam keadaan lemas.

   Melihat dia roboh, tiga orang itu tertawa-tawa sambil menari-nari mengelilinginya. Han Sin merasa ngeri.

   "Horeee, suamiku tertangkap. Dia akan menjadi suamiku, tidak dapat menolak lagi" Kui Ji menarik-nari kegirangan.

   "Biar dia kubawa pulang" Gadis itu sudah membungkuk hendak memondong tubuh Han Sin yang tak berdaya itu.

   "Kui Ji, jangan bodoh" seru ayahnya" Mantu ini lihai sekali dan kalau dia sudah mampu bergerak, kau bukan tandingannya. Karena itu dia harus diikat dulu agar tidak dapat memberontak kalau sudah mampu bergerak"

   "Hik-hi-hi-hik, susah-susah amat sih" Cela istrinya "Beri saja racunku kepadanya dan dia akan menjadi penurut seperti seekor domba, hi-hi-hik"

   Ayah dan anak itu memandang girang "Haiiii, kenapa aku begini pelupa?" teriak ayah itu.

   "Cepat keluarkan racun itu dan berikan kepadanya, Liu Si"

   Wanita yang dipanggil Liu Si itu segera mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya yang berkembang. Ia memang seorang ahli tentang racun dan ia memiliki racun yang disebut "Racun pelemas otot" Ia mengambil sebatang jarum, mengoleskan racun bubuk hitam itu kepada batang jarum, kemudian ia menusukkan jarum itu pada pangkal lengan Han Sin. Han Sin tidak mampu bergerak dan terpaksa dia hanya memandang ketika pangkal lengan kirinya ditusuk jarum.

   "Jangan bergerak, suamiku. Tahankan saja. Hanya sakit sedikit" Kui Ji menghibur sambil mengusap-ngusap dagu Han Sin seperti seorang ibu membujuk anaknya. Begitu jarum di tusukkan, Han Sin merasa sesuatu yang amat dingin memasuki tubuhnya melalui pangkal lengan itu.

   Dia menggigil dan rasa dingin itu menyusup tulang. Kui Ji masih terus membelainya. Jarum di cabut kembali dan wanita itu terkekeh.

   "Hik-hik-hik-hik, ia akan kehilangan tenaganya dan ia akan menjadi penurut, tidak akan dapat memberontak lagi"

   "Kau sudah yakin benar, Liu Si?" suaminya bertanya.

   Wanita itu tiba-tiba melotot "Kau, tidak percaya akan kemampuan racunku?" apakah kau ingin merasakannya sendiri?" Ia mengancam dengan jarumnya.

   "Ah, tidak, jangan. Aku hanya khawatir pemuda ini memberontak dan sukar bagi kita untuk menundukkannya kembali"

   "Hemmm, sekarang juga dapat dibuktikan" Liu Si menepuk punggung Han Sin dua kali dan pemuda ini merasa betapa darahnya mengalir normal dan dia dapat bergerak kembali. Akan tetapi ketika dia hendak mengerahkan tenaganya, dia terkejut. Otot-otot ditubuhnya tidak dapat terisi tenaga sin-kang dan dia hanya dapat bergerak dengan tenaga biasa saja. Otot-otot itu seperti dalam keadaan lesu dan tidak dapat menerima hawa sin-kang yang disalurkannya.

   "Hik-hik-hik, percuma saja. Kau mencoba untuk menyalurkan sin-kangmu, Han Sin"

   "Ha-ha-ha-ha, kau sudah berjodoh dengan puteri kami, orang muda"

   "Ayah, namanya Cian Han Sin, kelak anak kami akan bermarga Cian" kata Kui Ji tanpa malu-malu lagi.

   "Ha-ha-ha-ha, tentu saja. Sudah menjadi peraturan nenek moyang kita yang tidak boleh di langgar bahwa seseorang anak menggunakan marga ayahnya.

   "Han Sin, Karena kau sudah menjadi mantuku, maka menurut peraturan sejak jaman dahulu, kau harus memberi hormat kepada aku dan istriku dengan berlutut. Hayo lakukan, kau tidak akan menyesal menjadi mantu Kui Mo, ha-ha-ha-ha"

   Han Sin merasa tertarik sekali. Dua kali sudah orang gila ini menekankan soal peraturan nenek moyang yang harus di taati. Agaknya ini merupakan titik kelemahannya, pikirnya maka hal itu akan di cobanya.

   "Benar sekali, paman akan tetapi menurut peraturan nenek moyang kita sejak jaman dahulu yang tidak boleh dilanggar, pemberian hormat itu hanya dilakukan di waktu sepasang pengantin dipertemukan, jadi bukan sekarang. Kalau sekarang dilakukan, ini berarti melanggar peraturan nenek moyang"

   Kui Mo tertegun, melongo, lalu tertawa "Ha-ha-ha-ha, kau benar. Aku sampai lupa, ha-ha-ha. Baik, dilakukan nanti setelah kedua pengantin dipertemukan"

   Han Sin merasa girang, ternyata akalnya berhasil baik, maka dia lalu berkata lagi "Menurut adat istiadat, sungguh tidak pantas kalau seorang mantu dibiarkan setengah telanjang seperti ini. Hal itu akan mencemarkan nama baik mertuanya. Maka saya harap agar buntalan pakaianku yang disimpan calon istriku diberikan kepadaku agar saya dapat memakai pakaian yang pantas "

   Kui Mo memandang kepada puterinya "Kui Ji, apakah pakaian suami mu kau simpan?"

   "Buntalan itu adalah emas kawinnya, ayah"

   "Emas kawinku hanya sekantung emas itu, dan pakaian itu adalah pakaian untukku sendiri, adik Kui Ji yang baik" Kata Han Sin dengan suara merayu. Senang hati Kui Ji di sebut adik yang baik, maka ia lalu tertawa dan berloncatan pergi. Tak lama kemudian ia sudah kembali membawa buntalan itu dan membukanya didepan semua orang.

   Ketika mengambil kantung emas, Kui Ji bersorak "Horeeee, ini emas kawinku. Banyak ya bu?"

   "Hemmmm, dahulu emas kawin yang diberikan ayahmu kepadaku, tidak sebanyak itu"

   Sementara itu Han Sin mengambil pakaiannya dan mengenakan pakaiannya sendiri. Agar tidak bertelanjang lagi, dia memakai pakaiannya di luar celana berkembang itu.

   "Bagus, kau gagah memakai pakaian itu. Pantas menjadi mantuku" Kata Kui Mo.
"Dan sekarang, mari kita semua pulang. Pesta pernikahan harus dirayakan dengan meriah"

   Biarpun hatinya mendongkol dan juga khawatir, Han Sin terpaksa ikut rombongan keluarga gila itu mendaki sebuah bukit yang penuh hutan. Melihat keadaan dirinya, untuk sementara ini terpaksa dia harus menurut segala kemauan mereka, akan tetapi dia masih memiliki "senjata" yang ampuh, yaitu kepatuhan Kui Mo akan adat istiadat nenek moyang.

   Dan senjata itu akan dapat dipakainya untuk mengendalikan mereka, setidaknya untuk sementara waktu. Dia tidak tahu berapa lamanya racun dingin itu akan mempengaruhi tubuhnya.

   ***

   Rumah itu besar akan tetapi sederhana sekali, Terbuat daripada bambu dan kayu. Ketika Han Sin diajak oleh keluarga gila itu memasuki rumah, dia sudah menyusun rencana siasatnya.

   Didalam rumah terdapat pula meja kursi yang kasar, agaknya buatan mereka sendiri. Akan tetapi pada dinding bambu itu tergantung lukisan-lukisan indah dan sajak-sajak pasangan yang di tulis oleh penyair-penyair terkenal. Han Sin merasa heran sekali. Dilihat dari sajak dan lukisan itu, pantasnya keluarga itu adalah keluarga bangsawan yang berdiam disebuah gedung. Sajak dan lukisan seperti itu memang sepatutnya tergantung di dinding rumah gedung.

   "Nah, Inilah rumah kami, juga kini menjadi rumahmu, mantuku" kata Kui Mo sambil tertawa-tawa senang" Kita akan segera melangsungkan pernikahan mu dengan Kui Ji"

   Han Sin bangkit berdiri dari duduknya dan memberi hormat, sikapnya seperti seorang sastrawan yang patuh terhadap adat istiadat" Calon mertuaku, harap diketahui bahwa baru beberapa bulan saya kematian ayah kandung saya, menurut adat istiadat nenek moyang kita, seorang anak yang kematian ayahnya, tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelem berkabung sedikitnya satu tahun. Apakah paman calon mertua berani melanggar pantangan adat istiadat itu?"

   Mendengar ini, Kui Mo terbelalak "Ah, tentu saja tidak boleh. Berapa lama lagi perkabungan selesai?" tanyanya sambil memandang pakaian Han Sin yang serba putih. Han Sin memang sengaja memilih pakaian putih ketika berpakaian tadi, karena siasat ini sudah mulai disusunnya.

   "Kurang tiga bulan lagi. Dan pula menurut adat istiadat nenek moyang kita, sebuah pesta pernikahan merupakan ukuran dari derajat dan martabat orang tua pengantin. Kalau pernikahan di langsungkan ditempat sunyi ini, tanpa ada tamunya, tanpa ada keramaian yang mewah, apakah hal itu tidak akan merendahkan martabat paman calon mertua? Saya kira sambil menunggu tiga bulan lewat, paman dapat mencari tempat yang lebih sesuai untuk mengangkat derajat paman calon mertua"

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 04

   Kembali Kui Mo terbelalak dan bengong. Akhirnya dia mengangguk-angguk bodoh "Kita akan cari tempat itu, kita akan cari..." katanya, agak bingung.

   "Kenapa bingung, suamiku? Tak jauh dari sini, lereng hwa-san, bukankah terdapat tempat yang indah dan cukup mewah? Partai Bunga Hwa-ki-san memiliki gedung yang besar dan megah. Kita datangi Hwa-li-san, kita duduki gedungnya untuk perayaan pernikahan dan kita suruh mereka mengundang tokoh-tokoh dunia persilatan untuk hadir merayakan pesta pernikahan. Tentu akan meriah dan mengangkat martabat kita"

   "Bagus, bagus, ha-ha-ha-ha" Kui Mo melompat, merangkul istrinya dan menciuminya" Mantuku, bukankah ibu mertuamu ini pintar sekali?" katanya.

   Han Sin tersenyum melihat prilaku yang tidak mengenal rasa malu itu "Memang pendapat yang baik sekali" katanya.

   "Kalau gitu, kita bersiap-siap, besok kita pergi ke Hwa-san dan menguasai Hwa-li-san, ha-ha-ha" Kui Mo tertawa-tawa seperti anak kecil yang merasa gembira sekali.
Malam itu, Kui Ji hendak menggandeng Han Sin kekamarnya, akan tetapi pemuda itu berkata "Calon isteriku yang baik, jangan kita melanggar pantangan nenek moyang kita"

   "Suamiku, kita akan menjadi suami istri, apa salahnya kalau kau tidur di kamarku bersamaku?"

   "Aihhh, adik Kui Ji yang baik, apakah kau tidak tahu? Tanyakan saja pada ayahmu ini. Nenek moyang kita mengatakan bahwa sebelum dipertemukan sebagai pengantin, calon pengantin tidak boleh saling berdekatan, apalagi tidur sekamar. Aku tidak berani melanggar pantangan itu, takut kalau kena kutuk"

   Mendengar ucapan itu, Kui Mo mengangguk-angguk" Dia benar, Kui Ji. Biar dia tidur sekamar denganku dan kau tidur sekamar dengan ibumu"

   "Akan tetapi, ayah"

   "Tidak ada tapi. Kita adalah orang-orang terpelajar dan mantuku adalah orang yang mengenal adat, kita harus menaati adat istiadat kalau tidak mau terkutuk"

   "Aku takut kalau-kalau dia melarikan diri, ayah" kata Kui Ji.

   "Ha-ha-ha, dia tidur bersamaku sekamar, bagaimana dia bisa melarikan diri?" Kui Mo tertawa bergelak.

   "Hik-hik-hik, dia sudah terkena racunku, mana mungkin dapat meloloskan diri?" kata pula Liu Si, ibu Kui Ji.

   Demikianlah, malam itu Han Sin tidak tidur sedipan dengan Kui Mo, setelah mereka makan malam. Dan ternyata biarpun gila, Kui Ji dan ibunya pandai memasak. Makanan yang dihidangkan cukup lezat sehingga Han in merasa heran sendiri. Dalam banyak hal keluarga ini seperti bukan orang-orang gila, bahkan ada kalanya mereka bersikap wajar dan waras. Akan tetapi segera sikap itu tertutup oleh kelakuan yang gila-gilaan.

   Begitu tubuhnya menyentuh tempat tidur, Kui Mo segera mendengkur. Han Sin sebaliknya tidak dapat tidur. Bukan hanya karena di sebelahnya ada orang mendengkur, melainkan karena dia memang sedang berusaha untuk melarikan diri.
Sebetulnya kalau saja tenaga sin-kangnya dapat disalurkan, mudah saja baginya untuk menotok Kui Mo yang rebah miring membelakanginya itu. Akan tetapi tenaga sin-kangnya dari tan-tian (bawah pusar) itu tidak dapat menggerakkan otot-ototnya. Menotok dengan tenaga biasa saja amat berbahaya. Kui Mo biarpun gila memiliki ilmu kepandaian tinggi, mana bisa dilumpuhkan dengan totokan tenaga biasa.

   Dengan hati-hati dia bangkit duduk. Untung dia tidur di tepi dipan sehingga dia dapat turun dari dipan tanpa melangkahi tubuh Kui Mo. Dia bergerak perlahan sekali sambil memperhatikan dengkur orang gila yang lihai itu.

   Dengkurnya masih tetap, bahkan terdengar semakin keras. Kini dia berindap-indap ke pintu dan keluar dari pintu. Agar tidak melewati kamar kedua orang wanita yang berada di bagian depan, dia pergi ke belakang, membuka pintu belakang yang menembus ke kebun. Jantungnya berdebar tegang dan juga girang. Tidak ada perubahan dalam kamar itu dan dengkur Kui Mo itu bahkan terdengar dari belakang rumah. Juga tidak ada suara keluar dari kamar Kui Ji yang tidur bersama ibunya. Dia dapat bebas.

   Malam itu terang bulan, menguntungkan bagi Han Sin. Dia dapat melarikan diri dibawah sinar bulan. Akan tetapi baru belasan langkah dia memasuki kebun, tiba-tiba nampak tiga bayangan berkelebat dan keluarga itu, lengkap ayah isteri dan anak, telah berada disitu mengepungnya. Mereka tertawa-tawa dan Kui Mo menegur "Ha-ha-ha, mantuku, kau hendak pergi kemana?"

   Han Sin merasa hatinya mendongkol bukan main, namun diam-diam dia juga kaget. Keluarga gila ini memang benar-benar lihai sekali. Dia bersungut-sungut.

   "Kalian ini sungguh merupakan orang-orang yang tidak tahu aturan dan kepantasan. Orang ingin kencing, kenapa diikuti?" berkata demikian, dia lalu menghampiri sebatang pohon, membuka celananya dan kencing di situ.

   "Ha-ha-ha, kami memang salah. Aku juga ingin kencing" kata Kui Mo dan diapun kencing di bawah pohon yang sama.

   Ibu dan anak itu terkekeh-kekeh dan pergi dari situ, kembali kedalam rumah. Terpaksa Han Sin juga kembali kedalam rumah bersama Kui Mo dan karena dia maklum bahwa melarikan diri tidak mungkin sama sekali, diapun dapat menerima keadaan dan tidur pulas. Besok pagi kalau mereka menyerang Hwa-li-pang seperti yang mereka rencanakan, dia dapat mencari kesempatan untuk melarikan diri.

   ***

   Hwa-li-pang adalah sebuah perkumpulan persilatan yang dipimpin oleh seorang pendeta To wanita. Murid-muridnya atau para anggota Hwa-li-pang semua wanita. Jumlah para murid Hwa-li-pang ada kurang lebih limapuluh orang, dari gadis-gadis berusia delapan belas sampai duapuluh lima tahun.

   Hwa-li-pang baru berdiri duapuluh tiga tahun yang lalu, yaitu sejak Kerajaan Sui berdiri. Perkumpulan ini merupakan pecahan dari perkumpulan Thian-li-pang yang terkenal didunia persilatan. Pada duapuluh tiga tahun yang lalu, ketua Thian li pang yang bernama Im-Yang To-Kouw sudah berusia lanjut, sudah kurang lebih sembilan puluh tahun.

   Karena merasa sudah terlalu tua untuk memimpin Thian-li-pang, merasa tubuhnya sudah lemah dan ia ingin tekun bersemedhi, menjauhi urusan duniawi, ia lalu mengambil keputusan untuk menyerahkan pimpinan Thian-li-pang kepada muridnya. Akan tetapi ternyata ia mengalami kesulitan dalam menentukkan siapa yang akan dipilihnya menjadi ketua baru menggantikannya. Murid utama yang paling di sayangnya adalah Kwee Sun Nio akan tetapi murid ini telah meninggal dunia limabelas tahun yang lalu. Dan diantara murid-muridnya yang lain terdapat dua orang gadis yang dianggapnya paling pandai dan pantas menjadi ketua Thian-li-pang. Ia menjadi ragu dan bimbang siapa diantara kedua murid ini yang akan diberi warisan kedudukan ketua.

   Dalam peraturan Thian-li-pang, seorang ketua tidak boleh menikah selama ia menjadi ketua, Akan tetapi seorang murid boleh saja menikah karena murid ini masih wanita biasa, belum menjadi to-kouw. Murid pertama yang dianggapnya cocok menjadi ketua Thian Li Pang bernama Yap Ci Hwa, berusia duapuluh tujuh tahun dan murid kedua bernama Ciang Hwi, berusia duapuluh dua tahun.

   Kalau di nilai dari ilmu kepandaian silat, murid kedua itu lebih pandai dan berbakat. Akan tetapi ia tahu bahwa Ciang Hwi seorang gadis cantik yang mempunyai hubungan akrab dengan seorang pemuda murid Kun Lun Pai bernama Ang Cun Sek. Murid pertama itu, Yap Ci Hwa, memiliki wajah yang tak dapat disebut cantik. Melihat kenyataan ini, agaknya Ci Hwa yang dapat menjadi ketua Thian li pang dan tidak menikah selamanya.

   Pada suatu pagi, Im-yang To-kouw memanggil kedua orang muridnya ini ke dalam ruangan tertutup dan mengajak mereka berdua untuk bercakap-cakap.

   "Aku memanggil kalian berdua untuk memberi tahu bahwa aku sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri sebagai ketua. Dan sebagai penggantinya, kupandang hanya kalian berdua yang pantas menjadi ketua baru. Kalau diukur dari ilmu kepandaian, Ciang Hwi memang lebih unggul dan lebih pantas menjadi ketua"

   "Subo, kalau begitu berikan saja kedudukan ketua kepada Ciang-sumoi" Kata Ci Hwa dengan suara rela. Sikapnya ini saja sudah mendatangkan rasa suka di hati Im-yang To-kouw.

   Im-yang To-kouw mengangguk-angguk dan melambaikan sebuah kebutan putih di depannya" Akan tetapi ada pantangan yang amat keras untuk menjadi ketua, yaitu seorang ketua tidak diperbolehkan menikah selama hidupnya. Aku ragu apakah Ciang hwi dapat mempertahankan pantangan ini "

   Ciang Hwi mengerutkan alisnya. Ia adalah seorang gadis yang berwatak jujur dan keras hati "Subo, maafkan pertanyaan teecu, akan tetapi, semua murid Thian-li-pang diperbolehkan menikah, mengapa ketuanya tidak? Bukankah itu tidak adil namanya?"

   Im-yang To-kouw tersenyum "ini sudah menjadi peraturan Thian-li-pang yang digariskan oleh pendirinya dan kita harus menaatinya. Menurut pendapatku, pantangan ini diadakan agar para ketua Thian-li-pang tidak terikat oleh keluarga dan dapat mencurahkan perhatian, khusus untuk kepentingan Thian-li-pang dan perkembangan agama To"

   "Akan tetapi, peraturan itu diadakan oleh seorang ketua, apakah tidak dapat peraturan itu diubah oleh ketua yang lain? Jaman telah berubah, subo seorang wanita tidak akan menjadi seorang manusia yang lengkap dan sempurna hidupnya kalau ia tidak diperbolehkan menikah dan mempunyai keluarga"

   "Ciang Hwi. Tidak boleh kau mengucapkan kata-kata seperti itu. Peraturan adalah untuk ditaati, bukan untuk diperbantahkan. Karena itulah, biar kepandaianmu lebih tinggi daripada Yap Ci Hwa, akan tetapi terpaksa aku tidak dapat memilihmu menjadi ketua baru menggantikan aku. Aku akan mengangkat Ci Hwa untuk menjadi ketua baru" ucapan Im-yang To-kouw ini bernada marah.

   "Subo, harap subo memaafkan sumoi yang masih muda. Teecu rela mengalah kalau subo memberikan kedudukan ketua kepada Ciang-sumoi" kata pula Ci Hwa dengan suara merendah.

   "Hemmm, keputusanku tidak dapat di ubah lagi, Ciang Hwi, kau sepatutnya mencontoh sucimu ini yang pandai membawa diri dan taat kepada peraturan"

   Ciang Hwi yang di tegur gurunya hanya menundukkan kepalanya, akan tetapi didalam hatinya ia membantah. Pandai membawa diri? Ia mengenal benar siapa sucinya itu. Seorang yang keras hati dan licik. Pernah dulu sucinya ini berkata kepadanya bahwa kalau sucinya menjadi ketua, sucinya akan mengharuskan agar semua murid tidak menikah.

   Hal ini dikatakannya sucinya karena iri hati kepadanya yang menjalin hubungan akrab dengan Gan Seng, murid Kun-lun-pai itu.

   Pada keesokan harinya, Im-yang To-kouw mengumpulkan semua muridnya dan memngumumkan pengangkatan Yap Ci Hwa sebagai ketua baru. Upacara sembahyang untuk mengesahkan pengangkatan ketua itu diadakan dan setelah itu, Im-yang To-Kouw yang sudah tua lalu mengundurkan diri ke dalam sebuah guha di puncak gunung untuk bertapa, tidak lagi berurusan dengan dunia luar.

   Selama Im-yang To-kouw masih hidup, Yap Ci Hwa bersikap biasa dan melanjutkan yang telah diambil oleh subonya. Akan tetapi, setahun kemudian Im-yang To-Kouw meninggal dunia karena usia tua.

   Setelah penguburan jenazah To-Kouw itu selesai, Yap Ci Hwa segera mengumumkan perintahnya yang pertama yaitu ia mengubah peraturan Thain-li-pang dan semua murid Thian-li-pang tidak diperbolehkan menikah. Siapa yang tidak mau menaati peraturan ini dikeluarkan dari perkumpulan.

   Ciang Hwi mendahului murid-murid lain, dan ia menyatakan keluar dari Thian-li-pang. Tindakannya ini mendorong keberanian para murid lain yang segera mengikuti langkahnya, ramai-ramai keluar dari Thian-li-pang. Tidak kurang dari tigapuluh orang murid menyatakan keluar sehingga yang tinggal hanya kurang lebih tujuhpuluh orang murid lagi. Yap Ci Hwa marah sekali akan tetapi ia tidak melarang mereka pergi.

   Ia lalu mengumumkan nama julukannya sebagai nama yang baru, yaitu Kang Sim To-Kouw (Pendeta Wanita Berhati baja).

   Sementara itu, Ciang Hwi yang sudah keluar dari Thian-li-pang, segera melangsungkan pernikahannya dengan Ang Cun Sek, pemuda murid Kun-lun-pai yang tinggal di dusun tidak jauh dari Thian-li-pang dan dengan siapa sudah lama ia menjalin hubungan. Dalam pesta pernikahan ini ia mengundang semua saudara seperguruan yang telah keluar dari Thian-li-pang sehingga pesta pernikahan itu merupakan pertemuan yang menggembirakan. Dan dalam pertemuan itu, disepakati oleh semua murid yang keluar dari Yhian-li-pang agar Ciang Hwi suka memimpin mereka dalam sebuah wadah baru, yaitu perkumpulan baru.

   Ciang Hwi yang masih merasa penasaran kepada gurunya dan sucinya, menyetujui dan demikianlah, mereka mendirikan Hwa-li-pang yang berpusat di pegunungan Hwa-san, dengan Ciang-hwi menjadi ketuanya. Setahun setelah para murid Thian-li-pang itu keluar dari perkumpulan itu, mereka kini mendirikan Jwa-li-pang.

   Baru setelah empat tahun menikah, Ciang Hwi mengandung. Berbeda dengan keadaan Thian-li-pang, ketua yang mengandung itu menerima ucapan selamat dari para murid dan pembantunya yang merasa gembira sekali, Ang un Sek, suami Ciang Hwi, tidak mau menganggur saja. Dia pun enggan membantu istrinya memimpin kurang lebih limapuluh orang anggota Hwa-li-pang karena semua anggota Hwa-li-pang adalah wanita.

   Ang Cun Sek bekerja sebagai seorang piauw-su (pengawal barang kiriman) dan karena kegagahannya, dia memperoleh banyak langganan yang mempercayakan barang mereka dikawal oleh Ang Cun Sek. Untuk perusahaan pengawalan barang ini, Ang Cun Sek mempunyai sepuluh orang pembantu.

   Pada suatu hari, ketika Ciang Hwi yang hamil tua itu sedang duduk bercakap-cakap dengan para pembantunya tentang pekerjaan mereka, yaitu menjual sayur, buah dan rempah-rempah hasil ladang mereka, datanglah dua orang pembantu Ang Cun Sek berlari-lari dalam keadaan luka-luka.

   Ciang Hwi bangkit dari duduknya, memandang kepada mereka dengan khawatir dan bertanya "Apa yang terjadi?"

   "Celaka, pangcu, celaka besar"

   "Ada apakah? Hayo lapor yang baik" Bentak Ciang Hwi.

   "Barang kiriman yang kami kawal diserbu gerombolan perampok bertopeng yang lihai sekali. Delapan orang rekan kami tewas semua dan kami beruntung dapat meloloskan diri dengan pura-pura mati....."

   "Dan pimpinanmu? Bagaimana dengan Ang-piau-su?"

   "Ang-piauw-su.... dia.... dia. juga menjadi korban, roboh dan tewas"

   Dengan muka pucat Ciang Hwi melompat bangkit dari kursinya, matanya terbelalak, wajahnya pucat dan bibirnya gemetar, tubuhnya menjadi lemas dan iapun terjatuh kembali diatas kursinya.

   Para pembantunya segera menghampirinya "Pangcu, kita harus cepat pergi ke sana, mencari dan membasmi gerombolan perampok itu untuk membalaskan kematian suami pang-cu"

   Ucapan ini seperti membakar semangat Ciang Hwi. Ia bangkit lagi mengepal kedua tangannya dan berkata "Benar, mari bersiap-siap mengikuti aku membalas dendam. Hei, kalian berdua, cepat obati luka-lukamu dan tunjukkan kepada kami dimana tempat terjadinya perampokan itu"

   Tak lama kemudian Ciang Hwi sudah berlari turun dari bukit Hwa-san, bersama dua orang piauw-su yang menjadi penunjuk jalan dan diikuti oleh limapuluh orang anak buahnya. Ketika mereka tiba di tengah hutan, mereka mendapatkan para korban masih malang melintang disitu. Termasuk jenazah suami Ciang-hwi. Yang aneh lagi, kereta berisi barang kiriman masih ada disitu, tidak diganggu perampok, tidak ada yang hilang.

   Ciang Hwi berlutut memeriksa suaminya, akan tetapi Ang Cun Sek sudah tewas dan ada luka tusukan pedang yang menembus dadanya.

   Ciang Hwi menangis tanpa suara. Dengan kedua mata basah mengeluarkan air mata yang menetes-netes turun keatas pipinya. Ia bangkit lagi dan memimpin anak buahnya untuk mencari para perampok itu. Akan tetapi para penyerbu itu sudah tidak nampak bayangannya dan tidak meninggalkan jejak. Setelah mengejar ke sana ke sini tanpa hasil dan tidak menemukan jejak gerombolan itu, dengan penuh duka dan penasaran mereka kembali ke tempat tadi dan kini Ciang Hwi tidak dapat lagi menahan tangisnya. Ditangisinya jenazah suaminya itu, penuh penyesalan karena ia tidak mampu menemukan gerombolan yang telah membunuh suaminya. Akhirnya setelah di bujuk-bujuk oleh para pembantunya, Ciang Hwi berhenti menangis dan mengatur pengangkutan para jenazah itu ke Hwa-san. Dua orang piau-su dibantu belasan orang murid Hwa-li-pang melanjutkan pengiriman barang itu.

   Demikianlah, dalam usia duapuluh enam tahun, dalam keaadan mengandung, Ciang Hwi telah menjadi janda. Yang membuat ia penasaran adalah karena ia tidak tahu siapa yang telah membunuh suaminya.

   Dua orang piauw-su yang masih hidup itu tidak dapat mengenal belasan orang menyerbu yang semua mengenakan muka dari kain, akan tetapi rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Ciang Hwi yakin bahwa mereka itu bukan gerombolan perampok karena barang berharga di kereta itu tidak mereka usik.

   Karena itu, jelas bahwa gerombolan itu memang sengaja muncul untuk membunuh suaminya. Berarti gerombolan itu adalah musuh yang mendendam kepada suaminya.

   Akan tetapi siapakah musuh itu? Memang tentu saja suaminya mempunyai banyak musuh. Sebelum menikah dengannya, sebagai seorang pendekar Kun-lun-pai, tentu suaminya dimusuhi banyak orang karena dia selalu menentang kejahatan. Setelah menjadi piauw-su, lebih lagi. Ketika mengawal barang dia sering bentrok dengan gerombolan perampok yang mencoba untuk merampok barang kawalannya. Akan tetapi siapakah mereka dan bagaimana ia dapat mengusut agar menemukan orang-orang yang membunuh suaminya?.

   Kandungannya semakin tua dan perutnya semakin membesar sehingga terpaksa Ciang Hwi berdiam di rumah dengan hati ditekan rasa penasaran dan sakit hati.
Setelah genap bulan dan harinya, Ciang Hwi melahirkan seorang anak perempuan yang mungil dan sehat. Ia memberi nama Ang Swi Lan kepada anak itu.

   Agaknya nasib janda muda ini memang sedang gelap. Kesusahan karena malapetaka menimpanya susul menyusul. Setelah kehilangan suaminya yang dibunuh orang dan ia belum mengetahui siapa pembunuh suaminya, ia memang terhibur dengan kelahiran Ang Swi Lan. Akan tetapi baru saja Swi Lan berusia dua tahun, pada suatu hari orang mendapatkan wanita pengasuh anak itu tewas di taman belakang sedangkan Swi Lan telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.

   Tentu saja Ciang Hwi menjadi terkejut dan sedih sekali. Ia hendak mencari anaknya, akan tetapi kemana? Ia tidak tahu siapa yang menculik anaknya, bahkan satu-satunya saksi, yaitu si pangasuh telah tewas tertusuk pedang.

   Ia dan semua anak buah Hwa-li-pang mencoba untuk mencari jejak, namun sia-sia belaka, semua usaha mereka tidak berhasil, Swi Lan lenyap dengan penuh rahasia, seperti kematian suaminya yang juga belum diketahui sebab dan siapa pembunuhnya.

   Akhirnya Ciang Hwi menerima nasib. Ia menjadi seorang pemurung dan kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya. Akan tetapi, ia mencurahkan segenap tenaga dan perhatiannya untuk mengatur Hwa-li-pang sehingga memperoleh kemajuan. Para anak buah Hwa-li-pang tidak hanya bertani dan mencari rempah-rempah, akan tetapi juga ia meneruskan perusahaan suaminya, yaitu membuka perusahaan pengawalan barang kiriman dengan demikian, selain Hwa-li-pang mendapat banyak penghasilan, juga dalam mengawal barang ke segala jurusanini anak buahnya dapat membuka mata dan telinga untuk mencari keterangan tentang hilangnya Swi Lan. Dengan bekerja tekun, Hwa-li-pang memperoleh penghasilan lumayan dan Ciang Hwi dapat membangun rumah yang besar, bahkan ia juga membangun sebuah kuil di depan untuk menerima rakyat yang datang bersembahyang. Mulailah ia menekuni agama dan mengikuti jejak gurunya, menjadi seorang To-kouw dengan julukan Pek Mau To-Kouw (Pendeta Wanita Rambut Putih) karena sejak kehilangan puterinya, dalam usianya yang baru duapuluh sembilan, rambutnya sudah mulai memutih. Selain berusaha keras untuk membangun Hwa-li-pang sehingga perkumpulan itu terkenal didunia Kang-ouw.

   Pek Mau To-Kouw ini menghabiskan waktu untuk mempelajari kitab-kitab agama dan bersamadhi dalam kamarnya. Ia berubah menjadi seorang wanita yang pendiam, bijaksana dalam mengatur anak buahnya, mengajarkan silat dengan penuh kesabaran. Perkumpulan ini menjadi terkenal dan makin banyak anak-anak perempuan dan gadis-gadis remaja masuk menjadi anggota perkumpulan. Namun watak dasarnya masih belum meninggalkannya, yaitu keras hati dan berkemauan teguh.

   Apakah yang telah terjadi dengan Ang Swi Lan? Peristiwa itu terjadi cepat sekali sehingga tidak sempat dilihat orang lain. Ketika pengasuh Swi Lan sedang mengajak anak itu bermain-main di taman bunga, tiba-tiba sesosok bayangan hitam berkelebat dan sekali tangannya mengayuh pedang, pengasuh itu roboh dan tewas tanpa dapat menjerit lagi. Swi Lan sedang duduk di bawah pohon bermain-main dengan bunga-bunga yang dipetikkan pengasuhnya. Setelah pengasuh itu roboh, si bayangan hitam itu cepat sekali menyambar anak itu, menotoknya sehingga tidak mampu berteriak dan membawanya melompat pergi dari situ. Tidak ada seorangpun menyaksikan peristiwa itu.

   Bayangan hitam itu berlari cepat menuruni Hwa-san sambil memondong anak kecil itu. Ia mengambil jalan melalui hutan-hutan sehingga tidak pernah bertemu orang. Ketika ia tiba didalam sebuah hutan besar di kaki Hwa-san, tiba-tiba ia mendengar suara orang sedang berkata-kata seorang diri. Suaranya lembut namun lantang. Bayangan itu cepat menyelinap ke balik semak belukar dan mengintai. Ia melihat seorang kakek berusia sekitar limapuluh tahun, membawa sebatang tongkat yang dipakai memikul sebuah keranjang berisi daun-daun dan akar-akaran dan kini orang berkepala gundul itu sedang meneliti daun-daun tak jauh dari situ. Jelas bahwa orang itu adalah seorang hwesio yang pakaiannya longgar.

   "Apakah, sahabat-sahabatku, yang dinamakan jahat itu? Membunuh adalah jahat, mencuri adalah jahat, menghambakan diri kepada nafsu birahi adalah jahat, berbohong adalah jahat, fitnah adalah jahat, mencela mencaci adalah jahat, membenci adalah jahat, memeluk pelajaran palsu adalah jahat, namun itulah, sahabat sahabatku, adalah jahat. Dan Apakah sahabat sahabatku, akar dari kejahatan? Nafsu keinginan adalah, akar kejahatan, kebencian adalah akar kejahatan, khayalan adalah akar kejahatan, semua ini adalah akar kejahatan"

   Bayangan hitam itu terkejut dan menjadi gelisah, apalagi ketika ia mengintai dari balik semak-semak, ternyata hwesio itu telah lenyap dari tempat dimana tadi dia berdiri. Karena mengira bahwa hwesio itu telah pergi jauh, ia lalu melemparkan Swi Lan ke atas tanah. Dan tiba-tiba anak itu menangis, agaknya lemparan itu membuat sebagian tubuhnya menimpa batu dan inilah yang membebaskannya dari totokan, atau memang sudah waktunya pengaruh totokan itu habis. Si bayangan hitam itu lalu menyingkap penutup mukanya, memandang kepada anak itu penuh kebencian dan berkata lirih, suaranya mendesis "Kutinggalkan kau disini biar dimakan binatang buas" setelah berkata demikian, orang itu lalu berkelebat pergi dari tempat itu.

   Tanpa diketahuinya, perbuatannya itu ada yang menyaksikannya. Hwesio yang mengucapkan pelajaran Sang Budha itu ternyata tidak pergi jauh. Dia dapat menangkap gerakan orang dibalik semak belukar, maka diapun menyelinap ke balik pohon dan mengitarinya sehingga dia dapat melihat si bayangan hitam itu ketika membuang Swi Lan, membuka penutup kepalanya lalu mengucapkan kata-kata yang kejam itu. Biarpun melihat wajah si bayangan hitam itu hanya sebentar saja, akan tetapi wajah itu takkan pernah dilupakan oleh hwesio itu. Dia lalu menghampiri Swi Lan yang sudah bangkit duduk sambil menangis itu. Dipondongnnya anak itu. Melihat dirinya dipondong oleh seorang yang tidak dikenalnya, tangis Swi Lan semakin menjadi-jadi karena takut.

   "Ssssttttt, anak manis, anak baik, jangan menangis. Pin-ceng tidak akan menggangumu, pin-ceng hendak menolongmu, anak manis" kata-kata yang bernada ramah penuh kelembutan itu akhirnya membuat Swi Lan diam. Agaknya anak kecil ini yang belum dapat berpikir dengan baik, namun dapat merasakan bahwa yang memondongnya bukan orang yang hendak menyusahkannya.

   Hwe-sio itu bertubuh gendut dan mukanya selalu tersenyum ramah, pandang matanya lembut dan suaranya halus "Anak manis, siapakah namamu?"

   Swi Lan yang baru dapat bicara sepatah dua patah kata itu agaknya mengerti pertanyaan itu dan ia menjawab "Lan Lan"

   Ketika hwe-sio itu bertanya lagi minta jawaban yang tepat siapa nama lengkap dari anak itu, Swi Lan yang belum mengerti hanya menjawab "Lan Lan"

   Hwe-sio itu menanyakan lagi orang tuanya dan tinggal dimana rumahnya, akan tetapi kepandaian bicara Swi Lan belum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

   Hwe-sio itu tertawa "Omitohud.... Agaknya sudah ditakdirkan bahwa pin-ceng harus merawat anak ini"

   Dia mengambil sebutir buah jeruk dari keranjang yang dipikulnya, mengupas jeruk itu dan memberikannya kepada Lan Lan. Anak itupun mau menerimanya dan memakannya.

   "Lan Lan, anak baik. Karena pin-ceng tidak tahu dimana rumah orang tuamu dan siapa nama mereka, maka mulai hari ini jadilah kau murid pin-ceng. Ha-ha-ha, Thian Ho Hwesio, jalan hidupmu sungguh ganjil. Selamanya belum pernah menerima murid dan sekali menerima murid, terpaksa menerima seorang bocah yang masih kecil Ha-ha-ha"

   Dia tertawa-tawa memindahkan semua daun dan akar obat ke sebuah keranjang yang lain lalu memikul dua keranjang itu. Lan Lan kelihatan girang sekali dan ia mulai tertawa-tawa. Hwe-sio itupun semakin lebar senyumnya dan dia berjalan keluar dari hutan itu dengan langkah cepat.

   ***

   Demikianlah keadaan Hwa-li-pang yang merupakan pecahan kecil dari Thian li pang. Sejak kematian suaminya lalu kehilangan puterinya. Ciang Hwi yang kini berjuluk Pek Mau To-kouw menyibukkan dirinya dengan mengurus Hwa-li-pang menjadi sebuah perkumpulan yang cukup besar di Hwa-san.

   Sang waktu berjalan dengan amat cepatnya dan enambelas tahun telah lewat sejak Ang Swi Lan lenyap di culik orang. Pek Mau To-kouw sudah tidak mengharapkan lagi puterinya akan dapat ia temukan. Mungkin puterinya telah tewas, dan andaikata masih hidup juga kalau bertemu dengannya pasti tidak saling mengenal. Memang puterinya itu mempunyai sebuah tanda yang mungkin tidak akan lenyap sampai ia dewasa, yaitu semacam bercak hitam di tengah telapak kaki kanannya. Akan tetapi bagian tubuh itu selalu tertutup sehingga tidaklah mungkin baginya untuk minta kepada setiap orang gadis yang disangka puterinya untuk membuka sepatu kanannya. Pek Mau To-kouw sudah melepaskan harapannya untuk bertemu dengan puterinya. Dan di dalam hatinya sudah terdapat ketenangan kembali. Ia sudah merasa berbahagia dalam kedudukannya sebagai pimpinan Hwa-li-pang. Juga mereka melayani orang-orang dusun yang datang hendak bersembahyang ke kuil hwa-li-pang.

   Pagi itu merupakan pagi yang amat indah. Matahari yang baru muncul di ufuk timur begitu cerahnya sehingga seluruh permukaan bukit hwa-san bermandikan cahaya yang putih keemasan itu.

   Awan-awan putih tipis bergerakk diangkasa, dapat di tembus cahaya matahari seperti tirai sutera tipis, angkasa jauh di atas nampak biru muda bagaikan samudera yang tenang tanpa gelombang. Angin pagi bersilir sejuk dan kicau burung dan kokok ayam jantan menambah semaraknya suasana dipagi yang indah itu. Sebernarnya, setiap saat dan detik terdapat keindahan dari suasana yang wajar ini. Hanya karena kita terlalu di ombang ambingkan pikiran kita sendiri yang mengadakan banyak persoalan maka keindahan yang ada itu tidak nampak lagi. Pikiran kita selalu sibuk dengan berbagai macam persoalan kehidupan sehari-hari, dari urusan pekerjaan, mencari uang, persoalan rumah tangga, konflik-konflik dalam keluarga atau antar teman, pengangguran, kejahatan, dan bahkan perang. Pikiran kita sudah menjadi gudang dari segala macam permasalahan yang memusingkan sehingga kita sudah lupa betapa indahnya alam di sekeliling kita, betapa Maha Murahnya Tuhan terhadap kita semua. Segala keperluan hidup manusia telah terbentang luas di depan kita, Kita tinggal mengolah dan memetik saja. Akan tetapi semua keindahan itu tidak akan terasa lagi kalau kita menjadi hamba nafsu yang menyeret kita ke dalam konflikk dan pertentangan, saling membenci, saling bermusuhan dan bahkan saling membunuh.

   Alangkah akan bahagianya hidup ini apabila kita manusia tidak saling bermusuhan, melainkan bersatu padu untuk membangun dengan sarana yang tersedia lengkap. Membangun demi kesejahteraan kita bersama. Hidup tenteram penuh kedamaian, saling tolong dan salin bantu dalam mengahdapi kesukaran yang bagaimanapun macamnya dan dari manapun datangnya. Kesukaran yang dibagi akan menjadi ringan dan bukan merupakan kesukaran lagi. Sedangkan kelebihan dan kesenangan yang dibagi tidak akan menjadi berkurang. Hdiup dalam suasana seperti itu akan melenyapkan segala macam kesusahan dan yang terdengar dari mulut kita hanyalah Puji Syukur dan terima kasih kepada Tuhan Maha Pencipta, tidak lagi terdengar keluh kesah seperti yang kita dengar setiap saat pada masa kini.

   Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, Pek Mau To-Kouw sudah bangun dari tidurnya, bermeditasi dan berdoa. Lalu ia membersihkan tubuhnya dengan air sejuk, kemudian berjalan keluar untuk memeriksa pekerjaan para murid atau anggota hwa-li-pang. Para anggota Hwa-li-pang sudah nampak sibuk sepagi itu. Ada yang siap bekerja di swah, ladang, ada yang berangkat untuk mencari rempah-rempah di hutan, ada yang mengangkut hasil ladang untuk di jual di dusun-dusun dan kota di kaki bukit, dan ada pula yang bertugas sebagai pengawal barang kiriman, siap dengan keretanya. Diantara mereka para anggota yang tua-tua, sibuk mengurus kuil dan melayani orang-orang yang datang bersembahyang. Sudah ada belasan orang tamu kuil itu di pagi hari itu.kesemuanya wanita hendak bersembahyang. Diantara belasan orang tamu wanita ini, terdapat wanita muda yang berpakaian serba putih, cantik sekali seperti bidadari, dengan gerak gerik yang halus. Para tamu wanita itu cepat meberi hormat ketika Pak Mau To-Kouw memasuki kuil. Penampilan Pek Mau To-kouw memang anggun berwibawa. Rambutnya yang sudah hampir semua putih itu di gelung di ikat di atas dengan sutera putih. Jubahnya berwarna kuning, jubah panjang sederhana dan tangan kanannya memagang sebatang kebutan dengan bulu berwarna merah. Pek Mau To-Kouw membalas penghormatan para tamu itu dengan anggukan kepala dan senyum ramah.

   Tiba-tiba pandang mata Pek Mau To-Kouw tertarik oleh seorang yang melangkah datang ke kuil itu. Ia berhenti dan memutar tubuhnya menghadapi orang yang baru datang ini. Yang baru datang itu adalah seorang remaja berpakaian pengemis dan kepalanya di tutup sebuah topi butut. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat. Pakaiannya yang serba hitam itupun butut walau bersih, dan sepatunya yang sudah butut sehingga nampak jari kelingking kaki kirinya menonjol keluar. Mukanya kotor pula bercoreng lumpur namun dapat dilihat bahwa pengemis muda ini memiliki wajah yang tampan dan sepasang matanya bersinar-sinar

   "Sobat muda, kau datang hendak bersembahyang ataukah hendak mengemis?" tanya Pek Mau To-kouw dengan sikap dan suara lembut dan ramah.

   Pengemis muda itu mengamati ketua Hwa-li-pang itu penuh perhatian, lalu berbalik mengajukan pertanyaan "To-Kouw, kalau aku hendak bersembahyang mengapa dan kalau hendak mengemis bagaimana?"

   Pek Mau To-Kouw tersenyum dan diam-diam ia menganggumi ketegasan pengemis muda, walaupun pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pengemis, namun sama sekali tidak rendah diri, bahkan nampaknya seperti orang yang dapat menjaga harga diri.

   "Kalau hendak bersembahyang harap menunggu lebih dulu karena para tamu yang berada di dalam kuil semuanya adalah wanita sehingga tidak pantaslah kalau kau seorang pria masuk bersama mereka. Dan kalau kau hendak mengemis, sebaiknya kau berdiri di luar kuil menanti pemberian sumbangan dari mereka yang datang dan pergi"

   "Dari jauh aku datang ke sini karena mendengar bahwa ketua Hwa-li-pang adalah seorang yang murah hati, aku tidak hendak bersembahyang, tidak pula mengemis, hanya ingin membuktikan sampai dimana kedermawanan hati ketua Hwa-li-pang. Dapatkah aku bertemu dengan ketua Hwa-li-pang?"

   "Siancai.... Aku sendirilah ketua itu" kata Pek Mau To-kouw sambil tersenyum.

   "Bagus. Aku tidak ingin mengemis hanya ingin memancing kebaikan hati pang-cu"

   "Orang muda, pertolongan apakah yang dapat kuberikan kepadamu? Apakah kau lapar dan butuh makanan?"

   "Aku sudah kenyang, pagi tadi sudah sarapan, hampir menghabiskan seekor ayam panggang "

   "Hemmm, kalau begitu, apakah kau membutuhkan pakaian pengganti pakaianmu yang sudah butut itu?"

   "Tidak, aku lebih senang dengan pakaian ini, biar butut akan tetapi bersih. Hanya sepatuku"

   "Kenapa dengan sepatumu?"

   "Yang kiri sudah jebol sehingga jari kakiku kelihatan. Aku membutuhkan sepasang sepatu"

   Percakapan itu menarik perhatian para tamu wanita yang hendak bersembahyang dan merekapun tidak melanjutkan langkah mereka dan ikut menonton.

   Pek Mau Tok-kouw memandang ke arah kaki pengemis muda itu, lalu memadang kepada kakinya sendiri. Sekali pandang saja tahulah ia bahwa ukuran kakinya sama dengan ukuran kaki pengemis remaja itu, maka lalu ia melepaskan sepatunya yang terbuat dari kulit dan menyerahkannya kepada pengemis itu.

   "Kalau begitu, pakailah sepatu ini" katanya. Pengemis itu memandang tertegun dan menerima sepatu itu dan Pak Mau To-kouw lalu melangkah ke dalam kuil dengan kaki hanya terbungkus kaus kaki saja.

   Peristiwa kecil ini menunjukkan betapa baik budi to-kouw itu dan gadis berpakaian putih tadi yang melihat peristiwa itu memandang dengan mata sayu, agaknya ia terharu sekali akan kebaikan hati Pek Mau To-kouw. Pengemis itupun segera duduk di atas tanah dan mengganti sepatu bututnya dengan sepatu pemberian Pek Mau To-kouw. Wajahnya berseri dan dia tersenyum-senyum, lalu duduk bersandar pada pohon yang tumbuh di depan kuil. Agaknya angin semilir membuat dia mengantuk karena dia sudah melenggut tidur ayam dibawah pohon.

   Pek Mau To-kouw sendiri sudah memasuki kamar samadhi di kuil itu dan seorang murid datang mengantarkan sepasang sepatu untuk gurunya itu.

   Dari bawah lereng itu nampak ada empat orang naik ke lereng dan menuju ke kuil itu. Dilihat dari pakaian mereka, tiga diantaranya dengan pakaian kembang-kembang dan seorang diantaranya berpakaian serba putih. Para penjaga kuil menduga bahwa yang datang tentu segerombolan wanita lain. Akan tetapi setelah mereka itu dekat, tiba di halaman kuil, para pelayan itu memandang heran. Tiga orang berpakaian kembang-kembang itu adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, seorang wanita yang sebaya dan seorang gadis yang cantik. Adapun yang berpakaian serba putih itu adalah seorang pemuda tampan yang wajahnya dihias senyum tenang.

   Pemuda berpakaian serba putih itu adalah Han Sin, sedangkan yang berpakaian kembang-kembang adalah keluarga gila itu, Kui Mo, istrinya Liu Si dan anak mereka Kui Ji. Seperti telah di ceritakan dibagian depan, keluarga gila itu memaksa Han Sin untuk menikah dengan Kui Ji dan untuk merayakan pesta pernikahan, mereka hendak meminjam tempat dari Hwa-li-pang. Han Sin dalam keadaan tidak berdaya karena dia telah keracunan tidak mampu mengerahkan lwe-kangnya. Hawa sakti dari pusarnya tidak mampu menjalar ke kaki tangannya. Racun pelemas otot telah membuat otot-ototnya tidak mampu menampung hawa sakti atau tenaga dalam itu.
Tentu saja dengan kehilangan hawa sakti, ilmu silatnya tidak berisi lagi dan dia tidak mampu menandingi keluarga gila itu. Biarpun pemuda itu sudah menjadi seorang yang lemah, namun keluarga itu, terutama Kui Ji, tidak pernah melepaskan penjagaannya terhadap pemuda itu. Bahkan Kui Ji selalu berjalan di dekat Han Sin untuk menjaga jangan sampai pemuda yang membuatnya tergila-gila itu melarikan diri.

   Kui Mo dan Liu Si memasuki kuil itu, diikuti oleh Han Sin yang digandeng oleh Kui Ji. Melihat tiga orang berpakaian kembang-kembang itu memasuki kuil sambil tertawa-tawa seperti orang mabok, para anggota Hwa-li-pang yang bertugas di kuil segera maju menyambut. Kepala rombongan penjaga kuil, seorang wanita berusia kurang lebih empatpuluh tahun, sudah menjadi pendeta wanita pula, memberi hormat kepada mereka dan bertanya dengan suara lantang" Cu-wi, siapakah dan apa keperluan datang ke kuil kami? Apakah cu-wi (anda sekalian) hendak bersembahyang?"

   Kui Mo tertawa bergelak "ha-ha-ha, kami bukan hendak sembahyang, melainkan hendak meminjam tempat Hwi-li-pang ini untuk merayakan pesta pernikahan anak kami, ha-ha-ha"

   Kepala penjaga kuil itu tentu saja terkejut mendengar ini dan mengerutkan alisnya "Siancai... kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Tempat kami tidak untuk dipinjamkan kepada siapapun juga"

   Liu Si melangkah maju. Rambutnya yang riap-riapan itu menyeramkan sekali, sebagian wajahnya yang tidak tertutup rambut memperlihatkan kecantikan seorang wanita setengah tua, akan tetapi mulut yang menyerengai dan mata yang mencorong itu benar-benar membuat ia kelihatan seperti siluman.

   "Jangan banyak cerewet... panggil ketuamu dan suruh menghadap kami. Pendeknya, boleh atau tidak boleh tempat ini baru kami pinjam untuk keperluan perayaan pesta pernikahan anak kami"

   Ucapan galak itu di susul tawa yang terdengar mengerikan, melengking tinggi, pada saat itu Kui Mo tertawa-tawa, demikian pula Kui Ji terkekeh-kekeh. Sedangkan Han Sin hanya berdiri dan tersenyum bodoh.

   Para pengujung kuil mulai merasa takut melihat lagak tiga orang berpakaian kembang-kembang itu dan mereka berkumpul di pinggir dekat dinding dan bersiap-siap untuk melarikan diri kalau tiga orang gila itu mengamuk. To-kouw kepala jaga itupun mengerutkan alisnya. Tentu saja ia tidak mau merepotkan ketuanya untuk menghadapi tiga orang gila ini. Ia sendiri sudah memiliki kepandaian silat yang lebih tinggi dari pada semua penjaga kuil itu. Maka dengan berani to-kouw itu lalu membentak" kalian ini orang-orang gila berani datang membikin kacau Hwa-li-pang? Pergilah atau aku akan menggunakan kekerasan mengusir kalian"

   Liu Si terkekeh "He-he-he, kau ini orang gila berani memaki kami? Kalau kami katakan hendak meminjam tempat ini, siapa yang berhak melarang? Kamu hendak mengusir kami dengan kekerasan? Hemmm, apa yang dapat kau lakukan?" Liu Si melangkah maju sampai dekat sekali dengan to-kouw itu yang tentu saja menjadi ngeri di dekati wanita gila yang rambutnya riap-riapan itu. Ia lalu mengerahkan tenaganya mendorong Liu Si pada dadanya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia mendorong rasanya seperti mendorong sebongkah batu besar yang amat berat. Wanita gila itu sama sekali tidak bergoyang walaupun ia sudah mengerahkan tenaga sepenuhnya.

   "Hik-hik-hik" Liu Si terkekeh dan tangannya di dorongkan ke pundak kepala penjaga kuil itu. Seperti sehelai daun kering di tiup angin to-kouw itu terlempar ke belakang dan roboh menimpa meja.

   Para anggota Hwa-li-pang yang menyaksikan peristiwa ini tentu saja menjadi marah. Mereka segera menghampiri dan menyerang Liu Si dengan pukulan"pukulan dan tamparan.

   😮

   

   Empat orang anggota Hwa-li-pang mengeroyoknya, akan tetapi dengan mudah sekali, begitu Liu Si menggerakkan kaki tangannya, empat orang inipun berpelantingan roboh. Gegerlah keadaan dalam kuil. Para murid Hwa-li-pang lari berdatangan dan melihat ini, Kui Mo tertawa.

   "Ha-ha-ha, mari kita ke halaman dapan agar lebih leluasa kita menghajar mereka"
Kui Mo dan Liu Si berlompatan ke pekarangan kuil dan Kui Ji lalu menarik tangan Han Sin untuk ikut pula"Jangan takut, suamiku, Aku akan menjagamu, agar tidak ada yang berani mengganggumu" kata Kui Ji sambil terkekeh, lalu berdiri di pekarangan itu. Di bawah pohon sambil menggandeng tangan Han Sin. Pengemis muda yang tadi menerima sepatu dari Pek Mau To-kouw memandang dengan mata terbelalak heran. Akan tetapi berbeda dengan para tamu kuil yang kelihatan ketakutan, pemuda pengemis ini tidak nampak ketakutan, melainkan tertarik sekali. Terutama sekali dia merasa tertarik melihat keadaan Han Sin yang digandeng gadis gila itu. Dia tahu bahwa tiga orang yang mengenakan baju berkembang itu tentulah orang-orang gila, hal ini mudah diketahui dari sikap mereka yang tertawa-tawa menyeramkam itu. Dan agaknya dia gembira sekali melihat tontonan ini, yang dianggapnya aneh dan dia menanti para anggota Hwa-li-pang yang sudah mengejar keluar dari kuil. Bukan hanya para penjaga kuil yang kini berlari menuju ke halaman kuil itu, akan tetapi juga para anggota lain yang belum berangkat untuk bekerja.
Tidak kurang dari empatpuluh orang wanita anggota Hwa-li-pang kini berdatangan ke tempat itu dan banyak diantara mereka yang memegang senjata pedang atau toya.

   Kui Mo dan Liu Si sudah berdiri saling membelakangi dan tertawa-tawa melihat para anggota Hwa-li-pang berdatangan dengan sikap mengancam itu.

   Mereka Sama sekali tidak merasa gentar, sedangkan Kui Ji tetap berdiri di bawah pohon bersama Han Sin. Dua orang suami istri gila itu nampaknya gembira sekali melihat mereka dikepung oleh banyak pengeroyok dan begitu para pengeroyok itu menggerakkan senjata menyerang mereka, keduanya bergerak dengan cepatnya. Terdengar suara meledak-ledak ketika Liu i memainkan cambuknya dan tongkat di tangan Kui Mo juga berubah menjadi segulungan sinar kuning. Para pengeroyok terkejut sekali. Mereka menjadi bingung karena kedua orang gila itu seperti berubah mmenjadi bayangan yang banyak dan tahu-tahu enam orang diantara mereka telah roboh.

   Akan tetapi, seperti kepala jaga di kuil tadi, yang roboh itu tidak terluka berat, maka mereka terus mnegeroyok dengan marah. Kui Mo dan Liu Si tertawa-tawa dan makin banyak pula pengeroyok yang berpelantingan, dengan kepala benjol, muka lebam, gigi rontok, atau salah urat.

   Pengemis muda yang duduk di bawah pohon dan yang sejak tadi nonton dengan penuh perhatian nampak terkejut melihat kelihaian suami istri gila itu. Sementara itu, Kui Ji bertepuk tangan dan menari-nari kegirangan melihat ayah dan ibunya menghajar para pengeroyok itu.

   Han Sin merasa tidak enak sekali. Para anggota Hwa-li-pang itu adalah wanita-wanita yang tidak berdosa, kini mereka di hajar dan semua itu adalah gara-gara dia.
Kalau dia tidak diambil mantu keluarga gila ini tentu tidak akan terjadi kekacauan di Hwa-li-pang. An dia merasa tidak berdaya, tidak mampu mencegah pengamukan kedua orang gila itu. Hanya ada satu hal yang membuat hatinya lega, yaitu melihat kenyataan bahwa Kui Mo dan Liu Si selalu merobohkan pengeroyoknya tanpa membunuh, atau melukai berat. Mereka itu hanya dirobohkan dengan luka ringan saja dan hal ini membuktikan bahwa keluarga gila ini ternyata tidaklah jahat dan tidak suka membunuh. Padahal kalau mereka menghendaki, tenaga pukulan mereka dapat diperkuat dan yang roboh tentu akan tewas.

   Tiba-tiba terdengar bentakan halus akan tetapi berwibawa "Hentikan perkelahian ini"

   Mendengar suara ini, para anggota Hwa-li-pang berloncatan mundur. Diantara mereka banyak yang menderita luka-luka ringan. Pek Mau To-Kouw melangkah keluar dari pintu kuil dengan anggun dan tegap, menghampiri suami istri gila itu yang kini berdiri di samping Kui Ji dan Han Sin.

   Pek Mau To-kouw mengamati empat orang itu dengan pandangan mata penuh selidik, akan tetapi ia tidak merasa kenal dengan mereka. Ia lalu mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat dan sambil memandang kepada Kui Mo dan Liu Si, ia berkata "Siancai...... Siapakah sebetulnya ji-wi (anda berdua) dan mengapa pula berkelahi dengan anak buah kami dari Hwa-li-pang? Apa kesalahan Hwa-li-pang terhadap ji-wi?"

   Suami istri itu saling pandang dan mereka tertawa girang sekali "suamiku" kata Liu Si dengan sikap manja "To-kouw ini cukup anggun, bukan? Alangkah baiknya kalau ia yang mengatur upacara sembahyang untuk pernikahan anak kita"

   "Ha-ha-ha, memang tepat sekali kata-katamu, istriku. Dengan upacaranya di atur oleh to-kouw ini dan disaksikan oleh semua tokoh kang-ouw, pernikahan itu tentu akan mendapat berkah"

   Pek Mau To-kouw yang biasanya sabar sekali itu, kini timbul rasa penasaran di dalam hatinya "Apa yang ji-wi maksudkan? Ji-wi belum menjawab pertanyaanku"

   "Ha-ha-ha, kau menanyakan apa tadi? Ah, siapakah kami? Aku bernama Kui Mo dan ini istriku Liu si, yang cantik ini puteri kami bernama Kui Ji danpemuda ini adalah calon mantuku bernama Cian Han Sin. Nah, mengapa kami berkelahi dengan anak buahmu? Kalau saja sejak tadi kau keluar, tentu tidak akan ada perkelahian? Kau ketua Hwa-li-pang, bukan?"

   "Kami hendak meminjam tempatmu ini untuk perayaan pernikahan anak kami. Kata Liu Si"

   "Tempat ini kami pinjam, kau menjadi pendeta yang mengatur upacara pernikahan dan kau pula yang mengundang tokoh-tokoh kang-ouw agar hadir dan menyaksikan pernikahan itu, anak buahmu menyediakan hidangannya dan menjadi pelayan-pelayan untuk memeriahkan pesta pernikahan itu. Nah, usul kami ini baik sekali, bukan?" wanita gila itu tertawa melengking tinggi dan suami serta puterinya juga tertawa-tawa. Han Sin tidak ikut tertawa hanya tersenyum tak berdaya dan memandang kepada to-kouw itu dengan hati iba. Sejak dia dibawa ke tempat itu, dia selalu mencari kesempatan untuk meloloskan dan melarikan diri. Akan tetapi "calon istrinya" selalu menjaganya.

   Pek Mau To-kow menjadi merah mukanya saking marahnya mendengar ucapan itu. Tidak heran kalau para muridnya menjadi marah dan mengeroyok dua orang gila ini karena memang permintaan mereka itu sama sekali tidak pantas. Sampai lama ia tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marah dan bingungnya bagaimana harus bersikap untuk menghadapi orang-orang gila ini.

   "Ha-ha-ha, Pek Mau to-kouw, tidak usah ragu" kata Kui Mo "Lakukan saja apa yang kami minta dan kami tidak akan mengganggumu. Pesta itu akan kami langsungkan setelah lewat tiga bulan, dan untuk sementara ini kami berempat akan tinggal disini. Beri saja kami dua buah kamar. Itu sudah cukup"

   "Tiga buah kamar" tiba-tiba Han Sin memotong ucapan Kui Mo "Jangan paman calon mertua lupa, kita adalah orang-orang yang selalu menaati adat istiadat, tidak boleh calon pengantin berkumpul dalam satu kamar sebelum dilangsungkan pernikahannya"

   "Ah, ya benar. Tiga buah kamar. Dan makan setiap harinya untuk kami, permintaan kami ringan saja dan tentu kau tidak keberatan, bukan?" Kui Mo memandang kepada Pek Mau To-kouw. Mendengar ucapan Han Sin tadi, tahulah Pek Mau to-kouw bahwa pemuda "calon pengantin" itu bukanlah seorang yang gila seperti suami istri dan puterinya itu. Tentu pemuda itu di paksa oleh suami istri gila yang lihai itu, pikirnya.

   "Siancai" Permintaan kalian itu tentu saja sama sekali tidak mungkin kami penuhi. Pertama, perkumpulan Hwa-li-pang kami adalah sebuah perkumpulan wanita, maka tentu saja tidak dapat menerima tamu pria untuk bermalam di sini, kedua, semua anggota Hwa-li-pang tidak ada yang merayakan pernikahannya, kalau ada yang menikah di tempat ini. Oleh karena itu bagaimana mungkin orang luar merayakan pernikahan disini? Sobat, terpaksa kami tidak dapat memenuhi permintaanmu dan harap segera meninggalkan tempat ini karena kami tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga"

   "Ha-ha-ha, kami tidak ingin mendengar alasan. Pendeknya, boleh atau tidak boleh, tempat ini kami pinjam. Kau ini seorang to-kouw, kenapa tidak mengerti aturan?" Kata Liu Si sambil menudingkan telunjuknya kepada Pek Mau To-kouw.

   Ketua Hwa-li-pang itu memandang marah" Hemmmm, apa maksudmu menuduh kami tidak mengerti aturan?"

   "Seorang pendeta wanita harus memberi contoh yang baik kepada masyarakat, harus berbuat baik. Sekarang hanya dipinjam tempatnya saja tidak boleh. Aturan mana itu?"

   Pek Mau to-kouw menjadi geram. Dasar orang gila, maka pendapatnyapun gila dan seenak perutnya sendiri, pikirnya.

   "Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi, Pendeknya permintaan kalian tidak dapat kami penuhi"

   Kui Mo melangkah maju "Pek Mau to-kouw, sekarang begini saja. Mari kita mengadu kepandaian. Kalau aku kalah, kami tidak akan banyak cakap lagi dan akan mencari tempat untuk pesta pernikahan anak kami. Akan tetapi kalau kau yang kalah, kau harus mengijinkan kami tinggal di sini sampai datangnya pesta pernikahan itu yang akan dilangsungkan di sini bagaimana?"

   Pek Mau to-kouw menganggap bahwa keputusan itu, biarpun di usulkan seorang gila, cukup baik. Tentu saja ia menganggap pula bahwa ia pasti akan dapat mengalahkan si gila ini, karena betapa pun lihainya seorang gila tentu tidak dapat bersilat dengan sempurna. Pula, di situ berkumpul sebagian besar muridnya yang belum berangkat kerja dan terdapat pula orang-orang luar yang datang bersembahyang. Kalau ia tidak berani melayani tantangan seorang gila, apa kata orang? Pula, ia harus membalaskan para muridnya yang tadi di hajar oleh suami istri gila ini."

   "Baiklah, engkau memang seorang gila yang pantas menerima hajaran !" katanya singkat sambil menggerakkan kebutan di tangan kiri sedangkan tangan kanan sudah melolos sebatang pedang dari punggungnya. Para murid Hwa-li-pang segera mundur dan membentuk lingkaran yang luas agar guru mereka dapat leluasa bertanding menghadapi orang gila yang lihai itu. Kui Ji dan Han Sin tetap berdiri di bawah pohon dimana duduk si pengemis muda. Di antara para penonton juga berdiri di lingkaran itu, nampak pula gadis berpakaian serba putih yang tadi datang bersama para wanita yang bersembahyang di kuil.

   Melihat Pek Mau To-kouw sudah siap dengan senjata hud-tim (kebutan pendeta) dan pedang, Kui Mo tertawa bergelak "Ha-ha-ha, To-kouw, engkau tidak akan mampu menandingi tongkatku, lihat senjataku !" Berkata demikian, dia menggerakkan tongkatnya dengan dahsyat sekali, menyerang
ke arah kepala to-kouw itu. Melihat serangan ini, diam-diam Pak Mau To-kouw terkejut sekali. Sebagai seorang ahli silat tinggi, segera ia dapat mengenal lawan yang tangguh. Begitu cepat tongkat itu bergerak dan mendatangkan angin pukulan yang kuat sekali. Ia pun mengelak dan kebutannya yang berbulu merah menyambar ke depan menotok ke arah leher sedangkan pedangnya menyusulkan tusukan ke arah dada.

   Serangan balasan dari to-kouw ini pun hebat sekali sehingga Kui Mo mengeluarkan seruan yang di susul tawa terkekeh. Dia sudah menangkis pedang dan menggunakan tangan kiri mencengkram ke arah kebutan untuk menangkap kebutan itu. Akan tetapi lawannya tidak membiarkan kebutannya tertangkap, segera menarik kembali kebutannya dan kini pedang yangtertangkis itu membabat ke arah kaki lawannya.

   Kui Mo meloncat ke atas dan ketika pedang lewat di bawah kakinya, pedang itu diinjaknya dan tongkatnya sudah menyerang dengan pukulan ke arah pundak kanan to-kouw itu. Tentu dia bermaksud agar to-kouw itu melepaskan pedangnya. Akan tetapi tidak semudah itu dia mengalahkan Pek Mau To-kouw itu. Hud-tim itu sudah menyambar lagi, kini bulu kebutan menjadi lemas dan hendak melibatkan kedua kakinya ! Terpaksa Kui Mo meloncat turun dan serangan tongkatnyapun gagal karena to-kouw itu sudah miringkan pundaknya mengelak.

   Perkelahian itu seru bukan main dan dalam pandangan para murid Hwa-li-pang, tubuh orang yang bertanding hanya nampak bayangannya saja berkelebatan di antara gulungan sinar merah kebutan, sinar kuning tongkat dan sinar putih pedang. Kalau di tonton merupakan pemandangan yang indah dan menarik, akan tetapi semua murid menyadari bahwa yang indah itu mengandung bahaya maut untuk gurumereka !.

   Han Sin tentu saja dapat mengikuti gerakan kedua orang itu dan kembali dia merasa kagum dan juga senang. Dalam pertandingan inipun, menghadapi seorang lawan yang tangguh, kakek gila itu sama sekali tidak pernah menyerang dengan niat membunuh. Sebaliknya, setiap serangan to-kouw itu mengancam keselamatan nyawa lawan. Dia merasa girang dan yakin bahwa keluarga itu memang gila, akan tetapi bukanlah jahat. Dan biarpun kakek gila itu selalu mengalah dan membatasi tenaga serangannya, namun tetap saja Pek Mau To-kouw mulai terdesak. To-kouw ini dibuat bingung oleh jurus-jurus gila itu yang sulit sekali diikuti perkembangannya yang selalu berlawanan dan tidak di sangka sama sekali.

   Tiba-tiba dalam ketegangan yang sunyi itu, yang hanya terisi bunyi nyaring ketika pedang bertemu tongkat di seling suara tawa keluarga gila itu, terdengar orang berkata-kata seperti sedang membaca sajak ! Semua orang menegok karena ternyata yang mengeluarkan suara itu adalah si pengemis muda yang kini berjongkok di bawah pohon dan mengikuti gerak-gerik dua orang yang sedang bertempur itu dengan penuh perhatian.

   "Awal dan akhir bertentangan, ujung dan pangkal berlawanan , kanan menjadi kiri, atas menjadi bawah, depan menjadi belakang, itulah gerakan si pemabok atau si gila !". Bagi orang lain kata-kata ini seperti kacau dan tidak ada artinya. Akan tetapi tidak demikian bagi Pek Mau To-kouw.

   Ucapan itu menyadarkannya dan mulailah dia menghadapi lawannya berlandaskan ucapan itu. Kalau lawan menyerang dari bawah, ia menjaga sebelah atas dan benar saja ! Semua serangan lawannya merupakan serangan yang pangkalnya berlawanan dengan ujungnya sehingga ia dapat menjaga diri lebih baik dan dapat lebih banyak. Dan ia kini terlepas dari desakan lawan, bahkan dapat menyerang balik dengan dahsyat ! Pertandingan menjadi seru dan ramai sekali. Liu Si mengerutkan alisnya, menoleh kepada pengemis muda itu dan tiba-tiba ia sudah meloncat ke depan pengemis itu.

   "kau gila, kau ikut membantu lawan !" katanya dan sekali menggerakkan kepalanya, rambutnya yang riap-riapan itu telah menyambar ke arah pengemis muda itu. Akan tetapi pengemis muda itu ternyata memiliki keringanan tubuh yang menakjubkan. Sekali dia bergerak, tubuh yang berjongkok itu sudah meloncat ke belakang sehingga sambaran rambut itu luput. Liu Si menjadi penasaran dan marah. Ia mengejar dengan senjata pecutnya, akan tetapi pengemis muda itu sudah melintangkan tongkatnya mengoyang-goyangkan tongkatnya dengan lagak yang lucu dan menggoda.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 05


   "Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun, apalagi dengan seorang nenek gila. Aku takut ketularan gila, he-he-he !". Liu Si semakin marah.

   "Siapa gila ? Engkau yang gila, aku tidak gila !".

   'Ha-ha, yang gila menganggap yang waras gila, itu sudah wajar di dunia ini. Entah mana yang benar, yang gila atau yang waras, mungkin saja yang waras itu benar-benar gila, aku tidak tahu ! Nenek yang baik, kalau engkau tidak gila, siapa yang gila ?" " Kau yang gila, hik-hik-hik, ya engkau memang gila. Masih muda sudah menjadi pengemis, tentu saja kau gila, hik-hik-hik !" Liu Si tertawa-tawa dan menunda penyerangannya.

   "Aku tidak gila, engkaulah yang gila. Engkau berotak miring, engkau sinting !" Pemuda itu berteriak-teriak dengan lantang dan marah.

   Diam-diam Han Sin memperhatikan pemuda gila itu dan ia menjadi kagum. Dari gerakannya saja ketika tubuh yang berjongkok itu tiba-tiba meloncat ke belakang untuk menghindar serangan maut itu, tahulah dia bahwa pemuda itu ternyata bukanlah pemuda sembarangan, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Liu Si nampak tercengang seperti bingung mendengar pemuda itu memaki-makinya gila dengan suara lantang.

   "Aku gila ? Ya, benar, aku gila dan sinting dan engkaupun edan.

   "Hik-hik-hik, kita sama ! Gila dan sinting, he-he-he-he !"

   Han Sin memandang heran. Sikap pemuda pengemis itu benar-benar seperti sikap keluarga gila itu. Apakah pemuda itupun gila ? Akan tetapi, jelas bahwa dia tadi memberi petunjuk kepada Pek Mau To-kouw bagaimana untuk melawan Kui Mo. Hal ini berarti bahwa pemuda itu selain cerdik, juga berilmu tinggi, dapat mengenal rahasia gerakan silat dari orang gila itu Akan tetapi tiba-tiba Liu Si berhenti tertawa dan menghampiri pengemis muda itu, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda itu.

   "Tidak, engkau tidak sama dengan aku ! Aku tidak sudi disamakan seorang pengemis, engkau malas tak tahu malu, pengemis busuk !". Pemuda itu menjadi marah "Nenek gila, mulutmu kotor. Pergilah kalau engkau tidak mau kuhajar dengan tongkatku !" Para anak buah Hwa-li-pang yang tadinya menujukkan seluruh perhatian mereka kepada ketua mereka yang sedang bertanding melawan kakek sinting, kini perhatian mereka terpecah menjadi dua. Sebagian malah mendekati pemuda pengemis itu untuk melihat bagaimana pemuda itu akan menandingi nenek gila.

   "Tar-tar-tar.... !" Cambuk di tangan nenek gila itu sudah meledak-ledak ketika menyambar-nyambar ke atas kepala pemuda pengemis itu. Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba menggerakkan tongkatnya dan kembali Han Sin yang memperhatikan pemuda itu merasa kagum. Ilmu tongkat pemuda pengemis itu hebat. Ujung tongkat yang digerakkan itu menggetar seolah menjadi banyak dan ujung cambuk yang menyerang kepala itu dapat dihalaunya dengan mudah.

   Bahkan tongkatnya menyodok ke arah perut Liu Si membuat nenek gila ini terkejut dan berloncatan ke belakang menghindarkan serangan berbahaya itu. Liu Si menjadi penasaran dan semakin marah. Dengan suara tawa terkekeh menyeramkan ia sudah menerjang lagi dengan cambuknya, akan tetapi tiba-tiba pengemis muda itu mengangkat tangan kirinya dan mengacungkan empat buah jarinya.

   "Eh, nenek gila. Kau tahu hitungan tidak ? Berapa ini ?"

   Nenek itu kelihatan bingung, akan tetapi ia memandang ke arah tangan kiri yang di acungkan ke atas "Bodoh, sudah jelas itu empat !" Akan tetapi baru saja ia berkata demikian, tongkat itu sudah menyambar dan menghantam pahanya.

   "Bukkk !" untung Liu Si sudah melindungi pahanya dengan kekuatan sin-kang sehingga pukulan itu hanya membuat ia terpelanting dan hampir roboh. Nenek itu meloncat sambil mengeluarkan teriakan melengking saking marahnya, siap menyerang lagi, bahkan sudah menundukkan kepala hendak menyerang pula dengan rambutnya yang panjang. Akan tetapi kembai pengemis muda itu berseru nyaring "Heiiii, nenek gila ! Kalau ini berapa ?" kembali dia mengacungkan tiga buah jari.

   "Kalau engkau bisa menebak, aku mengaku kalah !".

   Nenek itu memandang dengan mata mendelik marah.

   "Bocah gila, itu adalah tiga ! Nah, kau kalah dan berlututlah !".

   Akan tetapi oemuda itu sudah menekuk sebuah jarinya sehingga yang nampak hanya dau buah jarinya dan dia tertawa "ha-ha-ha, nenek sinting bodoh lagi, siapa tidak tahu bahwa jumlah jari ini hanya dua ? Mengapa mengatakan tiga ? Nah, engkau yang kalah, berlututlah !"

   "Tidak sudi ! Engkau yang kalah !" dan Liu Si sudah menerjang dengan dahsyatnya saking marahnya. Pemuda itu menjadi sibuk memutar tongkatnya untuk melindungi dirinya. Terjadi satu pertandingan yang seru di samping pertandingan pertama anatar Kui Mo dan Pek Mau To-kouw. Dan ternyata pemuda pengemis itu benar-benar lihai, dapat mengimbangi serangan Liu Si yang dahsyat. Akan tetapi setelah saling serang sebanyak belasan jurus, tiba-tiba pemuda itu tertawa dan berkata lantang, meloncat keluar dari gelanggang pertandingan.

   "Ha-ha-ha, aku tidak mau berkelahi lebih lama. Aku takut ketularan menjadi gila kalau terlalu lama !"

   Liu Si marah dan hendak menyerang lagi, akan tetapi dengan beberapa lompatan jauh pemuda itu telah pergi. Sementara itu pertandingan antara Kui Mo dan Pek Mau To-kouw telah berubah lagi. Kini Pek Mau To-kouw kembali terdesak hebat oleh Kui Mo. Setelah tadi rahasia gerakan ilmu tongkatnya diketahui oleh pengemis muda dan Pek Mau To-kouw dapat memecahkan rahasia itu sehingga mampu menandinginya.

   Kui Mo yang berbalik terdesak kini mengubah ilmu silatnya. Ilmu tongkatnya itu sama sekali berbeda dengan yang tadi dan Pek Mau To-kouw menjadi terdesak dan terus mundur. Pada suatu saat ujung tongkat Kui Mo terlibat kebutan merah. Kui Mo tidak berusaha menarik tongkatnya karena selain hal itu tidak ada gunanya juga dia dapat di serang oleh pedang di tangan kanan to-kouw itu. Dia malah menggerakkan tongkat, dan dengan ujung tongkat yang lain dia menghantam ke arah lengan kiri To-kouw itu. Pek Mau To-kouw terkejut bukan main. Bulu kebutannya masih melibat tongkat dan kini lengannya terancam. Terpaksa ia melepaskan kebutannya yang masih menempel pada tongkat dan menggerakkan pedang di tangan kanannya untuk mengirimkan tusukan kilat .

   "Traangg .... !" Pedang itu terpental karena kuatnya tongkat itu menangkisnya. Kini Kui Mo telah berhasil merampas kebutan berbulu merah dan dia melemparkan kebutan itu kepada Kui Ji. Gadis gila itu menerimanya dan dengan girang ia menari-nari dengan kebutan merah itu di sekeliling Han Sin. Setelah kehilangan kebutannya Pek Mau To-kouw menjadi semakin sibuk dan terdesak hebat. Melihat ketua mereka kini terus mundur, para anak buah Hwa-li-pang maklum ketua mereka terdesak. Mereka menjadi khawatir sekali akan tetapi tidak berani turun tangan mencampuri tanpa perintah ketua itu.

   Tiba-tiba terdengar lagi suara nyaring bertemunya kedua senjata dan sekali ini pedang Pek Mau To-kouw terlepas dari tangannya dan terlempar jauh. Ia telah kehilangan kedua senjatanya dan mau tidak mau to-kouw itu harus mengakui keunggulan lawannya, Biarpun mukanya menjadi merah karena marah dan penasaran , akan tetapi terpaksa ia memberi hormat dengankedua tangan dapan dada.

   "Siancai........!" Ilmu kepandaian Kui-sicu amat hebat, saya mengaku kalah".

   Kui Mo tertawa bergelak dan berkata dengan girangnya.

   "Ha-ha-ha , bagus sekali. Jadi kami boleh tinggal di sini dan merayakan pesta pernikahan anak kami disini ?" "Kami telah berjanji dan tidak akan mengingkari janji. Mari kalian berempat ikut saya ke dalam dan akan saya berikan tiga buah kamar untuk kalian. Akan tetapi ingat, janji ini hanya untuk kalian berempat tinggal di sini sampai hari pesta pernikahan. Kalau kalian membikin kacau disini, kami akan mengeroyok kalian dengan semua anggota perkumpulan kami".

   "Hik-hik-hik-hik, siapa hendak mengacau ? Kami adalah keluarga terhormat, keluarga baik-baik !" tiba-tiba Liu I berkata dengan galak.

   "Ayah, ibu ! Aku ingin sekamar dengan suamiku !" Kui Ji merengek.

   "Hushhhh, apa kau hendak melanggar adat istiadat ! Mantuku begitu mengenal adat kesopanan. Dia seorang terpelajar tinggi, apa engkau tidak malu kepada suami mu ? Sebelum menikah kalian tidak boleh sekamar, mengerti ?" Bentak Kui Mo dengan lagak seolah dia seorang bangsawan tinggi.

   "Tapi.... hemmm... bagaimana kalau dia lari ? Aku akan kehilangan dia.... ! Kui Ji membantah.

   "Siapa mampu melarikan diri kalau ada aku dan ibumu ? Tiga kamar itu harus berjajar, kamar kami dipinggir, juga kamarmu. Bagaimana mungkin dia dapat melarikan diri ?".

   Kui Ji tidak merengek lagi. Percakapan itu di dengarkan oleh semua orang dan mereka tidak peduli. Gadis berbaju putih yang berada di antara tamu kuil, melihat dan mendengar percakapan ini dan seperti yang lain, tahulah ia bahwa pemuda pakaian putih itu seolah menjadi tawanan keluarga gila itu. Agaknya mereka tawan dan mereka paksa untuk menikah dengan gadis gila itu. Akan tetapi melihat sikap pemuda itu yang tenang, mulutnya yang selalu tersenyum, semua orang mengira bahwa pemuda itu tentu seorang yang bodoh dan mungkin agak sinting juga !.

   "Marilah kalian ikut saya", kata Pek Mau T-kouw tidak sabar lagi melihat perbantahan antara keluarga gila itu. Ia melangkah memasuki halaman di samping kuil menuju ke bangunan besar yang menjadi tempat tinggalnya dan menjadi pusat dari Hwa-li-pang. Empat orang itu mengikutinya dan Han Sin di gandeng oleh Kui Ji. Semua mata murid Hwa-li-pang mengikuti mereka dan setelah mereka menghilang di balik pintu besar, ramailah mereka membicarakan peristiwa itu.

   "Heran sekali mengapa pang-cu membiarkan mereka tinggal di sini dan kelak merayakan pesta pernikahan orang gila di sini ?" seorang di antara mereka mengomel.

   "Hemmm, Pang-cu adalah seorang yang berjiwa gagah, sekali berjanji tentu akan dipenuhinya," kata yang lain.

   "Akan tetapi keluarga gila itu telah merobohkan banyak di antara kita ! Mestinya pang-cu membiarkan kita maju semua dan mengeroyok keluarga gila itu. Banyak diantara kita sudah dirobohkan dan sekarang mereka malah di biarkan tinggal di sini ! Ini namanya penghinaan bagi Hwa-li-pang !" kata yang lain lagi.

   Gadis berpakaian putih yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu tiba-tiba berkata "Kalian semua tidak mengerti. Justeru karena keluarga gila itu telah merobohkan banyak di antara kalian maka pang-cu kalian membiarkan mereka tinggal di sini untuk sementara waktu". Mendengar ucapan itu, semua anak buah Hwa-li-pangmenengok dan memandang kepada gadis itu penuh perhatian.

   Ia adalah seorang gadis cantik jelita sekali, jarang mereka bertemu dengan gadis secantik itu. Usianya sekitar delapan belas tahun. Gerak geriknya halus penuh kelembutan, pakaiannya yang putih itu sederhana sekali namun bersih. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu runcing dan rambutnya hitam dan lebat sekali, di gelung ke atas dan di tusuk dengan perhiasaan dari perak berbentuk burung merak. Telinganya sedang besarnya, bentuknya indah dan tidak memakai perhiasan apapun. Sepasang alis yang kecil hitam melengkung seperti di lukis itu melindungi sepasang mata yang bersinar lembut namun berwibawa. Mata yang amat indah bentuknya, dengan bulu mata yang lentik panjang, hidungnya mancung, serasi dengan mulutnya yang juga indah sekali, dengan sepasang bibir yang selalu merah membasah, dengan lesung pipit di kanan kiri mulutnya.

   Entah mana yang lebih indah, matanya ataukah mulutnya. Keduanya merupakan daya tarik yang luar biasa dari pribadi gadis ini. Bentuk tubuhnya sedang, pinggangnya ramping dan jari-jari tangan yang tampak itu panjang dan mungil.

   "Hemmmm, apa alasannya engkau berkata begitu, nona ?" tanya seorang anak buah Hwa-li-pang, penasaran dan yang lain juga memperhatikan untuk mendengar jawaban gadis itu.

   "Banyak di antara kalian telah di robohkan oleh keluarga gila itu, akan tetapi siapakah diantara kalian yang tewas atau terluka berat ? Tidak seorangpun ! Juga, ketua kalian dikalahkan tanpa menderita luka. Apakah kalian tidak tahu akan hal ini ? Ketua kalian mengetahuinya dan ia tentu mengambil kesimpulan bahwa keluarga itu, walaupun gila, bukanlah orang-orang kejam atau jahat. Mereka bukan datang untuk menghina atau mengacau, akan tetapi memang ingin merayakan pesta pernikahan anak mereka. Karena itulah ketua kalian itu dan sebagai seorang gagah yang terhormat, ketua kalian memenuhi janjinya sikapnya itu membuat semua orang merasa kagum kepadanya". Para anggota Hwa-li-pang itu saling pandang dan mereka tidak dapat membantah pendapat gadis itu yang dapat biacara dengan lancar namun lembut.

   "Akan tetapi, nona kalau pesta pernikahan itu diadakan di sini dan diketahui oleh dunia kang-ouw, bukankah perkumpulan kami akan menjadi buah tertawaan mereka ?" seseorang membantah.

   Gadis itu mengangguk-angguk.

   "kalau kalian membolehkan aku bermalam disini, mungkin aku dapat menemukan suatu jalan untuk menggagalkan pernikahan itu, agar mereka segera meninggalkan tempat ini".

   Tentu saja semua anggota Hwa-li-pang menyetujui permintaan itu. Gadis berpakaian serba putih ini seorang wanita, maka tidak merupakan pantangan untuk bermalam di kuil. Mereka lalu mengajak gadis itu yang datang ke kuil seorang diri untuk memasuki kuil dan membicarakan urusan itu di dalam. Sementara itu, para tamu segera pergi meninggalkan kuil karena mereka merasa takut dengan adanya keluarga gila di situ.

   ****

   Gadis itu di jamu oleh para anggota Hwa-li-pang di belakang kuil sambil bercakap-cakap membicarakan urusan yang sedang terjadi di Hwa-li-pang.

   "Nona, kami semua mengharapkan bantuan nona untuk memecahkan persoalan yang mengancam perkumpulan kami ini. Akan tetapi sebelumnya kami ingin mengetahui siapakah nona dan dimana tempat tinggal nona", kata kepala penjaga kuil dengan sikap ramah.

   Gadis itu meletakkan sepasang sumpitnya di atas meja. Ia telah makan kenyang dan ia memberi isyarat agar perlengkapan makan itu dibersihkan dari atas meja. Setelah meja bersih, ia lalu memandang kepada orang-orang yang merubungnya di ruangan belakang kuil itu.

   "Aku bermarga Kim dan namaku Lan. Aku seorang gadis perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan aku berasal dari barat, daerah pegunungan Kun-Lun".

   "Kim-siocia (Nona Kim) nampaknya lemah lembut sekali, akan tetapi kami yakin nona tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi !" kata seorang anggota Hwa-li-pang.

   Kim Lan tersenyum manis.

   "Semua orang tentu memiliki sesuatu kepandaian tertentu, akan tetapi hanya orang bodoh yang menyombongkan kepandaiannya itu. Aku hanya seorang gadis biasa saja, tiada bedanya dengan para gadis lainnya.

   "Nona Kim, bagaimanakah caranya untuk mencegah pernikahan gila gila itu ?" tanya kepala penjaga kuil.

   "Kita melihat tadi. Pemuda yang hendak dinikahkan dengan gadis gila itu agaknya berada dibawah tekanan mereka. Dia tentu di tangkap dan dipaksa dan mungkin sekali dia di racuni. Aku pernah mempelajari tentang pengobatan dan aku melihat tanda-tanda bahwa dia itu keracunan. Hal ini perlu di selidiki lebih dulu untuk menentukan apa yang selanjutnya akan kita lakukan."

   "Akan tetapi bagaimana caranya untuk menyelidiki hal itu ? Kalau kita langsung bertanya kepadanya, tentu keluarga gila itu akan marah dan kita akan di pukul, juga belum tentu pemuda itu berani bicara sebenarnya".

   "Jangan khawatir. Serahkan tugas itu kepadaku. Aku akan menyamar sebagai seorang anggota Hwa-li-pang dan biarkan aku membawakan makanan dan minuman untuk mereka, terutama untuk membawakan makanan ke kamar pemuda itu. Aku yang akan menyelidiki".

   Para anggota Hwa-li-pang bernapas lega. Mereka merasa gentar untuk melayani keluarga gila itu. Baru membayangkan melayani mereka, terutama kakek gila itu saja, mereka sudah merasa ngeri. Apalagi kalau melayani sambil mencari kesempatan bicara dengan pemuda tawanan mereka. Kalau ketahuan, ah, mengerikan !. Baiklah, Kim-Sio-cia itu merupakan gagasan yang baik sekali ! Akan tetapi selanjutnya bagaimana ?" tanya kepala penjaga kuil.

   "Kalau dugaanku benar bahwa pemuda itu keracunan, aku akan memberinya obat agar dia disembuhkan. Setelah itu aku akan mencari akal untuk membebaskannya dari kurungan keluarga itu. Kalau pemuda itu sudah bebas dan pergi dari sini, maka tanpa kita usir lagi, keluarga gila itu pasti akan pergi sendiri mencari pemuda itu". Semua anggota Hwa-li-pang yang mendengar ini menjadi gembira sekali.

   "Nona Kim merupakan seorang penolong besar dari perkumpulan kami !" kata mereka." Sekarang harap kalian melapor kepada pang-cu kalian tentang usahaku, karena sebelum mendapatkan ijin darinya, bagaimana aku berani melaksanakannya ?".

   Kepala penjaga kuil bergegas pergi melapor dan mendengar akan usaha gadis berpakaian putih untuk menolong Hwa-li-pang, Pek Mau To-kouw menjadi senang sekali. Ia pun segera pergi ke kuil untuk menemui Kim Lan. Kim Lan segera bangkit dari tempat duduknya ketika melihat Pek Mau To-kouw memasuki ruangan itu dan memberi hormat. Pek Mau To-kouw membalas dengan mengangkat kedua tangan depan dada dan sejenak ia mengagumi kecantikan gadis berpakaian serba putih itu.

   "Pang-cu, maafkan kelancanganku," kata Kim Lan.

   "Siancai..... apakah nona yang bernama Kim Lan seperti dilaporkan muridku tadi ?".

   "Benar, pang-cu" kata Kim Lan.

   "Silahkan duduk, nona".

   Mereka duduk kembali dan sejenak mereka saling pandang. Kim Lan merasa kagum dan suka kepada To-kouw itu, seorang pendeta wanita yang rambutnya sudah putih semua seperti benang perak, namun wajahnya masih sehat segar kemerahan. Tentu dahulu To-kouw ini cantik sekali, pikirnya. Gerak geriknya halus, namun ilmu silatnya tinggi.

   "Nona Kim Lan, sekarang ceritakan lebih dulu mengapa nona bersusah payah hendak menolong Hwa-li-pang, padahal pertolongan itu mungkin saja membahayakan keselamatan nona sendiri ?" To-kouw itu memandang penuh perhatian seperti hendak menyelami hati gadis cantik itu.

   "Pang-cu, sudah menjadi kewajiban dalam hidupku untuk berusaha sedapat mungkin membantu mereka yang sedang berada dalam kesukaran maka melihat peristiwa tadi tentu saja aku tidak dapat berpangku tangan tanpa mengulurkan bantuan. Ada dua pihak yang terancam dan membutuhkan bantuan , yaitu pemuda itu dan Hwa-li-pang Karena itulah, aku hendak membantu sebisaku, tanpa pamrih dan untuk itu aku berani menghadapi bahaya".

   "Siancai.... ! Nona masih begini mudah sudah memiliki jiwa pendekar yang besar. Kami merasa kagum sekali, Nah, sekarang jelaskan bantuan sapa yang dapat kauberikan untuk mengatasi gangguan ini. Kami sudah memberikan janji kepada keluarga gila itu untuk tinggal di sini sampai pesta pernikahan dilangsungkan dan kami tidak akan mengingkari janji".

   "Tidak perlu mengingkari janji, pang-cu. Kita harus berusaha agar mereka itu pergi sendiri tanpa kita minta. Dan kuncinya ada pada pemuda yang akan mereka nikahkan dengan puteri mereka itu. Kalau pemuda itu dapat kita loloskan dari sini, aku yakin keluarga gila itupun akan pergi sendiri mencarinya dan meninggalkan Hwa-li-pang ini".

   Pek Mau To-kouw mengangguk-angguk "memang bisa terjadi. Akan tetapi aku melihat pemuda itu seperti seorang totol. Bagaimana mungkin dia dapat melepaskan diri dari pengejaran mereka. Biarpun andaikata kita dapat meloloskan dia akan tetapi kalau dia tertawan kembali, tentu mereka akan kembali ke sini".

   "Pemuda itu tidak tolol, pang-cu. Akan tetapi dia keracunan".

   "Keracunan ? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa dia keracunan, nona ?".

   "Pang-cu, sejak kecil aku sudah mempelajari ilmu pengobatan maka dari gejala-gejala yang dapat kulihat dari wajah dan sikap pemuda itu, aku tahu di di racuni oleh keluarga itu. Untuk menekannya agar dia mau dinikahkan dengan gadis itu. Tanpa paksaan, bagaimana mungkin ada pemuda mau di jodohkan dengan seorang gadis gila ?".

   Kembali Pek Mau To-kouw mengangguk-angguk "Engkau benar sekali, nona. Akan tetapi yang kukhawatirkan, andaikata engkau dapat menyembuhkannya dia dapat meloloskan diri, tentu keluarga gila itu akan mengejar dan mencarinya. Pemuda itu kelihatan tolol dan mana mampu menolak keinginan mereka ?".

   "Itu soal nanti, pang-cu. Yang terpenting, aku akan memeriksa pemuda itu dan mengobatinya sampai sembuh. Kemudian, soal pelariannya dapat kita rundingkan kembali. Bisa saja kita menggunakan akal misalnya kalau pemuda itu melarikan diri ke timur, kita ramai-ramai mengatakan bahwa pemuda itu lari ke lain jurusan. Dan siapa tahu, pemuda itu dapat menyembunyikan dirinya dan dapat mengharapkan bantuan orang lain".

   "Baiklah, nona. Agaknya engkau telah mempunyai rencana yang demikian matangnya. Sungguh menganggumkan sekali dan aku menyetujui semua apa yang hendak nona kerjakan".

   To-kouw itu lalu mengundurkan diri kembali ke rumahnya karena ia tidak ingin keluarga gila yang lihai itu mengetahui tentang pertemuannya dengan Kim Lan. Ketika berjalan perlahan kembali ke rumahnya, to-kouw itu masih mengangumi gadis yang cantik luar biasa dan pandai membawa diri, bicaranya teratur dan sopan, dan kecerdikannya luar biasa. Tiba-tiba teringatlah ia kepada Ang Swi Lan, puterinya sendiri yang di culik orang sejak kecil dan sampai sekarang tidak ada kabarnya itu.

   Ia melamun , kalau Swi Lan masih berada padanya, tentu kini usianya sebaya dengan gadis berpakaian putih itu. Ia merasa isi kepada orang tua Kim Lan. Betapa bahagianya hati orang tua Kim Lan mempunyai seorang anak sepertinya. Di dalam sebuah kamar di kuil itu, Kim Lan berdandan. Ia mengenakan pakaian yang biasa di pakai anggota Hwa-li-pang, yang biasa menjadi pelayan, mengubah gelung rambutnya dikuncir ke belakang dan diikat pita hijau seperti semua anggota Hwa-li-pang, kemudian ia membawa baki berisi mangkok makanan dan poci minuman, keluar dari kamar itu.

   Kepala penjaga menjaga kuil menghampirinya dan memeriksa keadaan pakaian dan rambutnya, dan mengangguk-angguk, tanda bahwa penyamaran Kim Lan cukup baik. Kemudian Kim Lan membawa baki itu melalui jalan tembusan menuju ke rumah induk dimana empat orang tamu itu berada. Tentu saja ia sudah mempelajari dengan seksama letak dan keadaan rumah induk itu, dimana kamar-kamar yang di tempati keluarga gila itu, dan dimana pula kamar untuk Han Sin.

   Tibalah ia di sebuah lorong dimana kamar-kamar itu berjajar. Ia sudah di beritahukan bahwa kamar pertama merupakan kamar suami istri gila itu, kamar ke dua adalah kamar pemuda itu dan kamar ketiga kamar si gadis gila. Ia harus pergi ke kamar nomor dua. Kim Lan memperingan langkahnya, dengan hati-hati ia melewati kamar pertama. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu di depannya telah berdiri suami istri gila itu. Wajah Kim Lan berubah pucat dan matanya terbelalak ketakutan.

   "Hik-hik-hik, siapa kau dan mau apa datang ke sini" Bentak nenek gila itu sambil menyeringai. Saking kaget dan takutnya, Kim Lan hanya terbelalak dan tidak mampu menjawab. Kui Mo memegang pundak gadis itu dan mengguncangnya.

   "Hayo jawab ! Siapa engkau dan mau apa berkeliaran di sini !".

   "A......ku... pelayan dan di..... di suruh mengantar makanan ini ke kamar nomor dua........." jawabnya dengan suara gemetar.

   "Eihhhhh ! Kenapa tidak ke kamar nomor satu lebih dulu ? Seharusnya kami yang lebih dulu dikirim makanan !" bentak Liu Si.

   "Menurut pang-cu, makanan untuk pengantin pria harus didahulukan, barulah pengantin wanita dan orang tuanya, yang akan di antar oleh pelayan lain" jawab Kim Lan dengan hati-hati sekali.

   "Oh, ha-ha-ha, pang-cu itu benar, isteriku ! Harus menaati adat istiadat ! Nah, biarlah mantuku mendapatkan kiriman lebih dulu, hayo kita masuk ke kamar !" dua orang itu berkelebat dan sudah kembali ke kamar mereka. Setelah mereka pergi, barulah sikap ketakutan yang dibuat-buat tadi
hilang dari wajah Kim Lan. Ia melangkah maju lagi menghampiri pintu kamar nomor dua. Ia mengetuk perlahan. Tidak ada jawaban, akan tetapi pendengarannya yang terlatih baik itu dapat mendengar gerakan orang di sebelah dalam kamar itu. Ia mengetuk lagi, tiga kali.

   "Tuk-tuk-tuk !"

   "Siapa diluar ?" terdengar pertanyaan suara wanita, dekat sekali ! Dengan daun pintu.

   "Pelayan, mengantar makanan untuk kong-cu (tuan muda) !" kata Kim Lan.

   Daun pintu terbuka dari dalam dan Kui Ji yang menyambut Kim Lan di depan pintu, dengan tongkat ularnya siap ditangan untuk menyerang. Kim Lam memperlihatkan wajah ketakutan.

   "Nona, saya hanya pelayan yang di haruskan mengantar makanan untuk tuan pengantin" Katanya. Kim Lan melihat pemuda berpakaian putih itu duduk di depan dan sepasang mata pemuda itu memandang kepadanya penuh selidik, kemudian mata itu terbelalak tanda bahwa pemuda itu telah mengenalnya dan mengetahui bahwa ia bukan seorang pelayan.

   "Hik-hik-hik, bagus, bagus ! Bawa makanan masuk untuk suamiku" Lalu ia membalik dan berkata kepada Han Sin "Suamiku, engkau telah dikirimi makanan dan minuman, nikmatilah hidanganmu ! Hai, kau ! Letakkan saja baki itu di atas meja. Aku sendiri yang akan melayani suamiku. Engkau pelayan cantik pergilah saja. Cepat !".

   Akan tetapi Kim Lan menghadapi Kui Ji dengan berani. Dua pasang mata itu bertemu pandang. Mata Kim Lan penuh wibawa dan mulutnya berkemak-kemik, lalu tangan kiri gadis itu di angkat keatas, jari-jari tangannya bergerak di depan muka Kui Ji. Aneh sekali, Kui Ji lalu terhuyung ke tempat tidur, menguap dan mengeluh.

   "Ahhhhh, ngantuk sekali........ ingin tidur.........

   " Dan ia menjatuhkan diri rebah di pembaringan, terus pulas !.

   Sejak gadis itu masuk, Han Sin sudah memandangnya dengan heran sekali. Begitu melihat wajah itu dan bertemu pandang, dia merasa sudah pernah melihatnya dan kemudian dia teringat. Gadis berpakaian serba putih itu ! Menyamar sebagai pelayan ! Apa maunya ? Dia mengamati terus dan melihat betapa dua orang gadis itu saling berhadapan, betapa pelayan itu mengangkat tangan menggerak-gerakkan jarinya dan pandang matanya terhadap Kui Ji demikian mencorong penuh wibawa, ketika melihat Kui Ji terhuyung, kemudian menjatuhkan diri dipembaringan terus pulas, dia terkejut bukan main. Pernah dia mendengar dari gurunya TiongGi Hwesio, tentang adanya semacam ilmu yang di sebut i-hun-to-hoat (hypnotism), yaitu ilmu mempengaruhi pikiran orang lain.

   Dengan ilmu itu orang dapat menguasai pikiran orang lain dan menyuruh orang itu berbuat apa saja sekehendak hati orang yang menguasai ilmu itu. Apakah gadis ini tadi menggunakan i-hun-to-hoat itu? Gurunya mengatakan bahwa ilmu itu termasuk ilmu sesat karena biasanya di gunakan orang untuk perbuatan jahat, makanya gurunya melarang dia mempelajari ilmu semacam itu.

   "Nona...." katanya akan tetapi pelayan itu menaruh telunjuk di depan bibirnya yang merah membasah sambil menuding ke arah kamar sebelah yang ditempati suami istri gila. Dia mengerti bahwa berbicara keras dapat terdengar oleh kedua orang yang lihai itu dan dia mengangguk. Kim Lan melangkah ringan sekali menghampiri Han Sin yang sudah bangkit berdiri dan gadis itu berbisik lirih "Engkau keracunan".

   Han Sin terbelalak memandang gadis itu dengan kagum.

   "Benar, bagaimana engkau bisa tahu ?" katanya berbisik.

   "aku akan mengobatimu akan tetapi aku harus tahu lebih dulu racun apa yang memasukitubuhmu".

   "Aku terkena racun pelemas otot" kata Han Sin.

   "nenek gila itu yang melukaiku". Gadis itu mengangguk-angguk "Duduklah, aku akan memeriksamu sebentar dan buka baju atasmu".

   Han Sin masih merasa heran sekali dan kagum, akan tetapi dia menurut. Dia duduk di atas bangku dan menanggalkan bajunya. Tanpa ragu lagi ia lalu memeriksa kedua pundak, dada dan pergelangan tangan pemuda itu.

   "Aku tahu mereka bukan orang-orang kejam. Racun ini tidak membahayakan nyawamu, hanya membuat otot-ototmu lemas, aku dapat mengobatimu".

   Gadis itu lalu mengeluarkan beberapa batang jarum emas dan perak yang di bungkus rapi dari balik bajunya. Kemudian ia mulai menusukkan jarum-jarum itu pada jalan-jalan darah di tubuh Han Sin. Kemudian ia mengeluarkan sebungkus obat bubuk merah dan mencampurnya dengan air teh yang tadi dibawanya.

   "Minumlah ini".

   Han Sin menaati permintaannya. Setelah kurang lebih seperempat jam, mereka dikejutkan oleh ketukan pada pintu dua kamar di sebelah.

   "Jangan takut, itu tentu pelayan yang mengantar makanan kepada suami istri itu dan kepada kamar gadis ini".

   Dari kamar itu mereka dapat mendengar suara tawa bergelak dan cekikikan dari suami isteri yang menerima kiriman makanan dan minuman. Kim Lan membuka daun pintu perlahan dan melihat pelayan masih mengetuk pintu kamar Kui Ji, ia lalu menggapai dan pelayan itu menghampirinya dan berkata "Nona, ini makanan dan minuman untuk nona".

   Kim Lan mengangguk dan mengedipkan matanya, lalu menyuruh pelayan itu pergi setelah ia menerima baki terisi makanan dan minuman itu dan meletakkan nya di atas meja. Pintu kamar di tutup nya kembali dan ia melanjutkan pengobatannya. Setelah jarum-jarum itu di getar-getarkan beberapa kali, ia mencabuti kembali jarum-jarum itu. Lalu diperiksanya badan Han Sin.

   Han Sin merasa betapa kini dia mampu menggerakkan sin-kangnya. Pada saat di menggerakkan sin-kangnya, Kim Lan sedang memeriksa nadinya dan gadis itu terkejut bukan main, cepat melepaskan lengan Han Sin "Aih, engkau memiliki sin-kang yang kuat sekali" katanya lirih sambil memandang dengan heran kepada pemuda itu. Akan tetapi Han Sin seperti tidak mendengar ucapan itu. Dia terlalu girang dan cepat-cepat dia menjura sampai dalam di depan gadis itu.

   "Nona, Banyak terima kasih ku haturkan kepadamu. Engkau telah menyembuhkan ku. Aku sudah terbebas dari pengaruh racun itu !".

   "Bagus, akan tetapi harap jangan tergesa-gesa mencoba untuk membebaskan diri. Mereka itu terlalu lihai dan kalau engkau melarikan diri sekarang, tentu mereka akan mencurigai pelayan dan orang-orang Hwa-li-pang, Mungkin mereka menjadi marah dan mengamuk di sini. Karena itu, kalau hendak melarikan diri, tunggu sampai malam nanti".

   "Aku mengerti, nona. Akan ku taati petunjuk mu. Akan tetapi, siapakah engkau nona ? Aku harus mengetahui nama penolongku..........."

   Kim Lan tersenyum dan memandangnya. Pertemuan dua pasang sinar mata itu membuat Han Sin terpesona. Dia merasa seolah-olah sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang langsung menembus menghujam ulu hatinya !.

   "Tidak perlu kau ingat lagi sedikit bantuan ini, hati-hati , bersikaplah biasa seperti tadi, dan katakan bahwa pelayan datang mengirim makanan untuknya. Ajaklah dia makan minum agar ia bergembira dan tidak menaruh curiga". Kim Lan cepat keluar dari kamar itu dan ketika di ambang pintu, ia membalik, memandang ke arah tubuh Kui Ji, lalu ia mengangkat tangan kirinya, jari-jari tangannya bergerak ke arah Kui Ji.

   Aneh sekali, Kui Ji menguap dan mengeluh , kemudian bergerak. Akan tetapi daun pintu telah tertutup kembali dan Kim Lan sudah pergi dari situ.

   " Aihhhhh........ aku mengantuk. Ehhhhhhhh ? Apa aku tertidur ?" Kui Ji memandang pada Han Sin.

   "Hemmm, engkau tertidur pulas sampai tidak tahu ada pelayan mengantar makanan ke kamar mu. Aku suruh ia menaruhnya di atas meja ini. Marilah kita makan, perutku sudah lapar".

   "Hik-hik-hik, engkau mengajak aku makan ? He-he, nah begitulah suamiku, bersikaplah manis dan mencintaiku, habis siapa lagi ?" Dalam ucapan yang janggal ini terkandung penyesalan dan diam-diam Han Sin merasa kasihan kepada gadis yang seolah haus akan kasih sayang ini. Mereka lalu makan minum dan Han Sin benar-benar bersikap ramah kepada Kui Ji sehingga gadis ini menjadi semakin kegirangan. Akan tetapi setelah selesai makan, Han Sin minta agar Kui Ji kembali ke kamarnya.

   "Sekarang kembalilah ke kamarmu, adik Kui Ji yang baik. Aku ingin beristirahat".

   Kui Ji dengan manja menggandeng lengan Han Sin.

   
😮

   
"Aihhh, suamiku kenapa aku tidak boleh beristirahat bersamamu di kamar ini ?"

   "Jangan Kui Ji, kalau saja mertua melihatnya tentu dia akan menjadi marah" sekali ini Han Sin bicara dengan keras dengan harapan agar terdengar oleh suami isteri yang berada di sebelah.

   "Aaih, suamiku...." Kui Ji masih membantah dan merengek. Tiba-tiba daun pintu terbuka dan muncullah Kui Mo dan Liu Si.

   "Kui Ji , apa yang kau lakukan di sini ? Tidak tahu aturan kau ! Hayo kembali ke kamarmu. Mana ada pengantin wanita berkeliaran ke kamar pengantin pria, padahal mereka belum menikah dengan sah?".

   Liu Si menghampiri anaknya dan menjewer telinganya, lalu dituntunnya keluar dari kamar itu sambil mengomel. Kui Mo memandang Han Sin sambil tersenyum menyerengai dan mengangguk.

   "Bagus, mantuku. Engkau harus mengajar kesopanan kepada anakku itu !". Lalu dia membalikkan diri dan keluar dari kamar itu dengan langkah lebar.

   Han Sin menutupkan daun pintu kamarnya lagi dan memasang palang pintunya. Dia tidak mau di ganggu lagi. Lalu dia duduk bersila di atas pembaringan dan menggerakkan kedua tangan, menyembah ke atas lalu kedua tangan di tarik ke bawah, melewati dada sampai ke ta-tian. Semua ini dia lakukan sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya di aliri hawa hangat itu. Tidak ada otot yang buntu. Kesehatannya pulih sama sekali ! Tentu saja dia merasa girang bukan main dan sepasang mata yang indah itu tiba-tiba terbayang olehnya. Pemilik sepasang mata itulah yang telah menyelamatkannya. Tidak mungkin dia dapat melupakan mata itu. Dia lalu memejamkan mata dan duduk bersemedhi untuk menghimpun kekuatannya.

   *****

   Sesosok bayangan hitam dengan gesitnya berjalan di atas kuil Hwa-li-pang. Langkah-langkahnya bagaikan langkah seekor kucing saja, tidak mengeluarkan bunyi. Para anggota Hwa-li-pang yang tinggal di kuil itu sama sekali tidak mendengar apa-apa. Akan tetapi tidak demikian dengan Kim Lan. Gadis cantik yang malam itu tinggal di kuil, dari dalam kamarnya ia dapat mengetahui bahwa di atas genteng kuil ada seorang yang sedang berjalan dengan gerakan ringan. Pendengarannya yang terlatih dapat menangkah langkah-langkah itu, walaupun hampir tidak mengeluarkan bunyi.

   Ia tersenyum dan meniup lilin di atas mejanya, membuka daun jendela kemudian melompat keluar dari jendela. Ketika ia tiba diluar dan memandang ke atas, dilihatnya sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali. Ia pun cepat melompat naik ke atas atap kuil, melakukan pengejaran. Bayangan hitam itu kelihatan terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang gadis cantik berpakaian erba putih. Akan tetapi bayangan hitam itu tidak sempat lari melarikan diri dan dia menghadapi Kim Lan dengan tongkat ditangan.

   "Hemmm, bukankah engkau pengemis yang tadi pagi minta sepatu dari ketua Hwa-li-pang ?" Tegur Kim Lan sambil memandangtajam. Cuaca hanya mendapat penerangan dari bintang-bintang sehingga keadaannya hanya remang-remang saja, akan tetapi Kim Lan dapat mengenali pengemis muda yang pagi tadi bertanding melawan nenek gila.

   "he-he,dan bukankah engkau gadis berpakaian putih yang pagi tadi bersembahyang di kuil?" pengemis muda itu balas menegurnya.

   "Mau apa engkau datang ke kuil malam-malam begini dan mengambil jalan seperti seorang penjahat? Apakah engkau hendak mencuri atau merampok sesuatu di kuil ini ?" Kim Lan menegur pula.

   "Dan engkau sendiri, bukan penghuni kuil mengapa tinggal di sini ?" Pengemis muda itu balas menegurnya. Kim Lan berpikir sejenak. Agaknya pengemis muda itu bukan penjahat dan ia sendiri baru saja kembali dari rumah induk setelah berhasil mengobati pemuda yang di tawan keluarga gila itu. Kalau terlalu lama mereka berdua bicara di atas kuil, mungkin saja akan terlihat oleh keluarga gila itu yang berada di rumah induk. Ia harus berhati-hati.

   "Sobat, marilah kita bicara di bawah !" katanya dan Kim Lan mendahului pengemis itu melayang ke bawah.

   "Baik ! Aku memang membutuhkan penjelasanmu !" kata di pengemis yang juga melayang turun. Hampir berbareng mereka tiba dibawah dan dan kaki mereka tidak menimbulkan suara ketika mereka hinggap di atas lantai. Dari gerakan ini saja keduanya mengerti bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang baik sekali.

   Kini mereka dapat saling pandang dengan jelas, dibawah sinar lampu gantung. Pada saat itu, anggota Hwa-li-pang yang menjadi kepala penjaga kuil, terbangun dan mendengar percakapan itu iapun keluar dari kamarnya dan memandang heran kepada pengemis muda itu.

   "Heiii ! Laki-laki dilarang memasuki kuil ! Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini ?" Bentaknya.

   "Ssstttt, aku bukan penjahat", pengemis muda itu menaruh jari telunjuknya di depan mulut.

   "Mari kita bicara di dalam".

   Mereka lalu memasuki ruangan belakang dan Kim Lan memandang tajam lalu bertanya "Sobat, engkau harus menjelaskan kepada kami apa maksudmu malam-malam begini memasuki kuil lewat atap ?".

   "Aku hendak menyelidiki dimana keluarga gila dan pemuda berpakaian putih itu berada", jawab si pengemis muda.

   "Mau apa engkau menyelidiki itu ?"

   "Nona baju putih, apakah engkau tidak melihat ? Keluarga gila itu jahat dan meraka telah menawan pemuda pakaian putih itu yang hendak di nikahkan dengan puteri keluarga gila. Aku yakin bahwa pemuda itu ditekan dan terpaksa menuruti kehendak mereka. Karena itu aku ingin membebaskannya dari cengkraman keluarga gila itu !".

   Mendengar ini dan menatap sepasang mata yang tajam itu, Kim Lan merasa lega.

   "bagus sekali kalau begitu karena akupun mempunyai niat yang sama. Kalau begitu kita dapat bekerja sama, sobat !".

   Pengemis muda itu memandang gembira.

   "Ah, begitukah ? Aku pergi tadi melihat nona di antara mereka yang sembahyang, tidak ku sangka sama sekali bahwa nona adalah seorang gadis yang berilmu tinggi dan aku senang sekali bekerjasama dengan nona untuk menolong pemuda tolol yang menjadi tawanan itu !".

   "Akupun senang dapat bekerjasama denganmu, adik yang baik. Akan tetapi bolehkah kami mengetahui namamu dan siapa pula gurumu ?".

   Pemuda pengemis itu tersenyum dan wajahnya yang berlepotan itu nampak tampan sekali ketika ia tersenyum.

   "Enci yang baik, namaku Cu Sian dan tentang guruku, dia adalah mendiang ayahku sendiri. Aku berasal dari Tiangan".

   "Kuharap aku salah menyangka ketika menanyakan tadi apakah engkau hendak mencuri atau merampok" kata Kim Lan.

   "Ternyata engkau hendak menolong pemuda itu, maafkanlah aku dan namaku adalah Kim Lan".

   Pengemis itu mengerutkan alisnya dan cemberut.

   "Enci Lan, jangan memandang remeh kepadaku. Biarpun aku seperti kere begini, akan tetapi aku tidak pernah mencuri atau merampok. Bekalku cukup banyak, lihatlah" Dia mengeluarkan sebuah kantung kain dari sakunya dan membuka kantung itu. Ternyata isinya penuh dengan potongan-potongan emas.

   Kim Lan tersenyum "Aku tadi sudah minta maaf, adik Cu Sian. Sekarang aku ingin bertanya bagaimana caramu hendak menolong pemuda itu ?".

   "Bagaimana lagi ? Tentu dengan mencari kamarnya, kalau sudah kudapatkan, aku memasuki kamarnya, menotoknya dan membawanya lari keluar dari sini !".

   "Aihhh, engkau terlalu memandang ringan keluarga gila itu. Mereka itu sungguh lihai dan kalau engkau menggunakan cara itu, sebelum memasuki kamar pemuda itupun engkau sudah akan ketahuan dan di keroyok. Pagi tadi engkau sudah merasakan betapa hebatnya kepandaian nenek gila itu. Puterinya juga lihai, apalagi suaminya".

   "Aku tidak takut !" Pengemis muda itu berkata dengan nada menantang.

   "Bukan soal takut atau berani," kata Kim Lan yang wataknya sabar dan tenang.

   "Akan tetapi kalau terjadi begitu, berarti engkau telah gagal membebaskan pemuda itu. Sebaliknya kalau engkau bekerjasama dengan kami, tentu akan berhasil".

   Cu Sian segera memperhatikan gadis itu dengan mata mengandung penuh pertanyaan.

   "Bagaimana caranya, enci ? Katakanlah , tentu saja aku suka bekerjasama denganmu agar usaha kita berhasil menyelamatkan pemuda tolol itu".

   Kim Lan tersenyum mendengar pemuda itu di tolol-tololkan oleh pengemis muda itu.

   "Kalau dia itu pemuda tolol, lalu kenapa engkau berkeras menolongnya ?".

   "Enci Lan, justeru karena dia tolol maka aku ingin menolongnya ! Kalau dia tidak tolol, tidak mungkin akan dapat di tawan keluarga gila itu ! Nah, bagaimana cara kita untuk membebaskannya ?".

   Begini, malam ini sebaiknya engkau jangan bertindak. Kalau engkau bertindak, bukan saja engkau akan gagal, akan tetapi juga keluarga gila itu akan mencurigai Hwa-li-pang dan tentu akan membalas dendam kepada Hwa-li-pang . Sebaiknya besok malam saja engkau datang lalu kita mengatur siasat agar pemuda itu dapat lolos akan tetapi keluarga gila itu tidak menuduh Hwa-li-pang ikut bersekutu untuk membebaskan tawanan mereka", Kim Lan lalu dengan singkat menceritakan betapa ia telah mengobati pemuda tawanan itu yang ternyata keracunan. Kemudian mereka bercakap-cakap bertiga, membicarakan rencana mereka untuk membebaskan pemuda itu besok malam. Setelah itu, Cu Sian lalu meninggalkan kuil itu karena bagaimanapun juga, Kepala penjaga kuil merasa keberatan kalau seorang pria bermalam di kuil itu.

   Pada keesokan harinya, keluarga gila itu masih belum menaruh curiga. Han Sin bersikap biasa saja, tetap kelihatan lemas tak berdaya dan hanya senyum-senyum ketololan, Mereka kelihatan senang tinggal di Hwa-li-pang, namun ternyata bahwa keluarga ini tidak membuat ulah yang macam-macam.

   Malamnya, semua telah direncanakan oleh Kim Lan dan Cu Sian. Bahkan Han Sin telah diberitahu oleh Kim Lan dengan cara menyeludupkan tulisan ketika ia menyamar sebagai pelayan dan mengirim makanan ke kamar Han Sin. Dari surat yang di selundupkan itu Han Sin mengetahui bahwa gadis berpakaian putih bermata bintang itu telah menyusun rencana untuk menyelamatkannya dan meloloskannya tanpa membuat keluarga gila itu mencurigai Hwa-li-pang. Maka, malam itu diapun sudah siap siaga, menanti gerakan pengemis muda yang di ceritakan dalam surat Kim Lan. Pengemis muda itu akan memancing agar suami isteri gila itu meninggalkan kamar mereka di sebelah kamarnya.

   Pek Mau To-kouw juga sudah tahu akan rencana itu, dan ia bersikap biasa pura-pura tidak tahu saja. Demikian pula, semua anak buah Hwa-li-pang di pesan agar malam itu tidak mencampuri keributan yang terjadi situ, kecuali belasan orang yang berjaga yang diberi tugas untuk mengeroyok Cu Sian kalau pengemis muda itu muncul. Tentu saja pengeroyokan inipun hanya siasat Kim Lan saja. Malam itu sunyi karena hawa udara di luar amat dinginnya. Juga cuaca hanya remang-remang oleh cahaya jutaan bintang. Tiba-tiba keheningan malam itu dipecahkan oleh suara yang lantang, yang datangnya dari halaman rumah induk Hwa-li-pang .

   "Haiiii .... ! Nenek gila, keluarlah kalau memang engkau berani dan gagah ! Kita lanjutkan pertandingan kita kemarin dulu ! Hayo keluar ! Apakah engkau pengecut gila yang tidak berani menyambut tantangku !".

   Mendengar teriakan lantang ini, belasan orang anggota Hwa-li-pang yang pada malam hari itu bertugas jaga, segera berlari-lari mendatangi halaman itu. Di situ telah berdiri seorang pengemis muda berbaju hitam yang memegang tongkat.

   "Pengemis kurang ajar ! Hayo minggir dari sini !" Bentak para penjaga dan mereka segera mengepung dan mengeroyok pengemis muda. Cu Sian, pengemis itu melayani pengeroyokan mereka dengan tongkatnya dan dalam beberapa gebrakansaja sudah ada empat orang anggota Hwa-li-pang yang terpelanting ke kanan kiri !.

   "Heeiii, Nenek gila ! Pengecut kau, berlindung di belakang orang-orang Hwa-li-pang ! Hayo keluar, nenek pengecut gila !" Cu Sian memaki-maki dengan suara lantang sambil berlompatan ke sana kemari melayani pengeroyokan para penjaga itu. Kembali dua orang terpelanting roboh oleh sapuan tongkatnya.

   Teriakannya yang lantang itu tentu saja terdengar oleh suami istri gila yang berada di kamar mereka . Liu Si menjadi marah sekali karena dia di tantang dan dimaki pengecut.

   "Jahanam busuk , itu tentu pengemis kelaparan itu !" bentaknya dan ia pun melompat keluar dari kamarnya .

   Kui Mo yang tidak ingin melihat isterinya celaka, segera melompat pula mengejar isterinya menuju ke halaman depan. Mereka berdua segera melihat betapa pengemis muda yang kemarin dulu berkelahi dengan Liu Si mengamuk dan merobohkan banyak anggota Hwa-li-pang sehingga kepungan itu menjadi kocar kacir.

   Liu Si marah sekali.

   "Setan cilik, kiranya engkau yang mengantar kematian ! Mundur kalian semua !" teriaknya. Mendengar teriakan ini, sisa anggota Hwa-li-pang yang mengepung Cu Sian segera mundur dan membiarkan nenek itu menghadapi Cu Sian.

   Melihat nenek itu, Cu Sian tertawa bergelak.

   "ha-ha-ha, ku kira engkau hanya seorang nenek pengecut yang berlindung pada Hwa-li-pang. Kalau memang berani dan gagah, mari kita berkelahi sampai mati diluar agar orang-orang Hwa-li-pang tidak mengeroyok ku !" setelah berkata demikian, dia tidak memberi kesempatan kepada nenek itu untuk menjawab karena tubuhnya sudah melompat jauh dan berlari keluar dari pintu halaman.

   "Setan, siapa takut padamu !" Liu Si membentak dan ia pun lari keluar mengejar. Suaminya juga mengejar, akan tetapi anak buah Hwa-li-pang tidak ada yang ikut mengejar, seolah tidak mau terlibat urusan keluarga gila itu.

   Teriakan Cu Sian yang memecahkan kesunyian malam itu terdengar pula oleh Han Sin dan Kui Ji. Gadis gila yang tak pernah melepaskan perhatiannya terhadap Han Sin, segera keluar dari kamarnya dan menerjang daun pintu kamar Han Sin sehingga terbuka. Ia meloncat ke dalam memegang tongkat ularnya. Ia melihat Han Sin juga sudah bangun dari tidurnya dan pemuda itu duduk bersila di atas pembaringan, Kui Ji tertawa girang.

   "Suamiku yang baik, engkau terbangun oleh ribut-ribut itu ? Jangan takut , aku datang melindungimu" Kui Ki menghampitri pembaringan.

   Han Sin tersenyum, kesehatannya telah pulih dan kalau dia menghendaki tentu saja sejak pagi tadi dia dapat melarikan diri atau kalau perlu melawan keluarga gila itu. Akan tetapi dia menaati pesan dalam surat nona baju putih itu. Dia harus melarikan diri sehingga tidak melibatkan Hwa-li-pang.

   "Kui Ji, sekarang tiba saatnya aku membebaskan diri darimu !" berkata demikian, Han Sin melompat turun dari pembaringan. Melihat gerakan Han Sin yang gesit. Kui Ji terkejut dan heran, akan tetapi tentu saja ia tidak ingin Han Sin melarikan diri maka ia lalu menyerang dengan tongkat ularnya untuk menotok roboh pemuda itu. Makin terkejutlah Kui Ji ketika tongkat itu dengan mudah di tangkap oleh Han Sin dan sekali pemuda itu mendorong Kui Ji terjengkang dan terguling-guling di lantai kamar. Gadis itu melihat Han Sin meloncat keluar jendela. Ia juga meloncat bangun, dan melakukan pengejaran keluar dari jendela kamar itu. Setibanya diluar jendela, ia menengok ke kanan-kiri karena tidak melihat bayangan Han Sin, mendadak ada bayangan putih berkelebat di depan kiri dan bayangan putih itu berlari memasuki kebun samping bangunan.

   Kui Ji girang dan meloncat mengejar sambil berteriak "suamiku... tunggu........ jangan tinggalkan aku........".

   Bayangan putih itu berlari terus dan setibanya di pagar tembok belakang. Ia melompat ke atas pagar tembok dan dari situ melayang keluar. Kui Ji tidak mau kehilangan yang di kejarnya, maka ia pun meloncat naik ke atas pagar tembok. Dari atas pagar ini dilihatnya bayangan putih itu berlari menuju ke selatan, maka iapun melayang keluar pagar tembok dan terus mengejar ke selatan.

   Akan tetapi setelah tiba di luar sebuah hutan , tiba-tiba bayangan putih di depan itu lenyap. Kui Ji menjadi bingung dan menghentikan larinya, hanya berjalan sambil memandang ke kanan kiri. Ketika melihat seorang yang berpakaian putih sedang duduk di bawah pohon, iapun cepat menghampiri. Akan tetapi setelah tiba di depan orang itu, ia merasa kecewa karena orang itu adalah seorang wanita berpakaian putih, bukan Han Sin !.

   "Hei, kau .......... !" tegurnya.

   "Apakah engkau melihat suamiku yang juga berpakaian putih-putih lewat sini tadi ?".

   Orang itu bukan lain adalah Kim Lan. Seperti yang telah di rencanakan, malam itu ia menanti di dekat jendela kamar Han Sin, siap membantu kalau-kalau pemuda itu mengalami kesulitan melepaskan diri dari pengejaran Kui Ji. Akan tetapi ia melihat Han Sin keluar dari jendela dan berlari menuju ke belakang bangunan seperti direncanakan pemuda itu telah lenyap ketika Kui Ji nampak keluar dari jendela itu. Maka, ia melakukan tugasnya yang kedua, yaitu memancing Kui Ji untuk mengejarnya ke jurusan yang berlawanan dengan larinya Han Sin. Ia berhasil, karena cuaca yang gelap membuat ia hanya kelihatan seperti bayangan putih, seperti juga Han Sin yang berpakaian serba putih. Ia menggunakan gin-kang untuk berlari keluar dari kebun dan menuju ke hutan itu.

   Padahal, seperti rencana Han Sin berlari ke jurusan yang berlawanan, yaitu ke utara. Setelah yakin bahwa pemuda itu sudah dapat berlari juah dan Kui Ji kehilangan jejaknya. Ia lalu berhenti di bawah pohon sampai di tegur oleh Kui Ji.

   "Suamiku? Aku tidak melihat seorangpun di sini?"

   "Jangan bohong. Kau menyembunyikan suamiku, ya? Kau, harus di hajar dulu untuk mengaku" Dan gadis gila itu lalu menyerang Kim Lan dengan tongkatnya. Serangannya itu berbahaya sekali mengancam jalan darah. Akan tetapi dengan gerakan yang ringan dan indah. Kim Lan dapat menghindarkan diri dari serangan tongkat. Ia berkelebat ke sana sini untuk mengelak dan ketika kedua tangannya bergerak, lengan bajunya yang panjang itupun menyambar dari kanan kiri dan menyerang dengan tak kalah dahsyatnya. Kui Ji terkejut dan menjadi penasaran. Dalam cuaca yang remang-remang itu kedua orang gadis bertanding, mengandalkan ketajaman mata yang menembus cuaca remang-remang dan ketajaman telinga untuk mengikuti gerakan lawan. Setelah menandingi Kui Ji selama belasan jurus, Kim Lan melompat ke belakang.

   "Sobat, kalau kau menyerangku, berarti kau membuang waktu dan suamimu itu tentu sudah pergi jauh sekali. Kau akan kehilangan dia"

   Mendengar ini, Kui Ji merasa Khawatir sekali dan ia pun cepat meloncat, lari pulang ke Hwa-li-pang sambil menangis. Setibanya di halaman rumah induk, ia melihat ibunya sedang bertanding melawan pengemis muda. Pertandingan itu amat seru dan keduanya berimbang, saling serang dan saling desak. Ayahnya hanya menonton saja dan Kui Ji sudah mengenal watak ayahnya. Kalau tidak terpaksa sekali ayahnya pantang mengeroyok lawan.

   "Ayah ,.... Ibu.... Tolonglah aku......... aku kehilangan suamiku.." teriak Kui Ji sambil menangis. Mendengar ini, ibunya yang sedang bertanding itu meloncat ke belakang dan pengemis muda itu berkata sambil tertawa.

   "Ha-ha-ha, kau nenek gila lihai juga. Biar lain kali saja kita lanjutkan pertandingan ini" Setelah berkata demikian diapun melompat jauh ke belakang lalu melarikan diri keluar dari halaman itu.

   Pada saat itu muncullah Pek Mau To-kouw dengan kebutan bulu merah di tangannya. Ia pun muncul sesuai rencana. Dengan wajah tegang ia menghampiri keluarga gila itu dan bertanya "Sian-cai.... apa yang telah terjadi di sini? Mengapa ribut-ribut ini?"

   "Pengemis setan itu datang mengganggu menantang aku" kata Liu Si.

   "Suamiku melarikan diri. Ayah...... ibu.... suamiku melarikan diri...... dia meninggalkan aku.......... hu-hu-huuu"

   "Sumimu lari? Kemana larinya?" Pek Mau To-kouw bertanya.

   "Biar kutanyakan kepada anak buah ku. Heeiii, murid-murid Hwa-li-pang, apakah ada yang melihat kemana larinya calon pengantin pria itu?" To-kouw itu bertanya dengan suara lantang.

   "Kami melihat dia lari ke arah barat" terdengar jawaban.

   "Tidak, kami melihat pemuda baju putih itu lari ke timur" seru yang lain.

   "Celaka, celaka....... aku kehilangan mantu" Kui Mo mencak-mencak dengan marah "Hayo kita kejar dia" Tiga orang ayah ibu dan anak itu lalu berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu untuk melakukan pengejaran.

   Akan tetapi biar semalam mereka mengejar dan mencari-cari, mereka tidak menemukan jejak Han Sin. Pemuda ini berlari ke utara ,akan tetapi keluarga gila itu mencarinya ke selatan, barat dan timur. Akhirnya mereka putus asa dan kembali ke tempat tinggal mereka sendiri. Setelah Kui Mo berpesan kepada Pek Mau To-kouw bahwa kalau mantunya kembali ke kuil itu harus cepat memberi kabar kepada mereka di bukit siluman, tempat tinggal mereka. Tentu saja Pek Mau To-kouw dan seluruh anggota Hwa-li-pang merasa gembira sekali. Mereka bersukur dan berterima kasih kepada Kim Lan yang telah mengatur siasat dengan baiknya sehingga keluarga gila itu meninggalkan Hwa-li-pang dengan tenang. Juga mereka berterima kasih kepada pengemis muda bernama Cu Sian itu yang telah membantu sehingga siasat itu dijalankan dengan hasil baik. Akan tetapi mereka agak kecewa karena kedua orang penolong itu telah pergi tanpa pamit lagi sehingga mereka tidak sempat menghaturkan terima kasih mereka.

   ***

   Han Sin berlari terus ke utara sampai dia tiba di sebuah hutan bambu. Tempat inilah yang dimaksudkan oleh gadis baju putih itu dalam suratnya dan agar pelarian dari keluarga gila benar-benar aman, dia diminta untuk bersembunyi di dalam hutan itu. Han Sin tersenyum sendiri, kenapa dia harus bersembunyi? Dia tidak takut lagi kepada keluarga gila itu setelah kini tenaganya pulih. Tadinya dia melarikan diri hanya untuk memenuhi pesan gadis baju putih agar pelariannya dari keluarga gila itu tidak melibatkan Hwa-li-pang.

   "Kenapa mesti bersembunyi di sini?" bisiknya kepada diri sendiri. Sebetulnya, ingin dia melanjutkan perjalanan ke utara dimana mendiang ayahnya gugur dalam dalam perang melawan Bangsa Turki dan Mongol.

   Akan tetapi biarlah, dia membantah dirinya sendiri. Gadis baju putih itu telah memesan demikian dan tidak enaklah dia, sebagai orang yang ditolong mengabaikan permintaannya itu. Pesan dalam surat itu agar dia bersembunyi di hutan bambu itu melewatkan malam.

   Han Sin memasuki hutan kecil itu. Dia memilih sebuah tempat yang bersih dibawah rumpun bambu. Tanah ditilami daun-daun bambu kering sehingga enak untuk dipakai duduk, bahkan berbaring sekalipun. Ujung bulan yang kecil melengkung muncul di angkasa timur, emdatangkan sinar yang lumayan, sehingga cuaca tidaklah segelap tadi. Han Sin tidak berani tidur karena berada di tempat asing. Dia hanya duduk bersila di atas tilam daun bambu itu dan menghimpun tenaganya.Buntalan pakaiannya dia letakkan di depannya.


PEDANG NAGA HITAM JILID 06

   Ternyata ketika dia tiba dihutan bambu itu, malam telah larut sekali dan sebentar saja langit di timur mulai terbakar cahaya kemerahan. Pagi telah mendatang tanpa terasa lagi.

   Pendengaran Han Sin demikian tajamnya sehingga dia telah mengetahui bahwa ada orang sedang berjalan di dalam hutan itu menuju ke tempat ia duduk. Kaki yang menginjak daun-daun bambu itu tetap saja menimbulkan suara walaupun orang itu menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Ia menanti dengan jantung berdebar, kalau yang muncul itu keluarga gila, ketiganya sekalipun, dia tidak akan merasa tegang dan gentar. Akan tetapi yang membuat jantungnya berdebar adalah dugaan bahwa yang muncul itu si nona bermata indah.

   Setelah langkah kaki itu tiba dekat, barulah dia membuka matanya memandang dan degup jantungnya semakin kuat ketika pandang matanya bertemu lagi dengan sepasang mata indah lembut itu.

   Nona baju putih itu telah berada di depannya dan sepagi itu telah kelihatan demikian segar bagaikan setangkai bunga tersiram embun pagi. Han Sin terpesona dan sampai lama dia hanya memandang saja tanpa dapat mengeluarkan suara.

   Kim Lan dapat melihat sikap Han Sin yang bengong seperti orang bingung itu dan ia menduga bahwa sikap Han Sin itu karena rasa takut dan tegangnya, mengira yang datang tentulah keluarga gila yang di takutinya. Kim Lan memegang tangannya ke atas dan menghampiri pemuda itu.

   "Sobat, jangan takut, tenangkan hatimu. Keluarga gila itu telah pergi dan tidak dapat menangkapmu" Ia tersenyum menghibur sedemikian manisnya sehingga Han Sin makin terpesona. Akhirnya dia dapat juga membuka mulut dan bersuara "Ah, nona penolong. Banyak terima kasih atas semua usahamu untuk membebaskan diriku dari cengkraman keluarga gila itu"

   Kim Lan tersenyum "sudahlah, tidak perlu berterima kasih. Semua ini berkat kerjasama yang baik, mendapat bantuan pengemis muda itu dan para anggota Hwa-li-pang. Aku datang ke sini untuk melihat apakah kau sudah dengan selamat tiba di sini dan kedua kalinya, aku ingin bertanya kepadamu"

   Han Sin bangkit berdiri dan kini dia sudah dapat menguasai jantungnya yang berdebar. Dia memandang nona itu dengan sinar mata berseri, hatinya terasa senang bukan main dan senyumnya melebar.

   "Nona hendak bertanya padaku? Tanya lah, apa saja boleh kau tanyakan" jawabnya penuh gairah.

   Kim Lan memandang dengan tajam dan gadis ini mendapat kenyataan bahwa Han Sin tidak lagi kelihatan seperti seorang pemuda tolol seperti ketika masih menjadi tawanan keluarga gila. Ia segera dapat menarik kesimpulan bahwa pemuda ini telah bermain sandiwara dan pada hakekatnya tidaklah bodoh atau tolol. Kini dia kelihatan sebagai seorang pemuda yang cerdik dan lincah gembira.

   "Aku ingin bertanya dimana tempat tinggal keluarga gila itu?"

   "Hemmm, kenapa kau ingin mengetahui tempat tinggal mereka, nona?"

   "Aku ingin berkunjung ke sana"

   Han Sin terkejut dan memandang gadis itu dengan mata terbelalak.

   "Nona, jangan main-main"

   "Siapa yang main-main? Aku memang benar akan berkunjung ke tempat tinggal mereka"

   "Wah, itu berbahaya sekali. Kenapa nona hendak mengunjungi mereka?"

   "Hemmm, aku hendak berusaha untuk menyembuhkan mereka dari sakit gila mereka itu"

   Mata Han Sin makin terbelalak lebar "Eehhh? Tapi...... kenapa nona hendak bersusah payah mengobati orang-orang gila itu?"

   Kim Lan tersenyum, tidak jengkel dengan pertanyaan"pertanyaan yang di berondongkan Han Sin Kepadanya "Heii, aku mengajukan pertanyaan satu kali belum kau jawab, malah kau menghujani aku dengan pertanyaan"

   "Karena pernyataan mu itu amat aneh, nona. Nah, jawablah dulu, kenapa nona hendak mengobati mereka?"

   "Aku melihat bahwa mereka itu bukanlah orang-orang jahat. Biarpun lihai dan gila, mereka tidak pernah merobohkan orang dengan luka berat, apalagi tewas. Dan aku melihat ketidak wajaran dan kegilaan mereka, bukan gila karena otaknya rusak, melainkan gila karena keracunanan. Karena itulah maka aku ingin mengobatinya. Nah, sudah jelaskah jawabanku dan memuaskan hatimu?"

   Han Sin mengangguk-angguk dan pandang matanya memancarkan kekaguman "Sungguh belum pernah aku bertemu seorang yang memiliki pribadi sedemikian tingginya sepertimu nona. Akan tetapi sebelum aku menjawab, ingin kuperingatkan kepadamu bahwa mereka benar-benar gila dan mereka lihai bukan main. Aku khawatir, kau tidak akan dapat mengobatinya, malah kau yang akan menjadi tawanan mereka"

   "Untuk apa mereka menawanku? Yang mereka butuhkan adalah seorang pemuda untuk dijodohkan dengan puteri mereka" kata Kim Lan "Sudahlah sobat, beritahukan padaku dimana tempat tinggal mereka itu"

   "Akan kuberitahukan kalau nona sudah memperkenalkan nama nona. Nona telah bersusah payah menolongku, aku telah berhutang budi, sungguh tidak layak kalau aku tidak mengetahui namamu. Namaku sendiri adalah Cian Han Sin. Nah, maukah nona memperkenalkan nama nona?"

   Dengan senyum penuh kesabaran Kim Lan menjawab "Aku bermarga Kim dan namaku Lan"

   "Nona Kim Lan? Aih sebuah nama yang indah bukan main, sedap di dengar, Nah, kalau ingin mengetahui tempat tinggal mereka, di sebelah selatan bukit yang di sebut, Bukit Siluman. Di Sanalah mereka tinggal menempati sebuah rumah dari kayu dan bambu yang terpencil sendiri. Akan tetapi kuperingatkan padamu, nona Kim Lan, bahwa mendatangi mereka adalah berbahaya sekali"

   "Terima kasih dan tentang bahaya, seorang yang bermaksud baik tidak takut menghadapi bahaya apapun. Aku ingin mnyembuhkan mereka dari sakit gila itu, apa yang perlu kutakuti?" Kim Lan lalu memutar tubuhnya dan berkelebat cepat lenyap dari hutan bambu itu.

   Han Sin tertegun. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Kecantikannya luar biasa, cerdik, pandai ilmu silat dan ilmu pengobatan, bahkan kalau dia tidak salah menduga, gadis itu pun pandai ilmu sihir yang diperlihatkan ketika gadis itu menyamar sebagai pelayan datang ke kamarnya dan membuat Kui Ji tertidur sejenak. Dan di samping semua kehebatan itu, masih di tambah lagi dengan hati yang murni seperti emas. Akan tetapi ia berada dalam bahaya, pikir Han Sin, teringat akan aneh dan gilanya watak keluarga gila itu. Kim Lan terancam bahaya. Pikiran ini membuat Han Sin cepat menyambar buntalan pakaiannya, menggendongnya di punggung dan cepat diapun berlari keluar hutan itu dan membayangi perjalanan gadis berpakaian putih.

   ***

   Pagi itu cerah sekali. Matahari telah naik dan sinar matahari pagi yang hangat menghidupkan itu menyinari permukaan bumi. Seekor burung yang bulunya berwarna kuning dan ekornya hitam berloncatan dari ranting ke ranting, gerakannya menggugurkan mutiara-mutiara embun yang bergantung di ujung daun-daun pohon. Gerakannya lincah sekali dan matanya penuh kewaspadaan mengamati sekelilingnya. Sejak dapat terbang sendiri burung ini telah terlatih oleh lingkungan dan matanya hanya memperhatikan dua hal mencari makanan dan melihat apakah ada bahaya mengancam dirinya. Ia berhenti bergerak dan dengan kecepatan luar biasa paruhnya yang agak panjang berwarna hitam itu meluncur ke depan. Seekor ulat telah di jepit paruhnya. Ulat itu meronta-ronta namun tidak dapat terlepas dan setelah beberapa kali burung itu memukul-mukulkan ulat itu pada ranting pohon, ia lalu membuka paruhnya dan menelan ulat itu. Hukum alam pun terjadilah. Yang mati memberi kekuatan kepada yang hidup.

   Tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh-kekeh dari bawah pohon dan burung itu secepat kilat terbang dan pergi. Gadis itu masih terkekeh-kekeh, sejak tadi dia mengamati gerak gerik burung itu dan entah mengapa ia terkekeh. Mungkin dia melihat sesuatu yang lucu, yang tidak akan terlihat oleh orang lain yang keadaannya tidak sepertinya. Ia adalah Kui Ji, gadis gila itu. Suara tawanya mengerikan bagi orang lain, apalagi tawa itu terdengar di dalam hutan yang jarang di datangi manusia. Tentu akan di sangka tawa siluman.

   Akan tetapi, suara tawa itu terhenti mendadak dan kini ia menangisi entah apa yang di tangisinya tidak ada orang mengetahui, karena ia menangis begitu tiba-tiba tanpa sebab. Tak lama kemudian tangis itupun berubah menjadi tawa lagi. Gadis gila itu seperti terombang-ambing diantara tawa dan tangis. Kita manusia pada umumnya juga di ombang-ambingkan dalam kehidupan ini oleh tawa dan tangis. Hanya jaraknya saja yang agak lama, hari ini tertawa, hari lain menangis, atau setidaknya pagi tertawa sore menangis, sedangkan gadis gila itu menangis dan tertawa bergantian.

   Kim Lan sudah mendengar tawa dan tangis itu ketika ia memasuki hutan di lereng bukit siluman. Gadis yang baru berusia delapan belas tahun ini memang bukan gadis biasa, sikapnya begitu tenang dan tabah. Mendengar suara yang bagi orang lain akan menimbulkan rasa ngeri dan takut itu, ia malah tersenyum. Ada kegirangan terbayang di wajahnya yang jelita. Ia telah menemukan yang di carinya, maka tanpa ragu lagi ia cepat berkelebat ke arah suara tawa dan tangis itu.

   Kim Lan melihat Kui Ji sedang memetik bunga dan mengumpulkan bunga-bunga itu di keranjang. Ia merasa terharu, kegilaan agaknya tidak dapat melenyapkan naluri kewanitaannya yang menyukai bunga. Ketika memperoleh setangkai bunga mawar hutan merah, Kui Ji tertawa girang ,lalu memasang bunga itu di atas rambutnya, kemudian ia menari-nari.

   "Sekarang aku seperti puteri kaisar.............hik-hik-hik, aku menjadi puteri kaisar" ia menari-nari akan tetapi hanya sebentar dan kini ia sibuk lagi mengumpulkan bunga yang di petiknya. Pada saat itu Kim Lan keluar dari balik pohon dan dengan lembut dan hati-hati ia menegur "Enci yang cantik seperti puteri kaisar"

   Kui Ji membalikkan tubuhnya, cepat sekali dan matanya memandang kepada Kim Lan.

   Sukar di duga apa yang berada dalam hatinya ketika ia melihat Kim Lan. Ada heran, kaget, curiga akan tetapi juga gembira.

   "Apa yang kaukatakan tadi?" tanyanya.

   "Kau enci yang cantik seperti puteri kaisar" kata pula Kim Lan sambil melangkah maju mendekat.

   Sepasang mata itu berbinar-binar "Aku memang puteri kaisar, ayahku menjadi kaisar dan ibuku menjadi permaisuri, hik-hik-hik"

   "Kau memang cantik dan hebat, puteri. Akan tetapi kau sedang menderita sakit dan aku datang menghadapmu untuk menolongmu dan mengobatimu"

   Kui Ji berhenti tertawa dan memandang kepada Kim Lan dengan mata bingung "Apa katamu? Aku sakit? Tidak, aku tidak sakit"

   Kim Lan menatap wajah itu dengan sepasang mata yang bersinar-sinar. Ia menggerak-gerakkan jari tangannya dan berkata penuh wibawa "Enci yang baik, kau sedang sakit, sakit berat sekali"

   Kui Ji memandang sepasang mata yang bersinar itu dan diapun kelihatan seperti tertegun dan termenung, lalu berkata perlahan seperti orang berbisik "Ya, aku sakit, sakit berat sekali"

   "Dan aku akan mengobati dan menyembuhkan mu, enci"

   "Ya... ya.... kau akan mengobati dan menyembuhkan aku"

   Kim Lan lalu mengeluarkan segulung tali sutera hitam dari saku bajunya dan ia mengikat kaki tangan Kui Ji dengan tali itu. Kui Ji hanya nampak bingung sejenak, akan tetapi sama sekali tidak melawan ketika kaki tangannya diikat.

   "Untuk mengobatimu, aku harus mengikat kaki tanganmu" katanya.

   "Ya, kau harus mengikat kaki tanganku" Kui Ji berkata seperti orang bermimpi.

   "Tiba-tiba terdengar teriakan melengking dan sesosok bayangan berkelebat. Kim Lan dengan tenang bangkit berdiri sedangkan Kui Ji tetap rebah telentang dengan tangan kaki terikat. Ternyata Liu Si, nenek gila itu telah berada di situ.

   "Kau.... mata-mata musuh. Kau apakan anakku? Kubunuh kau" teriaknya marah dan ia sudah menerjang kepada Kim Lan dengan senjata cambuknya yang meledak-ledak.

   Dengan tenang namun gesit sekali Kim Lan mengelak dengan lompatan ke samping, lalu mengangkat tangannya "sabar dulu, bibi. Aku bukan mata-mata musuh, aku datang untuk mengobati anakmu"

   "Bohong kau. Mata-mata musuh dan hendak membunuh kami semua. Akan tetapi kau tidak dapat membunuh kami. Aku akan membunuhmu lebih dulu, hik-hik-hik" dan nenek itu menyerang lagi, kini lebih dahsyat. Terpaksa Kim Lan melompat jauh ke belakang untuk menghindarkan diri dari pecutan cambuk dan cengkraman tangan kiri itu. Gadis ini lalu mengerahkan kekuatan sihirnya mengangkat kedua tangan dan matanya mencorong lalu membentak dengan suara lantang berwibawa.

   "Bibi, pandanglah aku. Aku harus kau taati. Nah, cepat berlutut dan tunduklah kepalamu. Hayo, taati perintahku"

   Pengaruh yang amat kuat seolah menekan Liu Si. Ia berusaha melawan akan tetapi akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut dan menundukkan mukanya. Rambutnya yang panjang riap-riapan itu tergantung sampai menyentuh tanah.

   "Bagus, sekarang aku juga akan mengobatimu karena kau sakit, bibi. Dan untuk pengobatan itu aku harus mengikat kaki tanganmu" kata Kim Lan dan ia menghampiri nenek yang sudah berlutut itu.

   Tiba-tiba sekali, nenek itu terkekeh dan tubuhnya yang berlutut itu dan tubuhnya yang berlutut itu bergerak bangkit dengan cepat, cambuk dan rambutnya menyambar ke depan.

   Kim Lan terkejut bukan main. Tidak di sangkanya sama sekali nenek itu dapat membebaskan diri dari pengaruh sihirnya. Agaknya nenek ini memiliki sin-kang yang sudah kuat sekali sehingga sihirnya hanya sebentar saja dapat mempengaruhinya. Ujung cambuk dan ujung rambut itu menyambar dengan cepat dan kuat. Kim Lan tidak sempat lagi mengelak atau menangkis, maka ia menggerakkan kedua tangannya dan dengan jurus Burung Bangau Mematuk Ular kedua tangan itu mencuat ke depan dan ia sudah berhasil menangkap ujung cambuk dengan tangan kirinya dan ujung rambut dengan tangan kanannya. Liu Si menarik-narik cambuk dan rambutnya akan tetapi Kim Lan mempertahankan. Selagi mereka tarik itu tiba-tiba Liu Si menggerakkan kedua tangan ke depan, membentuk cakar setan hendak mencengkram dada Kim Lan.

   Pada saat yang amat berbahaya bagi Kim Lan itu mendadak muncul Han Sin di belakang Liu Si dan sekali Han Sin menggerakkan jari tangannya menotok, nenek gila itu mengeluh dan roboh terkulai.

   "Sudah kukatakan bahwa mereka itu berbahaya sekali, nona Kim Lan" kata Han Sin.

   "Ah, kau? Terima kasih atas bantuanmu" kata Kim Lan lalu mengeluarkan tali sutera hitam dan mengikat pula kedua kaki tangan Liu Si.

   "Mengapa kau lakukan itu, nona?"

   "Kulakukan apa?" balas tanya Kim Lan.

   "Mengikat kaki tangan mereka"

   "Hemmm, dengan menotok mereka sudah cukup membuat mereka tidak akan memberontak, mengapa harus mengikat mereka?" Han Sin bertanya pula sambil memandang dengan alis berkerut karena dia tidak setuju dengan cara mengikat mereka itu.

   Kim Lan melanjutkan mengikat kaki tangan Liu Si tanpa menjawab. Setelah selesai, barulah ia bangkit berdiri, memandang Han Sin dengan matanya yang indah lalu berkata dengan tenang "Aku sendiri juga tidak suka harus mengikat kaki tangan mereka, akan tetapi apa boleh buat, terpaksa ku lakukan. Kalau menotok mereka hal itu akan mengganggu pengobatanku"

   Kini kedua orang wanita, ibu dan anak itu sudah menyadari akan keadaan diri mereka yang terikat, maka mereka mulai meraung-raung dengan marahnya. Kui Ji berteriak-teriak sambil menangis sedangkan Liu Si berteriak-teriak sambil memaki dan mengancam.

   "Kasihan mereka" kata Han Sin.

   "Sengaja ku biarkan mereka berteriak-teriak untuk mengundang datangnya kakek gila itu. Diapun harus di tangkap dan di ikat seperti ini. Setelah itu barulah aku dapat melaksanakan pengobatan tanpa gangguan" kata Kim Lan.

   "Sebaiknya kalau kita bersembunyi dulu, menanti kedatangannya"

   Gadis itu menyelinap ke balik pohon dan terpaksa Han Sin mengikutinya walaupun hatinya masih ragu apakah perbuatan gadis itu benar. Dia pun bersembunyi di balik pohon, tak jauh dari tempat Kim Lan bersembunyi. Dia memandang kepada gadis itu. Ketika Kim Lan menoleh, dua pasang mata bertemu pandang dan agaknya gadis itu dapat melihat keraguan terbayang dalam pandang mata pemuda itu. Kim Lan tersenyum dan berkata "Bersabarlah, nanti kau akan melihat sendiri caraku ini yang terbaik untuk mengobati mereka"

   "Sssshhhh" desis Han Sin karena dia sudah mendengar teriakan-teriakan dari jauh. Teriakan ini makin dekat dan tak lama kemudian muncullah Kui Mo dengan tongkat di tangannya. Biarpun hatinya merasa tidak puas dengan cara yang dipakai Kim Lan untuk mengobati keluarga gila itu, akan tetapi melihat munculnya Kui Mo, Han Sin menjadi khawatir kalau gadis baju putih itu akan celaka di tangan orang gila yang amat lihai ini. Karena itu dia mendahului keluar dari persembunyiannya menghadapi Kui Mo.

   Kui Mo menggereng marah melihat isterinya dan anaknya dibelenggu, tak berdaya rebah di atas rumput. Ketika tiba-tiba Han Sin muncul, kemarahannya lalu di timpakan kepada pemuda ini.

   "Kau....? Kau telah melarikan diri dan sekarang kau menangkap isteri dan anakku?" Kau memang pantas di hantam dengan tongkatku" Dia menerjang dengan gerakan dahsyat sekali kepada Han Sin.

   Kim Lan yang bersembunyi dan mengintai itu mengenal serangan yang amat dahsyat dan ia terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa orang gila itu demikian hebat ilmu silatnya. Ia mengkhawatirkan keselamatan Han Sin dan siap-siap untuk membantunya.

   Akan tetapi dengan cekatan Han Sin sudah mengelak dari serangan dahsyat itu dengan memainkan ilmu silat Lo-hai-kun (Silat Pengacau Lautan).

   Dia tidak hanya mengelak, akan tetapi juga membalas dengan serangan untuk merobohkan lawan. Perkelahian itu berlangsung seru dan nampaknya ilmu silat Lo-hai-kun itu masih belum mampu menandingi ilmu tongkat Kui Mo. Pemuda itu mulai terdesak oleh hujan serangan tongkat yang dilakukan oleh kakek gila itu. Selagi Kim Lan merasa khawatir dan hendak turun tangan membantu, tiba-tiba Han Sin mengubah gerakan silatnya. Ketika tongkat menyambar dan menusuk ke arah ulu hatinya. Han Sin menangkis dengan dengan gerakan lengan memutar sambil mengeluarkan suara melengking.

   "Krraaakk" Tongkat itu patah-patah dan sebelum kakek itu hilang kagetnya, Han Sin telah berhasil menotok pundaknya, membuat kakek itu terpelanting dan lemas tak mampu bergerak lagi. Han Sin telah mengeluarkan jurus ilmu silat Bu-tek-cin-keng yang hebat. Bukan main kagumnya hati Kim Lan melihat betapa Han Sin dapat merobohkan kakek gila itu tanpa melukainya. Ia sendiri setelah melihat ilmu tongkat kakek itu, merasa tidak sanggup menandinginya. Segera ia meloncat dan sudah siap dengan tali suteranya yang amat kuat itu dan dibantu oleh Han Sin, ia segera mengikat kaki dan tangan Kui Mo.

   Tanpa berkata apapun Kim Lan segera mulai melakukan pemeriksaan kepada tiga orang itu, denyut nadi mereka, pernapasan mereka dan ketika ia menekan tengkuk mereka, tiga orang gila itu mengeluh kesakitan.

   "Hemmm, sudah kuduga. Mereka keracunanan. Sobat Cian Han Sin, apakah tempat tinggal mereka masih jauh dari sini?"

   Han Sin sejak tadi memandang gadis itu yang melakukan pemeriksaan dan dia merasa kagum sekali. Begitu tenang dan percaya penuh kepada diri sendiri.

   Gadis yang hebat, tentang kepandaiannya mengobati, dia tidak sangsi lagi karena dia sendiri yang mengalami kesembuhan dari pengaruh racun ketika di obati oleh gadis bernama Kim Lan ini.

   "Tidak, rumah mereka di lereng sana" jawabnya.

   "Kalau begitu, bantulah aku mengangkut mereka ke sana. Tidak enak mengobati mereka di tempat terbuka seperti ini"

   "Baik, akan ku bawa suami isteri ini dan kau membawa gadis itu" kata Han Sin sambil mengangkat tubuh Kui Mo dan Liu Si lalu di panggul di kedua pundaknya. Kim Lan memandang dengan senang dan sikap Han Sin ini menambah rasa sukanya kepada pemuda yang pandai membawa diri itu. Kalau Han Sin memilih untuk memanggul Kui Ji, maka kesannya tentu lain. Ia pun cepat mengangkat tubuh Kui Ji yang lemas dan memanggulnya. Tiga orang yang tidak waras otaknya itu memaki-maki di sepanjang perjalanan, akan tetapi karena mereka tidak mampu menggerakkan kaki tangan mereka, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu.

   Setelah tiba di rumah besar sederhana itu, mereka lalu merebahkan tiga orang gila itu di atas pembaringan. Han Sin mengeluarkan tiga pembaringan dari dalam kamar dan menjajarkan tiga tempat tidur di ruangan tengah dan di situlah tiga orang itu direbahkan.

   Dengan demikian, Kim Lan akan lebih mudah mengobati mereka dalam waktu yang bersamaan.

   "Tolong jaga mereka, aku akan mencari air" kata Kim Lan. Han Sin mengangguk dan gadis itu lalu pergi ke bagian belakang rumah itu, mencari dapur karena disana tentu ada persediaan air minum keluarga itu.

   Ketika ia memasuki dapur rumah itu, ia mengerutkan alisnya dan hidungnya yang macung itu berkembang kempis karena ia mencium sesuatu yang baunya aneh dan keras. Kemudian setelah mencari-cari, ia menemukan sumber bau itu, di atas tanah, tumbuh banyak sekali jamur yang warnanya merah darah. Kim Lan tertarik sekali, lalu berjongkok memeriksa jamur-jamur itu dan ia lalu mengangguk-angguk. Kini mengertilah ia mengapa keluarga itu menjadi gila. Gurunya pernah bercerita kepadanya tentang "jamur darah" ini, semacam jamur langkah yang mengandung racun.

   Racun jamur merah ini dapat membikin orang yang memakannya menjadi mabok dan lama kelamaan menjadi kacau pikirannya. Akan tetapi menurut gurunya, jamur darah ini rasanya memang lezat sekali.

   Kim Lan mencabut sebatang jamur, lalu setelah menemukan tempat air dan membawa air sepanca dan membawa pula sebuah mangkok kosong, ia kembali keruangan tengah "Aku telah menemukan sebab dari kegilaan mereka" katanya lembut kepada Han Sin sambil menyerahkan sebatang jamur merah itu.

   Han Sin menerima jamur itu dan memeriksanya dengan heran. Belum pernah dia melihat jamur dengan warna seperti itu. Merah darah.

   "jamur apakah ini?" tanyannya sambil memandang kepada gadis itu.

   "Namanya jamur darah yang rasanya lezat. Kalau orang membiasakan diri makan jamur ini, lambat laun pikirannya akan menjadi kacau. Akan tetapi mudah-mudahan saja aku akan dapat menyembuhkan mereka"

   Kim Lan mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna kuning, menuang sedikit obat itu ke dalam mangkok lalu mencampurnya dengan air seperampat mangkok.

   "Saudara Han, tolong kau minumkan ini kepada kakek itu. Tentu dia akan menolak, akan tetapi buka mulutnya dan tuangkan semua isinya sampai memasuki perutnya"

   Han Sin menerima mangkok itu dan menghampiri Kui Mo. Kakek gila ini memandang kepadanya dengan mata melotot "Kau bocah gila, mau apa kau?"

   "Paman yang baik, Nona Kim Lan yang budiman ini akan mengobati kau sekeluarga, maka silahkan minum obat ini"

   "Tidak, aku tidak sudi. Minum obat. Ha-ha-ha, aku tidak sakit, minumlah sendiri"

   Akan tetapi dengan tangan kirinya Han Sin memegang rahang Kui Mo dan memaksanya membuka mulut, lalu dituangkan isi mangkok kedalam mulutnya. Kui Mo tersedak-sedak dan terbatuk-batuk, akan tetapi semua obat itu tertelan olehnya.

   "Ugh-ugh, bocah gila. Kubunuh kau........." Dia memaki-maki.

   Kim Lan lalu memaksa pula Liu Si dan Kui Ji minum obat dari mangkok, Tak lama kemudian, ketiga orang ini sudah terkulai lemas dalam keadaan pingsan atau tertidur. Kiranya obat yang ia berikan kepada keluarga gila itu adalah semacam obat bius yang kuat sekali.

   "Kenapa mereka harus dibikin tidak sadar?" Han Sin bertanya heran.

   "Mereka adalah orang-orang yang pikirannya kacau. Kalau tidak di bius dulu, mereka tentu akan melawan pengobatan itu sendiri. Nah, sekarang tolong kau buka baju kakek itu. Cukup asal kelihatan pundak dan tengkuknya saja" kata Kim Lan sambil mempersiapkan jarum-jarum emas dan peraknya.

   Han Sin membuka baju atas Kui Mo, menurunkannya sedikit agar pundak dan tengkuknya terbuka, sedangkan Kim Lan menurunkan baju atas Kui Ji dan ibunya, Liu Si. Setelah itu, dengan hati-hati namun cekatan sekali, Kim Lan mulai menancapkan jarum-jarumnya pada pelipis, atas kepala, tengkuk dan dada mereka. Sampai habis semua jarumnya di tancapkan di tubuh atas mereka. Lalu secara bergiliran ia menjepit jarum dengan ibu jari dan telunjuknya, menggetarkan sejenak. Setelah itu, ia duduk menanti dan hanya memandang kepada tiga orang yang rebah seperti orang tidur itu.

   Suasana menjadi hening dan sejak tadi Han Sin mengamati dengan hati kagum. Gadis itu melakukan penusukan jarum-jarum dengan gerakan yang demikian mantap tanpa ragu sedikitpun dan ini hanya menunjukkan bahwa gadis itu telah mahir sekali dengan cara pengobatan itu. Setelah melihat gadis itu duduk, tidak bicara apapun dan sama sekali tidak menoleh kepadanya, Han Sin tidak dapat menahan hatinya untuk tenggelam ke dalam keheningan itu.

   "Nona Kim Lan, berapa lamakah mereka akan pulas dan apakah pengobatan ini akan dapat menyembuhkan mereka?"

   Kim Lan menoleh dan dua pasang mata bertemu pandang. Pandang mata gadis itu demikian lembut dan bibirnya yang merah basah itu tersenyum penuh kesabaran. Wajah itu demikian cantik dan agung sehingga untuk kesekian kalinya Han Sin terpesona. Akan tetapi wajah seperti itu tidak menimbulkan gairah rangsangan birahi, melainkan membuat orang tunduk dan menaruh hormat.

   "Obat bius yang mereka minum tadi kuat sekali dan sebelum tiga jam, mereka tidak akan sadar. Sementara itu, penusukan jarum-jarum ini akan membuka jalan darah mereka. Dalam obat bius tadi juga terdapat obat penawar racun yang kuat. Melihat bahwa mereka telah memiliki sin-kang yang kuat, maka sekali mereka dapat sadar kembali, dengan sin-kang mereka itu mereka akan dapat mengusir pengaruh racun itu dari tubuh mereka.

   "Dan mereka akan sembuh?"

   "Kalau Tuhan menghendaki" jawaban ini membuat Han Sin tertegun. Gadis ini pandai sekali akan tetapi ia rendah hati dan bersandar kepada Tuhan.

   "Apa maksudmu mengatakan kalau Tuhan menghendaki?" Han Sin sengaja memancing.

   "Kalau Tuhan menghendaki, tidak ada penyakit yang tidak dapat disembuhkan, akan tetapi kalau Tuhan menghendaki pula, tidak ada obat yang dapat menyembuhkan suatu penyakit. Semua bergantung kepadanya"

   Mendengar pendapat yang sama dengan yang selama ini dia pelajari dari gurunya, Han Sin menjadi semakin tertarik "Nona Kim Lan, bukankah obat-obat untuk menyembuhkan penyakit itu ditemukan oleh manusia dan penyembuhan juga dilakukan oleh manusia menggunakan obat-obat tertentu?"

   "Benar, memang manusia berkewajiban untuk berusaha menjaga kesehatannya dan menyembuhkan penyakit. Akan tetapi keputusan terakhir berada di tangan Tuhan dan manusia tidak mungkin dapat mengubah keputusan itu. Semua usaha dan sepak terjang manusia, baru akan menghasilkan suatu kebaikan kalau di dukung dan di bimbing kekuasaan Tuhan"

   "Aih, Nona Kim Lan. Kau bicara seperti seorang pendeta saja" kata Han Sin kagum.

   Kim Lan tersenyum "kehidupan adalah pengalaman setiap orang manusia, apakah untuk mengenalnya kita harus lebih dulu menjadi pendeta? Saudara Cian Han Sin, setiap orang sepatutnya menyadari akan kekuasaan Tuhan yang berada di dalam dan diluar dirinya, yang menguasai dan mengatur segala yang nampak"

   Kalau wajah dan sikap gadis itu sudah mendatangkan kekagumannya, kini ucapan gadis itu membuat Han Sin menghormatinya. Dia bangkit dari kursinya dan memberi hormat.

   "Pandangan hidup yang diucapkan nona sungguh tepat dan menganggumkan, aku menaruh hormat yang mendalam"

   Kim Lan masih tersenyum "Sudahlah, saudara Han, kau sendiri seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, tentu sudah mengetahui akan semua itu. Kau pandai dan lihai akan tetapi rendah hati. Akupun kagum padamu. Nah, sekarang kita harus bersiap-siap untuk meninggalkan mereka"

   "Meninggalkan mereka?" tanya Han Sin heran.

   "Tentu saja. Apakah kau ingin melihat mereka terbangun dalam keadaan sadar bahwa mereka berpakaian aneh-aneh dan bersikap tidak wajar? Mereka tentu akan merasa malu sekali. Aku akan meninggalkan surat untuk menjelaskan semua keadaan mereka agar mereka tidak menjadi bingung. Sementara itu, harap kau suka pergi ke dapur dan mencabuti dan membuang jauh-jauh semua jamur darah itu"

   Han Sin mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu dan diapun mengangguk "Baik, akan ku basmi semua jamur berbahaya itu"

   Han Sin pergi ke belakang dan mudah saja baginya untuk menemukan jamur yang tumbuh di sudut belakang dapur itu. Dicabutinya semua jamur merah itu, dimasukkan dalam sebuah keranjang besar yang terdapat di situ. Setelah semua jamur habis dia cabuti, dia lalu membawa keranjang itu keluar melalui pintu dapur dan membuangnya ke dalam jurang yang dalam, kemudian dia kembali ke ruangan tengah dimana Kim Lan baru saja selesai menulis sehelai surat. Surat itu ia letakkan di atas meja dan dari tempat dia berdiri Han Sin dapat melihat betapa indahnya coretan tulisan tangan gadis itu. Mereka lalu melepaskan semua ikatan tiga orang itu.

   "Nah, sekarang kita harus pergi. Kalau kita berada di sini sewaktu mereka terbangun dalam keadaan sadar, hal ini tentu akan membuat mereka malu sekali dan mungkin akan membuat mereka menjadi bingung, bahkan marah. Dari sini, kita harus berpisah, saudara Han Sin"

   😮

   

   "Berpisah?" Han Sin tertegun "Mengapa harus berpisah, nona?"

   "Tentu saja, kita harus melanjutkan perjalanan kita masing-masing"

   Han Sin tersenyum "Aih, nona mengapa kita harus berpisah. Kita dapat melakukan perjalanan bersama. Aku masih ingin bersamamu lebih lama lagi, ingin lebih mengenalmu"

   Rasa kagumnya itu jelas nampak dalam pandang matanya.

   Kim Lan menundukkan mukanya "Tidak baik bagi kita untuk melakukan perjalanan bersama, saudara Han Sin dan kau tentu mengetahui itu. Seorang gadis melakukan perjalanan bersama seorang pemuda, bagaimanakah akan anggapan orang terhadap kita? Pula kita memiliki tugas kita masing-masing. Kau seorang pendekar, tentu akan selalu berusaha membela kebenaran dan keadilan, membela yang tertindas dan menentang yang jahat. Sedangkan aku sebagai seorang yang mengerti akan ilmu pengobatan, aku akan berusaha menolong dan mengobati orang-orang yang menderita sakit"

   Tiba-tiba Han Sin teringat akan tugasnya mencari Pedang Naga Hitam dan mencari pembunuh ayahnya di utara. Dia menghela napas panjang dan berkata "Baiklah, kalau begitu nona. Akan tetapi tugasku mengharuskan aku pergi ke daerah Shansi di utara, kalau kebetulan kau juga menuju ke sana, apa salahnya kita melakukan perjalanan berdua? Dengan demikian, maka kita dapat saling membantu dan tentu akan lebih aman. Adapun mengenai pendapat orang, hal ini tidaklah penting. Yang penting kita menyadari sepenuhnya bahwa kita tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas"

   "Aku tidak sedang menuju ke utara, melainkan ke timur. Jalan kita bersimpang, saudara Han Sin. Karena itu selamat berpisah, kita harus cepat pergi sebelum mereka sadar" gadis itu sudah mengambil buntalan pakaiannya, lalu melangkah ke pintu.

   "Nanti dulu nona. Ada satu hal lagi, sebuah permintaan dan kuharap kau suka memenuhi permintaanku ini"

   "Permintaan apa? Kalau hal itu pantas dan dapat kulakukan, tentu aku tidak keberatan untuk memenuhinya"

   "Aku minta agar kita berdua menjadi sahabat. Maukah kau menerimaku sebagai seorang sahabat?"

   Kim Lan tersenyum manis "Kita sudah bekerjsama dan sudah menjadi sahabat, bukan?"

   "Jadi kau menganggap aku seorang sahabatmu?"

   "Tentu saja"

   "Kalau begitu, mengapa kita masih bersungkan-sungkan satu sama lain? Bagaimana kalau kita saling menyebut kakak dan adik? Setujukah kau?"

   "Tentu saja aku setuju"

   "Bagus. Nah, mulai sekarang aku akan menyebutmu Lan-moi"

   "Dan aku menyebutmu, Sin-ko"

   Han Sin tertawa gembira" selamat berpisah, Lan-moi, selamat jalan dan sampai bertemu kembali "Dia mengangkat kedua tangan depan dada.

   "Selamat jalan dan selamat berpisah, Sin-ko" kata gadis itu dan cepat sekali ia berkelebat keluar dari rumah itu.

   Han Sin juga mengambil buntalan pakaiannya, akan tetapi sebelum keluar dari rumah itu, die tertarik melihat tulisan yang indah dari Kim Lan, maka diapun membawa surat yang ditinggalkan Kim Lan untuk keluarga itu.

   "Salam bahagia, Kami mendapatkan kenyataan bahwa kalian bertiga keracunan hebat oleh jamur darah yang mebuat kalian kehilangan akal dan bersikap tidak wajar. Kami telah membasmi jamur darah itu dari dapur dan mengobati kalian, mudah-mudahan pengobatan kami dapat menyembuhkan kalian. Kalau kalian sembuh, tidak usah mencari kami dan berterima kasihlah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.

   Demikian bunyi tulisan itu, tanpa disebutkan nama penulisnya. Han Sin tersenyum. Kalau keluarga itu nanti sadar dan sudah waras kembali, tentu mereka bingung dan heran sekali keadaan pakaian dan tempat tinggal mereka. Dan dengan membaca surat itu mereka akan menyadari apa yang telah terjadi dengan mereka. Kim Lan memang cerdik, dan rendah hati. Kiranya sukar menemukan seorang gadis seperti Kim Lan. Sayang, gadis itu telah meninggalkannya. Dia ingin sekali mengetahui asal usul gadis itu, mendengar tentang riwayat hidupnya, dan siapa pula gurunya.

   Han Sin melihat Kui Mo mulai menggerakkan tubuhnya dan cepat dia melompat keluar ruangan dan rumah itu dan menggunakan ilmu berlari cepat untuk menuruni bukit itu menuju ke utara.

   Sementara itu, Kui Mo yang lebih dulu sadar dari pembiusan itu. Karena memang dia memiliki sin-kang paling kuat diantara mereka bertiga. Dia mengeluh lirih, menguap dan bangkit duduk, menggosok kedua matanya seperti orang baru bangun dari tidurnya. Pertama-tama yang terlihat olehnya adalah pakaiannya. Dia meloncat turun dari pembaringan sambil memeriksa seluruh pakaiannya. Dia terheran-heran.

   "Kenapa aku memakai pakaian seperti ini?" gerutunya dan dia kini memandang sekeliling. Dilihatnya Liu Si dan Kui Ji terlentang diatas pembaringan masih-masing. Dia terkejut dan sekali bergerak dia sudah mendekati pembaringan mereka. Dia menotok beberapa jalan darah di tengkuk isterinya dan totokan itu membantu Liu Si memperoleh kesadarannya kembali. Wanita itupun bangkir duduk, memandang kepada Kui Mo dengan mata terbelalak.

   "Kau...?" Kemudian ia menundingkan telunjuknya ke arah tubuh suaminya "Kenapa engaku memakai pakaian seperti itu?"

   Kui Mo menjawab "Lihat pakaianmu sendiri itu"

   Ketika Liu Si melihat pakaiannya ,ia pun meloncat turun dari atas pembaringan "Apa yang telah terjadi? Bagaimana ini? Dan dimana anak kita?"

   "Ia rebah di sana" kata suaminya dan mereka berdua menghampiri gadis yang masih tidur itu. Mereka lalu menotok jalan darah Kui Ji dan menyadarkannya. Seperti ayah ibunya, Kui Ji juga terheran-heran melihat pakaian mereka.

   "Ayah, Ibu. Apa yang terjadi? Kita ini berada dimana dan rumah siapa ini? Pakaian kita ini.... ahhh....."

   "Tenanglah, Kui Ji, sesuatu yang hebat telah terjadi pada kita" kata Kui Mo.

   Kui Ji menghampiri meja dan hendak duduk, akan tetapi ia melihat sehelai surat itu dan bereru "Ayah, Ibu, ini ada sehelai surat"

   Mereka bertiga lalu membacanya, dan setelah membaca, ketiganya duduk di kursi menghadapi meja itu dengan bengong.

   Kita keracunan jamur darah? Kehilangan akan dan bersikap tidak wajar? Apa yang dimaksudkan penulis surat ini? Apakah kita telah menjadi gila?" Kui Mo berkata penasaran.

   "Hemmm, melihat pakaian kita ini, memang pantas kalau kita di anggap gila. Akan tetapi, apa yang terjadi sesungguhnya? Seingatku, ketika kita melarikan diri dari selatan, setelah Kerajaan Sung di taklukan Kerajaan Sui, kita menyamar sebagai pengungsi dan berpindah-pindah tempat agar jangan di kenal orang. Dan yang terakhir sekali...... rasanya kita tinggal dalam sebuah guha, di sebuah diantara puncak-puncak Hoa-San, bahkan tidak jauh dari perkumpulan Hwa-li-san yang terdiri dari wanita-wanita gagah " kata Liu Si mengingat-ingat.

   "Ah, samar-samar aku ingat sekarang" kata Kui Ji sambil memejamkan matanya, mengingat-ingat" Disekitar puncak bukit itu pemandangannya amat indah, banyak sekali kembang beraneka warna. Kita semua merasa senang tinggal di situ"

   "Benar, akupun ingat sekarang. Kita memilih tempat itu untuk menjadi tempat tinggal dan kita menebangi pohon dan bambu untuk membuat rumah ini. Ya, aku ingat. Dan ketika kita membangun rumah, kita menemukan jamur kemerahan yang sedap baunya. Kita mencoba untuk memasaknya dan ternyata rasanya gurih dan lezat seperti daging ayam. Ya, kita setiap hari memasak jamur merah itu......" kata Kui Mo.

   "Agaknya itulah jamur merah yang dimaksudkan penulis surat ini" sambung isterinya.

   "Dan akibatnya kita kehilangan akal, kehilangan kesadaran dan hidup seperti orang-orang yang tidak waras pikirannya. Kita menjadi seperti orang -orang gila" kata Kui Mo "Ya, Tuhan. Apa saja yang kita lakukan ketika kita dalam keadaan seperti itu?"

   "Aku tidak ingat lagi, sama sekali tidak ingat" kata isterinya.

   "Aku juga tidak ingat ayah" kata Kui Ji.

   Kui Mo menghela napas panjang dan melihat rambutnya yang riap-riapan.

   "Aihhh, sungguh mengerikan. Juga rambutmu itu, dan rambut Kui Ji.... ah, kita hidup seperti binatang buas. Entah, sudah berapa bulan atau berapa tahun kita hidup seperti itu "

   "Ayah, seingatku kita menyimpan banyak pakaian ketika kita tiba di guha itu"

   "Kau benar. Mari kita cari guha itu, agaknya tidak jauh dari sini"

   Mereka bertiga keluar dari rumah itu dan segera mengenal tempat itu yang di tumbuhi banyak pohon dan kembang. Setelah mereka ingat, mudah saja mereka dapat menemukan guha itu dan ternyata di dalam guha itu mereka dapat menemukan pakaian mereka dalam keadaan masih utuh. Juga sekantung emas dan perak yang dahulu menjadi bekal mereka ketika mengungsi ke utara.

   Kui Mo ini sebetulnya bernama Ouw Yung Mo, seorang bangsawan Kerajaan Sun di selatan yang telah di tundukkan oleh Kaisar Yang Chien. Dia adalah putera dari Kok-su (Penasehat Negara) Ouw Yang Kok-su dari Kerajaan Sun. Dia telah mewarisi semua ilmu silat yang tinggi dari ayahnya. Ketika Kerajaan Sun di serbu pasukan Sui dan dikalahkan, Ouyang Mo mengajak isterinya dan puterinya untuk melarikan diri. Karena dia khawatir kalau-kalau dia dia di kenal sebagai putera Ouwyang Kok-su, maka dia mengubah nama marganya menjadi Kui. Setelah meninggalkan daerah Sun, dia berpindah-pindah dan akhirnya tiba di Hwa-san. Sungguh sial nasib keluarganya, di sini mereka menemukan jamur darah dan memasaknya, memakannya setiap hari sehingga ketiganya menjadi seperti orang gila dan hidup seperti itu selama hampir dua tahun. Setelah di obati oleh Kim Lan mereka sembuh kembali, akan tetapi mereka tidak ingat lagi apa yang mereka lakukan selama mereka berada dalam keadaan sinting itu. Hal ini menguntungkan bagi mereka, karena kalau mereka ingat akan semua sepak terjang mereka selama mereka sinting, tentu mereka akan merasa malu. Terutama Kui Ji yang memaksa Han Sin menjadi suaminya. Padahal, ia adalah seorang gadis yang terpelajar, seperti gadis-gadis bangsawan pada umumnya.

   Setelah bertukar pakaian, dengan pakaian mereka yang biasa, yaitu pakaian rakyat biasa, bukan pakaian bangsawan, mereka membawa semua barang itu ke dalam rumah besar sederhana itu dan mereka bertiga duduk di kursi menghadapi meja untuk membicarakan keadaan mereka.

   "Sekarang jelaslah sudah" kata Kui Mo atau Ouwyang Mo" Kita kehilangan akal setelah makan jamur darah, agaknya dalam keadaan sinting itu kita melanjutkan bangunan ini. Kita sudah lupa akan guha tempat tinggal kita dimana kita meninggalkan barang-barang itu"

   "Akan tetapi, bagaimana kita tahu"tahu memakai baju berkembang-kembang yang potongannya aneh itu?" tanya Kui Ji. Setelah kini membersihkan diri dan menggelung rambutnya gadis ini nampak cantik sekali.

   "Agaknya begini" kata ibunya "Diluar terdapat banyak sekali bunga yang indah-indah dan agaknya pemandangan itu amat mempengaruhi batin kita yang kacau. Dengan ilmu kepandaian kita, tidak sukar bagi kita untuk mendapatkan kain berkembang-kembang yang kita ambil dari toko kain di dusun atau kota kaki pegunungan ini dan dalam keadaan sinting itu tentu saja kita membuat pakaian asal jadi saja"

   "Jadi kita telah melakukan pencurian, ibu?" tanya Kui Ji sambil memandang kepada ibunya dengan mata terbelalak. Sukar ia membayangkan pergi bersama ayah ibunya untuk mencuri kain bahan pakaian.

   "Kalaupun kita melakukannya, hal ini kita lakukan diluar kesadaran kita selagi kita dalam keadaan sinting karena pengaruh jamur darah" ayah menghibur "akan tetapi yang membuat hatiku penasaran, siapakah penulis surat ini yang telah mengobati kita sampai sembuh? Aku ingin sekali dapat bertemu untuk menghaturkan terima kasih.

   Liu Si mengambil surat itu dari meja dan mengamati tulisan itu. Hemmm, tidak salah lagi, penulisnya tentulah seorang wanita, begini lembut dan rapi"

   "Ayah, orang yang mampu mengobati kita tentulah seorang yang memiliki ilmu pengobatan yang tinggi. Apakah ayah tidak dapat menduga siapa orang yang memiliki kepandaian seperti itu?"

   Kui Mo menghela napas panjang "Memang, yang mampu mengobati kita tentu orang yang bukan saja memiliki ilmu pengobatan tinggi, akan tetapi juga ilmu silat yang tinggi. Lihat saja, dipembaringan kita masih terdapat tali"tali sutera agaknya ketika di obati, orang itu menangkap kita lebih dulu dengan kepandaian silatnya. Kalau tidak, mana mungkin kita yang sedang sinitng mau dia obati? Dan seingatku orang yang memiliki ilmu pengobatan dan ilmu silat tinggi tidaklah banyak. Pernah di utara dunia kang-ouw mengenal seorang hwe-sio yang aneh dan dia memiliki ilmu pengobatan dan ilmu silat yang tinggi, nama julukannya Siauw-bin Yok-sian (Dewa Obat Muka Tertawa).

   "Akan tetapi tidak mungkin surat ini di tulis oleh tangan seorang pria" Liu si membantah.

   "Itulah yang membingungkan. Mungkin yang menolong kita tidak hanya satu orang karena betapapun lihainya Siauw-bin Yok-sian, bagaimana mungkin dia mampu menangkap kita bertiga sekaligus?"

   Tiga orang itu termenung dan tiba-tiba Kui Ji berseru "Ah, ayah dan ibu. Kenapa kita tidak menanyakan kepada Hwa-li-pang? Yang paling dekat dengan tempat ini dan merupakan pusat perkumpulan orang gagah hanyalah Hwa-li-pang. Sangat boleh jadi mereka mengetahui siapa penolong kita"

   Kui Mo bangkit berdiri dan bertepuk tangan "Ah, benar juga. Kenapa aku melupakan hal itu? Andaikata mereka tidak mengetahuipun, mungkin orang yang menolong kita itu singgah di sana. Mari kita pergi berkunjung ke Hwa-li-pang"

   Demikian lah, keluarga itu berlari cepat meninggalkan tempat itu dan menuju ke Hwa-li-pang yang berada di lereng bukit depan. Kini mereka sama sekali berubah. Tidak lagi mengenakan pakaian menyolok berkembang-kembang, tidak lagi bersikap liar, bahwa Kui Mo dan Liu Si masih belum dapat meninggalkan sama sekali sikap mereka yang berwibawa sebagai orang bangsawan.

   ***

   Pek Mau To Kouw merasa lega dan girang sekali ketika keluarga gila itu meninggalkan Hwa-li-pang. Akan tetapi ada sesuatu yang menjadi ganjalan di hatinya, yang membuatnya kecewa, yaitu perginya Kim Lan gadis berpakaian putih itu dari Hwa-li-pang dengan tiba-tiba. Gadis itulah yang telah menolong Hwa-li-pang terbebas dari kekuasaan keluarga gila yang pergi dengan kemauan mereka sendiri sehingga tidak marah kepada Hwa-li-pang. Siasat yang dilakukan gadis itu berhasil dengan baik dan Pek Mau To Kouw merasa kagum sekali kepada gadis itu. Ia ingin mengenalnya lebih dekat, bertanya siapa guru gadis yang lemah lembut dan cerdik itu. Akan tetapi sayang sekali, setelah keluarga gila itu pergi tanpa pamit, gadis itupun lolos tidak diketahui kemana perginya. Akan tetapi hal ini bahkan menambah kekagumannya. Lolosnya gadis itu secara diam-diam setelah usaha pertolongannya terhadap Hwa-li-pang berhasil menunjukkan bahwa gadis itu tidak ingin di puji-puji. Perbuatannya yang menolong itu sama sekali tanpa pamrih.

   Beberpa hari kemudian, selagi Pak Mau To Kouw duduk di ruangan dalam, dua orang anggota Hwa-li-pang tergopoh-gopoh datang menghadapnya.

   "Hemmm, tenangkan hati kalian, apa yang terjadi maka kalian bingung dan takut?"

   "Celaka pang-cu, mereka datang lagi" kata seorang diantara mereka.

   Pek Mau To Kouw memandang kepada mereka penuh selidik "Mereka siapa?" tanyanya, sikapnya masih tenang.

   "Mereka.... keluarga gila itu, pang-cu. Mereka datang lagi dan mencari pang-cu"

   Wajah Pek Mau To Kouw berubah dan alisnya berkerut "Hemmmm, mereka datang lagi? Jangan gugup, cepat beritahu semua anggota Hwa-li-pang agar bersiap-siap. Kita tidak dapat mengalah terus. Sekali ini aku terpaksa melawan dengan mengerahkan seluruh anggota Hwa-li-pang. Cepat laksanakan perintahku"

   "Baik, pang-cu" dua orang anggota itu cepat pergi dan Pek Mau To Kouw sendiri membawa kebutannya yang berbulu merah, segera keluar untuk menyambut keluarga gila itu. Ia melihat para anggota dalam keadaan panik dan ketakutan. Ketika tiba di depan rumah induk, ia melihat mereka bertiga sudah berdiri di sana. Pek Mau To Kouw tertegun, keheranan. Akan tetapi ia terus menghampiri mereka dan kini ia sudah berhadapan dengan mereka.

   Tiga orang itu segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat dan Kui Mo bertanya dengan suara dan sikap menghormat.

   "Apakah toa-nio yang menjadi pang-cu dari Hwa-li-pang?"

   Pek Mau To Kouw tentu saja merasa terkejut dan heran bukan main. Cepat-cepat ia membalas penghormatan mereka dan mendengar pertanyaan itu ia berkata" Siancai.... saya memang pang-cu dari dari Hwa-li-pang. Dan sam-wi (anda bertiga) ini... siapakah?" ia sengaja melayani, sikap mereka yang seolah tidak mengenalnya. Padahal ia tentu saja segera mengenal tiga orang itu sebagai keluarga gila walaupun kini pakaian mereka tidak aneh-aneh dan rambut mereka juga disisir rapi.
Kui Mo menjawab" saya bernama Kui Mo, isteri saya ini bernama Liu Si dan ini puteri kami Kui Ji"

   Pek Mau To Kouw benar-benar tertegun keheranan. Bagaimana mungkin dalam waktu beberapa hari saja tiga orang keluarga gila ini tiba-tiba menjadi sembuh dan pulih seperti orang-orang biasa?.

   "Keperluan apakah yang membawa Kui-sicu bertiga berkunjung ke tempat kami?" tanya to-kouw itu.

   "Kami sengaja berkunjung untuk minta tolong kepada pang-cu agar dapat memberitahu kepada kami tenatang orang yang telah menolong keluarga kami"

   Kini yakinlah hati Pek Mau To Kouw bahwa tiga orang ini memang benar keluarga gila yang agaknya telah sembuh dari kegilaan mereka dan tidak ingat lagi apa yang telah mereka lakukan selama mereka gila. Ia melihat para anggota Hwa-li-pang sudah berkerumun di situ, siap dengan senjata mereka untuk mengeroyok keluarga gila itu.

   Ia merasa tidak enak dan memberi isyarat dengan tangan agar mereka itu mengundurkan diri, kemudian ia berkata dengan sikap ramah kepada Kui Mo.

   "Kui-sicu bertiga, sebaiknya kalau hendak membicarakan sesuatu, kita bicara di dalam saja. Silahkan, harap sam-wi suka masuk dan bicara di dalam ruangan tamu"

   "Terima kasih" kata tiga orang tamu itu yang melangkah mengikuti to-kouw itu memasuki sebuah ruangan dan di sana mereka dipersilahkan duduk. Seorang anggota Hwa-li-pang segera datang membawa hidangan minuman teh.

   "Nah, sekarang dapat sicu ceritakan, bantuan apa yang kiranya dapat kami berikan" kata Pek Mau To Kouw ramah.

   "Kami mencari seorang pendekar kang-ouw yang pandai dalam ilmu pengobatan. Barangkali dia singgah ke sini atau pang-cu mengenalnya. Terus terang saja kami sekeluarga tadinya berada dalam keadaan sakit parah sekali. Kami telah di tolong oleh pendekar itu, diobati sampai sembuh kemudian dia pergi dan kami bertiga sudah tidak ingat lagi siapa dia. Maklumlah bahwa tadinya kami sakit yang mebuat kami tidak ingat apa-apa lagi.

   Pek Mau To Kouw mengangguk-angguk, mengerti dan dapat menduga apa yang telah terjadi "Siancai...... apakah sam-wi sama sekali lupa apa yang terjadi sebelumnya? Lupa apa yang telah sam-wi lakukan selama ini?"

   Liu Si yang menjawab "Kalau kami ingat, tentu tidak akan bertanya kepada pang-cu. Kami tidak ingat apa-apa lagi, seolah baru sadar dari tidur"

   "Kalau begitu, saya hendak menceritakan apa yang telah terjadi di sini, akan tetapi saya harap sam-wi tidak akan menjadi tersinggung"

   Tiga orang itu memandang kepada Pak Mau To Kouw dengan mata bersinar penuh harapan. Justru mereka hendak mengetahui apa yang terjadi sewaktu mereka seperti orang-orang gila itu.

   "Ceritakanlah pang-cu. Kami berjanji tidak akan tersinggung, bahkan berterima kasih sekali" kata Kui Mo.

   Melihat sikap mereka, Pek Mau To Kouw tidak ragu-ragu lagi untuk bercerita. Beberapa hari yang lalu, sam-wi sudah datang ke tempat kami ini, akan tetapi keadaan sam-wi tidak seperti sekarang, Sam-wi mengenakan pakaian kembang-kembang, rambut sam-wi awut-awutan dan sikap sam-wi menakutkan" Pekl Mau To kouw berhenti dan mengamati wajah mereka bertiga.

   "Penampilan kami menunjukkan bahwa kami bertiga berada dalam keadaan gila, bukan? Hal itu telah kami ketahui, pang-cu. Harap lanjutkan cerita pang-cu karena kami sama sekali tidak ingat lagi bahwa kami pernah datang ke tempat ini" kata Kui Mo.

   Pek Mau To kouw mengangguk "Sam-wi bertiga datang ke sini tidak hanya bertiga, akan tetapi bersama seorang pemuda yang menjadi tawanan sam-wi"

   "Eehhh??? kami menawan seorang pemuda?" seru Liu Si terheran-heran.

   "Dan apa maksud kami datang ke sini?" tanya Kui Mo.

   "Sebelumnya harap sam-wi maafkan kalau saya berkata terus terang menceritakan keadaan yang sebenarnya terjadi. Sam-wi memaksa kami untuk meminjamkan tempat kami di sini untuk merayakan pernikahan dan mengundang orang-orang kang-ouw untuk menghadiri pesta pernikahan itu"

   "Pernikahan? Pernikahan siapa, pang-cu?" kini Kui Ji yang sejak tadi hanya mendengarkan, bertanya heran.

   Pek Mau Tokouw tersenyum memandang gadis cantik itu "ayah ibumu akan menikahkan kau dengan pemuda tawanan itu nona"

   "Ahhh" Tiga orang itu berseru dan muka si gadis menjadi merah sekali "Lalu bagaimana, pang-cu, cepat ceritakan" seru Liu Si tidak sabar.

   "Permintaan yang aneh itu tentu saja kami tolak, akan tetapi sam-wi memaksa sehingga terjadi perkelahian dan kami tidak mampu menandingi kelihaian sam-wi. Terpaksa kami, menyerah dan sam-wi lalu tinggal di sini, menggunakan tiga buah kamar. Satu untuk Kui-sicu dan isterinya, kedua untuk nona, dan ketiga, yang berada di tengah untuk pemuda tawanan itu. Kami terpaksa menuruti semua permintaan sam-wi"

   Ayah ibu dan anak itu saling pandang dengan terkejut dan heran. Mereka sama sekali tidak ingat lagi akan semua itu "Tapi.... apakah kami dalam keadaan gila itu melakukan pembunuhan atau lain kejahatan lagi, pang-cu? Tanya Kui Mo dan suaranya mengandung kekhawatiran.

   Pek Mau To Kouw menggeleng kepalanya "Sama sekali tidak. Justeru karena sam-wi merobohkan kami tanpa melukai kami yakin bahwa sam-wi bukan orang-orang jahat, hanya sedang terganggu pikirannya. Peristiwa perkelahian itu di saksikan oleh para tamu yang sedang berkunjung ke kuil kami dan diantara mereka terdapat seorang gadis berpakaian serba putih. Gadis inilah yang mengatur siasat untuk membebaskan pemuda itu dari tawanan sam-wi dan ketika melaksanakan usaha itu ia dibantu oleh seorang pengemis muda. Mereka berdua berhasil membebaskan pemuda itu dari pengawasan sam-wi dan agaknya karena melihat pemuda yang akan dinikahkan itu tidak ada lagi, sam-wi lalu pergi dari sini tanpa pamit lagi. Nah, demikianlah peristiwa itu dan sekarang, tiga hari kemudian, sam-wi muncul dalam keadaan yang berbeda sama sekali. Sungguh membuat kami merasa heran bukan main akan tetapi juga bersyukur bahwa sam-wi telah dapat sembuh dari penyakit itu"

   "Gadis baju putih?" Tiga orang itu berseru dan kembali saling pandang.

   "Tentu ia yang menulis surat itu" kata Kui Mo "Pang-cu, apakah gadis berpakaian putih itu seorang ahli pengobatan?"

   "Kami rasa begitu, karena ia mengatakan bahwa pemuda tawanan itu keracunan dan ia hendak mengobatinya"

   "Menurut nona itu, pemuda yang sam-wi tawan itu keracunan yang membuat pemuda itu menjadi lemah dan tidak dapat meloloskan diri"

   "Dan pengemis muda?" tanya Kui Ji "Apakah yang dia lakukan untuk membantu pemuda itu lolos?"

   "Dia agaknya pandai ilmu silat. Dialah yang memancing agar sam-wi keluar menandinginya sehingga gadis baju putih itu mendapatkan kesempatan untuk membawa pemuda itu melarikan diri.

   Tiga orang itu saling pandang dan tentu saja merasa terpukul sekali. Sama sekali tidak mereka ingat lagi betapa dalam keadaan gila itu mereka hendak memaksa seorang pemuda untuk menjadi suami Kui Ji.

   "Pang-cu, siapakah nama gadis berpakaian putih itu dan dimana tempat tinggalnya? Kami harus bertemu dengannya dan menghaturkan terima kasih kami" kata Kui Mo.

   "Ia hanya memberitahu bahwa namanya Kim Lan, akan tetapi kami tidak tahu dimana tempat tinggalnya. Ia bukan orang daerah sini, dan hanya kebetulan lewat. Setelah berhasil meloloskan pemuda itu diapun segera pergi dengan tiba-tiba sehingga saya sendiripun merasa menyesal tidak mengenalnya lebih baik.

   "Dan pemuda yang menjadi.... tawanan kami itu......, siapa pula namanya dan dimana tinggalnya?" tanya Liu Si.

   Pek Mau To Kouw menggeleng kepala "Maaf, kami tidak tahu dan tidak sempat bicara dengan dia"

   "Siapa pula pengemis muda itu, pang-cu? Siapa namanya dan dimana dia?" Kui Ji bertanya "Kalau kami dapat menemukan dia, mungkin dia dapat menjelaskan dimana adanya gadis berpakaian putih itu"

   Pek Mau To-kouw juga menggeleng kepalanya "Kami tidak pernah dapat berkenalan dengan dia. Tadinya kami juga mengira bahwa dia seorang pengemis biasa yang masih amat muda. Baru kami tahu bahwa dia lihai ketika dia membantu usaha membebaskan pemuda tawanan itu"

   Tentu saja tiga orang itu menjadi kecewa sekali. Mereka hanya dapat mengetahui bahwa nama penolong mereka adalah Kim Lan, akan tetapi kemana mereka harus mencarinya?.

   Kui Mo menghela napas panjang. Ketua Hwa-li-pang itu telah memberikan keterangan yang sudah cukup jelas yang membuka tabir yang menyelimuti ingatan mereka. Dia merasa menyesal sekali bahwa dia sekeluarga telah melakukan hal-hal yang tidak pantas selama mereka keracunan jamur darah.

   "Pang-cu, kami sekeluarga mohon maaf sebesarnya bahwa kami telah membikin kacau di Hwa-li-pang" katanya sambil bangkit berdiri dan memberi hormat, di ikuti isteri dan anaknya. Ketua Hwa-li-pang itu cepat bangkit dan membalas penghormatan mereka.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 07

   "Aih, sam-wi sama sekali tidak bersalah. Semua itu sam-wi lakukan di luar penghormatan mereka.

   Kui Mo bertiga lalu berpamit. Mereka di antar oleh Pek Mau To Kouw sendiri sampai diluar pagar daerah Hwa-li-pang. Setelah para tamu itu pergi, baru Pek Mau To Kouw memanggil para pembantunya dan menceritakan perihal keluarga Kui yang tadinya gila akan tetapi kini telah sehat kembali itu. Ia memberitahukan bahwa keluarga Kui adalah keluarga yang baik dan agar kalau para anak buahnya bertemu mereka, bersikap hormat. Kini Pek Mau To Kouw merasa lebih menyesal lagi mengapa ia tidak sempat berkenalan lebih lanjut dengan Kim Lan dan menanyakan tempat tinggalnya.

   ***

   Han Sin melakukan perjalanan menuju ke utara. Setelah berpisah dari Kim Lan, entah mengapa dia merasa kehilangan semangat dan ketika melanjutkan perjalanan meninggalkan rumah keluarga gila itu dia melangkah perlahan. Tidak menggunakan ilmu berlari cepat. Dia merasa kehilangan dan merasa betapa sepinya hidup ini. Merasa sebatang kara di dunia ini dan timbullah rasa rindu kepada ibunya. Akan tetapi dia menekan perasaan hatinya yang ingin pulang. Tidak, ia belum menunaikan tugasnya. Bagaimana dia dapat pulang tanpa membawa pedang pusaka milik ayahnya dan tanpa berhasil membalas kematian ayahnya.

   Akan tetapi, pemandangan indah yang nampak ketika dia menuruni pegunungan Hwa-san menghibur hatinya. Nampak pemandangan di bawah gunung amatlah indahnya. Sawah ladang terhampar luas di bawah dan genteng rumah-rumah dusun berkelompok di sana sini kelihatan kemerahan. Wataknya yang memang periang itu segera timbul kembali dan dia sudah melupakan kerisauan hatinya. Dunia terbentang luas di depan kakinya. Langkahnya masih akan melintasi perjalanan jauh, banyak pengalaman hidup yang akan dihadapinya, mengapa dia harus bermurung-murung? Ho Beng Hwesio seringkali memberi nasihat agar dia menghadapi kenyataan hidup ini dengan wajar dan bebas dari kekhawatiran.

   "Manusia sejak dilahirkan sudah menghadapi berbagai tantangan. Kita tidak mungkin dapat melarikan diri dari tantangan-tantangan itu. Contohnya diriku ini, makin melarikan diri dari tantangan, semakin banyak rasa khawatir timbul. Tantangan tidak harus di hadapi dengan rasa khawatir, melainkan harus di hadapi dengan berani. Tantangan harus di anggap sebagai suatu kewajaran dalam hidup dan kita harus menghadapinya dengan gembira dan mengatasi setiap tantangan yang datang"

   Benar apa yang di ucapkan gurunya itu. Biarpun dia tidak mengerti mengapa Ho Beng Hwesio yang dahulunya berjuluk Hek Liong Ong itu menyembunyikan diri menjadi Hwesio, namun jelas bahwa gurunya itu tidak berani menghadapi kenyataan. Dia dapat membayangkan betapa dalam persembunyiannya itu Hek Liong Ong tentu merasa menderita sekali hatinya selalu ketakutan dan akhirnya benar saja, seorang diantara musuh-musuhnya dapat menemukan dirinya dan membunuhnya.

   Akan tetapi menurut keterangan ibunya, Ho Beng Hwesio ketika masih berjuluk Hek Liong Ong adalah seorang datuk sesat yang berhati keras dan kejam, yang mudah membunuh manusia tanpa berkedip mata. Akibatnya dia banyak dimusihi orang-orang yang mendendam kepadanya. Dan diapun menaati pesan ibunya agar dia tidak mendendam kepada pembunuh ayahnya. Ngo-heng-thian-cu hanya membalas dendam kepada Hek Liong Ong. Kalau kini dia memusuhi Ngo Heng Thian Cu, maka dendam mendendam itu tidak akan ada habisnya. Kematian Hek Liong Ong merupakan akibat daripada perbuatannya yang lalu. Berbeda dengan kematian ayahnya. Ayahnya mati secara penasaran, agaknya di khianati seorang karena di bunuh dari belakang selagi bertempur melawan musuh. Dan terutama pedang itu, Hek-Liong-Kiam, harus dia temukan.

   Dengan hati yang kembali gembira Han Sin melanjutkan perjalanannya, kini dia menggunakan ilmu lari cepat dan sebentar saja sudah tiba di bawah gunung.

   Ketika Yang Chien berhasil mendirikan Kerajaan Sui dan memerintah dengan bijaksana, keadaan dalam negeri dapat menjadi aman dan tentram. Kejahatan ditentang keras oleh pemerintah dan pasukan dikerahkan untuk membasmi gerombolan-gerombolan penjahat. Karen ini, keadaan menjadi tenteram dan penjahat-penjahat tidak berani terlalu menonjolkan diri melakukan kejahatan. Akan tetapi, ketika Yang Chien meninggal dunia dan kekuasaan di pegang oleh puteranya Kaisar Yang Ti, pengaruh yang tadinya ditimbulkan oleh kebijaksanaan Kaisar Yang Chien itu mulai menipis, gerombolan penjahat mulai berani bermunculan melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka. Perampokan-perampokan mulai terjadi lagi di tempat-tempat sunyi dimana tidak ada pasukan pemerintah.
Perjalanan Han Sin tidak menemui rintangan. Pada suatu hari tibalah dia Kota Pei-yang, sebuah kota dekat Sungai Kuning yang mengalir dari utara menuju ke selatan. Karena letaknya dekat sungai itulah yang membuat Pei-yang menjadi kota yang penting. Kota ini menjadi pelabuhan perahu-perahu yang memuat barang-barang dari utara. Para pedagang dari utara membawa barang dagangan mereka dengan perahu. Dan pulangnya para pedagang itu membawa barang-barang dari selatan ke utara melalui darat. Maka ramailah Pei-yang dengan adanya banyak pedagang yang lewat di kota itu dan bermalam di situ. Dengan sendirinya, kebutuhan para pedagang itu mendorong orang untuk membuka rumah makan dan rumah penginapan. Bahkan banyak rumah penginapan yang merangkap menjadi rumah makan pula. Selain itu, banyak pula toko-toko di buka orang, menjual bermacam-macam dagangan dari utara dan selatan.

   Han Sin berputar-putar di kota itu dan karena hari telah mulai senja, dia mengambil keputusan untuk bermalam di kota Pei-yang. Dia memilih sebuah rumah makan merangkap rumah penginapan yang kelihatan bersih dan memasukinya. Seorang pelayan menyambutnya dengan ramah.

   "Selamat sore, kong-cu. Kong-cu hendak makan ataukah hendak bermalam?"

   Han Sin tersenyum mendengar dirinya di sebut kong-cu. Padahal pakaiannya hanya sederhana saja. Apa yang menyebabkan pelayan ini memanggilnya kong-cu (tuan muda)? Mungkin hanya basa basi saja.

   "Selamat sore. Aku membutuhkan keduanya. Ya makan ya bermalam. Masih ada kamar yang bersih?"

   "Ada, kong-cu. Kamar kami semua bersih. Mari silahkan kong-cu. Saya antarkan ke kamar kong-cu"

   "Nanti saja, aku ingin makan lebih dulu" Han Sin dan pelayan itu segera mempersilahkan duduk di tempat yang kosong. Han Sin duduk di atas bangku menghadapi meja kosong dan dia mulai memandang ke sekeliling. Rumah makan itu cukup besar. Tidak kurang dari tigapuluh meja berada di situ dan pada waktu, separuh dari jumlah meja di duduki para tamu.

   Tiba-tiba perhatian Han Sin tertarik kepada seorang yang baru memasuki rumah makan itu dari luar. Segera ia mengenal orang ini, pengemis muda yang pernah di lihatnya di kuil Hwa-li-pang. Ketika Pek Mau To-kouw bertanding melawan Kui Mo dan terdesak, pengemis muda itu seperti bersajak namun isi kata-katanya adalah petunjuk bagi Pek Mau To-kouw untuk memecahkan rahasia ilmu silat Kui Mo yang aneh. Kemudian Liu Si menyerang pengemis muda itu yang ternyata seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi

   Dan kini tiba-tiba pengemis muda itu memasuki rumah makan dengan muka cengar-cengir, jelas sekali terbayang kenakalan pada wajah yang bercoreng hitam itu, wajah itu kelihatan kumal dan buruk. Akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti mata naga. Diam-diam Han Sin memperhatikan pemuda itu. Seperti dulu ketika dilihatnya di kuil, pengemis muda itu mengenakan pakaian tambal-tambalan berwarna hitam dan dia membawa sebatang tongkat bambu sebesar ibu jari kaki.

   Melihat seorang pengemis muda memasuki rumah makan itu, seorang pelayan segera menghampirinya dan menegur "Hei, bung. Kalau mengemis di luar saja, jangan memasuki rumah makan"

   Pengemis muda itu mengerutkan alisnya "Huh, siapa yang mengemis? Aku datang bukan untuk mengemis, melainkan untuk membeli makanan dan menginap. Beri aku sebuah kamar yang paling baik"

   "Jangan main-main kau. Hayo cepat keluar" Pelayan itu kembali membentak.

   "Kau yang main-main. Aku hendak makan, kenapa di suruh keluar?"

   "Kau seorang jembel begini bagaimana bisa membayar harga makanan? Masakan di sini mahal harganya"

   "Eh, menghina ya? Jangankan membeli makanan di sini, untuk membeli kepalamu aku sanggup membayarnya" pengemis itu mengambil sebuah kantung dari saku bajunya dabn membuka kantung itu di depan pelayan. Isinya penuh potongan emas dan perak.

   Pelayan itu terbelalak "Kau tentu seorang pencuri atau perampok. Pendeknya kau tidak boleh masuk restoran ini, kau akan membikin para langganan kami menjadi jijik melihatmu"

   "Kenapa jijik? Karena pakaianku buruk? Ketahuilah, mereka yang berpakaian bersih dan bagus itu banyak sekali yang benar-benar menjijikan karena kelakuan mereka"

   "Sudahlah, jangan banyak cerewet. Pergi dari sini atau ku seret kau" pelayan yang bertubuh tinggi besar itu mengancam. Akan tetapi pengemis yang masih muda dan tubuhnya kecil itu tidak kelihatan takut mendengar ancaman itu.

   "Hemmmm ingin sekali aku melihat bagaimana kau akan menyeret aku" tantangnya.

   "Keparat, ku lempar kau keluar" pelayan itu berseru dan tangannya mencengkram punggung baju pengemis itu dan hendak melemparkannya keluar. Akan tetapi terjadilah keanehan bagi para tamu yang tertarik mendengar pertengkaran itu. Ketika pelayan itu hendak menyeret dan melemparkan pengemis itu keluar, tiba-tiba pelayan itu mengeluh di susul dengan tubuhnya yang tinggi besar itu terlempar sampai keluar dari rumah makan.

   Pengemis itu tersenyum mengejek "Ingin kulihat siapa yang tidak membolehkan aku makan di sini"

   Han Sin tadi dapat melihat betapa pengemis itu menotok tubuh si pelayan lalu mendorongnya sampai terlempar keluar. Gerakannya tadi sedemikian cepatnya sehingga para tamu yang berada di situ tidak dapat melihatnya. Han Sin kagum, akan tetapi juga tidak senang melihat sikap pengemis itu ugal-ugalan. Sikap seperti itu dapat mengundang banyak kesulitan bagi dirinya sendiri.

   "Aku yang tidak boleh" tiba-tiba terdengar bentakannyaring dari arah kiri. Semua orang menengok dan memandang. Ternyata yang membentak ini adalah seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar, usianya sekitar duapuluh tiga tahun. Pakaian pemuda ini mentereng dan lagaknya seperti seorang pemuda bangsawan atau hartawan dengan potongan pakaian seperti seorang ahli silat serba ringkas dan gagah. Wajahnya memang gagah, rambutnya hitam tebal, alisnya hitam dan sepasang matanya lebar bersinar garang, hidung mancung besar dan mulutnya juga lebar. Wajahnya jantan dan gagah.

   Pengemis muda itu juga menengok dan ketika melihat siapa yang tadi membentaknya, dia bertolak pinggang dan membusungkan dada.

   "Hemmm, ada sangkut paut apa kau dengan aku yang hendak makan di rumah makan ini? Apa pedulimu kalau aku makan di sini?" katanya dengan suara ketus.

   "Kalian para pengemis tidak layak makan di sini. Menghilangkan selera makanku. Hemmm, pengemis adalah orang-orang malas, sudah sepatutnya dibasmi habis dari permukaan bumi" kata pemuda tinggi besar itu garang.

   "Wah, kau menghina orang ya? Kami para pengemis minta belas kasihan orang dengan suka rela, tidak memaksa. Bahkan kami menggerakkan hati nurani manusia untuk beramal, ingat akan kekurangan orang lain. Tidak seperti kau. Mungkin kau putera hartawan dan hartawan biasanya memeras keringat orang yang tidak mampu atau mungkin kau putera bangsawan dan para bangsawan biasanya melakukan korupsi. Pengemis lebih baik daripada hartawan atau bangsawan" Ternyata pengemis muda itu pandai sekali bicara, bicaranya cepat dan lancar, nerocos seperti burung kakaktua.

   "Kau memang jembel cilik yang perlu dihajar" Pemuda tinggi besar itu sudah mengepal tinju.

   "Kau yang perlu di hajar. Aku seujung rambutpun tidak takut kepadamu. Karena tinggi besar kau berlagak jagoan ya?" Pengemis itu berteriak marah dan mengamangkan tinju tangan kirinya yang kecil.

   Melihat sikap pemuda tinggi besar yang agaknya bukan orang sembarangan itu, Han Sin khawatir akan nasib pengemis muda itu. Pengemis itu masih muda remaja, biarpun meiliki sedikit kepandaian, kalau bertemu lawan tangguh tentu akan celaka. Maka dia cepat bengkit dari tempat duduknya dan menghampiri pemuda tinggi besar itu lalu memberi hormat.

   "Sobat, harap maafkan dia yang masih amat muda. Biarlah dia makan bersamaku dan aku yang tanggung bahwa dia akan membayar harga makanannya"

   Pemilik rumah makan yang di ikuti oleh beberapa orang pelayan juga mohon kepada pemuda tinggi besar itu agar jangan berkelahi di rumah makan mereka. Sementara itu Han Sin mendekati si pengemis dan berkata "Sobat, bukankah kita sudah pernah saling jumpa? Aku mengundangmu untuk makan semeja denganku, harap kau tidak menolak dan menghindarkan keributan dalam rumah makan ini"

   Pengemis itu memandang kepada Han Sin, memperhatikannya dari kepala sampai kaki seperti orang menilai, lalu mengangguk "Hemmm, baiklah. Setelah kejadian yang menjengkelkan ini, aku memang perlu seorang teman yang baik"

   Dengan langkah dan lagak gagah pengemis itu lalu mengikuti Han Sin menuju ke meja, melempar pandang ke kanan kiri seolah hendak menantang siapa yang akan berani mencegahnya.

   Han Sin dan pengemis itu duduk berhadapan dan Han Sin segera meneriaki pelayan agar menambah minuman dan makanan. Dia menuangkan arak ke dalam cawan pengemis itu.

   "Silahkan minum untuk mengucapkan selamat atas perjumpaan ini" kata Han Sin.

   Pengemis itu tersenyum dan mereka minum secawan arak. Pengemis itu tanpa malu-malu lagi lalu makan minum dan nampaknya ia lahap sekali. Akan tetapi Han Sin yang memperhatikan melihat kenyataan bahwa pengemis itu hanya makan sedikit. Belum menghabiskan nasi semangkok dia sudah berhenti.

   "Kenapa makanmu sedikit sekali? Makanlah lagi dan tambah nasinya"

   "Ah, tidak. Aku takut menjadi gemuk kalau makan terlalu banyak" jawabnya. Tentu saja Han Sin tertegun heran. Mana ada pengemis tidak mau makan banyak karena takut gemuk?

   "Sekarang aku ingat" pengemis itu berseru "Bukankah engaku pengantin pria itu?"

   Wajah Han Sin berubah merah, akan tetapi diapun tersenyum dan menjawab "Maksudmu pengantin paksaan? Benar, kita pernah bertemu di kuil Hwa-li-pang"

   "Wah, kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini. Aku memang ingin bertanya mengapa pesta pernikahan itu tidak jadi di langsungkan? Aku sudah menanti-nanti untuk mendapatkan bagian arak dan kue pengantin, ternyata tidak jadi ada pesta pernikahan. Apa yang terjadi?" Pengemis itu berpura-pura, karena di luar pengetahuan Han Sin. Dirinya memegang peran penting dalam penggagalan pernikahan itu.

   Dengan suara bisik-bisik agar tidak terdengar orang lain, Han Sin menjawab "Aku dapat melarikan diri dari mereka"

   "Ih, kenapa lari? Bukankah senang akan di nikahkan dengan nona yang cantik itu?"

   "Kau maksudkan yang gila itu? Mereka semua itu gila, akan tetapi aku tidak berdaya. Mereka lihai sekali. Akan tetapi untung aku dapat meloloskan diri dari tangan mereka berkat bantuan seorang gadis yang bernama Kim Lan. Hebat bukan main nona Kim Lan itu" Han Sin memuji dengan penuh kagum.

   "Maksudmu nona yang berpakaian serba putih itu? Ya, ia memang cantik sekali"

   "Bukan hanya cantik jelita seperti bidadari, akan tetapi ilmunya juga hebat. Ketika aku di tawan keluarga gila, aku di beri racun dalam keadaan keracunan itu aku tidak dapat melarikan diri. Akan tetapi nona Kim itu dapat menyeludup masuk kamarku dan aku di obatinya sampai sembuh. Kemudian ia merencanakan agar aku dapat melarikan diri. Bukankah ia hebat sekali?"

   Pengemis itu mengangguk-angguk dan mengacungkan ibu jarinya.

   "Namanya Kim Lan? Hemmm, kalau aku bertemu dengannya akan kuceritakan padanya betapa kau memuji-muji setengah mati"

   Karena sudah lama mereka selesai makan, seorang pelayan menghampiri untuk membersihkan meja mereka dan membawa pergi perabot makan. Akan tetapi kedua orang itu masih bercakap-cakap terus.

   Mereka merasa akrab sekali dan diam-diam Han Sin merasa heran mengapa dia begitu suka dengan pemuda pengemis ini. Rasanya seolah-olah mereka sudah bersahabat lama sekali.

   "Dan kau sendiri, siapakah namamu?" tanya Han Sin

   Pengemis itu mengangkat muka memandang dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang amat tajam. Han Sin dapat menduga bahwa pengemis muda yang memiliki sepasang mata setajam itu pastilah bukan orang biasa.

   "Kau belum memperkenalkan namamu sendiri, bagaimana menanyakan nama orang lain?" jawabnya.

   "Ahh, aku lupa" kata Han Sin sambil tersenyum "Baiklah namaku Cian Han Sin, dan kau......?"

   "Aku bermarga Cu dan namaku Sian ian"

   Pada saat itu, seorang pelayan datang menghampiri meja mereka dan pelayan itu bertanya kepada Han Sin "Kalau kong-cu ingin memilih kamar, silahkan ikut saya"

   "Ah, ya baiklah" Han Sin bangkit berdiri dan membayar harga makanan.

   "Aku juga minta sebuah kamar" kata pengemis muda bernama Cu Sian itu kepada si pelayan.

   "Adik Cu Sian, marilah kau menginap dikamarku saja. Kita pakai kamar itu untuk kita berdua"

   "Tidak, terima kasih. Aku ingin menyewa kamar sendiri" kemudian berkata mengancam kepada pelayan itu "Jangan menolakku. Aku akan membayar, berapapun sewanya"

   Han Sin dapat menduga bahwa watak pengemis ini memang liar dan ugal-ugalan, maka diapun mengangguk kepada pelayan itu dan berkata "Penuhi saja permintaan sahabatku ini"

   "Baik, baik, mari silahkan mengikuti saya"

   Mereka terus masuk ke bangunan di belakang rumah makan itu. Ternyata bangunan itu merupakan bangunan susun dan mempunyai banyak kamar. Mereka mendapatkan dua buah kamar yang berdampingan dan setelah pelayan itu pergi meninggalkan mereka, barulah Han Sin bertanya kepada pengemis itu.

   "Sian-te (adik Sian), kau ini aneh sekali"

   "Apanya yang aneh, Sin-ko (Kakak Sin)?" Sepasang mata Cu Sian mengamati wajah Han Sin dengan tajam penuh selidik.

   Han Sin menyimpan buntalan pakaiannya ke dalam kamarnya dan Cu Sian juga melakukan hal yang sama. Kemudian mereka ke luar kembali dan duduk di ruangan depan kamar mereka, dimana disediakan beberapa buah bangku dan meja.

   "Kau tadi bilang aku aneh, nah, apanya yang aneh, Sin-ko?" tanya Cu Sian. Mereka dapat bercakap-cakap dengan leluasa karena ruangan itu terpisah dari para tamu lainnya.

   "Kau berkeras minta sebuah kamar sendiri dan tidak mau menginap dalam kamarku. Bukankah itu terlalu royal dan aneh?"

   Cu Sian tertawa dan wajahnya nampak tampan sekali ketika dia tertawa "Heh-heh, apa anehnya itu? Sejak kecil aku terbiasa tidur sendiri. Kalau ada temannya, aku pasti tidak akan dapat tidur pulas sepanjang malam"

   "Masih ada hal yang lebih aneh lagi yang membuat aku dapat menduga siapa kau sebenarnya, Sian-te"

   "Ehh? Benarkah? Apa saja keanehan itu?"

   Kini Han Sin yang mengamati wajah Cu Sian penuh selidik dan dia berkata "Aku berani menduga kau tentulah seorang pemuda remaja yang kaya raya dan pandai ilmu silat. Kau tentu sedang merantau dan menyamar sebagai seorang pengemis untuk mencari pengalaman. Nah, benarkah dugaanku ini?"

   Cu Sian yang tadinya mendengarkan dengan serius itu kini tertawa lagi "Heh-he-he, apa alasannya kau menduga seperti itu, Sin-ko?"

   "Mudah saja. Cara bicara menunjukkan bahwa kau seorang yang berpendidikan tinggi. Kau mengenakan pakaian pengemis akan tetapi tidak mengemis, bahkan membawa banyak uang dan sikapmu juga royal sekali, tanda bahwa kau seorang hartawan. Dan ketika di kuil Hwa-li-pang terjadi perkelahian, kau muncul dan berkelahi melawan nenek gila yang sakti, ini membuktikan bahwa kau pandai silat, juga ketika kau melempar pelayan tadi keluar rumah makan. Nah, benarkah dugaanku itu?"

   Cu Sian menghela napas panjang "Aihhh, begitu menonjol dan canggungkah penyamaranku ini?"

   Han Sin menggeleng kepala "Tidak Sian-te. Melihat sepintas lalu saja, penyamaranmu memang sudah baik sekali dan tak seorangpun menyangsikan bahwa kau seorang pengemis. Akan tetapi kalau sudah bergaul denganmu, maka akan nampaklah kejanggalan-kejanggalan itu. Sikapmu sungguh bukan seperti pengemis, melainkan sebagai seorang pendekar muda yang kaya raya"

   "Aduh mak, celaka aku. Bertemu denganmu sama saja dengan kena batunya. Selama beberapa bulan menyamar ini, baru sekarang rahasiaku terbuka. Maka sesungguhnyalah, aku bukan seorang pengemis akan tetapi aku bersahabat dengan seorang pengemis, bahkan aku keturunan pemimpin perkumpulan pengemis"

   "Akan tetapi kenapa kau menyamar sebagai pengemis?"

   "Sudah tentu agar aku tentu leluasa dan aman melakukan perjalanan. Kalau aku melakukan perjalanan sebagai seorang kong-cu, tentu akan mengalami banyak gangguan dari para perampok dan pencuri. Kau benar, aku memang sedang merantau mencari pengalaman dan penyamaran ini kulakukan agar perjalananku aman"

   "Sian-te, kau seorang pemuda yang memiliki kepandaian silat tinggi, kenapa takut akan gangguan orang? Sedangkan aku yang tidak mempunyai kepandaian apa-apa saja berani melakukan perjalanan tanpa penyamaran, apalagi kau"

   Cu Sian tersenyum dan menundingkan telunjuknya ke arah muka Han Sin.

   "Jangan mengira bahwa kau seorang yang pandai menebak keadaan orang lain, akan tetapi akupun dapat menggambarkan siapa adanya kau"

   "Benarkah?"

   "Hemmm, aku tahu bahwa kau seorang yang berpendidikan, dapat di duga dari caramu bicara dan pandanganmu yang cerdik dan luas kalau bicara. Kau seorang yang baik budi, akan tetapi agaknya kau tidak pandai ilmu silat, atau andaikata dapat tentu tidak beberapa tinggi. Buktinya kau dapat dikuasai oleh keluarga gila itu. Tentu kecerdikanmu, dapat kulihat bahwa beradanya kau dan keluarga gila itu di Hwa-li-pang. Tentu kau yang membujuk mereka agar pernikahan dilakukan di Hwa-li-pang maka keluarga gila itu mati-matian meminjam tempat di Hwa-li-pang. Tentu kau maksudkan agar orang-orang Hwa-li-pang dapat menolongmu. Benarkah?"

   Han Sin mengangguk-angguk dan memang dia kagum sekali. Pemuda remaja ini selain lincah jenaka juga amat cerdik seperti kancil.

   "Lalu apa lagi? Dugaanmu yang sudah itu tepat sekali"

   "Hemmm, kau pasti bukan seorang pemuda yang kaya. Kau memesan makanan yang murah di rumah makan tadi dan buntalan pakaianmu yang ringan tentu tidak mengandung banyak uang. Dan seorang diri kau melakukan perjalanan ke utara padahal di utara bukan tempat untuk berpesiar. Tentu kau mempunyai tujuan tertentu dalam perjalanan ini"

   "Kau hebat, Sian-te"

   "Ada satu lagi. Aku berani menduga bahwa kau adalah seorang putera bangsawan walaupun tidak kaya"

   "Ehhh?" Han Sin benar-benar terkejut sekali. Bagaimana kau menduga begitu?"

   "Sikapmu ketika mencegah si tinggi besar di rumah makan tadi agar tidak menyerangku. Sikap itu demikian penuh wibawa dan ini biasanya hanya di miliki oleh keluarga bangsawan tinggi. Jangan-jangan kau ini seorang pangeran yang menyamar?"

   "Ngacau.... Han Sin tertawa, akan tetapi diam-diam dia harus berhati-hati terhadap seorang yang demikian cerdiknya" Aku bukan pangeran bukan putera bangsawan, melainkan anak seorang ibu yang telah janda sejak aku berusia sepuluh tahun"

   "Heeiii... nanti dulu. Kau bermarga Cian, bukan? Hemmm, kau kematian ayahmu sejak berusia sepuluh tahun dan usiamu sekarang ku taksir duapuluh tahun. Sepuluh tahun yang lalu kau kematian ayahmu dan kau she Cian. Padahal, sepuluh tahun yang lalu, kematian Cian-Tai-Ciangkun, Sin-ko, kau putera mendiang Panglima Besar Cian Kauw, bukan?"

   Wajah Han Sin berubah dan dia bangkit dari tempat duduknya. Tebakan yang tepat itu sama sekali tidak pernah disangkanya dan dia memandang kepada Cu Sian dengan tajam, sepasang matanya mencorong dan sikapnya penuh kewaspadaan.

   Cu Sian juga bangkit dan menggerakkan tangan menghibur Han Sin.

   "Jangan takut, Sin-ko. Aku tanggung bahwa tidak akan ada orang lain dapat menduga bahwa kau putera Panglima Besar Cian Kauw, Walaupun andaikata ada yang tanya sekalipun tidak apa-apa. Kalau aku dapat menduga siapa kau, hal itu adalah karena kakekku adalah sahabat baik dari Cian-ciangkun. Kakek ku pernah menjadi temen seperjuangan ayahmu, maka aku sudah mendengar akan semua riwayat dan keadaan Cian-ciangkun dari mendiang ayahku. Kalau aku tidak mengetahui keadaannya, tentu aku tidak akan dapat menduga bahwa kau puteranya"

   Han Sin sudah dapat menenangkan hatinya dan dia duduk kembali. Sejenak dia memandang kepada Cu Sian lalu mengangkat telunjuknya ke arah muka Cu Sian "Hemmm anak nakal. Jangan kau terlalu bangga dan menyombongkan dirimu. Akupun dapat menduga siapa kau ini"

   "Eh? Benarkah? Nah, katakan siapa aku ini?" Cu Sian menantang.

   "Kau tentu cucu dari Ketua Hek-I-Kaipang di Tiang-an"

   Kini Cu Sian yang meloncat dari tempat duduknya dan memandang kepada Han Sin dengam mata terbelalak "Lohhh, bagaimana kau bisa menduga begitu?"

   "Apa sukarnya? Kau tadi pernah mengatakan bahwa kau keturunan pemimpin pengemis. Dalam penyamaranmu, kau mengenakan pakaian pengemis warna hitam. Mengapa warna hitam dan bukan warna lain? Dan kau bermarga Cu. Maka mudah saja di duga, aku sudah mendengar dari ayah ibuku siapa-siapa tokoh kang-ouw yang menjadi temen seperjuangan ayah. Diantaranya adalah Cu Lo-kai, ketua dari Hek-I-Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam). Nah, coba menyangkal kalau bisa" Han Sin tersenyum penuh kemenangan melihat pengemis muda itu nampak gugup.

   "Dan.... kau mendengar tentang ayah ibuku?"

   Han Sin menggeleng kepalanya "Tidak Ayah dan ibu tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan Hek I Kaipang dan para pengurusnya setelah Kerajaan Sui berdiri. Jadi, tentu saja aku tidak apapun tentang orang tuamu"

   Wajah itu berseri kembali "Dugaanmu memang tepat" Hemmm, alangkah pintarnya kau, sin-ko"

   "Tidak lebih pintar darimu, Sian-te"

   "Nah, sekarang kita telah mengenal dengan baik keadaan diri masing-masing. Agaknya persahabatan antara ayahmu dan kakek ku menjadi jembatan persahabatan kita"

   "Akan tetapi, aku hanya seorang pemuda biasa, tidak sepandai kau dalam ilmu membela diri" kata Han Sin, memancing apakah pemuda remaja itupun dapat menduga bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi. Ternyata Cu Sian tidak dapat menduganya.

   "Jangan khawatir, Sin-ko. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik? Akulah yang akan membela dan melindungimu dan jangan kau takut, aku tidak menyombongkan diriku apabila kukatakan bahwa tongkatku ini cukup kuat untuk melindungi kita berdua" kata Cu Sian sambil mengangkat tongkatnya yang tadi diletakkan di atas meja.

   Han Sin tersenyum "Wahh, lega hatiku sekarang, mempunyai seorang sahabat seperti kau, Sian-te. Setelah kita menjadi sahabat, tentu kau tidak berkeberatan untuk memberitahu kepadaku kemana kau hendak pergi dan apa yang kau cari sampai kau tiba di sini, jauh dari Tiang-an, tempat tinggalmu"

   Mendadak wajah yang berseri itu menjadi muram. Beberapa kali Cu Sian menghela napas panjang, kemudian berkata "Sebetulnya kalau bukan kepadamu, aku tidak pernah menceritakan keadaan ku, sin-ko. Entah mengapa, kepadamu aku seketika percaya sepenuhnya. Mungkin karena mengetahui bahwa kau putera mendiang Cian-ciangkun. Akan tetapi setelah kau mendengar cerita tentang diriku, ku harap kaupun akan menceritakan keadaanmu dan kemana kau hendak pergi"

   "Baik, aku tidak akan menyimpan rahasia, Sian-te"

   Cu Sian memandang ke kanan kiri, ke arah pintu-pintu depan belakang rumah itu yang terbuka. Tidak nampak seorangpun manusia dan dia segera mulai dengan ceritanya.

   "Kakekku hanya mempunyai seorang putera, yaitu ayahku. Akan tetapi sejak mudanya, ayahku yang bernama Cu Kak tidak mau mengikuti jejak kakek, tidak mau menjadi pengemis bahkan tidak mau melanjutkan pimpinan Hek I Kaipang. Ayah telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian kakek dan kepandaian itu menjadi modal bagi ayah untuk membuka piauw-kok (perusahaan pengiriman barang). Ayah menjadi piauw-su (pengawal kiriman barang) yang disegani dan dapat membuat perusahaannya menjadi terkenal dan besar. Setelah kakek meninggal dunia, Hek I Kaipang diserahkan kepada para murid lain untuk memimpinnya.

   "Aku tidak dapat menyalahkan ayahmu. Karena bagaimanapun juga, menjadi pengemis menimbulkan kesan kurang baik bagi seseorang, apalagi kalau dia masih muda dan kuat"

   "Akan tetapi kakek sendiri tak pernah mengemis, kakek hanya mengumpulkan para pengemis, dalam satu wadah agar mereka tidak melakukan perbuatan jahat"

   
😮

   
"Aku mengerti, Sian-te. Lanjutkanlah"

   "Kakekku meninggal dunia ketika aku baru berusia sepuluh tahun, terjadilah malapetaka itu. Mula-mula sebuah kiriman barang berharga yang di lindungi perusahaan ayah menuju jauh ke utara di rampok di tengah perjalanan. Para piauw-su pembantu ayah berusaha melawan, akan tetapi banyak diantara mereka tewas dan sisanya melarikan diri pulang dan melapor kepada ayah. Ayah menjadi marah. Barang kiriman yang hilang itu amat berharga dan tidak mungkin ayah dapat menggantinya. Maka ayah sendiri lalu pergi ke utara dimana terjadi perampokan itu. Perampokan itu terjadi di lembah Huang-ho dan barang kiriman itu seharusnya di bawa ke Po-touw"

   "Dengan siapa ayahmu pergi?"

   "Ayah pergi bersama para pembantunya, yaitu para piauw-su yang dapat melarikan diri dari para perampok itu. Setelah tiba di tempat itu, ayah dan para pembantunya di serang oleh gerombolan perampok itu dan dalam pertempuran ini ayah tewas. Para piauw-su dapat melarikan jenazah ayah pulang. Ibu terkejut dan sedih sekali sehingga setelah semua barang milik kita di jual untuk mengganti barang yang di rampok, ibu jatuh sakit dan akhirnya setahun setelah ayah tewas, ibu juga meninggal dunia, meninggalkan aku seorang diri di dunia ini"

   "Aduh kasihan sekali kau, Sian-te. Masih muda sekali telah di tinggal kedua orang tuamu" kata Han Sin terharu.

   "Ketika itu aku baru berusia sebelas tahun, aku tetapi aku sudah mengerti keadaan. Aku bertanya kepada para piauw-su siapa yang membunuh ayah. Mereka mengatakan bahwa perampok itu memakai nama Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan) dan yang membunuh ayahku adalah ketua perkumpulan itu, seorang laki-laki tinggi besar yang brewok dan memegang sebatang golok besar. Aku lalu belajar silat dari para paman guruku, yaitu para murid kakek di Hek I Kaipang. Setelah semua ilmu dapat ku kuasai, aku lalu pergi merantau untuk menambah pengalamanku dan mencari musuh besar yang membunuh ayah ibuku"

   "Ibumu? Bukankah ibumu meninggal dunia karena sakit?"

   "Betul, akan tetapi kalau tidak gara-gara orang yang membunuh ayahku, tentu ibu tidak meninggal karena kesedihannya. Dalam perjalananku mencari musuhku itulah aku bertemu dengan kau, Sin-ko"

   "Ah, hidupmu seolah bertujuan untuk membalas dendam"

   "Apa lagi yang dapat kulakukan? Aku harus membalas dendam kematian orang tuaku, hanya itu yang dapat kulakukan untuk membalas budi mereka kepadaku"

   "Kalau kau menjadi seorang pendekar pembasmi kejahatan yang membela kebenaran dan keadilan, berarti kau sudah mengangkat dan mengharumkan nama ayah ibumu"

   "Sudahlah, tidak perlu kita perdebatkan hal itu. Sekarang aku menagih janji. Kau berjanji akan menceritakan riwayatmu sampai kesini"

   Han Sin menghela napas panjang. Riwayatku tidak lebih baik daripada riwayatmu, Sian-te. Kau sudah mendengar bahwa ayah tewas dalam suatu pertempuran yang terjadi di sebelah utrara Sjan-si, ketika memimpin pasukan untuk menumpas pemberontakan di sana. Kalau ayah meninggal dunia karena bertempur, hal itu adalah wajar saja. Seorang Panglima gugur dalam pertempuran merupakan hal wajar dan kami tidak akan merasa penasaran. Akan tetapi, ayah tewas karena pengkhianatan"

   "Ehhh? Siapa yang mengkhianatinya?"

   "Itulah yang menjadi rahasia. Tidak ada yang tahu siapa yang membunuh ayah ketika terjadi pertempuran itu"

   "Kalau begitu, bagaimana kau tahu bahwa dia di khianati dan bukan tewas oleh pihak musuh?"

   "Ayah tewas karena terkena anak panah yang datangnya dari belakang. Anak panah itu mengenai punggungnya. Dan lebih daripada itu, Pedang pusaka ayah, Hek liong Kiam juga lenyap. Setelah ayah meninggal, ibu mengajakku pindah ke dusun"

   "Dan sekarang kau sampai di sini, hendak kemanakah?"

   "Ibu menyuruh aku untuk mencari pedang pusaka milik ayah yang hilang itu"

   "Aih, dengan sedikit kepandaian silat yang kau miliki, bagaimana kau akan dapat menemukan atau merampasnya kembali? Mungkin pedang pusaka itu diambil oleh pembunuh ayahmu"

   "Kalau begitu, bagaimanapun akan ku hadapi"

   "Kau bisa celaka.... akan tetapi jangan takut, Sin-ko. Aku akan membantumu menghadapi pembunuh ayahmu dan pencuri pedang pusaka itu"

   "Akan tetapi kau sendiri mempunyai tugas yang penting, dan aku tidak berani mengganggumu dengan urusanku, Sian-te"

   "Begitukah sikap seorang sahabat" kata Cu Sian dengan alis berkerut.

   Han Sin merasa tidak enak sekali. Dalam mencari pedang dan pembunuh ayahnya, mungkin dia akan menghadapi musuh-musuh yang lihai. Kalau Cu Sian bersama dengannya, maka pemuda remaja ini dapat terancam bahaya. Dia tidak menghendaki hal hal itu terjadi. Pula, tidak pantas kalau pemuda itu sampai membahayakan diri sendiri hanya untuk membantunya dalam urusan pribadi.

   "Sungguh, aku menyesal sekali terpaksa harus menolak bantuanmu, Sian-te. Aku tidak ingin mengganggumu. Lebih baik kau selesaikan urusanmu sendiri dan aku akan mencoba untuk mencari pedang pusaka ayahku itu seorang diri pula"

   Cu Sian bangkit berdiri, wajahnya berubah merah "Apa? Kau menolak uluran tanganku? Sin-ko, kau terlalu memandang rendah padaku. Apa kaku kira aku tidak akan mampu mendapatkan Hek liong kiam itu untukmu?"

   "Bukan begitu, Sian-te, akan tetapi........"

   "Akan tetapi apa.........?"

   "Aku tidak mau merepotkanmu, pula kalau sampai terjadi apa-apa denganmu karena kau membantuku, aku akan merasa menyesal selama hidupku. Terima kasih banyak atas kebaikanmu dan pembelaanmu, akan tetapi sungguh menyesal sekali, aku harus menolaknya"

   "Bagus" Cu Sian bangkit berdiri dan menggebrak meja "Kau sungguh seorang sahabat yang tidak mengenal arti kesetian"

   "Maafkan aku, Sian-te. Akan tetapi aku sungguh tidak ingin melihat kau celaka. Kau masih begini muda"

   "Cukup. Kau anggap aku anak kecil, ya? Kalau tidak ada anak kecil ini, belum tentu kau dapat meloloskan diri dari keluarga gila itu, tahukah kau? Akulah orangnya yang memancing agar kau dapat meloloskan diri"

   "Ahhh, terima kasih banyak, Sian-te. Kau memang hebat"

   "Tidak perlu memuji, pendeknya mau atau tidakkah kau kalau kubantu kau mencari pedang pusaka itu?"

   "Terpaksa aku menolaknya, Sian-te. Ini dapat berbahaya sekali untukmu dan......"

   "Sudahlah, kau memang keras kepala. Kalau kau kelak menghadapi ancaman musuh yang tangguh, baru kau menyesal mengapa tidak menerima tawaranku. Sudah, aku mau tidur" dan pemuda remaja itu membanting-banting kaki lalu memasuki kamarnya, menutupkan daun pintu kamar keras-keras.

   Han Sin masih duduk termangu. Dia suka sekali kepada Cu Sian. Akan tetapi pemuda itu masih seperti kanak-kanak. Bagaimana dia boleh mengajak kanak-kanak menghadapi bahaya dalam mencari pedang Hek liong kiam? Kalau dia sendiri gagal bahkan sampai tewas dalam usahanya ini, dia tidak akan menyesal. Akan tetapi kalau sampai Cu Sian tewas dalam membantunya, dia tentu akan merasa menyesal bukan main.

   Akhirnya dia menghela napas dan memasuki kamarnya sendiri. Dia merasa kecewa dan menyesal bahwa persahabatannya dengan pemuda remaja itu akan berakhir begini. Akhirnya Han Sin dapat juga tidur pulas.

   ***

   Pada keesokan harinya, suara ayam jantan berkokoknyaring di luar jendela kamarnya. Han Sin turun dari pembaringannya dan membuka daun jendela itu. Pekarangan samping itu di tumbuhi pohon-pohon dan kembang. Suasana pagi itu indah sekali dan hawanya sejuk segar memasuki kamarnya. Tiba-tiba dia teringat kepada Cu Sian yang berada di kamar sebelah. Dia menjulurkan kepala keluar jendela untuk memandang ke arah jendela kamar sebelah.

   Daun jendela itu masih tertutup. Agaknya sahabat barunya itu masih tidur. Dia berharap mudah-mudahan Cu Sian tidak marah lagi dan mereka akan dapat saling berpisah sebagai dua orang sahabat.

   Han Sin termenung sambil memandang keluar dimana burung-burung beterbangan dan berloncatan dari dahan ke dahan. Dimana kupu-kupu beterbangan di sekitar bunga-bunga. Pagi yang cerah, hari yang indah. Alangkah akan gembiranya kalau pada pagi seindah itu dia melakukan perjalanan dengan Cu Sian, sahabatnya yang riang gembira dan lincah jenaka itu. Akan tetapi dia segera menggeleng kepalanya. Tidak. Dia mempunyai tugas yang berat dan berbahaya. Siapa tahu apa yang akan dihadapinya di utara nanti. Tidak boleh dia membawa Cu Sian, pemuda remaja itu memasuki bahaya pula.

   Han Sin yang sadar dari lamunannya lalu pergi membersihkan diri di kamar mandi yang letaknya di belakang rumah penginapan itu, kemudian setelah bertukar dengan pakaian bersih dia menghampiri kamar Cu Sian. Diketuknya pintu kamar itu beberapa kali, lalu dia menanti. Akan tetapi tidak ada jawaban, tidak ada suara dari dalam kamar itu. Daun pintu kamar itu tetap tertutup, tidak dibuka dari dalam.

   Dia mengetuk lagi dan memanggil "Sian-te, bangunlah, hari telah siang"

   Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Ketika dia mengetuk-ngetuk kembali, muncul seorang pelayan yang kemarin melayaninya.

   "Percuma diketuk karena kamar itu kosong kong-cu" katanya.

   "Eh? Kosong? Bukankah kamar ini yang ditempati sahabatku itu?"

   "Kong-cu maksudkan pemuda pengemis itu?"

   Han Sin mengangguk "Ya, bukankah dia bermalam di kamar ini?"

   "Ya, benar. Akan tetapi tadi pagi-pagi sekali, sebelum ayam berkokok, dia telah pergi meninggalkan kamar ini dan dia telah membayar sewa kedua kamar. Bahkan dia telah membayar harga makan pagi yang akan dihidangkan kepada kong-cu pagi ini. Apakah kong-cu tidak tahu bahwa dia telah pergi?" pelayan itu memandang heran dan sadarlah Han Sin bahwa sebagai seorang sahabat baik mestinya dia tahu akan keberangkatan temannya itu.

   "Oh ya......... aku lupa" Katanya dan ketika dia menghadapi hidangan sarapan pagi yang royal. Dia termenung dan hatinya terharu. Cu Sian telah membuktikan ucapannya, meninggalkan dia yang tidak mau menerima sahabat itu melakukan perjalanan bersama, menolak bantuan yang di tawarkan Cu Sian. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu marah kepadanya sehingga pagi-pagi telah berangkat lebih dulu. Akan tetapi bagaimanapun marahnya, Cu Sian telah membelikan sarapan pagi yang royal untuknya.

   Setelah makan pagi, Han Sin juga meninggalkan rumah penginapan itu. Sewa kamarnya juga sudah dibayar oleh Cu Sian. Ketika melangkah kaki keluar dari pekarangan rumah penginapan itu, hatinya terasa kosong dan sepi. Dia benar-benar merasa kehilangan sahabatnya yang biasanya menggembirakan suasananya itu. Hari yang cerah itu serasa mendung.

   Ketika tiba di pintu pagar halaman depan, seorang laki-laki setengah tua bangkit berdiri sambil sambil menuntun seekor kuda dan menyapa Han Sin "Apakah kong-cu yang bernama Cian-kongcu?"

   Han Sin memandang penuh perhatian dan tidak merasa kenal dengan orang ini "Benar, paman. Ada apakah?"

   "Saya adalah seorang penjual kuda, kong-cu. Dan Saya ingin menyerahkan kuda ini kepada kong-cu"

   "Apa? Mengapa?" Han Sin bertanya bingung.

   "Inilah kuda yang di beli oleh seorang sahabat kong-cu untuk diserahkan kepada kong-cu pagi ini. Terimalah, kong-cu" Orang itu menyerahkan kendali kuda yang dipegangnya kepada Han Sin.

   Han Sin mengerti bahwa kekmbali ini tentu perbuatan Cu Sian, maka terpaksa dia menerima kuda itu. Sahabatnya itu memang seorang yang royal sekali. Kalau dia di tawari kuda, tentu akan di tolaknya. Akan tetapi karena kuda itu sudah di beli dan sudah di berikan kepadanya dan dia tidak dapat mengembalikannya kepada Cu Sian, terpaksa dia melompat ke atas punggung kuda dan melarikan kuda itu menuju pintu gerbang sebelah utara dari kota Pey-yang.

   Begitu keluar dari kota kegembiraan hati Han Sin muncul kembali. Ia melupakan dua wajah yang selalu membayanginya, yaitu wajah Kim Lan dan wajah Cu Sian. Pemandangan di depan amat indahnya. Bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya menghadang di depannya. Orang-orang telah membuat jalan raya menuju utara dan melalui jalan inilah para rombongan pedangan melakukan perjalanan. Barang yang dikirimkan ke daerah utara juga melalui jalan ini. Jalan ini berada di lembah sungai Kuning, naik turun bukit dan mengitari jurang dan puncak. Jalan mulai sepi dan Han Sin membedal kudanya. Kuda itu ternyata seekor kuda yang kuat dan baik. Pandai juga Cu Sian memilih kuda, pikirnya.

   Perjalanan Han Sin mulai melalui daerah yang berbahaya bagi para pejalan yang lewat. Keadaan sekeliling sejauh puluhan mil sunyi dan jarang ada perumahan penduduk. Ketika jalan menanjak ke sebuah bukit, pemandangan amatlah indahnya. Han Sin memperlambat jalannya kuda, membiarkannya jalan, tidak berlari lagi. Selain untuk mencegah kudanya terlalu kelelahan, juga dia ingin menikmati pemadangan yang amat indah itu. Kebesaran alam terbentang luas di depannya dan menghadapi pemandangan alam yang luas dan megah dan indah ini, Han Sin merasa betapa kecil dirinya. Kecil tidak berarti. Di depan kakinya, di bawah, nampak Sungai Huang-ho mengalir, lebar dan panjang. Beberapa buah perahu nampak berada di sungai itu. Sebagian latar belakangnya, jauh di seberang sungai terdapat jajaran bukti yang tiada putusnya ,lenyap di ujungnya dalam warna biru keabuan.

   Tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda mendatangi dari belakang. Dia lalu minggirkan kudanya agar tidak menghadang mereka yang akan lewat. Tak lama kemudian, serombongan orang berkuda lewat situ. Tadinya Han Sin mengira bahwa mereka tentulah para saudagar atau piau-su yang mengawal barang kiriman. Akan tetapi tidak ada kereta diantara mereka. Semua orang laki-laki berjumlah tigapuluhan orang menunggang kuda danmelihat sikap danpakaian mereka yang serba ringkas, mudah di duga bahwa mereka itu adalah orang-orang yang kuat dan pandai ilmu silat. Wajah mereka pun kelihatan bengis. Terutama yang berada di depan dan agaknya menjadi pemimpin mereka. Ada tiga orang laki-laki berusia antara empatpuluh sampai enampuluh tahun berada di depan dan mereka bertiga ini kelihatan menyeramkan. Ketika mereka lewat, Han Sin sudah melompat turun dari atas punggung kudanya dan memegang kendali kuda dekat mulut kuda agar kudanya tidak kaget dan ketakutan melihat rombongan banyak orang itu. Dan dia mendengar teriakan orang yang berada di depan.

   "Mari kawan-kawan, cepatan sedikit. Gerombolan Golok Setan tentu sudah berada di balik bukit ini"

   Mereka melarikan kuda lebih cepat lagi memasuki sebuah hutan di depan. Mendengar di sebutnya Golok Setan, Han Sin tertarik sekali. Teringatlah dia akan cerita Cu Sian. Bukannya ayah Cu Sian juga terbunuh oleh gerombolan perampok yang di sebut Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan)? Karena ingin sekali tahu apa yang akan di lakukan orang-orang itu dengan gerombolan Golok Setan, Han Sin segera meloncat ke atas punggung kudanya dan membayangi mereka dari jauh.

   Setelah tiba di tengah hutan yang berada di lereng bukit, Han Sin melihat mereka itu sudah berhenti di situ.

   Di situ terdapat sebuah lapangan rumput yang luas dan orang-orang itu sudah turun dari kuda dan bergerombol di lapangan rumput. Han Sin menghentikan kudanya. Menambatkan kudanya pada sebatang pohon dan berindap-indap dia mendekati tempat itu untuk mengintai. Dia melihat tiga orang pemimpin yang menyeramkan itu duduk di atas rumput dan anak buahnya duduk menghadap mereka. Akan tetapi Han Sin melihat bahwa jumlah mereka banyak berkurang. Sedikitnya tentu berkurang sepuluh orang. Dia menyusup semakin dekat untuk mendengarkan percakapan mereka.

   "Kalian bertiga, A-cun, A-tek, dan A-ban, selidiki mereka dari puncak pohon dan seorang kabarkan kepada kami, yang dua orang tetap berjaga di atas secara bergantian " ucapan dengan suara yang parau ini keluar dari seorang pemimpin yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

   Tiga orang anak buah bangkit dan meninggalkan lapangan rumput itu, kemudian mereka berloncatan ke pohon-pohon terbesar untuk melakukan pengintaian. Tak lama kemudian seorang diantara mereka melompat turun. Gerakan tiga orang anak buah ini cukup ringan dan cepat sehingga Han Sin maklum bahwa rombongan orang ini merupakan rombongan yang kuat sekali.

   "Lapor, Twa-pang-cu (Ketua Pertama), mereka sudah di depan, kurang lebih dua mil dari sini. Jumlah mereka sekitar duapuluh"

   "Hemmm, sekali ini kita akan menghancurkan dan membasmi mereka. Sam-sute, cepat kau pasang dan sebarkan bubuk racun hitam itu seperti seperti yangtelah kita rencanakan semula"

   Yang di sebut sam-sute (adik seperguruan ke tiga) itu adalah seorang diantara tiga pemimpin itu. Orang ini bertubuh tinggi, namun tidak sebesar orang pertama, hanya mukanya menyeramkan karena penuh dengan brewok yang menutupi sebagian besar mukanya. Dia mengambil sebuah bungkusan dari saku bajunya dan terlihat dia menaburkan bubuk hitam pada garis setengah lingkaran yang menghadap ke arah utara. Hanya bagian selatan yang tidak disebari racun dan bagian selatan ini agaknya yang menjadi pintu bagi mereka. Jarak garis yang di sebari racun itu kurang lebih seratus meter dari tempat mereka duduk ,yaitu di tepi lapangan rumput. Dan yang disebari racun bukanlah tanahnya, melainkan dedaunan dan tumbuh-tumbuhan yang terdapat di ditu. Setiap orang yang akan masuk kelapangan rumput itu dari semua arah, kecuali dari arah selatan, tentu akan semak dan rumput yang sudah mengandung racun itu dan setiap orang tentu akan menguak semak itu dengan tangannya agar dapat lewat sehingga tangan itu tentu akan terkena racun. Han Sin yang melihat ini mengerutkan alis. Cara yang di ambil orang-orang itu memang keji sekali. Akan tetapi karena diapun ingin sekali mengetahui mengetahui apa yang dilihat oleh pengintai tadi, diam-diam dia mundur, mencari pohon yang tinggi lalu melompat naik ke atas pohon.

   Ketika dia mengintai ke arah utara, dia pun dapat melihat serombongan orang berada sekitar dua puluh orang lebih dan kadang-kadang nampak berkilatnya golok yang tertimpa sinar matahari. Agaknya itulah yang dimaksudkan orang-orang ini sebagai Gerombolan Golok Setan.

   Akan tetapi ada sesuatu yang menarik perhatian Han Sin. Ada dua bayangan orang yang menyusup-nyusup diantara semak belukar dan batang-batang pohon. Kalau dia tidak melihat dengan penuh perhatian, tentu bayangan itu akan lolos dari penglihatannya. Demikian cepat gerakan mereka. Kalau pengintai yang masih di atas pohon itu melihat, tentu akan di kiranya gerakan seekor dua ekor binatang saja. Akan tetapi Han Sin merasa yakin bahwa itu adalah gerakan dua orang yang datang dari tempat berkumpulnya kelompok Golok Setan itu menuju ke sini.

   Han Sin merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, agaknya golok setan mengirim dua orang penyelidik dan dua orang itu pasti akan melanggar garis yang sudah di sebarin racun. Ingin dia memberitahu mereka, memperingatkan mereka agar jangan sampai melanggar garis beracun itu, akan tetapi bagaimana caranya? Pula, dia belum tahu benar siapa yang jahat diantara kedua kelompok orang yang agaknya bermusuhan itu, maka tidak adil lah kalau dia memihak salah satu kelompok. Maka, diapun diam saja dan mengikuti dua bayangan itu dengan perasaan ngeri. Setelah dekat dengan tempat itu, dua bayangan itu tidak nampak lagi dan gerakannya tidak dapat diikuti lagi. Agaknya mereka maju dengan hati-hati sekali.

   Tak lama kemudian Han Sin yang sudah siap melihat orang keracunan, tetap saja melihat orang keracunan, tetap saja terkejut ketika tiba-tiba terdengar jeritan dua orang yang mengerikan. Di sebelah lapangan utara lapangan rumput itu. Orang-orang yang berada dilapangan rumput itupun mendengarnya dan mereka kelihatan girang sekali.

   "Ha-ha-ha, tentu dua ekor anjing pengintai mereka yang terkena racun. Seret mereka ke sini" Dua orang anggota kelompok itu bangkit dan mereka menuju ke utara dari mana suara tadi terdengar. Dua orang itu mengenakan sarung tangan hitam untuk melindungi tangan mereka dari racun. Tak lama kemudian mereka sudah menyeret tubuh dua orang yang sudah menjadi mayat. Sungguh luar biasa sekali racun hitam itu. Mula-mula yang terkena hanya tangan dua orang penyelidik itu, akan tetapi warna hitam itu lalu menjalar ke seluruh tubuh sampai ke mukanya yang menjadi hitam seperti hangus. Diam-diam Han Sin bergidik. Dia sudah mendengar banyak dari gurunya. Hek Liong Ong, tentang kekejaman yang banyak terjadi di dunia persilatan, terutama diantara golongan sesat dan baru sekarang dia menyaksikan sendiri.

   "Ha-ha-ha, Gerombolan Golok Setan akan tahu rasa sekarang. Kalian berempat, bawa dua mayat itu dan lemparkan ke dekat tempat mereka" perintah si tinggi besar muka hitam.

   "Baik, twa-pangcu" Empat orang yang di tunjuk bangkit berdiri dan mereka inipun menggunakan sarung tangan hitam. Mereka lalu menggotong dua mayat itu, dua orang menggotong satu mayat dan membawa mereka keluar dari lapangan rumput, menuju ke utara untuk mengirim dua buah mayat itu kepada pihak musuh.

   Han Sin mengikuti perjalanan empat orang yang menggotong dua buah mayat itu, akan tetapi, baru sampai pada pertengahan jalan, mendadak muncul orang bersenjata golok besar dan mereka itu segera menyerang empat orang yang menggotong dua mayat tadi. Empat orang itu melepaskan mayat dan mencabut pedang mereka, dan terjadilah perkelahian empat lawan lima orang bergolok. Akan tetapi karena empat orang tadi menggotong dua mayat, mereka kalah cepat dan ketika golok-golok itu berkelebatan membentuk gulungan sinar menyilaukan mata, dalam waktu belasan jurus saja empat orang itu berturut-turut telah terpelanting roboh, kemudian lima orang itu menghujamkan goloknya ke tubuh mereka sampai tubuh empat orang itu terbelah-belah.

   Han Sin menyeringai seperti orang menahan sakit. Dia bergidik. Kiranya orang-orang Golok Setan itu tidak kalah kejamnya dibandingkan orang-orang yang berada dibawah pohon ini.

   Agaknya orang yang mengintai dari atas pohon melihat pula kejadian itu. Maka dia cepat turun memberi laporan kepada para pimpinan.

   "Twa-pangcu, celaka besar. Empat orang kita yang mengantar dua mayat itu di hadang di tengah perjalaan oleh lima orang musuh dan mereka semua terbunuh"

   "Ahhhh......" Ketua yang tinggi besar itu mukanya menjadi semakin hitam dan dia mengepal tinjunya "Keparat. Kita kehilangan empat orang sedangkan mereka hanya kehilangan dua orang. Kita harus membuat pembalasan" Ketua pertama dari kelompok itu bernama Coa Gu dan berjuluk Hek-mo-ko. Untuk daerah lembah Huang-ho ini sudah terkenal sebagai seorang datuk diantara para perampok dan bajak sungai. Gerombolan yang dipimpinnya itu di beri nama Huang-ho-kwi-pang (Perkumpulan Iblis Sungai Kuning). Orang tinggi besar bermuka hitam ini bersenjatakan sebatang tongkat baja yang hitam pula. Karena muka dan tongkatnya yang hitam itulah maka dia dijuluki Hek-mo-ko (Iblis Hitam).

   Orang kedua, yang tinggi besar bermuka brewok bernama Gu Ma It dan dia menjadi ji-pangcu (Ketua kedua). Usianya lima puluh tahun, lima tahun lebih muda dari Hek-mo-ko dan Gu Ma It ini terkenal karena tenaganya besar seperti tenaga gajah dan diapun pandai bermain pedang. Adapun orang ketiga yang menjadi sam-pangcu (ketua ketiga) bernama Su Ciong Kun, berusia empat puluh lima tahun. Orang ketiga ini tinggi namun kurus dan mukanya menyeramkan sekali karena muka itu seperti tengkorak terbungkus kulit. Orang ketiga dari Huang-ho Kwi-pang ini ditakuti karena dia seorang ahli menggunakan racun dan senjatanya berupa rantai baja juga lihai sekali. Pusat Huang ho Kwi-pang berada di lembah Huang-ho, sedangkan anggota mereka berjumlah kurang lebih limapuluh orang. Akan tetapi yang kini di ajak untuk menyerbu musuh hanya tigapuluh orang.

   Mendengar twa-pangcu yang sudah marah itu bermaksud hendak menyerbu musuh, sam-pangcu segera berkata "Twa-suheng, kurasa tidak menguntungkan kalau kita langsung menyerbu mereka. Mereka lebih menguasai medan karena ini merupakan daerah mereka. Kalau kita menyerang mereka, kita dapat terjebak. Biarkan mereka yang menyerang kita sehingga kita yang menjebak mereka dengan racun.

   Gu Ma It yang tadi hanya mendengarkan saja kini berkata "Apa yang diucapkan sam-sute memang benar. Mereka yang menguasai daerah ini tentu lebih paham akan keadaan disini dan kalau tidak berhati-hati kita dapat terjebak. Tempat kita ini terbuka dan tidak dapat mereka menjebak kita, dan andaikata mereka menyerang kita, kita dapat mempertahankan diri dengan baik dan menghancurkan mereka"

   "Hemmm" Hek-mo-ko menggeram.

   "Kita telah kehilangan empat orang. Di bandingkan dengan mereka yang kehilangan dua orang, kita masih rugi besar. Ternyata mereka telah memasang barisan pendam diantara kita dan mereka"

   "Karena itulah harus berhati-hati dan menanti gerakan mereka" kata Su Ciong Kun si muka tengkorak yang agaknya cerdik.

   "Ahhh, akan tetapi hal seperti itu menunjukkan bahwa kita takut kepada mereka" Hek-mo-ko tetap penasaran.

   Han Sin merasa sudah cukup lama mengintai dari atas pohon. Dia turun dari pohon itu, mengambil keputusan untuk tidak mencampuri urusan mereka. Gurunya pernah menasehatinya agar dia tidak mencampuri urusan orang-orang kang-auw karena diantara mereka kalau terjadi permusuhan, biasanya saling memperebutkan kekuasaan atau harta benda, juga mungkin karena dendam mendendam. Akan tetapi baru saja dia turun dari atas pohon, tiba-tiba muncul sepuluh orang yang mengepungnya dan menodongkan senjata-senjata tajam kepadanyya.

   Han Sin bersikap tenang saja, walaupun dia agak terkejut karena tidak menyangka bahwa dia telah diketahui. Karena sejak tadi berada di atas pohon dan perhatiannya di tunjukkan kepada semua kejadian yang jauh dari pohon, dia tidak mendengar atau melihat apa yang terjadi di bawah pohon itu. Kiranya mereka itu adalah sepuluh orang dari Huang-ho Kwi-pang yang tadi tidak dilihatnya dilapangan rumput dan mereka itu memang disebar untuk menyelidiki keadaan sekitar tempat itu. Ketika seorang dari mereka melihat Han Sin di atas pohon, dia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya dan pohon itu pun sudah di kepung.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 08


   "Ah, kalian ini mau apa?" tanya Han Sin dengan sikap tenang.

   "Kau mata-mata Kwi-to-pang" bentak seorang diantara para pengepung itu.

   Han Sin tertawa "Ha-ha-ha, apa yang kalian maksudkan? Aku tidak mengerti segala macam Kwi-to-pang atau Perkumpulan setan manapun"

   "Kau hendak melawan?" seorang menodongkan pedangnya.

   Han Sin memang tidak ingin bermusuhan dengan mereka. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan menggeleng kepala "Ah, tidak. Siapa mau melawan?"

   "Kalau begitu menyerahlah. Kau harus kubawa menghadap pimpinan kami"

   "Boleh. Aku memang tidak mempunyai kesalahan apapun" Han Sin lalu di todong dan di giring memasuki lapangan. Tentu saja semua orang memandang penuh perhatian ketika seorang pemuda di giring masuk lapangan rumput oleh sepuluh orang anggota Huang Ho Kwi pang itu.

   Han Sin dipaksa duduk di atas rumput menghadap tiga orang ketua itu dan seorang diantara penawannya berkata "Lapor, pangcu. Kami mendapatkan orang ini melakukan pengintaian di atas pohon"

   Hek mo ko memandang kepada Han Sin penuh selidik, dari kepala sampai ke kaki, dan dia membentak "Kau mata-mata Kwi-to-pang yang mengintai kami?"

   Han Sin menggeleng kepalanya "Sama sekali bukan"

   "Haiii. Dia ini penunggang kuda yang kita susul di perjalanan tadi" seru Su Ciong Kun.

   "Benar" jawab Han Sin "Memang tadi kalian menyusul dan melewati aku"

   "Apa maksudnya kau berada di sini dan mengintai dari atas pohon? Jawab yang betul atau kami akan membunuhmu" bentak Hek-mo-ko.

   "Aku sedang melakukan perjalanan menuju ke Tai-goan. Karena daerah ini amat sepi dan aku merasa kesepian, ketika kalian melewati aku tadi, aku bermaksud untuk menyusul agar dapat melakukan perjalanan ini bersama kalian dan tidak kesepian. Akan tetapi kalian berhenti di hutan ini dan akupun berhenti agak jauh dari sini menanti kalian berangkat lagi. Karena lama kalian tidak berangkat, aku lalu naik ke pohon untuk melihat apa yang terjadi"

   "Dan apa yang kau lihat?" bentak Hek-mo-ko, mulai percaya kepada keterangan Han Sin karena dia agaknya dapat membedakan antara orang yang menjadi anggota gerombolan penjahat atau rakyat biasa.

   "Aku melihat bahwa kalian bersiap"siap untuk bertempur dengan gerombolan yang di sana itu" Han Sin menuding ke utara "Aku melihat pula dua orang dari mereka mati keracunan dan empat orang dari kalian terbunuh"

   Gu Ma It yang berewokan berkata "Twa-suheng, untuk apa banyak bicara dengan orang ini? Mata-mata atau bukan, bunuh saja agar tidak merepotkan"

   "Jangan, jangan bunuh aku. Apa untungnya kalian membunuhku? Dan aku bersumpah tidak ada sangkut pautnya dengan gerombolan yang di sana itu. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun" kata Han Sin sungguh-sungguh, bukan karena takut melainkan karena dia tidak ingin bermusuhan dengan gerombolan ini.

   "Hemmm, bocah ini bukan anggota gerombolan biasa" berkatka Hek-mo-ko.

   "Mungkin dia berguna bagi kita. Sebaiknya kita tahan saja dia. Jaga dia baik-baik jangan sampai meloloskan diri. Dan kau, orang muda, awas kau. Sekali kau berusaha melarikan diri kau akan kami bunuh"

   Akan tetapi Han Sin sudah tidak begitu memperhatikan lagi soal lain karena saat itu perhatiannya tertarik ke sebelah kiri, ke arah sebatang pohon besar. Di atas cabang pohon itu dia melihat seorang berjongkok nongkrong di atas cabang sambil cengar-cengir, dan orang ini bukan lain adalah Cu Sian, si pengemis remaja. Tentu saja Han Sin merasa khawatir bukan main. Orang-orang ini adalah orang-orang kasar yang biasa melakukan kekerasan dan agaknya mereka ini lihai, terutama sekali tiga orang pimpinan itu. Dan sekarang Cu Sian muncul. Dan apa lagi yang akan diperbuat oleh pemuda remaja yang nakal itu kalau tidak membuat ulah dan kekacauan?.

   "Ha-ha-ha. Huang-ho Kwi-pang yang memiliki tiga orang pemimpin dan kelihatan kuat ini, ternyata hanya kulitnya saja yang nampak kokoh, padahal disebelah dalam keropos dan rapuh, jerih menghadapi Kwi-to-pang"

   Semua orang terkejut dan menengok ke arah suara itu dan baru sekarang mereka melihat pengemis muda itu duduk nongkrong di atas cabang pohon. Diam-diam tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang terkejut. Bagaimana bocah jembel itu dapat tiba-tiba berada di pohon yang begitu dekat dengan mereka tanpa mereka ketahui sama sekali? Mereka bertiga adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tingkat tinggi, di tambah tiga puluh orang anggota yang bersikap waspada, namun tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui adanya pengemis muda itu. Padahal dia berada di pohon yang paling dekat dengan lapangan rumput itu. Sedangkan Han Sin yang berada di pohon yang lebih jauh saja dapat diketahui dan di tangkap.

   Akan tetapi mendengar ucapan pemuda remaja itu yang mengejek, Kwi-to-pang yang dikatakannya rapuh, tiga orang pimpinan itu menjadi marah dan merasa di hina. Su Ciong Kun, pemimpin nomor tiga yang tubuhnya tinggi kurus mukanya seperti tengkorak itu membentaknyaring "Heii, bocah gila. Berani kau menghina kami?"

   Dengan kaki yang tadinya berjongkok itu kini di turunkan dan di goyang-goyang, Cu Sian tersenyum dan berkata.

   "Eh, muka tengkorak, siapa menghina? Aku tadi bilang apa?"

   "Bahwa kami keropos dan rapuh di sebelah dalam" kata Su Ciong Kun dengan marah.

   "Ha-ha-ha, bukankah sekarang kau sendiri yang mengatakan bahwa kalian keropos dan rapuh? Bukan aku yang berkata, melainkan kau sendiri"

   Su Ciong Kun merasa dipermainkan. Dia menjadi semakin marah dan mengamangkan tinju ke arah pengemis muda itu" Bocah setan, turunlah kau, kalau tidak, akan ku seret kau"

   "Wah, tidak usah repot-repot. Tidak perlu kau membantuku turun, aku dapat turun sendiri" Berkata demikian, Cu Sian lalu melompat turun dari atas cabang pohon ke atas tanah.

   "Ke sinilah kau untuk mempertanggung jawabkan ucapanmu tadi atau kami akan menggunakan kekerasan" kata pula Su Ciong Kun yang melihat pengemis muda itu masih berada di luar lingkaran yang telah di sebari racun itu.

   "Baik, aku akan ke situ. Kau kira aku takut menghadapi kalian semua?" Dan dengan sikap gagah diapun melangkah maju.

   "Sian-te...... Berhenti jangan maju lagi. Tempat itu telah di sebari racun berbahaya" Han Sin berteriak memperingatkan.

   Akan tetapi pemuda remaja itu tidak mundur, bahkan terus sambil tersenyum "Orang-orang Kwi-to-pang boleh jadi takut racun yang disebar di sini, akan tetapi aku tidak" Dan dengan kedua tangannya, dia menguak semak-semak belukar yang menghalangi jalannya. Han Sin terbelalak penuh kekhawatiran dan orang-orang Huang-jo Kwi-pang sudah tersenyum-senyum karena mereka yakin bahwa pemuda yang kurang ajar itu tentu akan roboh tewas. Mereka itu kecelik karena ternyata Cu Sian dapat lewat dengan selamat. Walaupun kedua tangannya tersentuh daun-daun yang di sebari racun, akan tetapi agaknya dia tidak merasakan apa-apa. Dengan langkah lebar setelah memasuki lapangan rumput, ia menghampiri para pimpinan Huang-ho Kwi-pang.

   Tentu saja kini bukan hanya Han Sin yang terheran-heran. Tiga orang ketua Huang-ho Kwi-pang juga terheran-heran. Akan tetapi kalau Han Sin merasa heran bercampur girang. Sebaliknya tiga orang pemimpin Huang-ho Kwi-pang itu merasa heran dan terkejut bukan main. Bagaimana mungkin ada orang yang menyentuh daun-daun yang disebari racun itu tanpa keracunan? Pengemis itu masih masih begitu muda, mungkinkah dapat memiliki kesaktian sehingga dapat menolak daya racun itu? Akan tetapi setelah Cu Sian tiba dihadapan mereka, barulah semua orang tahu mengapa pemuda remaja itu tidak keracunan. Ternyata kedua tangannya itu memakai sepasang sarung tangan yang tipis dan warnanya sama dengan kulitnya sehingga sepintas lalu dia seperti tidak memakai sarung tangan.

   Su Ciong Kun, orang ketiga dari tiga orang ketua Huang-ho Kwi-pang itu semakin heran ketika tiba-tiba Cu Sian membungkuk, mengambil tanah dan menggosok-gosok kedua tangan yang bersarung itu dengan tanah. Bagaimana bocah itu tahu bahwa penawar racun itu adalah tanah? Setelah di gosok-gosok dengan tanah, maka racun yang menempel pada sarung tangan itu akan punah kekuatannya. Dengan gerakan yang tenang seperti orang memandang rendah, Cu Sian berkata "Huh, segala macam racun tikus dipergunakan untuk menjebak orang" Ia lalu melepaskan sepasang sarung tangan itu dan memasukkannya ke dalam saku baju hitamnya yang longgar. Juga dia hanya melirik satu kali ke arah Han Sin dan selanjutnya tidak mengacuhkannya.

   Hek-mo-ko melangkah maju menghadapi pemuda pengemis itu. Melihat pemuda itu berani melewati garis yang disebari racun tanpa keracunan, dan pemuda itu bahkan berani menghadapi mereka dengan sikap yang demikian tenang, dia bersikap hati-hati karena dapat menduga bahwa pemuda itu tentu bukan orang sembarang saja.

   "Hei, orang muda. Siapakah kau dan apa maksudmu datang ke sini memandang rendah kepada kami"

   "Aku she Cu bernama Sian. Aku sama sekali tidak memandang rendah kepada kalian. Akan tetapi aku memiliki kebiasaan untuk mengatakan apa adanya. Kalian merasa jerih kepada orang-orang Kwi-to-pang di sana itu, siapa yang tidak tahu? Kalau kalian hanya bersembunyi di sini berlindung kepada pagar racun, lalu kapan kalian dapat menghancurkan Kwi-to-pang?"

   "Hemmm, kalau menurut pendapatmu bagaimana yang seharusnya kami lakukan?" Hek-mo-ko bertanya.

   "Ha-ha-ha, aku siap membantu Huang-ho Kwi-pang, dengan satu syarat, yaitu kalian harus menaati semua perintah dan petunjukku. Bagaimana? Aku tanggung kalian akan dapat membasmi Kwi-to-pang dan menguasai daerah lembah Huang-ho"

   Tiga orang pimpinan gerombolan itu saling pandang dan mengerutkan alisnya. Menaati perintah seorang pengemis muda? Tentu saja mereka tidak dapat menyetujinya, apalagi mereka belum melihat sampai dimana kelihaian pemuda itu.

   "Bocah sombong" teriak Cu siong Kun sambil meloloskan rantai bajanya. Rantai dari baja itu sepanjang satu setengah meter, besar dan berat.

   "Kau anggap kau ini siapakah berani berlagak sombong untuk memerintah kami? Coba ingin ku lihat apakah kau mampu menandingi rantai bajaku ini"

   Setelah berkata demikian Su Ciong Kun mengayun dan emutar-mutar rantai bajanya.

   "Wirrr.... wirrrrr" Rantai baja itu mengeluarkan bunyi mendesir ketika menyambar ke arah kepala Cu Sian. Han Sin terkejut dan khawatir melihat serangan yang hebat itu dan diam-diam dia sudah siap siaga untuk menolong sekiranya pemuda remaja itu terancam bahaya. Akan tetapi dengan gerakan ringan saja, Cu Sian telah dapat mengelak dan menghindarkan diri dari sambaran rantai baja itu. Akan tetapi Su Ciong kun memang lihai. Rantai baja yang luput menyambar kepala itu sudah membalik dan sekali ini menyambar ke arah pinggang Cu Sian. Pemuda remaja ini menggerakkan tongkat bambunya menangkis. Tangkisan dari samping itu hanya membuat sambaran rantai itu menyimpang dan secepat kilat tongkat itu sudah di gerakkan menusuk kearah siku kanan Su Ciong Kun.

   "Tuk-tuk" Dua kali ujung tongkat menotok dan terdengar Su Ciong Kun mengeluh dan rantai di tangannya terlepas. Dia melompat ke belakang dengan mata terbelalak. Melihat ini, Gu Ma It menerjang maju dan pedangnya sudah menyambar ke arah leher Cu Sian. Cepat bukan main sambaran pedang itu dan terdengar bunyi berdesing saking kuatnya tenaga yang menggerakkan pedang.

   "Siinggg.... Takkkk" Pedang itu terpukul dari samping oleh tongkat bambu sehingga menyeleweng dan tidak mengenai sasaran. Sebaliknya, Cu Sian sudah membalas dengan tusukan tongkatnya ke arah jalan darah di tubuh lawan. Akan tetapi Gu Ma It dapat mengelak dan menangkis dengan pedangnya. Sebetulnya, tingkat kepandaian Gu Ma It tidak berselisih jauh dengan tingkat kepandaian Su Ciong Kun. Kalau tadi dalam beberapa gebrakan saja Su Ciong Kun dapat dikalahkan oleh Cu Sian, hal ini adalah karena Su Ciong Kun memandang rendah kepada pemuda remaja itu. Berbeda dengan Gu Ma It yang sudah melihat adiknya kalah dan sudah maklum bahwa pemuda pengemis itu lihai sekali maka dia berhati-hati dan tidakmemandang rendah. Kini Gu Ma It memutar pedangnya. Dan melakukan serangan bertubi. Namun gerakan Cu Sian amat lincahnya. Tubuhnya berkelebat seperti seekor burung walet saja. Jug apemuda remaja itu memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat yang di warisinya dari kakeknya.

   Selagi dua orang ini saling serang dengan hebatnya, tiba-tiba Hek-mo-ko berseru keras" Tahan senjata. Hentikan perkelahian" Dan dia sudah melompat ke depan dan tongkat bajanya menghadang diantara kedua orang yang sedang bertanding itu sehingga keduanya melompat ke belakang.

   "Twa-suheng, aku belum kalah.." Gu Ma It membantah suhengnya.

   "Ji-sute, biar aku sendiri yang menghadapi sobat muda ini" kata Hek-mo-ko yang kemudian menghadapi Cu Sian sambil berkata dengan suara mengandung keherannan "sobat, aku ingin sekali merasakan hebatnya ilmu tongkatmu"

   "Majulah" tantang Cu Sian "Aku tidak mencari permusuhan dengan kalian. Akan tetapi bukan berarti aku takut. Setiap tantangan akan kulayani"

   Para anggota Huang-ho Kwi-pang memandang dengan penuh perhatian. Tidak mereka sangka sama sekali bahwa pengemis muda itu sedemikian lihainya. Bukan saja mengalahkan Su Ciong Kun dengan mudah dan dapat menandingi Gu Ma It, bahkan kini berani menyambut tantangan Hek-mo-ko. Han Sin juga menonton dengan hati tegang. Akan tetapii kini dia tidak begitu khawatir lagi karena ternyata Cu Sian bukan hanya berlagak, melainkan benar-benar memiliki kelihaian. Apa lagi dia dapat mengetahui dari sikap dan kata-kata Hek-mo-ko bahwa orang pertama dari pimpinan Huang-ho Kwi-pang ini tidak marah, melainkan heran terhadap Cu Sian.

   "Sobat muda, sambut serangan tongkatku" dia membentak dan mulai membuka serangannya dengan gerakan tongkat ke depan, ujung tongkat tergetar menjadi banyak dan meluncur ke arah dada pemuda remaja itu. Akan tetapi Cu Sian dengan sigap menyambut serangan itu dengan lompatan ke kiri dan memutar tongkatnya menangkis, kemudia diapun membalas dengan totokan tongkatnya ke arah lutut lawan. Hek-mo-ko melompat ke kanan untuk menghindar serangan balasan itu. Kemudian tongkat bajanya yang berat dan panjang sudah membuat gerakan melingkar untuk menyapu kedua kaki Cu Sian.

   "Bagus" Cu Sian berseru dan meloncat tinggi sehingga sapuan tongkat baja itu tidak mengenai kakinya. Dari atas dia menggerakkan tongkat bambunya menotok ke arah ubun-ubun kepala Hek-mo-ko. Serangan ini amat berbahaya bagi lawan dan Hek-mo-ko agaknya mengerti akan hebatnya serangan ini. Dia berserunyaring dan menggerser kakinya sehingga tubuhnya mengelak ke belakang dan serangan Cu Sian itu luput. Mereka saling serang dengan serunya dan yang terheran-heran kini adalah Han Sin yang mengikuti setiap gerakan mereka. Penglihatan Han Sin yang tajam dan terlatih itu dapat menangkap persamaan jurus-jurus kedua orang itu. Biarpun gerakan jurus-jurus kakek tinggi besar bermuka hitam itu mempunyai perkembangan yang berbeda, namun pada dasarnya kedua orang itu memainkan ilmu tongkat yang sama. Akan tetapi jelas kelihatan olehnya bahwa kalau Hek-mo-ko memiliki tenaga yang lebih kuat, Cu Sian memiliki ginkang yang lebih sempurna sehingga pemuda pengemis itu selalu dapat menghindarkan diri dengan cekatan, dan serangan-serangan balasannya membuat kakek itu kewalahan.

   Agaknya Hek-mo-ko juga maklum akan persamaan ilmu tongkat itu, maka dia menangkis tongkat bambu yang menusuk ke arah matanya lalu melompat ke belakang sambil berserunyaring "Tahan senjata"

   Cu Sian menghentikan serangannya dan pemuda inipun memandang lawannya dengan heran dan alis berkerut.

   "Sobat muda, darimana kau mempelajari Ta-houw-tung (Tongkat pemukul harimau)?" Hek-mo-ko bertanya sambil melintangkan tongkatnya ke depan dada.

   "Hemmm, kau seorang perampok dari mana kau mencuri Ta-houw-tung ilmu tongkat keluarga kami?" Cu Sian juga menegur dan melintangkan tongkat bambunya di depan dada, gerakannya persis sama dengan gerakan tongkat Hek-mo-ko.

   Mendengar pemuda ini menyebut ilmu tongkat Ta-houw-tung sebagai ilmu tongkat keluarganya, Hek-mo-ko makin terherandan mengamati wajah Cu Sian penuh perhatian.

   Kemudian dia berkata dengan penuh penasaran "Aku Hek-mo-ko tidak mencuri ilmu tongkat. Ilmu ini sudah kupelajari sejak aku muda, menjadi murid dan tokoh Hek I Kaipang di cabang utara"

   "Aha, aku tahu sekarang siapa kau" kata Cu Sian sambil tersenyum "Kau tentulah paman Coa Gu yang dahulu menjadi wakil ketua Hek I Kaipang cabang utara lalu dikeluarkan karena karena melanggar peraturan"

   Hek-mo-ko tertegun mendengar ini karena dia memang bernama Coa Gu. Kurang lebih duapuluh tahun yang lalu dia masih menduduki jabatan wakil ketua dari Hek I Kaipang. Karena dia melakukan pelanggaran, maka oleh Ketua Hek I Kaipang pusat di Tiang-an dia dikeluarkan dari Perkumpulan pengemis.

   Setelah mengingat-ingat, diapun menghela napas dan berkata "Orang muda, aku sekarangpun dapat menduga siapa kau. Kau bernama Cu Sian. Nama margamu sama dengan guruku yang dahulu terkenal dengan sebutan Cu Lokai, ketua pusat Hek I Kaipang di Tiang-an. Aku teringat bahwa guruku itu mempunyai seorang putera bernama Cu Kak yang tidak setuju dengan penghidupan sebagai pengemis. Cu Kak bahkan keluar, menjauhkan diri dari Hek I Kaipang. Tentu kau in putera dari Cu Kak, bukan?"

   "Tepat sekali, Paman Coa Gu" kata Cu Sian.

   "Bagus" Hek-mo-ko Coa Gu menoleh dan berkata kepada dua orang saudaranya "Ternyata orang muda ini adalah keluarga sendiri. Dan dia telah datang, tentu untuk membantu kami membinasakan Kwi-to-pang"

   "Tidak, Paman Coa Gu. Aku tidak membantu kalian dalam permusuhan kalian dengan Kwi-to-pang. Aku memang mempunyai permusuhan pribadi dengan Kwi-to-pang. Kwi-to-pang dan ketuanya telah membunuh ayahku dan menyebabkan kematian Ibuku. Aku harus membasmi mereka dan kebetulan kalian juga memusuhi mereka. Kita dapat bekerjasama"

   "Bagus, kita dapat bekerjasama kalau begitu"

   "Akan tetapi kalau paman dan anak buah paman hanya bersembunyi saja di sini, bagaimana kita dapat menghancurkan Kwi-to-pang?"

   "Lalu apa yang harus kita lakukan? Mereka telah mengatur persiapan di sana dan kita tidak tahu perangkap apa yang mereka pasang untuk menghadapi kita"

   "Harus ada seseorang yang pergi ke sana, menemui mereka dan mempelajari keadaan dan kedudukan mereka" kata Cu Sian.

   "Akan tetapi hal itu berbahaya sekali" seru Hek-mo-ko" Mereka telah memasang baris pendam di mana-mana. Bahkan empat orang anggota kami yang mengirim dua mayat anak buah mereka terhadang di dalam perjalanan dan semua tewas"

   "Aku tahu dan aku sendiri melihatnya tadi. Akan tetapi kalau aku yang pergi ke sana, jangan harap mereka akan dapat menangkap aku" ucapan yang sombong ini membuat Han Sin mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia tidak mau mencampuri urusan mereka, maka diapun diam saja dan hanya mendengarkan.

   "Hek-mo-ko nampak girang bukan main" Bagus. Kalau kau sendiri yang mau pergi menyelidiki, kita pasti berhasil dan menang"

   "Akan tetapi aku baru mau membantu kalian kalau dua syaratku di penuhi. Pertama kalian baru boleh menyerbu kalau sudah ku beri isyarat. Dan kedua, sebelum aku pergi menyelidik keadaan musuh, pemuda yang kalian tawan itu harus di bebaskan lebih dulu. Dia adalah seorang sahabatku" Cu Sian menuding ke arah Han Sin yang masih duduk di jaga oleh beberapa orang anak buah itu.

   "Ah, tentu saja kami setuju. Pemuda itu kami tangkap karena kami mencurigai dia sebagai mata-mata Kwi-to-pang. Akan tetapi kalau dia itu sahabatmu berarti diapun orang sendiri dan sekarangpun dia boleh bebas"

   Mendengar ini, Cu Sian lalu menghampiri Han Sin dan dengan sikap menertawakan dia berkata "Nah, Sin-ko, sekarang kau bebas dan boleh pergi kemana kau suka. Akan tetapi kenapa kau berada di sini sehingga di curigai dan di tangkap?"

   Han Sin tersenyum. Dari sikapnya, tahulah dia bahwa sahabatnya itu hendak mengatakan bahwa tanpa sahabatnya itu, tentu dia akan celaka.

   "Terima kasih, Sian-te. Aku hanya kebetulan saja berada di sini, tidak bermaksud apa-apa. Akan tetapi aku di curigai dan di tangkap"

   "Hemmm, memang begitulah keadaannya. Dimana-mana terdapat bahaya mengancam. Kalau tidak pandai-pandai menjaga diri, bisa bertemu bahaya dan celaka"

   "Aku akan menjaga diri baik-baik, Sian-te. Nah, aku pergi saja sekarang" Han Sin bangkit berdiri.

   "Apakah kau tidak mau menanti saja sampai aku membereskan urusanku ini kemudian kita melakukan perjalanan bersama?" Cu Sian mendesak lagi.

   "Tidak, terima kasih, Sian-te. Aku tidak mau merepotkanmu" jawab Han Sin dan segera dia meninggalkan tempat itu.

   Cu Sian kelihatan kecewa sekali, akan tetapi diapun tidak memaksa dan hanya memandang sahabatnya itu pergi sampai lenyap di balik pohon-pohon.

   Hek-mo-ko dan kawan-kawannya memandang heran. Bagaimana seorang pemuda yang lihai seperti Cu Sian dapat bersahabat dengan pemuda tolol seperti Cian Han Sin? Hek-mo-ko yang melihat Cu Sian masih termenung memandang ke arah lenyapnya pemuda tawanan tadi, segera berkata "Cu-sicu, apakah yang akan kita lakukan sekarang?"

   Cu Sian seperti baru sadar dari lamunannya "Kita menanti sampai matahari condong ke barat. Aku akan menjadi pelopor dan jalan di depan. Kalian menikuti aku sambil bersembunyi, jangan terlalu dekat. Semua rintangan dalam perjalanan itu akan ku hadapi sendiri. Baru kalau perlu aku akan memberi isyarat dan kalian boleh maju membantu. Kalau tidak ada isyarat, kalian diam saja dan biarkan aku sendiri mangatasi rintangan.

   Setelah tiba di perkemahan orang-orang Kwi-to-pang, aku akan masuk dan menemui para pimpinannya. Kalian mengepung sambil bersembunyi dan kalau aku sudah memberi isyarat dengan terbakarnya sesuatu di sana, kalian boleh menyerbu masuk. Aku akan membikin kacau di sana sehingga orang-orang kwi-to-pang yang sedang panik oleh pengacauanku tidak mempunyai banyak kesempatan untuk membela diri ketika kalian menyerbu.

   Tiga orang pimpinan itu mengangguk-angguk. Suatu rencana yang amat berani dan amat membahayakan keselamatan pemuda itu, akan tetapi karena yang merencanakan Cu Sian, merekapun hanya mengangguk setuju.

   ***

   Kwi-to-pang (Perkumpulan Golok Setan) adalah perkumpulan perampok dan bajak sungai yang merajalela di sepanjang lembah Huang-ho sejak puluhan tahun yang lalu. Yang menjadi ketuanya adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar. Mukanya penuh brewok dan bernama Ban Koan, seperti juga para ketua dahulu yang menurunkan kedudukan itu dari guru ke murid, Ban Koan juga seorang yang ahli dalam ilmu silat golok besar dan diapun memakain julukan Sin-to-kwi (Setan Golok Sakti). Dia mewarisi kedudukan ketua dari gurunya yang ketika hidupnya juga merupakan seorang datuk yang lihai ilmu silatnya. Gurunya itu berjuluk Sin-to-kwi-ong (Raja Setan Golok Sakti).

   Munculnya perkumpulan Huang-ho Kwi-pang di lembah Huang-ho bagian utara itu tentu saja di anggap sebagai pihak yang hendak merebut wilayah kekuasaan kwi-to-pang. Beberapa kali terjadi bentrokan antara anak-anak buah mereka. Maka para pimpinan masing-masing lalu mengajukan tantangan untuk memperebutkan wilayah yang subur bagi mereka itu. Banyak rombongan pedagang berlalu lalang, baik melalui darat maupun melalui sungai sehingga keadaan mereka yang berkuasa di daerah itu menjadi makmur dengan adanya pembayaran "pajak" yang mereka kenakan pada para saudagar yang lewat.

   Demikianlah, pada hari itu Ban Koan muncul sendiri memimpin anak buahnya. Berbeda dengan dahulu, di waktu gurunya menjadi ketua, anak buah Kwi-to-pang sampai berjumlah duaratus orang, kini anak buahnya hanya sekitar lima puluh orang saja. Hal ini adalah keadaan pemerintahan yang kuat setelah berdirinya Kerajaan Sui yang di pimpin oleh Kaisar Yang Cien. Kaisar pertama Kerajaan Sui ini berusaha benar-benar untuk membasmi gerombolan penjahat, dan ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, banyak anak buah Kwi-to-pang yang tewas dan banyak pula yang ketakutan dan mengundurkan diri. Yang masih bertahan hanyalah Ban Koan dan para pengikutnya berjumlah lima puluh orang.

   Pada hari yang di tentukan, kedua pihak sudah saling mendekati dan Kwi-to-pang membuat perkemahan di tepi sungai, sedangkan pihak Huang-ho kwi-pang membuat pertahanan di dalam hutan.

   Sin-to-kwi Ban Koan menjadi marah sekali ketika dua orang penyelidiknya tewas keracunan. Biarpun anak buahnya yang dia sembunyikan sebagai barisan pendam telah berhasil membunuh empat orang anak buah musuh, akan tetapi tetap saja dia merasa jerih untuk menyerbu setelah diketahuinya bahwa tempat pertahanan musuh itu disebari racun yang amat berbahaya.

   Dalam memimpin Kwi-to-pang, Ban Koan dibantu oleh adiknya sendiri yang bernama Ban Ki dan berjuluk Siang-to-kwi (Sepasang Golok setan). Ban Ki juga seperguruan dengan kakaknya, hanya bedanya kalau Ban Koan bersenjatakan sebatang golok yang besar dan berat, Ban Ki terkenal dengan senjatanya sepasang golok yang tipis dan ringan.

   Pada hari itu, setelah kematian dua orang anggotanya, Ban Koan dan Ban Ki hanya menunggu saja gerakan musuh. Mereka sudah memasang perangkap berupa anak panah yang menghadang di perjalanan mereka ke perkemahan mereka secara sembunyi.

   Setelah matahari naik tinggi dan mulai condong ke barat, muncullah Cu Sian mendekati tempat pertahanan Kwi-to-pang. Dia berjalan seenaknya dengan lenggang dan langkah panjang seolah dia sedang berjalan-jalan di dalam hutan itu. Tiba-tiba dari balik semak belukar berlompatan empat orang yang memegang sebatang golok besar. Empat orang itu bergerak cepat dan sudah mengepung Cu Sian.

   "Berhenti" bentak seorang diantara mereka "Siapa kau dan mau apa berkeliaran di sini"

   Cu Sian bersikap tenang saja "Apakah kalian anggota Kwi-to-pang? Aku ingin bertemu dengan ketua kalian"

   "Dia tentu mata-mata Huang-ho Kwi-pang" teriak orang kedua" Tangkap saja dia"

   Empat orang itu sudah menodongkan golok mereka "Hayo kau menyerah, atau kami menggunakan kekerasan"

   Cu Sian tersenyum mengejek "Aku ingin bertemu dengan ketua Kwi-to-pang. Aku tidak sudi menyerah kepada kalian dan kalau hendak menggunakan kekerasan, ingin aku melihat apa yang dapat kaulakukan kepadaku"

   "Keparat. Serang" teriak orang pertama dan empat batang golok sudah menyambar ke arah tubuh Cu Sian dan empat penjuru. Akan tetapi empat orang itu hanya melihat bayangan berkelebat dan serangan mereka luput. Cu Sian yang mempergunakan gin-kangnya melompat dan menghindar, kini tertawa dan empat orang itu cepat memutar tubuh mereka. Ternyata pemuda berpakaian seperti pengemis itu telah berada diluar kepungan dan melintangkan tongkat bambunya di depan dada sambil tertawa-tawa.

   Empat orang itu menjadi marah dan penasaran. Kembali mereka maju menyerang dengan golok besar mereka. Nampak sinar berkelebat ketika empat batang golok itu menyambar-nyambar. Akan tetapi dengan tenang Cu Sian menggerakkkan tongkat bambunya, mengelak dan menangkis, kemudian dengan gerakannya yang cepat tongkat bambunya menotok empat kali dan empat orang itupun berseru kaget ketika golok mereka terlepas dari tangan mereka yang mendadak menjadi lumpuh. Maklum bahwa pemuda itu terlalu lihai bagi mereka berempat, mereka lalu berlompatan dan berlari menuju kelompok mereka.

   Cu Sian tertawa dan melanjutkan langkahnya menuju ke perkemahan Kwi-to-pang. Akan tetapi tiba-tiba saja dari depan kanan kiri menyambar beberapa batang anak panah yang agaknya dilepas secara sembunyi oleh orang-orang yang berada dibalik batang pohon dan semak-semak. Empat batang anak panah itu dapat di elakkan dengan mudah oleh Cu Sian. Akan tetapi kembali anak panah menyambar. Cu Sian menjadi marah dan dengan tongkatnya yang di putar di bagian tubuhnya dia menangkis dan empat batang anak panah itu dapat di runtuhkan. Kemudian dia melompat cepat ke arah belakang semak-semak dan melihat empat orang melarikan diri. Kiranya empat orang itu bertugas menyerang pelanggar tempat itu dengan anak panah dan melihat betapa serangan mereka sia-sia, mereka menjadi jerih dan cepat pergi dari tempat persembunyian itu.

   Gerombolan yang di pimpin Hek-mo-ko dan kawan-kawannya, yang berindap-indap mengikuti Cu Sian, tentu saja melihat semua peristiwa itu dan mereka merasa gembira sekali menyaksikan betapa dengan amat mudahnya Cu Sian mengatasi itu. Diam-diam mereka terus mnegikuti Cu Sian dari jauh.

   Cu Sian terus melangkah maju menghampiri tempat pertahanan Kwi-to-pang. Tempat itu di kelilingi pohon bambu dan begitu dia mendekati pohon bambu, dari balik bambu itu berloncatan banyak orang dan tahu-tahu dia sudah di kepung oleh puluhan orang.

   Cu Sian berdiri dengan tenang dan memandang ke sekeliling. Akhirnya dia melihat munculnya seorang laki-laki berusia limapuluh tahun lebih. Laki-laki ini tinggi besar bermuka penuh brewok dan tangannya memegang sebatang golok besar. Jantung Cu Sian berdebar tegang melihat orang ini. Agaknya inilah orangnya yang dimaksudkan oleh para piau-su itu. Orang yang menjadi kepala perampok Kwi-to-pang, orang yang telah membunuh ayahnya. Di sebelah laki-laki yang bukan lain adalah Sin-to-kwi Ban Koan itu, berdiri adiknya, Ban Ki adalah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh jangkung kurus, mukanya yang kurus itu berbentuk meruncung seperti muka tikus, dan sepasang matanya bersinar kejam.

   "Orang muda, siapakah kau dan mau apa kau mencari ketua Kwi-to-pang?" bentak Ban Koan dengan suara mengguntur.

   "Namaku Cu Sian dan aku memang sengaja datang untuk bertemu dengan ketua Kwi-to-pang. Apakah kau yang menjadi ketua Kwi-to-pang?"

   Ban Koan memandang penuh perhatian. Tadi dia mendapat laporan bahwa seorang pemuda remaja hendak bertemu dengannya dan pemuda itu lihai bukan main, telah mengalahkan empat orang penjaga dan bahkan mampu menghindarkan diri dari serangan anak panah. Dia merasa heran. Pemuda ini masih remaja dan ternyata hanya seorang pengemis. Tentu bukan pengemis sembarangan, pikir Ban Koan. Dia menahan kemarahannya.

   "Hemmm, benar akulah Sin-to-kwi Ban Koan, ketua Kwi-to-pang dan ini adalah wakilku, juga adikku bernama Ban Ki dan berjuluk Siang-to-kwi"

   Mendengar ini, Cu Sian hampir tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Akan tetapi dia ingin mendapatkan kepastian "Ban-pangcu aku mendengar bahwa Kwi-to-pang berkuasa di daerah ini, di sepanjang Lembah Huang-ho selama puluhan tahun. Benarkah itu?"

   "Tidak salah. Kwi-to-pang menguasai wilayah ini sejak puluhan tahun yang lalu sampai sekarang " jawab Ban Koan dengan bangga. Karena dia menduga bahwa pengemis muda ini mungkin ada hubungan dengan Huang-ho Kwi-pang, maka dia menjawab untuk menjelaskan bahwa Kwi-to-pang lah yang berkuasa di situ sejak lama dan Huang-ho Kwi-pang merupakan pihak yang melanggar batas kekuasaanya.

   "Dan benarkah bahwa Kwi-to-pang merupakan perkumpulan perampok yang ganas dan jahat, bukan hanya suka merampok, akan tetapi juga tidak segan untuk membunuhi korbannya?"

   "Ha-ha-ha-ha" Sin-to-kwi Ban Koan tertawa bergelak sehingga perutnya yang besar terguncang. Melihat ketua mereka menertawakan pertanyaan itu, para anak buahnya juga tertawa sehingga ramailah keadaan di tempat itu" Kami yang berkuasa di wilayah ini, maka siapa saja yang lewat disini, harus tunduk akan peraturan kami. Mereka harus menyerahkan sebagian dari milik mereka kepada kami dan kalau mereka menolak dan melawan, tentu saja kami bunuh"
Sepasang mata Cu Sian berkilat. Tidak salah lagi, tentu orang ini yang telah menewaskan ayahnya" Ban-pangcu, karena mendengar itulah aku datang mencarimu. Kau kejam dan jahat, sudah merampok, membunuh pula. Aku datang untuk menantangmu bertanding, hendak ku lihat sampai dimana kehebatan golok setanmu"

   Sin-to-kwi Ban Koan membelalakan sepasang matanya yang sudah lebar itu, kemudian dia tertawa lagi, terbahak-bahak "Ha-ha-ha-ha. Kau.......? Anak kecil jembel kelaparan ini menantangku? Ha-ha-ha-ha"

   "Twa-ko, untuk membunuh bocah gila ini, tidak perlu kau turun tangan sendiri. Cukup sepasang golokku saja yang akan mencincang tubuhnya sampai hancur" kata Ban Ki sambil mencabut sepasang golok tipis itu dan mengamangkannya.

   "Aha, kau tikus kurus tidak perlu ikut campur" kata Cu Sian "Aku menantang Sin-to-kwi Ban Koan, kalau dia berani menandingiku barulah dia pantas menjadi kepala rampok. Akan tetapi kalau dia pengecut dan tidak berani, mengakulah saja dan aku akan menghadapi kau tikus kurus ini"

   Bukan main marahnya Ban Ki dimaki tikus kurus oleh seorang pengemis muda. Dia sudah memutar dua goloknya, akan tetapi kakaknya membentak "Mundurlah. Bocah bermulut lancang ini memang yang sudah bosan hidup. Biar aku sendiri yang membunuhnya" Setelah berkata demikian, ban Koan meloncat ke depan. Agaknya dia memandang rendah kepada lawannya, maka dia tidak mencabut goloknya melainkan menyerang dengan pukulan tangannya yang besar ke arah muka Cu Sian.

   Akan tetapi dengan mudah saja Cu Sian mengelak dengan menundukkan kepalanya sehingga pukulan itu lewat di atas kepalanya. Pemuda itu melangkah ke depan dan tangannya menghantam perut lawan. Ban Koan terkejut melihat kelincahan lawan. Cepat tangan kirinya menangkis dan terpaksa dia melangkah ke belakang dan ketika melihat pemuda itu menusukkan dua jari tangannya ke arah matanya, dia mengerahkan tenaga untuk menangkis. Dia mengharapkan tangkisan yang kuat itu akanmematahkan tulang lengan lawan, atau sedikitnya mendatangkan rasa nyeri.

   "Duukkk" Keduanya terdorong ke belakang dan kembali Ban Koan terkejut. Pemuda jembel itu ternyata memiliki tenaga yang kuat, dapat menandingi tenaganya. Dengan kemarahan yang mulai mendidih, dia menendang dengan kaki kirinya yang panjang dan kokoh. Namun Cu Sian dengan mudah mengelak dan tiba-tiba dia sudah menusukkan tongkat bambunya menotok ke arah pinggang lawan.

   "Aahhh" ban Koan terpaksa melempar tubuh ke belakang sehingga dia terjengkang, akan tetapi tubuh yang tinggi besar itu ternyata dapat bergerak gesit juga dan dia sudah berjungkir balik sekali ke belakang. Kini Ban Koan tidak berani memandang ringan dan dia tahu bahwa lawannya memang lihai sekali. Baru beberapa gebrakan saja tahulah dia bahwa dalam hal kecepatan gerakan, dan hal ini membahayakn dirinya. Juga dia tidak dapat mengharapkan tenaganya karena pemuda itupun memiliki tenaga yang kuat. Maka cepat dia menggerakkan tangan dan dia sudah memegang sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.

   Cu Sian yang merasa yakin dia berhadapan dengan pembunuh ayahnya. Sejak tadi sudah merasa seolah hatinya terbakar oleh dendam dan kebencian. Akan tetapi dia tidak mau membiarkan kemarahannya menguasainya. Dia tetap tenang dan maklum bahwa lawannya adalah seorang yang berbahaya, apalagi kalau sudah memegang goloknya. Kiranya tidak percuma orang itu berjuluk Sin-to-kwi (Setan Golok Sakti). Dia tetap tenang dan waspada. Dia yakin akan mampu menandingi musuh besar ini. Walaupun musuh besar ini telahmengalahkan dan membunuh ayahnya, akan tetapi dia merasa yakin bahwa sekarang tingkat kepandaiannya sudah jauh melampaui tingkat ayahnya dahulu.

   "Siinggg" Golok besar itu mengeluarkan bunyi mendesing ketika Ban Koan mengayunnya dalam bacokan dahsyat ke arah leher Cu Sian. Cu Sian menekuk kedua kakinya merendahkan tubuh sehingga golok itu menyambar di atas kepalanya dan kesempatan itu dia pergunakan untuk menyerang dada lawan dengan totokan. Ban Koan terkejut dan cepat tangan kirinya bergerakmenangkis tongkat lalu melompat mundur.

   
😮

   
Setelah terhindar dari totokan berbahaya itu, Ban Koan kembali menyerang. Goloknya bergerak cepat, golok yang besar dan berat itu seolah benda ringan sekali di tangannya. Golok itu lenyap bentuknya dan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan membuat tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung walet sehingga sukar sekali di serang. Juga serangan balasan Cu Sian tidak kalah hebatnya karena pemuda itu menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darah yang mematikan.

   Pertandingan itu sungguh menegangkan. Golok di tangan Ban Koan itu berbahaya sekali, akan tetapi Cu Sian ternyata mampu menandinginya dengan kecepatan gerakannya. Mereka saling serang dan tubuh mereka berkelebatan ke sana sini. Sampai lima puluh jurus lebih belum juga ada yang roboh walaupun perlahan-lahan Cu Sian mulai dapat mendesak lawannya.

   Melihat kakaknya tidak mampu mengalahkan pemuda itu bahkan terdesak, Ban Ki menjadi penasaran dan marah. Bagi dia dan kakaknya, mereka tidak mengenal sifat kegagahan yang pantang melakukan pengeroyokan. Ban Ki berseru keras dan meloncat memasuki gelanggang perkelahian itu dengan sepasang goloknya. Tanpa peringatan lagi dia sudah menyerang Cu Sian dengan ganasnya. Cu Sian mengelak dengan cepat ketika sepasang golok itu menyambar ke arah tubuhnya.

   "Pengecut" bentaknya, namun kakak beradik itu tidak peduli dan segera mengeroyoknya. Bahkan anak buah Kwi-to-pang mulai mengepung dan mengancam dengan golok mereka untuk mengeroyok Cu Sian.

   Cu Sian terkejut sekali. Dia telah masuk perangkap, telah di kepung dan tidak mungkin meloloskan diri dari pengepungan puluhan orang itu. Mulailah dia merasa menyesal, karena dorongan dendam kebencian, dia lupa bahwa di berada di tengah-tengah gerombolan yang berbahaya. Saking marahnya berhadapan dengan pembunuh ayahnya dia langsung menantang. Padahal, seharusnya dia mencari kesempatan dulu untuk memberi isyarat kepada Huang-ho Kwi-pang yang saat itu tentu menanti-nanti isyaratnya. Kini dia telah terkepung, tidak sempat lagi memberi isyarat dan dia lalu nekat mengamuk, tubuhnya berkelebatan ke sana sini menghadapi pengeroyokan kakak beradik itu. Akan tetapi dia terdesak hebat karena dua orang lawannya adalah orang-orang yang ahli bermain golok. Beberapa kalinyaris tubuhnya terbacok golok. Cu Sian memaklumi keadaan bahaya ini, akan tetapi karena tidak melihat jalan keluar untuk meloloskan diri, dia lalu mengamuk dan membela diri sekuat mungkin.

   Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Cu Sian itu, tiba-tiba nampak sinar dan asap di susul teriakan banyak orang "Kebakaran. Kebakaran" Dan sebagian dari anak buah Kwi-to-pang berlarian untuk memadamkan sebuah tenda yang terbakar. Cu Sian merasa terheran-heran. Mestinya dia yang membuat api sebagai isyarat kepada orang-orang Huang-ho Kwi-pang. Akan tetapi siapapun penyebab kebakaran, hal itu menguntungkan bagi Cu Sian dan diapun mengamuk sehingga kedua orang lawan yang mengeroyoknya mundur. Apa lagi Ban Koan dan Ban Ki juga terheran-heran melihat adanya kebakaran.

   Selagi mereka meragu, terdengar sorak sorai dan puluhan orang Huang-ho Kwi-pang datang menyerbu. Terjadilah pertempuran yang hebat.

   Hek-mo-ko Coa Gu ketua Huang-ho Kwi-pang segera membantu Cu Sian yang di keroyok dua. Kini Cu Sian hanya melawan Ban Koan seorang, sedangkan Hek-mo-ko bertanding melawan Ban Ki Gu Ma It dan Su Ciong Kun, dua orang ketua yang lain dari Huang-ho Kwi-pang memimpin anak buah mereka menyerang orang-orang Kwi-to-pang. Terjadilah pertempuran mati-matian.

   Karena orang-orang Huang-ho Kwi-pang lebih banyak, mereka di pimpin oleh dua orang ketua itu, maka pihak Kwi-to-pang menjadi terdesak hebat. Sementara itu Cu Sian mendesak lawannya dengan sengit dan akhirnya, tongkat bambunya berhasil menotok dada Ban Koan. Sin-to-kwi Ban Koan berseru keras dan roboh terjengkang dan sebelum dia sempat membela diri, Cu Sian sudah mengirim dua kali totokan pada leher dan dadanya dan tewaslah Ban Koan tanpa dapat mengeluarkan suara lagi.

   Pertandingan antara Ban Ki dan Hek-mo-ko juga berlangsung sengit dan berimbang. Akan tetapi, ketika Ban Ki melihat kakaknya roboh dan tewas, permainan sepasang goloknya menjadi kacau dan kesempatan ini dipergunakan oleh Hek-mo-ko untuk menusuukan tongkat bajanya ke arah ulu hati Ban Ki. Siang-to-kwi Ban Ki terjengkang dan tewas karena tongkat baja itu telah menembus baju dan kulit dadanya.

   Melihat robohnya dua orang pimpinan mereka, sisa anak buah kwi-to-pang menjadi panik dan mereka lalu melarikan diri cerai berai. Hanya belasan orang saja diantara mereka yang dapat lolos. Selebihnya tewas dalam pertempuran itu.

   Hek-mo-ko Coa Gu, Gu Ma It dan Su Ciong kun bergembira bukan main karena kemenangan itu berarti bahwa kini merekalah yang menjadi penguasa tunggal di daerah lembah Huang-ho. Para anak buah Huang-ho Kwi-pang juga bersorak gembiara atas kemenangan itu. Cu Sian masih berdiri termenung memandangi mayat Ban Koan ketua Kwi-to-pang. Hatinya merasa terharu bahwa akhirnya dia mampu membalas kematian ayah ibunya, bahkan berhasil pula membantu Huang-ho Kwi-pang untuk membasmi gerombolan Kwi-to-pang yang dahulu merampok ayahnya.

   Dia masih termenung ketika Hek-mo-ko dan dua orang adiknya menghampiri dan mereka bertiga memberi hormat kepadanya. Hek-mo-ko berkata dengan gembira "Bantuan Cu-sicu sungguh tak ternilai harganya bagi kami"

   Seperti orang dalam mimpi karena masih termenung, Cu Sian berkata "Aku tidak membantu siapa-siapa, aku hanya ingin membalas kematian ayah ibuku"

   "Biarpun demikian, tanpa bantuan Cu-sicu, akan sukarlah bagi kami untuk memperoleh kemenangan. Kini kami telah menang dan mulai saat ini, yang menguasai Lembah Huang-ho di daerah ini adalah kami Huang-ho Kwi-pang" kata Hek-mo-ko lantang sehingga terdengar oleh semua anak buahnya.

   Mendadak terdengar suara yang lebih lantang lagi, suara yang bergema sampai jauh dan yang menggetarkan hutan itu "Siapa bilang Huang-ho Kwi-pang yang berkuasa. Masih ada aku di sini"

   Semua orang terkejut dan menoleh, Entah dari mana datangnya tiba-tiba saja di situ telah berdiri seorang kakek yang menyeramkan. Kakek itu usianya paling sedikit enam puluh tahun. Ubuhnya masih tegak dan tinggi besar, kepalanya botak dan ukuran kepala itu besar sekali. Rambut kepalanya hanya tumbuh di bagian bawah dari belakang telinga sampai ke tengkuk dan rambut ini tebal dan hitam sekali. Tubuhnya yang tinggi besar itu mengenakan pakaian dari bulu beruang di bagian luarnya. Sedangkan celana dan bajunya dari kain sutera. Tangannya memegang sebatang tongkat berkepala naga dan berwarna hitam mulus. Sepatunya dari kulit binatang. Penampilan kakek ini nampak lucu akan tetapi juga menyeramkan. Mendengar ucapan kakek itu, tentu saja tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang menjadi marah sekali.

   "Haiiii. Apa maksudmu dengan kata-kata tadi?" bentak Hek-mo-ko.

   "Siapa kau, manusia lancang mulut" bentak pula Su Ciong Kun dengan marah.

   "He-he-he-he, kalian seperti tikus-tikus selokan hendak berlagak harimau. Kata-kataku sudah jelas. Tidak ada yang berkuasa di lembah Huang-ho kecuali aku. Mulai hari ini, aku lah yang berkuasa dan siapa pun baru berhak hidup di sini setelah memperoleh ijin dariku"

   "Manusia sombong. Mengakulah siapa kau sebelum kami membinasakan kamu" kini Gu Ma It yang berteriak marah.

   "He-he-he. Namaku Ma Giok, akan tetapi mulai sekarang akulah datuk utara dan julukanku Pak-Te-Ong (Raja Bumi Utara)"

   Tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu saling pandang dan mereka tidak mengenal nama ini diantara tokoh-tokoh kang-ouw. Maka mereka memandang rendah.

   "Ma Giok, bersiaplah untuk mampus" bentak Su Ciong Kun dan dia sudah menyabitkan sebatang pisau yang sudah di rendam racun. Jangankan terkena dengan tepat, baru tergores sedikit saja oleh senjata rahasia ini sudah cukup untuk merenggutnyawa orang.

   Akan tetapi kakek botak itu hanya mengibaskan lengan bajunya dan pisau itu mencelat ke samping dan lenyap ke dalam semak-semak.

   "Ha-ha-ha, tikus-tikus tidak tahu diri. Apakah kalian masih mempunyai permainan lain lagi?"

   Hek-mo-ko tentu saja tidak rela melihat ada orang hendak merebut kekuasaan mereka begitu saja. Dia sudah menggerakkan tongkat bajanya dan berseru kepada dua orang adiknya" Serang" ini merupakan aba-aba bagi kedua orang itu untuk menyerbu dan tanpa banyak cakap lagi Gu Ma It menggerakkan pedangnya dan Su Ciong Kun menggerakkan rantai bajanya.

   Cu Sian menyingkir dan menjauh sambil tersenyum mengejek. Dia muak melihat sikap tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu yang tanpa malu-malu lagi melakukan pengeroyokan kepada seseorang yang belum mereka kenal dan ketahui bagaimana tingkat kepandaiannya.

   Dia tidak ingin mencampuri urusan itu, akan tetapi diapun tertarik dan ingin menonton pertandingan itu. Dia melihat di sebelah kirinya terdapat sebatang pohon dan diapun meloncat ke atas cabang pohon itu dan duduk seenaknya.

   Hek-mo-ko Coa Gu, Su Ciong Kun dan Gu Ma It sudah maju menerjang kakek botak itu. Tongkat baja ek-mo-ko menyambar ke arah kepala botak itu, pedang di tangan Gu Ma It menusuk ke arah dada, sedangkan rantai baja Su Ciong Kun menyambar ke arah pinggang. Hebat sekali serangan tiga orang secara berbarengan itu dan agaknya kakek gundul itu tidak akan mampu menghindarkan diri lagi. Akan tetapi Cu Sian yang menonton dari atas, terbelalak melihat kakek botak yang bernama Pak-Te-Ong Ma Giok itu sama sekali tidak bergerak dari tempat dia berdiri.

   "Duukkk" kapala botak licin itu terpukul tongkat baja Hek-mo-ko, akan tetapi kepala itu tidak apa-apa bahkan tongkat itu telah di sambar tangan kiri Pak-Te-Ong dan di rampasnya. Ketika pedang menusuk ke arah dadanya, dia menancapkan tongkatnya sendiri ke atas tanah dan tangan kanannya mengangkap pedang itu begitu saja dan sekali tarik, pedang itupun dirampasnya. Rantai baja itu mengenai pinggang dan melibatnya, akan tetapi sekali kakinya menendang, Su Ciong Kun terlempar dan rantai baja itu tetap melibat pinggang Pak-Te-Ong. Kembali kedua kakinya itu menyambar bergantian dan Hek-mo-ko terlempar kebelakang sedangkan Gu Ma It juga terpelanting.

   "He-he-he. Tikus-tikus kecil bertingkah. Terimalah kembali senjata kalian" Tubuhnya bergerak, tongkat dan pedang rampasan meluncur dari kedua tangannya sedangkan begitu pinggangnya di gerakkan, rantai baja itupun meluncur bagaikan seekor ular terbang menyambar mangsanya. Tiga macam senjata itu meluncur ke arah pemilik masing-masing dan terdengar teriakan-teriakan mengerikan ketika tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu baru saja bangkit terkena senjata mereka sendiri. Demikian kuatnya tenaga yang mendorong senjata-senjata itu sehingga tongkat baja itu menembus dada Hek-mo-ko, pedang menancap di leher Gu Ma It dan rantai baja mengenai kepala Su Ciong Kun sehingga kepala itu menjadi remuk. Ketiganya tewas di saat itu juga.

   Semua anak buah Huang-ho Kwi-pang yang melihat betapa tiga orang pimpinan mereka tewas sedemikian mudahnya oleh kakek botak itu, menjadi terkejut dan ketakutan. Mereka serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu sambil minta ampun.

   "He-he-he-he" Pak-Te-Ong tertawa mengelak sambil mencabut tongkatnya dan mengelus perutnya yang gendut. Boleh aku mengampuni kalian, akan tetapi mulai saat ini, kalian hanya taat kepada Pak-Te-Ong. Akulah satu-satunya pemimpin di seluruh wilayah Lembah Huang-ho ini. Kalian mengerti?"

   Puluhan orang yang ketakutan itu mengangguk-angguk seperti sekumpulan ayam memasuki beras dan menyatakan kesanggupan mereka.

   Pak-Te-Ong kembali tertawa bergelak sehingga mukanya di tengadahkan. Akan tetapi tiba-tiba tawanya terhenti karena matanya dapat melihat Cu Sian yang masih duduk menggoyang kaki di atas cabang pohon "Heeiiii, kau, turunlah. Apakah kau ingin membalas kematian tiga orang sahabatmu ini?"

   Cu Sian tahu benar bahwa kakek botak itu memiliki kesaktian yang luar biasa. Dari cara dia menewaskan tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang saja tahulah dia bahwa kakek itu sama sekali bukan lawannya. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan sikap takut, dia meloncat turun dari atas cabang pohon dan berkata sambil lalu saja. Aku bukan sahabat mereka dan urusanmu dengan mereka tidak ada sangkut pautnya dengan aku" Setelah berkata demikian Cu Sian menyeret tongkat bambunya dan melangkah pergi dari situ.

   Melihat pengemis muda itu pergi seenaknya saja, Pak-Te-Ong berseru kepadanya "Heiii, jembel muda. Sebelum pergi kau harus berlutut dan menyatakan takluk kepadaku, baru kau boleh pergi"

   Cu Sian memiliki watak yang lincah jenaka dan gembira, akan tetapi di samping itu juga tabah sekali dan tidak mengenal rasa takut. Mendengar ucapan kakek itu, dia berhenti melangkah dan memutar tubuhnya memandang kakek itu dengan sepasang mata yang bersinar "Pak-Te-Ong, aku bukan perampok dan aku tidak akan menakluk kepadamu atau kepada siapa pun juga" Setelah berkata demikian, dia melanjutkan langkahnya.

   "Heh. Kalian. Perintahku pertama kepada kalian. Tangkap dan seret jembel itu ke depan kakiku"

   Kurang lebih lima puluh orang anggota Huang-ho Kwi-pang itu tidak berani membantah. Dengan senjata di tangan mereka lalu bangkit dan lari menyerbu kearah Cu Sian.

   Melihat ini Cu Sian menjadi marah. Dia menyambut dan dengan gerakan cepat tongkatnya, dia telah merobohkan empat orang pengeroyok yang datang paling depan. Akan tetapi para pengeroyok itu mengepung dan menyerangnya dari semua penjuru. Cu Sian menjadi marah dan dia memainkan tongkatnya sedemikian rupa sehingga tongkat bambu itu berubah menjadi gulungan sinar kuning yang menyelimuti tubuhnya sehingga semua serangan itu terpental kembali. Bahkan dia mampu merobohkan lagi delapan orang.

   Melihat betapa lihainya pengemis muda itu, Pak-Te-Ong terkejut dan marah sekali. Baru saja mengumumkan diri menjadi pemimpin tunggal di Lembah Huang-ho, sudah ada seorang yang berani menentangnya dan orang itu hanya seorang pengemis muda. Mata Pak-Te-Ong terbelalak dan mukanya berubah kemerahan karena marahnya.

   "Kalian semua mundur" bentaknya sengan suara mengeledek. Biar aku sendiri yang akan menghajar jembel busuk ini"

   Para anggota Huang-ho Kwi-pang memang sudah merasa jerih kepada Cu Sian yang amat lihai ilmu tongkatnya itu, maka ketika kakek botak itu menyuruh mereka mundur, mereka pun dengan cepat mengundurkan diri.

   Pak-Te-Ong maju beberapa langkah dan setelah jarak antara dia dan Cu Sian tinggal sepuluh meteran, dia mendorongkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka ke arah pemuda jembel itu. Angin yang kuat menyambar ke arah Cu Sian. Pemuda itu mengenal pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Dia segera mengelak ke samping akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang. Maklum bahwa dia bukan lawan kakek sakti itu, Cu Sian lalu meloncat jauh dan melarikan diri.

   "Jembel busuk" teriak Pak-Te-Ong sambil melakukan pengejaran. Akan tetapi Cu Sian berlari semakin cepat dan menghilang di balik pohon-pohon besar. Pak-Te-Ong juga mengerahkan ginkangnya dengan penasaran.

   "Pengemis muda, kau tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku" cepat sekali tubuh kakek ini berkelebat di depan.

   Akan tetapi, setelah dia memperpendek jarak antara dia dan yang dikejarnya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan di depannya berdiri seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, sinar matanya lembut dan mulutnya tersenyum-senyum.

   "Sungguh memalukan seorang datuk besar mendesak seorang pemuda remaja" kata pemuda itu yang bukan lain adalah Han Sin.

   Pak-Te-Ong terpaksa berhenti dan dia memandang kepada Han Sin dengan marah "Minggir atau kau akan ku bunuh lebih dulu" bentaknya.

   "He-he, bukan main galaknya. Pak-Te-Ong, hentikan pengejaranmu. Lawan yang sudah lari tidak baik di kejar" Han Sin berkata dengan lagak menasehati.

   "Keparat, mampuslah" bentak Pak-Te-Ong sambil mendorongkan tangan kirinya ke arah Han Sin dengan ilmu pukulan jarak jauh. Han Sin juga mendorong tangan kanannya.

   "Deeesss" keduanya terdorong ke belakang dan Pak-Te-Ong terkejut bukan main. Pemuda ini mampu menolak pukulan jarak jauhnya dan membuat dia terdorong ke belakang. Dari bukti ini saja dapat di ketahui bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Maka, dengan hati penasaran dan marah, dia mengegerakkan tongkat kepala naganya menyerang bagaikan badai mengamuk dan setiap pukulannya dahsyat sekali.

   Akan tetapi untuk kedua kalinya kakek itu merasa terkejut bukan main. Semua pukulannya mengenai tempat kosong dan dua kali pemuda itu bahkan berani menangkis tongkatnya dengan tangan kosong. Jarang ada lawan yang akan mampu bertahan lebih dari lima jurus kalau dengan tangan kosong menghadapi tongkatnya. Apalagi lawan itu seorang pemuda seperti ini. Setelah belasan jurus dia menyerang tanpa hasil, Tiba-tiba Han Sin melompat ke kiri dan melarikan diri.

   "Heeiii, jangan lari" Pak-Te-Ong membentak dan mengejar, akan tetapi pemuda itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Han Sin memang tidak ingin berkelahi. Kalau tadi dia menghalangi Pak-Te-Ong, hal itu dia lakukan untuk memberi kesempatan Cu Sian melarikan diri, setelah dia merasa bahwa Cu Sian telah berlari jauh dan kakek itu tidak akan dapat mengejarnya lagi, diapun meninggalkan lawan yang amat lihai itu.

   Setelah gagal mencari kedua orang pemuda itu, dia melampiaskan kekecewaannya dan kemarahannya dengan mengobrak-abrik hutan, menumbangkan banyak pohon-pohon dengan tongkatnya, akhirnya Pak-Te-Ong kembali ke tempat dimana anggota Huang-ho Kwi-pang masih berkumpul. Dan sejak hari itu, gegerlah daerah Lembah Huang-ho dengan munculnya seorang tokoh baru yang menundukkan semua golongan sesat dengan kepandaiannya yang tinggi. Mereka yang mau tunduk dan menakluk, menjadi anak buahnya dan mereka yang berani menentang di bunuhnya. Terkenallah nama Pak-Te-Ong di dunia kang-ouw sebagai seorang datuk utara yang sakti.

   ***

   Harus di akui bahwa Kaisar Yang Ti meneruskan politik lebih tegas dari mendiang Yang Chien, ayahnya. Terusan-terusan yang menghungkan kedua sungai Huang-ho dan Yang-ce di lanjutkan dan diperluas, bahkan diteruskan sampai ke Hang-couw. Pekerjaan besar yang di mulai oleh Kaisar Yang Chien ini di lanjutkan oleh Kaisar Yang Ti. Juga politik luar negerinya melanjutkan apa yang telah di lakukan oleh kaisar Yang Chien, yaitu menundukkan kembali daerah-daerah yang dahulu memberontak dan memisahkan diri. Bahkan lebih luas lagi dia bertindak, bukan saja Tong-kin dan n-nam di tundukkan, juga dia melakukan gerakan di utara dan barat.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 09


Kaisar Yang Ti mengirim pasukannya ke daerah yang kini di namakan Mongolia Dalam, Mongolia Luar, Kokonor, Sin-kiang, bahkan ke Asia Tengah yang pada waktu itu di diami bangsa-bangsa Toba, Turki dan Mongol dengan banyak suku-sukunya. Diantara suku-suku bangsa itu terdapat banyak pertikaian dan permusuhan karena memperebutkan wilayah dan kekuasaan. Kaisar Yang Ti mengirim banyak mata-mata memasuki daerah itu yang bertugas untuk meniup-niupkan permusuhan dan pertentangan itu. Maka bertambah panaslah suasana diantara suku-suku bangsa itu dan karena adanya perpecahan ini, maka pasukan Sui dapat menguasai daerah-daerah itu yang kemudian di beri nama Sin-kiang atau daerah baru.

   Usaha perluasan wilayah ini juga di tujukkan ke Timur Laut, yaitu daerah Mancuria Selatan dan Korea. Namun di sini Kaisar Yang Ti mengalami pukulan berturut-turut yang menyuramkan sinar kemenangannya di daerah lain.

   Sayang sekali, Kaisar Yang Ti tidak menuruni watak ayahnya yang menunjukkan seorang pendekar sejati, dahulu Kaisar Yang Chien selalu mengesampingkan kepentingan sendiri, tidak gila kedudukan dan gila kekuasaan, biarpun kaisar hidupnya sederhana dan selalu mengambil tindakan tegas terhadap siapa saja yang melakukan penyelewengan dan kesalahan. Sebaliknya, Kaisar ang Ti mengumbar nafsu kesenangannya secara berlebihan. Dia gemar sekali mengumpulkan wanita-wanita cantik untuk menjadi selir dan dayang, dan membangun istana-istana yang luar biasa indahnya. Kegemaran ini menghamburkan banyak sekali uang negara dan dia banyak menerima protes dari pejabat-pejabat tinggi yang setia. Namun, kedua telinganya seperti tuli terhadap semua protes dan kritik itu.

   Untuk memuaskan nafsunya, dia mempunyai seorang permaisuri, dua orang wakil permaisuri, enam kepala selir dan tujuh puluh dua selir. Semua itu masih belum memuaskan hatinya dan dia mengumpulkan gadis-gadis dari segalal penjuru dan suku, untuk dijadikan dayang yang jumlahnya mencapai tiga ribu orang. Kalau semua ini hanya di sembunyikan di istana saja masih belum terlalu mencolok, akan tetapi Kaisar Yang Ti memiliki cara yang mencolok untuk menyenangkan hatinya dan memuaskan nafsunya.

   Ketika pembangunan Terusan Besar yang menghubungkan utara dan selatan selesai dan dapat dipergunakan, maka untuk pembukaan pertama dia memerintahkan membuat sebuah perahu naga yang besar, kemudian, beberapa ratus gadis dayang di suruh menarik tambang yang mengikat perahu itu untuk menggerakkan perahu melawan arus. Sambil menarik tambang, para dayang itu bernyanyi. Di atas perahu naga, dayang-dayang cantik memainkan seruling dan Yangkim (siter) mengiringkannyanyian merdu. Dalam kamar perahu itu, kaisar Yang Ti dilayani oleh selir dan dayang yang di pilihnya untuk menemaninya dalam perahu itu. Tentu saja rakyat menonton peristiwa itu dengan takjub. Dan para menteri setia hanya menarik napas panjang dan menggeleng kepala.

   Keroyalan Kaisar Yang Ti mencapai puncaknya ketika dia memerintahkan Hsiang Sheng, pembuat bangunan terbesar di waktu itu, untuk membangun sebuah istana yang amat indah di Lok-Yang. Untuk membuat bangunan raksasa yang indah dan megah mewah ini dipergunakan tenaga pekerja lebih dari lima puluh ribu orang dan pekerjaan di selesaikan dalam waktu delapan belas bulan. Tentu saja bangunan ini memakan biaya yang luar biasa besarnya. Di bangun di tanah yang luas, istana atau bangunan utama di kelilingi oleh tiga puluh enam istana yang lebih kecil, semua tersembunyi di dalam hutan-hutan bunga beraneka macam dan warna. Pemandangan di sekitar istana mengingatkan orang akan dongeng tentang taman sorga. Akan tetapi karena istana itu mempunyai banyak bangunan dan lorong bunga yang berliku-liku dan simpang siur, maka Kaisar Yang Ti memberi nama aneh kepada istana itu, yaitu Istana Lorong Menyesatkan. Memang bagi orang yang belum mengenal betul daerah kumpulan istana ini, dia tentu akan tersesat di dalamnya dan sukar mencari jalan keluar lagi.

   Bangunan utama merupakan sebuah istana yang bertingkat tiga, berkilauan dalam sinar matahari bagaikan sebuah Pagoda emas yang luar biasa besarnya. Di dalam bangunan ini terdapat banyak kamar berbagai ukuran yang amat indah, di pisahkan oleh pintu-pintu yang berukiran halus. Yang terbesar adalah kamar utama yang menjadi tempat tidur kaisar Yang Ti. Kamar ini luar biasa besarnya, bisa muat seratus meja untuk berpesta. Dinding-dindingnya di hias dengan cermin dari sudut ke sudut. Asap dupa harum yang tipis selalu mengepul sehingga kamar besar itu berbau harum. Tirai-tirai sutera bermacam warna bergantungan dan lentera-lentera berbagai warna yang bergantungan dengan hiasan yang mengandung daya seni tinggi.

   Sungguh sayang sekali, ketika kaisar pertama Kerajaan Sui, yaitu Kaisar Yang Chien, memegang kendali pemerintahan, persatuan dapat di bina karena para pembesar di daerah tunduk dan taat kepada kaisar Yang Chien yang bijaksana, akan tetapi setelah Kaisar Yang Ti hidup bergelimang dengan kesenangan dan kemewahan, maka mulailah orang merasa tidak senang kepadanya. Rasa tidak senang ini, terutama sekali dari pembesar-pembesar daerah, merupakan bibit-bibit pemberontakan.

   Sudah berulang kali tercatat dalam sejarah, apa bila kaisarnya mulai terpengaruh kesenangan duniawi dan mementingkan kesenangan sendiri saja, maka tentu akan bermunculan pembesar-pembesar "Durna" alias penjilat-penjilat yang berhati palsu. Demikian pula dengan waktu itu. Ketika Kaisar Yang Chien berkuasa, tidak ada seorangpun penjilat berani mendekatinya, atau lebih tepat, tidak muncul pembesar yang berwatak penjilat karena kaisarnya bijaksana dan adil lagi tegas. Akan tetapi ketika Kaisar Yang Ti berkuasa, mulailah berdatangan pembesar-pembesar penjilat yang maklum akan kelemahan Kaisar Yang Ti. Pembesar-pembesar penjilat inilah yang bersikap penuh perhatian terhadap kebutuhan kaisar untuk memenuhi kesenangannya. Mereka ini yang menawar-nawarkan gadis baru yang cantik dan mendorong semua keinginan kaisar untuk beroyal-royal menghamburkan uang negara.

   Banyak pembesar tua yang dahulu membantu Yang Chien dengan setianya, dipensiun oleh Yang Ti, dan di gantikan dengan orang-orang muda yang lebih cocok dengan dia. Diantara mereka ini seorang pejabat tinggi bernama Lui Couw. Dia telah benyak berjasa dalam perang menundukkan daerah-daerah utara barat, maka diapun kini di angkat menjadi panglima besar. Bukan hanya karena dia berjasa, akan tetapi diapun pandai menyenangkan hati Kaisar Yang Ti. Dalam perang menundukkan daerah-daerah, Lui Couw ini tidak pernah lupa untuk menawan gadis-gadis cantik dan menyerahkan kesempatan pertama kepada Kaisar Yang Ti untuk meilih diantara gadis-gadis itu yang di senanginya. Karena "jasa" inilah maka kedudukan Lui Couw cepat naik dan kini setelah menjadi panglima besar maka kekuasaanyapun bertambah kuat.

   Lui Couw ini mempunyai seorang putera bernama Lui Sun Ek, yang telah berusia dua puluh satu tahun. Lui Couw sendiri sudah berusia empat puluh lima tahun. Dari para selirnya yang banyak Lui Couw hanya mendapatkan seorang putera itulah, sedangkan istrinya juga tidak mempunyai keturunan. Maka biarpun hanya putera selir, Lui Sun Ek di manja dan di hormat sebagai keturunan tunggal. Bahkan ibunya juga naik "pangkat" tidak lagi menjadi selir, melainkan menjadi isteri kedua yang dalam kehidupan sehari-hari mendorong kedudukan isteri pertama dan meiliki kekuasaan lebih besar dalam keluarga Lui Couw.

   Lui Couw adalah seorang yang selain pandai dalam ilmu perang, juga ahli silat yang tangguh. Demikian pula puteranya, Lui Sun Ek, telah di gemblengnya sendiri sejak anak itu masih kecil sehingga kini Sun Ek menjadi seorang pemuda dewasa yang lihai sekali. Sebagai seorang panglima tinggi yang kedudukannya sudah sama dengan seorang menteri, Lui Couw memiliki sebuah rumah gedung yang megah.

   Pada suatu pagi, para menteri dan panglima menghadap Kaisar Yang Ti karena Kaisar mengundang mereka dalam sebuah sidang pertemuan. Para pembesar itu sudah lama menghadap ketika Kaisar masih bersenang-senang dengan para wanitanya dalam taman istana. Setelah para pembesar itu merasa kesal menanti, barulah kaisar keluar diiringkan para thaikam (sida-sida) dan pengawal pribadi.

   "Hidup Yang Mulia Kaisar" terdengar seruan mereka yang segera menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar.

   Kaisar Yang Ti memandang kepada semua pejabat itu, mengangguk senang karena mereka semua hadir selengkapnya, lalu duduk dan menggerakkan tangannya.

   "Kalian semua boleh duduk"

   "Terima kasih, Yang Mulia" serentak mereka menjawab lalu bangkit dan duduk di bangku-bangku yang sudah di sediakan untuk mereka.

   Kemudian Kaisar memberi kesempatan kepada mereka untuk satu demi satu menyampaikan pelaporan tentang jalannya pemerintahan, dan juga tentang gerakan pasukan Sui yang berusaha menundukkan daerah-daerah di Timur Laut.

   Dengan kecewa dia menerima laporan bahwa gerakan pasukan di Timur Laut mendapat perlawanan yang amat kuat dari mereka, terutama sekali dari bangsa Korea.

   "Hemmm, kalau demikian, lebih baik tarik mundur dulu pasukan dari sana karena kami mendengar bahwa daerah utara Shan-si juga para suku bangsa bar-bar mulai melakukan gerakan. Kami sendiri yang akan memimpin pasukan besar mengadakan pembersihan di Shan-si utara"

   "Ampun Yang Mulia. Akan tetapi hamba kira sebaiknya kalau paduka menyerahkan saja tugas itu kepada hamba atau kepada para panglima lainnya. Tidak perlu paduka berangkat sendiri memimpin pasukan. Daerah sana itu berbahaya sekali bagi paduka dan sebaiknya paduka tidak menempuh bahaya itu" kata Lui Couw.

   Kaisar Yang Ti mengerutkan alisnya dan wajahnya nampak marah ketika dia memandang kepada panglimanya itu "Liu-Ciang-kun. Lupakah kau siapa kami ini? Mendiang ayah kami adalah seorang pejuang yang gagah perkasa, dan sejak muda kami juga sudah bergelimang dengan pertempuran. Apa artinya bahaya bagi seorang kaisar yang memimpin pasukannya sendiri melakukan pembersihan? Kami akan berangkat sendiri"

   "Ampun, Yang Mulia. Hamba hanya mengkhawatirkan keselamatan paduka saja maka mengusulkan agar kami para panglima yang diperintahkan pergi. Akan tetapi kalau demikian kehendak paduka, hamba tentu saja tidak berani membantah" kata Liu Couw.

   "Pendeknya laksanakan perintah kami, yaitu, tarik mundur pasukan yang berperang di timur laut, dan kerahkan pasukan besar yang akan kami bawa asendiri ke utara Shan-si. Berapa lamakah pasukan itu dapat berkumpul?"

   Lui Couw saling pandang dengan para panglima yang hadir, kemudian setelah menghitung-hitung, dia menjawab" kalau pasukan yang berada di timur laut itu di haruskan kembali ke kota raja lebih dahulu, maka hal itu akan makan waktu lama, Yang Mulia. Akan tetapi kalau di kirim perintah agar pasukan itu langsung saja pergi ke Tai-goan di Shan-si dan bertemu dengan pasukan dari sini, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama pasukan dapat terkumpul di Tai-goan.

   "Baik, laksanakan perintah itu agar mereka segera di tarik ke Tai-goan"

   "Hamba siap melaksanakan perintah paduka" jawab Lui Couw.

   Setelah menerima laporan hal-hal lain dari berbagai menterinya, kaisar lalu berkata "Nah, sekarang kami hendak membicarakan sebuah persoalan penting" Dia memberi isyarat kepada seorang Thaikam yang maju berlutut dan menyerahkan sebatang pedang bersarung kepada Kaisar Yang Ti.

   Setelah menerima pedang itu dari seorang thai-kam, Kaisar Yang Ti lalu mengangkat pedang itu ke atas, memperlihatkannya kepada semua yang hadir lalu bertanya" tahukah kalian pedang apa ini?"

   Semua orang memandang penuh perhatian. Pedang itu memiliki sarung yang indah terukir sebuah naga, juga gagang pedangnya di ukir kepada naga dan warnanya putih seperti perak. Para menteri yang sudah menghambakan diri sejak dahulu tentu saja mengenal pedang itu.

   "Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih)" terdengar seruan beberapa orang.

   Kaisar Yang Ti mengangguk "Benar ini adalah Pek-liong-kiam, Pedang pusaka milik mendiang ayah yang telah berjasa besar. Lihatlah baik-baik" Kaisar menghunus pedang itu dan nampak sinar berkilauan yang menyeramkan "Sekarang pedang ini menjadi milik kami, maka kami juga harus berani bertindak tegas, membasmi semua pemberontakan dan kerusuhan dengan pedang ini. Akan tetapi ada satu hal yang merisaukan hati kami. Pedang ini mempunyai saudara yang di sebut Hek-Liong-Kiam (Pedang Naga Hitam). Hek-Liong-Kiam itu dahulu menjadi milik mendiang panglima besar Cian Kauw Cu. Kami menghendaki agar pedang itu dapat menjadi pusaka negara. Karena itu, kami memerintahkan kau, panglima muda Coa Hong Bu, untuk mencari Hek-Liong-Kiam dan membawanya ke sini, menyerahkan kepada kami"

   Coa Hong Bu adalah seorang panglima muda yang bertugas di istana. Dia seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun yang bertubuh jangkung kurus. Sebagai seorang murid yang pandai dari Hoa-san-pai, dia memiliki ilmu silat yang tinggi. Ketika mendengar perintah ini, Coa Hong Bu memberi hormat dan berkata dengan suara tegas seorang panglima "Hamba akan melaksanakan perintah paduka, hamba hanya mohon petunjuk, siapa yang kini memiliki pedang pusaka itu"

   Kaisar memandang kepadanya dengan marah "Hek-Liong-Kiam adalah milik mendiang Panglima Cian Kauw Cu. Setelah meninggal dunia, tentu saja pusaka itu berada di tangan keluarganya. Dan ada satu hal lagi. Ingat baik-baik, di dunia ini hanya dua orang yang mengenal ilmu yang ditemukan bersama sepasang pedang Pek-liong-kiam dan Hek-Liong-Kiam. Ilmu itu hanya dikenal oleh mendiang ayah dan mendiang Panglima Cian Kauw Cu. Karena ayah tidak meninggalkan kitab ilmu itu kepada kami, maka sangat boleh jadi bahwa kitab itu pun tadinya berada di tangan Panglima Cian. Maka, kau, Panglima Coa Hong Bu, kalau sudah menemukan Hek-Liong-Kiam, tanyakan pula adanya sebuah kitab yang di tinggalkan oleh Cian-Ciangkun dan serahkan padaku. Kalau pemegangnya menuntut penebusan uang, berikan kepadanya berapa saja yang dia minta"

   "Akan hamba laksanakan, Yang Mulia. Dapatkah Paduka memberitahu kepada hamba nama ilmu itu?"

   "Kitab itu berisi ilmu yang di sebut Bu-tek-cin-keng. Usahakan sampai pedang dan kitab dapat kau serahkan kepada kami, Coa-ciangkun. Kau akan mendapat hadiah besar dari kami"

   Setelah berkata demikian, Kaisar Yang Ti membubarkan pertemuan itu. Para pembesar, menteri dan panglima mengundurkan diri dan bersiap melaksanakan semua perintah yang dikeluarkan pada pertemuan itu oleh kaisar.

   Semua perintah yang diberikan kaisar dapat dilakukan dengan mudah oleh para pembesar, kecuali tugas yang diberikan oleh Panglima Coa Hong Bu. Panglima yang biarpun sudah berusia tiga puluh lima tahun akan tetapi masih hidup membujang ini setelah meninggalkan istana tidak langsung pulang ke rumahnya, akan tetapi segera melakukan penyelidikan untuk mengetahui dimana adanya Nyonya Cian Kauw Cu yang sudah pindah meninggalkan kita raja itu bersama puteranya. Setelah mengetahui kemana pindahnya keluarga Cian yang di carinya itu, Panglima Coa Hong Bu lalu membuat persiapan untuk pergi berkunjung ke rumah janda itu yang menurut keterangan yang dia peroleh telah pindah keluar kota dekat kuil Siuw-lim-si.

   ***

   Ji Goat, yaitu Nyonya Cian Kauw Cu yang hidup menyendiri di bukit dekat kuil, merasa prihatin dan kesepian sejak puteranya ia suruh pergi ke utara untuk mencari pedang pusaka Naga Hitam dan pembunuh suaminya. Kini ia hidup kesepian, hidup sederhana dari sisa bekal peninggalan suaminya, bercocok tanam seperti seorang petani. Namun, wanita yang kini sudah berusia lima puluh lima tahun itu tidak pernah merasa berduka. Ia hanya berdoa setiap hari agar puteranya selamat dan berhasil melaksanakan kewajibannya membalaskan kematian ayahnya. Satu-satunya orang yang menemani dan membantunya, adalah seorang wanita dusun sebelah yang sudah berusia lima puluh tahun. Wanita pembantu itu datang di waktu pagi sekali dan pulang ke rumahnya sendiri setelah hari menjadi gelap. Cio Si, demikian nama pembantu itu, adalah seorang dusun sederhana yang dapat menghibur hati Ji Goat di kala ia merasa kesepian teringat kepada puteranya.

   Biarpun kini hidup menyendiri, Ji Goat tidak pernah melupakan ilmu silatnya. Hampir setiap hari sekali ia berlatih silat sehingga tubuhnya tetap sehat dan kuat dan gerakannya tetap lincah. Biasanya ia berlatih di waktu pagi sekali, di belakang rumahnya yang merupakan kebun dan ladang yang cukup luas dan udaranya segar sejuk karena terpencil, jauh dari tetangga.

   Pada suatu pagi yang sejuk, ketika ayam jantan mulai berkokok dan matari sendiri belum keluar walaupun sinarnya sudah mulai mengusir kegelapan malam, seperti biasa Ji Goat berlatih silat di belakang rumahnya. Dan pada saat yang sama, Cio Si, wanita pembantu itupun meninggalkan rumah keluarganya menuju ke rumah Ji Goat yang tidak terlalu jauh letaknya dari rumah keluarganya.

   Karena pintu depan masih tertutup, seperti biasa Cio Si menuju ke kebun belakang karena ia tahu bahwa pada saat seperti itu nyonya majikannya tentu sedang berlatih silat di kebun belakang dan pintu belakang sudah dibuka. Akan tetapi ketika pembantu rumah tangga itu tiba di kebun belakang ia terkejut bukan main melihat nyonya majikannya sedang berkelahi melawan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. Ia menjadi ketakutan, kedua kakinya terasa lemas dan iapun berjongkok di belakang semak-semak.

   Apa yang telah terjadi dengan nyonya janda itu? Ketika Ji Goat sedang berlatih silat, seperti biasa ia memainkan ilmu silat Lo-hai-kun. Ilmu silat ini merupakan ilmu silatnya yang dahsyat dan yang dipelajarinya ketika ia masih muda dahulu dari gurunya, Toat beng Giam Ong yang menjadi Kok-su (Guru Negara) dari Kerajaan Toba. Ketika Ji Goat berlatih, daun-daun pohon yang berdekatan bergoyang-goyang karena sambaran angin yang timbul dari gerakan kedua tangan Ji Goat. Tiba-tiba saja terdengar seruan orang.

   "Bagus. Lo-hai-kun yang kau kuasai semakin lihai saja, suci"

   Ji Goat terkejut dan menghentikan gerakannya. Ketika ia menengok, ia melihat seorang pria berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh sedang dan tegap, telah berdiri di situ. Ia tidak mengenal pria ini dan tentu saja ia merasa heran di sebut suci (kakak seperguruan) oleh orang itu.

   "Siapa kau?" tanyanya curiga.

   Pria itu tertawa pendek "Ha-ha suci, lupakah kau kepadaku? Aku Lui Couw"

   "Lui Couw...?" Ji Goat mengulang nama itu sambil mengerutkan alisnya mengingat-ingat. Kemudian teringatlah ia. Ketika ia masih menjadi murid Toat beng Giam Ong Lui Tat, gurunya yang berpangkat tinggi itu mempunyai seorang putra dari seorang selirnya bernama Lui Couw. Ketika itu Lui Couw baru berusia enam tujuh tahun.

   "Kau.... putera suhu Toat Beng Giam Ong?. Hemmm, apa maksud kedatanganmu ini, Lui-sute?"

   "Suci, sudah lama aku menjadi seorang panglima dari Kerajaan Sui"

   Ji Goat mengerutkan alisnya. Ia sama sekali tidak tahu dan tidak mengira bahwa putera gurunya itu kini menjadi panglima "Lalu, apa maksud kedatangamu ke sini?"

   "Suci, Kaisar bermaksud untuk merampas kitab Bu-tek Cin-keng dari tanganmu, karena itu aku mendahului mereka datang ke sini menemui suci. Ku harap suci suka menyerahkan kitab itu kepadaku"

   Mereka saling berpandangan dengan sinar mata penuh selidik "Sute, kitab itu tidak ada padaku" jawab Ji Goat dengan tegas.

   "Suci, ingatlah Kaisar dan Kerajaan Sui adalah musuh kita. Mendiang ayahmu adalah Perdana Menteri Kerajaan Toba dan ayahku adalah Kok-su-nya. Maka Kerajaan Sui adalah musuh kita. Maka harap jangan ragu, serahkan kitab itu kepadaku agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kaisar Yang Ti" suara Lui Couw terdengar keras dan mendesak.

   "Sudah ku katakan, kitab itu tidak ada padaku"

   "Kalau begitu, katakan dimana kitab itu? Ah, ya. Kau mempunyai seorang putera, bukan? Dimana dia? Apakah kitab itu kauberikan kepadanya?"

   Kerut diantara alis Ji Goat makin mendalam dan ia menggeleng kepalanya keras-keras "Tidak, aku tidak akan memberitahukan kepadamu atau kepada siapapun juga"

   "Suci. Sekali lagi kuminta kau memberitahu dimana adanya kitab Bu-tek Cin-keng" kini Lui Couw membentak marah.

   Akan tetapi Ji Goat memandang dengan mata berapi dan menjawab tegas, Tidak akan kuberitahu"

   "Kalau begitu apakah aku harus mempergunakan kekerasan?"

   "Terserah. Jangan di kira aku takut atau kepada siapapun juga", Ji Goat marah bagaikan seekor singa betina. Wataknya yang dahulu di waktu ia masih gadis muncul kembali dan ia sudah mengepal kedua tinjunya.

   "Kau perempuan bandel" Lui Couw sudah menyerang dengan pukulan dahsyat kearah muka Ji Goat. Wanita ini mengelak dan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Lui Couw menangkis pukulan itu dan keduanya segera bertanding dengan seru. Karena kedua orang ini menggunakan ilmu yang sama, yaitu Lo-hai-kun, tentu saja keduanya sudah saling mengenal gerakan masing-masing dan perkelahian yang sesungguhnya itu nampak seperti dua orang sedang berlatih saja.
Ketika mereka bertanding inilah Cio Si, pembantu rumah tangga itu, memasuki kebun dan segera bersembunyi dengan tubuh gemetar. Akan tetapi ia dapat menonton perkelahian itu lewat calah-celah daun semak-semak.

   Setelah lewat tigapuluh jurus, mulailah Lui Couw terdesak. Bagaimanapun juga, dia masih kalah pengalaman oleh Ji Goat dan terutama sekali karena Ji Goat rajin berlatih setiap hari. Dalam hal kegesitan gerakan, Lui Couw kalah maka mulailah dia terdesak mundur.

   Tiba-tiba Lui Couw meloncat ke belakang dan ketika dia maju lagi tangannya sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar hitam yang menyeramkan. Ji Goat terbelalak dan menudingkan telunjuknya kearah muka Lui Couw.

   "Lui-sute. Jadi kaukah pengkhianat itu? Kau pembunuh suamiku dan pencuri Hek-Liong-Kiam?" teriak I Goat penuh perasaan terkejut, heran dan marah sekali.

   "Karena kau tidak mau menyerahkan kitab itu, kaupun akan ku kirim ke akhirat menyusul suamimu" bentak Lui Couw yang segera menerjang dengan pedangnya. Ji Goat memang sedang berlatih silat tangan kosong, maka ia tidak bersenjata. Pedangnya tertinggal di dalam kamarnya. Menghadapi serangan itu, iapun mengelak cepat dan terjadilah perkelahian lagi. Akan tetapi sekarang Ji Goat yang terdesak hebat. Pedang suaminya itu terlalu ampuh baginya dan setelah lewat belasan jurus, akhirnya ia kewalahan juga.

   "Mampuslah kau" bentak Lui Couw dan pedangnya menyambar seperti kilat kearah kedua kaki Ji Goat. Wanita itu melompat ke atas, akan tetapi Lui Couw juga melompat mengejar dan sekali pedang Hek-liong-pang menyambar, tanpa dapat di hindarkan lagi pedang itu telah menusuk lambung Ji Goat.

   "Cappp"" Ji Goat terkulai dan roboh mandi darah. Lui Couw menyerengai, menyimpan kembali pedangnya, memandang kepada wanita yang sudah roboh tak berkutik lagi itu dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Dia hendak mencari Kitab Bu-tek Cin-keng, juga putera sucinya itu. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan keduanya, maka segera pergi meninggalkan rumah yang sunyi itu.

   Setelah Lui Couw pergi, barulah Cio Si berani keluar dari balik semak-semak. Ia menghampiri nyonya majikannya, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Melihat nyonya majikannya menggeletak mandi darah dan sudah tidak bergerak lagi, tahulah ia bahwa Ji Goat telah tewas. Maka dengan kedua kaki gemetaran ia lalu lari ke rumah tetangga yang agak jauh dari situ sambil menangis.

   Sebentar saja semua penduduk di lereng bukit itu berlari-lari menuju ke rumah Ji Goat. Dari mulut ke mulut mereka bercerita tentang kematian Ji Goat seperti yang di ceritakan oleh Cio Si tadi, bahwa nyonya janda itu di bunuh orang. Hanya itu yang dapat di ceritakan Cio Si. Wanita dusun ini takut untuk mengatakan apa yang ia dengar dalam percakapan dua orang tadi. Ia takut kalau-kalau pembunuh itu akan mencarinya dan membunuhnya pula. Maka ia hanya bercerita bahwa majikannya terbunuh oleh seorang laki-laki yang tidak di kenalnya.

   Tiong Gi Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si yang berada di puncak bukit itu segera datang ketika mendengar bertita itu. Dia merasa ikut bersedih atas kematian ibu dari muridnya itu mati di bunuh orang selagi puteranya, Han Sin tidak berada di rumah. Karena dia mengenal baik wanita yang tewas itu sebagai ibu dari muridnya, maka Tiong Gi Hwesio mengatur pemakamannya. Kemudian rumah dan swah lading itu oleh Tiong Gi Hwesio di serahkan kepada Cio Si untuk di urus dan di rawat sampai kembalinya Han Sin.

   Pada keesokan harinya, muncullah Coa Hong Bu, Panglima yang di tugaskan oleh Kaisar untuk mencari Hek-Liong-Kiam dan kitab Bu-tek Cin-keng, di rumah nyonya Cian Kauw Cu. Dapat di bayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat peti mati di rumah itu, dan sejumlah orang yang melayat. Sebagai orang yang berpendidikan, dia memberi hormat kepada peti jenazah dan mengangkat hio. Setelah selesai upacara penghormatan itu, dia di sambut oleh Tiong Gi Hwesio yang yang mengenalnya sebagai seorang panglima istana.

   "Lo-suhu, apa yang telah terjadi dengan Nyonya Cian?" Tanya panglima itu kepada Tiong Gi Hwesio.

   "Omitohud. Hanya seorang saja yang mengetahui dan orang itu adalah Cio Si, Cian-hujin berkelahi dengan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya dan Cian-hujin roboh terbunuh oleh laki-laki itu"

   Tentu saja Coa Hong Bu menjadi penasaran sekali "Lo-suhu, terus terang saja, aku di utus oleh Sri baginda Kaisar untuk menemui Nyonya Cian dan minta beberapa benda darinya. Karena itu, maka tentu saja peristiwa pembunuhan in penting sekali bagiku. Dapatkah aku bicara dengan wanita pembantu itu?"

   "Omitohud. Ternyata Ciang-kun membawa tugas yang demikian pentingnya. Tentu saja Cian-kun dapat berbicara sendiri dengan Cio Si. Mari, Ciang-kun, silahkan masuk ke dalam dan pin-ceng akan memanggil Cio Si"

   Coa Hong Bu melangkah masuk dan duduk di ruangan dalam rumah itu. Tak lama kemudian seorang wanita tua memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepadanya.

   "Apakah ". Apakah ciangkun memanggil saya ""?" Tanya Cio Si dengan suara gemetar.

   "Benar, akan tetapi jangan takut, bibi. Duduklah, aku hanya ingin mendengar cerita bibi tentang peristiwa pembunuhan itu. Apa bibi mengenal orang yang berkelahi dengan majikanmu?"

   Cio Si duduk dan mengusap air matanya "Saya tidak mengenalnya, Ciang-kun. Saya belum pernah melihat orang itu"

   "Bagaimana air mukanya dan bentuk tubuhnya?"

   "Wajahnya gagah dan tubuhnya tegap"

   "Usianya?"

   "Tentu lebih dari empatpuluh tahun, ciangkun"

   "Bagaimana pakaiannya?"

   "Dia berpakaian biasa, warna "". kalau tidak salah ingat, biru"

   "Coba ceritakan dari awal ketika kau melihat peristiwa pembunuhan itu bibi" kata Coa Hong Bu dengan lembut sehingga wanita itu tidak lagi ketakutan.

   "Seperti biasa setiap pagi, kemarin pagi-pagi sekali saya berangkat dari rumah menuju ke rumah Coan-toako dimana saya sudah bertahun-tahun bekerja sebagai seorang pembantu. Dan seperti biasa pula, karena pintu depan belum di buka, saya menuju ke kebun belakang untuk memasuki rumah lewat pintu belakang. Biasanya setiap pagi toanio tentu berada di kebun berlatih silat. Akan tetapi kemarin pagi saya melihat toanio berkelahi dengan seorang laki-laki yang memegang pedang. Saya ketakutan dan hanya bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai dan saya melihat toanio roboh mandi darah terkena tusukan pedang lawannya itu"

   Coa Hong Bu mengerutkan silatnya. Dia tahu bahwa janda Cian itu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi dan tidak sembarangan orang dapat mengalahkannya. Akan tetapi diapun maklum bahwa wanita itu di waktu mudanya membantu perjuangan Kaisar Yang Chien, maka tentu saja mempunyai banyak musuh.

   "Setelah membunuh Cian-toanio, lalu apa yang dilakukan laki-laki itu?"

   "Dia memasuki rumah ini lewat pintu belakang. Setelah dia keluar kembali dan melarikan diri barulah saya berani keluar dari tempat persembunyian saya dan lari minta tolong kepada para tetangga"

   "Lamakah dia memasuki rumah ini?"

   "Lama juga, ciangkun"

   "Ketika dia keluar, dia membawa apa?"

   "Tidak membawa apa-apa, dan pedangnya juga sudah di sarungkan di punggung"

   Tiba-tiba Coa Hong Bu teringat akan sesuatu "Ketika mereka berkelahi, orang itu memegang pedang, bagaimana dengan Cian-toanio? a memegang senjata apa?"

   "Cian-toanio tidak memegang senjata, ciangkun"

   "Hemmm, dan pedang orang itu, adakah sesuatu yang aneh pada pedang itu? Bagaimana bentuknya?"

   Cio Si ragu-ragu sejenak" Seperti pedang biasa """ akan tetapi, saya pernah melihat pedang-pedang itu putih mengkilat, akan tetapi pedang orang itu, warna hitam dan mengerikan"

   Hampir Coa Hong Bu terlonjak dari tempat duduknya. Dia menenangkan hatinya dan bertanya pula "Apakah ketika berkelahi mereka tidak mengeluarkan kata-kata?"

   Kembali Cio Si ragu-ragu sampai lama. Ia masih merasa takut. Kalau ia membuka rahasia pembunuh itu dengan menceritakan apa yang di dengarnya, ia takut kalau pembunuh itu marah kepadanya dan membunuhnya "Tidak, ciangkun" akhirnya ia berkata.

   Coa Hong Bu merasa heran sekali. Pedang itu agaknya Hek-Liong-Kiam yang di carinya. Akan tetapi kenapa pedang itu tidak berada pada Nyonya Cian, melainkan berada di tangan pembunuh itu? Dan pembunuh itu setelah melakukan pembunuhan lalu memasuki rumah, tentu hendak mencari sesuatu. Kitab Bu-tek Cin-keng. Apalagi yang di cari pembunuh itu selain kitab ini?.

   "Bibi. mari tunjukkan padaku kamar-kamar di rumah ini, akan ku periksa"

   Di temani Cio Si sebagai penunjuk jalan, Coa Hong Bu lalu mengadakan penggeledahan dalam usahanya mencari kitab Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi dia tidak menemukan kitab itu dan akhirnya dia bertanya lagi kepada Cio Si.

   "Bibi, setahuku Cian-toanio mempunyai seorang putera?"

   "Benar, ciangkun. Namanya Cian Han Sin"

   "Dimanakah dia?"

   "Sudah setengah tahun ini Cian-Kongcu pergi. Menurut keterangan dari mendiang Cian-toanio, kong-cu pergi merantau ke utara"

   Coa Hong Bu mengangguk-angguk" Berapa usia Cian-kongcu?"

   "Kurang lebih dua puluh tahun, Ciangkun"

   "Coa Hong Bu termenung. Pemuda itu sudah dewasa, tentu ilmu silatnya juga tinggi karena suami isteri Cian terkenal sebagai orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sangat boleh jadi kalau pedang dan kitab oleh Cian-toanio diberikan kepada puteranya yang telah dewasa itu. Akan tetapi bagaimana pedang itu dapat berada di tangan si pembunuh?.

   Setelah selesai dengan pemeriksaannya, Coa Hong Bu keluar dan menemui Tiong Gi Hwesio yang masih berada di luar. Dia dipersilahkan duduk dan mereka bercakap-cakap.

   "Lo-suhu tentu mengenal Cian Han Sin, putera keluarga Cian ini, bukan?"

   "Omitohud. Tentu saja mengenalnya, seorang pemuda yang baik seorang murid yang baik"

   "Ah, jadi dia itu murid lo-suhu?"

   "Dulu ibunya menitipkan Han Sin di kuil kami untuk diberi pelajaran silat, sastra dan agama"

   "Lo-suhu, saya di utus oleh Sribaginda Kaisar untuk mencari tahu tentang pedang Hek-Liong-Kiam milik mendiang Cian-ciangkun dan tentang sebuah kitab yang bernama Bu-tek Cinkeng, pernahkah lo-suhu melihat pedang dan kitab ini?"

   "Omitohud. Apa lagi melihat, mendengarpun belum pernah?"

   "Lo-suhu, saya mendengar dari Cio Si bahwa Han Sin pergi merantau. Tentu lo-suhu mengetahui kemana dia pergi"

   "Han Sin memang berpamit kepada pin-ceng ketika setengah tahun yang lalu dia hendak berangkat merantau. Katanya dia hendak merantau untuk meluaskan pengalamannya dan selain itu dia hendak menyelidiki tentang kematian ayahnya"

   Coa Hung Bu termenung. Dia masih ingat akan kematian Panglima Cian Kauw Cu. Dia tewas ketika memimpin pasukannya ke utara, gugur dalam pertempuran. Hanya itu yang di ketahuinya.

   "Bukankah Cian-ciangkun tewas dalam pertempuran?"

   "Benar, akan tetapi menurut Cian-toanio, kematian suaminya itu mencurigakan terkena anak panah yang datang dari belakang. Berarti pembunuhnya bukan pihak musuh, dan itulah yang akan di selidiki oleh Han Sin"

   Coa Hong Bu mengangguk-angguk. Dengan kematian Nyonya Cian, maka tinggal Cian Han Sin orang satu-satunya yang mungkin dapat menerangkan tentang kitab dan pedang. Akan tetapi pemuda itu kini sedang merantau ke utara untuk mencari pembunuh ayahnya.

   Karena tidak ada hal lain lagi yang perlu di selidiki, Hong Bu segera kembali ke istana dan menghadap Kaisar untuk melaporkan semua hasil penyelidikannya itu.

   😮

   

   "Kalau begitu, rahasia kitab dan pedang itu tentu di ketahui oleh putera mereka. Coa-ciangkun, carilah pemuda itu dan tanya dimana adanya kitab dan pedang. Ini adalah perintah Kaisar"

   "Hamba siap melaksanakannya perintah paduka. Akan tetapi karena Cian Han Sin itu pergi ke utara, maka hamba juga harus menyusul ke sana dan akan memakan waktu agak lama"

   "Tidak mengapa, cari dia sampai dapat dan kembalilah ke sini setelah membawa kitab dan pedang"

   Coa Hong Bu mengundurkan diri, karena dia hidup membujang, maka pada keesokan harinya dia berangkat melaksanakan tugasnya yang tidak mudah. Mencari seseorang di daerah utara merupakan pekerjaan yang sukar sekali. Dan agar memudahkan perjalanannya, dia mengenakan pakaian rakyat biasa, membawa buntalan pakaian dan pedangnya, lalu berangkat meninggalkan kota raja.

   ***

   Cu Sian berhenti berlari setelah kakek yang amat lihai itu tidak mengejarnya. Dia menyusup-nyusup hutan menuju ke tepi sungai Huang Ho. Kepuasan hatinya setelah berhasil membalaskan kematian ayah bundanya terganggu oleh kekecewaan bahwa Han Sin tidak membolehkan dia menemani sahabat itu dan membantunya mencari Hek-Liong-Kiam dan pembunuh ayahnya. Teringat akan pemuda itu, hatinya merasa resah dan kesepian. Juga terkandung kekhawatiran besar dalam hatinya. Baru menghadapi orang-orang Huang-ho Kwi-pang saja, Han Sin sudah dapat tertawan dengan mudah. Apalagi kalau menghadapi lawan lebih tangguh, pemuda itu pasti celaka, pikirnya, ingin dia membantu Han Sin, ingin dia melindunginya. Ayah dan kakeknya dulu seringkali bercerita tentang kehebatan dan kegagahan ayah pemuda itu. Kakeknya merupakan sahabat karib Panglima Cian Kauw Cu, bahkan teman seperjuangan. Akan tetapi kini puteranya tidak mau bersahabat dengannya, buktinya tidak mau di temaninya mencari pedang dan musuh ke utara.

   "Sudahlah" dia mendengus marah "Mau apa kalau dia tidak mau? Dasar orang tak tahu diri, orang lemah seperti dia bagaimana dapat merantau ke utara mencari musuh besarnya? Dia mencari celaka sendiri. Untuk apa aku harus memikirkan orang yang tinggi hati seperti dia? Lebih baik aku kembali ke selatan"

   Dia lalu melangkah cepat menuju ke tepi sungai untuk mencari perahu yang berlayar ke hilir untuk menumpang pergi ke selatan.

   Akan tetapi kebetulan pada hari itu tidak ada perahu yang lewat minggir. Semua berada di tengah dan jarang. Percuma saja meneriaki perahu yang berada jauh di tengah itu. Selain belum tentu terdengar, juga tukang perahu tidak akan mau meminggirkan perahu. Tempat itu merupakan hutan, bagaimana mungkin perahu yang muat barang-barang dagangan itu mau berhenti hanya untuk mengangkut seorang penumpang tambahan? Jangan-jangan dia akan di sangka penjahat.

   Cu Sian duduk di atas batu di tepi sungai dengan hati kesal. Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi dan Cu Sian menjadi tertarik sekali. Dia mendengarkan dan memperhatikan kata-kata dalam nyanyian itu.

   "Kata-kata yang jujur tidak bagus,
Kata-kata yang bagus tidak jujur.
Orang yang cerdik tidak banyak bicara,
Orang yang banyak bicara tidak cerdik.
Orang yang tahu tidak sombong,
Orang yang sombong tidak tahu.
Orang bijaksana tidak menyimpan,
Dia menyumbang sehabis-habisnya.
Tapi semakin menjadi kaya,
Dia memberi sehabis-habisnya
Tapi semakin berlebihan.
Jalan yang di tempuh langit
Menguntungkan, tidak merugikan
Jalan yang di tempuh orang bijaksana
Memberi, tidak merebut"

   Cu Sian segera mengenal kata-kata dalamnyanyian itu. Itu adalah kata-kata pelajaran agama To, bagian terakhir dari Kitab To-tek-keng. Hemmm, tentu penyanyinya seorang Pendeta To, seorang Tosu. Di samping pelajaran ilmu silat, sejak kecil Cu Sian juga belajar sastra dan membaca kitab-kitab agama To dan Budha.

   Andaikata dia mendengar sajak itu dinyanyikan orang di dalam kota, tentu dia tidak akan tertarik. Apa anehnya kalau seorang tosu mengulang ujar-ujar dalam kitab agama mereka? Akan tetapi karenanyanyian itu di dengarnya di tempat yang sunyi selagi dia duduk termenung dengan hati kesal, maka hatinya menjadi tertarik dan diapun turun dari atas batu, lalu melangkah kearah suara itu.

   Setelah tiba di tepi sungai, dia tertegun. Bukan tosu yang di dapatkannya seperti yang di sangkanya semula, melainkan seorang pemuda yang duduk di atas batu tepi sungai memegangi sebatang bambu panjang dengan tali kail menggantung di ujungnya. Pemuda itu sedang memancing ikan di tepi sungai. Akan tetapi bukan itu yang membuatnya terkejut heran dan juga girang, melainkan ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Cian Han Sin.

   Timbul wataknya yang ugal-ugalan. Saking gembiranya dapat bertemu dengan Han Sin di tempat yang tidak di sangka-sangkanya itu, dia lalu berjalan perlahan, berindap-indap menghampiri pemuda yang sedang tenggelam dalam lamunan, perhatiannya sepenuhnya di arahkan kepada ujung joran. Kemudian Cu Sian mengambil sebongkah batu dan melemparkannya ke air, tepat ke ujung joran pancing Han Sin.

   "Byyuurrrr" air muncrat dan Han Sin tersentak kaget sambil menarik tangkai pancingnya, agaknya mengira bahwa suara itu adalah berkecopaknya seekor ikan yang besar. Tentu saja kailnya terangkat tanpa membawa hasil apapun dan ketika mendengar suara tawa di belakangnya, dia menoleh.

   Ketika Han Sin melihat Cu Sian yang tertawa-tawa di belakangnya, tahulah dia apa yang telah terjadi "Ah, Sian-te, kiranya kau. Ku kira tadi ada ikan besar hendak menyambar umpanku" kata Han Sin.

   "He-he-he, Sin-ko, memang umpanmu telah menarik datangnya ikan besar. Akan tetapi bukan umpan di ujung kailmu itu, melainkan umpan berupanyanyian dari To-tek-keng tadi. Dan akulah ikannya yang tertarik olehnyanyianmu dan datang ke sini"

   "Aih, kau mengejutkan hatiku Sian-te. Bagaimana kau tiba-tiba saja meninggalkan Huang-ho Kwi-pang itu?" Han Sin melepaskan pancingnya di atas tanah dan memandang sahabat itu.

   Cu Sian memandangnya dengan mata bersinar-sinar "Ah, aku telah berhasil membalas kematian ayah ibuku, Sin-ko. Aku telah membunuh Sin-to-kwi Ban Koan. Dialah yang dahulu membunuh ayahku. Juga para pembantunya dan semua anak buahnya di basmi oleh Huang-ho Kwi-pang"

   "Hemmm, sudah puaskah hatimu? Tahukah kau bahwa kau telah bekerja sama dan membantu Huang-ho Kwi-pang padahal perkumpulan itu hanya gerombolan perampok dan bajak sungai?"

   "Aku tidak membantu mereka. Ketika mereka di basmi kakek yang amat sakti itu, aku tidak membantu mereka. Ah, kakek itu sungguh mengerikan Sin-ko. Pernahkan kau mendengar akan seorang datuk berjuluk Pak-Te-Ong?"

   "Belum. Mengapa dia?"

   "Dia muncul setelah Huang-ho Kwi-pang membasmi gerombolan Kwi-to-pang, dan tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu di bunuhnya dengan mudah. Aku sendiripun akan celaka di tangannya kalau saja aku tidak dapat berlari cepat sekali"
Han Sin tersenyum. Kalau dia tidak turun tangan menghadang kakek itu belum tentu Cu Sian dapat lolos dari pengejarannya.

   "Wah, kalau begitu kau jago lari, Sian-te" katanya menggoda.

   Wajah pemuda remaja itu menjadi merah "Habis, apakah aku harus mati konyol? Melarikan diri dari ancaman bahaya yang tidak dapat dilawannya adalah perbuatan cerdik, bukan karena takut. Sebaliknya kalau sudah tahu diri tidak mampu menandingi lawan akan tetapi nekat terus, dia akan mati konyol karena kebodohannya.

   Melihat sahabatnya itu berbicara keras dan matanya menyinarkan kemarahan, Han Sin berkata "Aku tidak bermaksud mengejekmu, Sian-te. Maafkan aku. Setelah kau berhasil membalas dendam orang tuamu, bahagiakah rasa hatimu?"

   Cu Sian menjatuhkan diri duduk di atas batu di depan Han Sin lalu dia menghela napas panjang dan menggeleng kepala. Aku tidak mengerti apa itu yang dinamakan bahagia, Sin-ko. Ku rasa kebahagiaan hanya menjadi sebutan, buah bibir belaka. aku meragukan apakah ada di dunia ini seorang yang berbahagia benar-benar, sudah bebas daripada segala masalah dan kedukaan. Sudah wajar kalau hidup ini seperti permukaan samudera yang sebentar ke kanan sebentar ke kiri, sebentar suka dan sebentar duka"

   "Kau benar, Sian-te, Tak kusangka semua ini kau sudah pandai berfilsafat. Hati akal pikiran kitalah yang menjadi gelombang itu, yang mengacaukan batin dengan kesenangan dan kesusahan. Kita biasanya keliru mengenal kesenangan sebagai kebahagiaan. Padahal kesenangan itu hanyalah terpuaskannya nafsu dan bersifat sementara saja karena kesenangan mempunyai saudara kembar yaitu kesusahan yang sewaktu-waktu akan menggantikan kedudukannya. Kalau ada senang tentu ada susah dan sebaliknya, seperti gelombang tentu ke kanan dan ke kiri, berganti-ganti. Kebahagiaan tidak mengenal senang dan susah seperti itu, kesenangan dan kesusahan hanya permainan pikiran sendiri belaka"

   "Aduh, kalau saja aku tidak melihatmu, mendengar ucapanmu tadi tentu aku mengira seorang pertapa yang tua renta yang bicara. Sin-ko, kau ini orang aneh. usiamu tidak berselisih banyak dengan usiaku, akan tetapi bicara mu seperti kakek pertapa yang berusia seratus tahun" kata Cu Sian sambil tertawa.

   Han Sin juga tertawa. Heran dia, setiap bertemu dengan pemuda remaja ini, dia merasakan kegembiraan yang luar biasa. Seolah kelincahan dan kejenakaan pemuda yang menyamar sebagai pengemis itu menular kepadanya.

   "Aih, Sian-te. Aku juga sama dengan kau, hanya membacakan dari kitab-kitab. Akan tetapi aku tidak berhenti mempelajarinya, mencari bukti kebenarannya"

   "Hemmm, bagaimana caranya?"

   "Dengam mengalaminya sendiri. Dengan mengamati kehidupan sendiri dan kehidupan di sekeliling kita karena kenyataan itu hanya dapat di alami bukan hanya diketahui melalui ajaran kitab. Pelajaran dari Kitab tentang kehidupan hanya mengenal kulitnya saja. Isinya kita dapatkan dengan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Kita selalu harus meragukan kebenaran apa yang di ajarkan kitab"

   "Meragukan? Kitab-kitab itu di tulis oleh orang-orang jaman dahulu yang bijaksana"

   "Keraguan akan kenyataan hidup perlu selalu terdapat dalam hati, karena tanpa keraguan tidak akan ada usaha pencarian tentang kebenaran itu"

   "Wah, wah. kau memang hebat, Sin-ko. Tadipun ketika aku mendengar nyanyian tentang o-te-keng, aku mengira yang bernyanyi itu seorang kakek pendeta To. Kiranya kau. Sekarang kita bicara tentang hal lain, Sin-ko. Kalau terus kau ajak bicara tentang kehidupan dan filsafatnya, aku khawatir sebentar saja rambutku akan berubah putih"

   Han Sin tertawa "Tanpa kau sengaja kau sudah melakukan hal yang terbaik dalam hidup, yaitu selalu bergembira. memang, pada akhirnya kita akan menemukan bahwa kita ini mahluk yang berbahagia. karena Tuhan telah memberikan segalanya untuk kita. Kita harus menikmati dan menyukuri pemberian uhan yang berlimpah untuk kita. Nah, kau hendak bicara tentang apa, Sian-te?"

   "Begini, Sin-ko. aku telah berhasil membalas dendam atas kematian ayah bundaku. Karena itu, sekarang tidak ada lagi penghalang bagiku untuk membantumu. aku akan membantumu mencari pedang pusaka Hek-Liong-Kiam milik ayahmu yang hilang itu. aku akan mencarinya sampai dapat dan menyerahkannya kepadamu"

   Han Sin terkejut, akan tetapi tidak diperlihatkannya" akan tetapi dimana hendak kau cari pedang itu?"

   "Tentu saja di daerah utara, dimana ayahmu dahulu gugur dalam pertempuran. Kurasa pasti ada yang mengetahuinya siapa yang mengambil pedang itu"

   Hemm, Kalau Cu Sian mencarinya sendiri, amat berbahaya bagi pemuda itu, pikir Han Sin. Dia sudah melihat akan kelihaian, keberanian dan kederdikan Cu Sian ketika berhadapan dengan Huang-ho Kwi-pang. Cu Sian dapat menjadi seorang kawan dan pembantu yang boleh diandalkan.

   "Sian-te, mencari pedang pusaka ayahku itu merupakan tugasku, tidak semestinya kau menjadi repot karenanya. Biarlah aku yang mencarinya sendiri"

   "Sin-ko, kenapakah kau selalu menolak uluran tanganku untuk membantumu? Apakah kau tidak suka bersahabat denganku? Atau barangkali kau tidak percaya kepadaku?"

   "Ah, sama sekali tidak, Sian-te. Aku senang sekali dapat bersahabat denganmu. Dan tentu saja aku percaya sepenuhnya kepadamu, bukankah kau cucu Lo-kai yang menjadi sahabat karib mendiang ayahku? Dan bukankah kau sudah berulang kali menolongku, dari tangan keluarga gila kemudian dari tangan para pimpinan Huang-ho Kwi-pang? Aku hanya tidak ingin membikin susah kepadamu, merepotkanmu"

   "Kalau aku tidak merasa dibuat susah dan merasa tidak merepotkan, bagaimana? Kalau aku dengan suka rela ingin membantumu mencari pusaka itu sampai kau mendapatkannya, bagaimana? Apakah kau juga masih menolakku?"

   Han Sin menghela napas. Memang lebih baik membiarkan pemuda remaja itu bersama dia agar dia dapat melindunginya kalau ada marabahaya"Tentu saja tidak, Sian-te. Aku akan berterima kasih sekali, akan tetapi""""""

   "Akan tetapi apa?"

   "Aku harap kau tidak melakukan penyamaran lagi"

   Cu Sian menatap wajah Han Sin penuh selidik, seolah hendak menjenguk isi hati pemuda itu "Apa maksudmu, Sin-ko?" akhirnya dia bertanya.

   "Kau bukan seorang pengemis, mengapa menyamar sebagai seorang pengemis? Lebih baik memakai pakaian biasa saja, tidak usah berpakaian pengemis"

   Cu Sian mengerutkan alisnya "Akan tetapi itu perlu untuk menyembunyikan keadaan asliku. Eh Sin-ko, apakah kau merasa jijik dan malu bersahabat dengan seorang yang berpakaian seperti pengemis?"

   "Sama sekali tidak, Sian-te. Akan tetapi justeru dengan penyamaranmu ini, kau menarik perhatian banyak orang. Coba pikir dengan baik, bukankah orang-orang akan tertarik melihat kita bersahabat dan melakukan perjalanan bersama karena keadaan kita yang berbeda? Kalau kau berpakaian biasa seperti aku, tentu tidak akan menarik perhatian orang. memang benar kalau kau melakukan perjalanan seorang diri, mungkin saja kau tidak akan menarik perhatian orang"

   "Hemm, benar juga pendapatmu, Sin-ko. baiklah, aku akan menanggalkan penyamaranku dan berpakaian seperti orang biasa" Cu Sian akhirnya mengalah.

   Han Sin tersenyum senang "Kalau begitu mari kita menyusuri sungai ini ke utara sampai kita tiba di sebuah kota dimana kita dapat membeli pakaian untukmu. aku juga membawa bekal pakaian, akan tetapi tentu terlalu besar kalau kau pakai"

   "Tidak perlu repot-repot, Sin-ko. Aku sudah mempersiapkan segalanya. Kau tunggu sebentar" pemuda remaja itu lalu berlari dan lenyap di balik semak belukar dalam hutan di tepi pantai sungai itu. Han Sin mengikutinya dengan pandang heran. Kalau Cu Sian sudah mempersiapkan segalanya, juga pakaian biasa, hal itu berarti bahwa memang pemuda remaja itu sudah bermaksud untuk menanggalkan penyamarannya. Dia tersenyum duduk lagi di atas batu, kini tidak memancing lagi hanya memandangi air yang mengalir tiada putusnya itu, menghayutkan segala macam benda dipermukaannya. Han Sin termenung. Pikirannya seolah ikut hanyut bersama air, sampai jauh. Kehidupan seperti mengalir air sungai itu. Mengalir terus, bergerak terus sampai berakhir di samudera.

   "Sin-ko, dengan melamun seperti itu mana bias kau memperoleh ikan?"

   Teguran dengan suara nyaring ini mengejutkan Han Sin dan menyeretnya kembali kepada kenyataan. Dia segera menoleh dan memandang pemuda remaja yang berdiri di depannya dan dia terpesona. Demikian tampan dan eloknya pemuda remaja itu, seperti seorang pangeran dalam dongeng, walaupun pakaiannya hanya sederhana.

   "Eh, Sin-ko. Apakah ada yang tidak benar dengan pakaianku?" Cu ian mengamati pakaiannya dan tidak menemukan sesuatu yang aneh.

   "Sian-te "., hampir aku tidak mengenalmu. Kau begitu. Kau begitu tampan, kau seperti """. seorang putera bangsawan tinggi. Eh, Sian-te, kau tentu seorang pengeran atau putera bangsawan tinggi"

   Cu Sian tersenyum dan Han Sin semakin kagum. Bukan main tampannya pemuda ini kalau tersenyum, pikirnya.

   "He-he, Sin-ko. Kau mimpi. Sudah kau ketahui bahwa aku cucu seorang ketua pengemis. Kalaupun aku pangeran, barangkali pangeran pengemis, putera dari raja pengemis, ha-ha-ha"

   Han Sin juga tertawa, dan dia menjadi tenang kembali. Hilang sudah pesona yang tadi sempat membuatnya tertegun "Ah, Sian-te, kalau saja aku ini seorang wanita, tentu aku sudah jatuh hati kepadamu"

   Cu Sian juga tertawa geli "Dan aku akan melarikan diri, seperti kau ketika melarikan diri dari keluarga gila yang hendak memaksamu kawin"

   "Uhhh. Kau anggap aku sama dengan gadis gila itu?"

   "Biarpun tidak gila, kau jauh lebih tua dariku. Sudahlah, simpan saja pujian itu untuk lain kali. Sekarang katakan bagaimana pendapatmu setelah aku mengenakan pakaian biasa? Kau tidak keberatan lagi melakukan perjalanan bersamaku?"

   "Aku tidak pernah merasa keberatan, Sian-te. Hanya canggung kalau kau menyamar sebagai pengemis. Kalau seperti ini, aku tidak ragu lagi, bahkan bangga mengaku kau sebagai adikku"

   "Sebagai adik, atau sebagai pengawalmu, Sin-ko?"

   "Pengawal?" Han Sin memandang wajah tampan itu penuh selidik.

   "Ya, pengawal. Tanpa pengawalanku, kau tentu akan menghadapi banyak bahaya dalam perjalanan. akan tetapi dengan adanya aku di dekatmu, jangan khawatir, Sin-ko. Aku yang akan membasmi semua halangan yang akan mencelakaimu" kata Cu Sian dengan sikap gagah.

   Han Sin tersenyum "Benar sekali, Sian-te. Kau ku anggap adikku, juga pengawal dan pelindungku. Akan tetapi aku pesan agar kau tidak terlalu keras hati sehingga dimana-mana kau menghadapi keributan dan perkelhian seperti yang terjadi dalam rumah makan itu"

   Cu Sian berdiri di depan Han Sin dan mengangguk sampai dalam seperti sikap seorang hamba terhadap majikannya "Baik, Sin-ko. Akan kulaksanakan perintahmu"

   Mau tidak mau Han Sin tertawa melihat sikap pemuda remaja itu. Hatinya merasa senang sekali. Cu Sian bagaikan sinar matahari yang membuat dunia nampak cerah dan indah. Sejak berpisah dari pemuda itu, hatinya selalu merasa tidak enak dan khawatir kalau-kalau sahabt muda ini akan teancam bahaya karena wataknya yang nakal dan terlalu berani.

   Maka diam-diam dia selalu membayanginya sehingga dia berhasil melindunginya ketika pemuda remaja itu terancam oleh Pak-Te-Ong. Setelah itu, dia sengaja menghadangnya, sambil memancing ikan dan menyanyikan sajak tadi. Kini, dia tidak perlu merasa khawatir lagi. Dengan melakukan perjalanan bersama, diam-diam dia dapat melindungi Cu Sian.

   "Nah, sekarang sebelum kita melanjutkan perjalanan, aku ingin mengetahui kemana kita akan pergi, sin-ko"

   "Seperti telah ku ceritakan kepadamu, Sian-te, aku hendak mencari pedang pusaka ayahku yang hilang ketika ayah memimpin pasukan di shansi utara. Karena aku tidak tahu persisi dimana pertempuran itu terjadi ketika itu, maka aku harus mencari keterangan di Tai-goan. Peristiwa itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu, maka untuk menyelidikinya hanya para pejabat tinggi di Tai-goan saja yang dapat memberi keterangan"

   "Jadi kita pergi ke Tai-goan sekarang? Hayo kita berangkat, Sin-ko" kata Cu Sian penuh semangat.

   "Ah, kau kelihatan amat bergembira, Sian-te. Ada apakah?"

   "Bagaimana hatiku tidak akan bergembira dapat melakukan perjalanan bersamamu, Sin-ko? Tadinya aku selalu mengkhawatirkan keselamatanmu. Untuk melakukan perjalanan berbahaya ini orang harus membekali dirinya dengan ilmu silat tinggi. Kau yang tidak memiliki itu, tentu setiap saat terancam bahaya. akan tetapi sekarang aku tidak khawatir lagi. Kau dekat dengan aku yang selalu dapat melindungimu"

   Han Sin tersenyum. Sungguh terdapat persamaan dalam hati mereka. Dia pun selalu mengkhawatirkan keselamatan pemuda remaja itu.

   Tiba-tiba mereka melihat sebuah perahu meluncur di atas air sungai, tidak terlalu jauh dari tepi sehingga mereka dapat melihatnya dengan jelas. Seorang pria muda mendayung perahu itu, seorang diri saja, akan tetapi perahu itu dapat meluncur cepat melawan arus.

   "Hemmm, dapat mendayung perahu melawan arus secepat itu menunjukkan bahwa orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali" kata Han Sin "Dia tentu seorang yang berkepandaian tinggi"

   Cu Sian memandang penuh perhatian. Orang yang mendayung itu seorang pemuda yang gagah, bertubuh tinggi besar dan kekar, kulit mukanya agak hitam, hidungnya besar, matanya lebar dan mulutnya juga lebar. Di punggungnya tergantung sebatang pedang bersarung indah.

   "Dia tentu bukan orang baik-baik" kata Cu Sian lirih, kemudian dia bangkit berdiri dari atas batu yang di dudukinya" Ah, aku ingat sekarang. Dia adalah pemuda sombong yang menghinaku di rumah makan tempo hari"

   Han Sin memperhatikan dan kini diapun teringat. Pemuda yang pernah rebut mulut dengan Cu Sian di rumah makan, yang mengatakan bahwa sepantasnya semua pengemis di basmi itu. Kini makin yakinlah dia bahwa pemuda tinggi besar itu tentu seorang yang berkepandaian tinggi.

   "Heiii""" Cu Sian berteraik kearah penunggang perahu itu, akan tetapi Han Sin menarik lengannya.

   "Sssttt, Sian-te. Biarkan dia berlalu, jangan mencari keributan di sini" tegurnya.

   "Akan tetapi si sombong itu ""

   "Sudahlah, perjalanan kita masih jauh, untuk apa mencari gara-gara? Dan ingat akan janjimu, katanya kau akan menaati semua perintahku"

   Cu Sian yang tadinya masih penasaran, kini tersenyum mengangguk "Baiklah, Sin-ko. Maafkan aku"

   "Nah, begitu baru namanya adik yang baik" kata Han Sin senang dan tersenyum.

   "Dan pengawal yang taat" sambung Cu Sian.

   Ke duanya tertawa lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke ke kota Taigoan yang dari situ terletak di Timur laut.

   ***

   Pada waktu itu, propinsi Shan-si merupakan daerah perbatasan paling utara dari Kerajaan Sui. Di sebelah utara Shan-si adalah daerah luas dan menjadi perebutan antara bangsa dan suku yang hidupnya mengembara tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Mereka adalah bangsa dan suku Tartar, Mongol, Merkit, Karait, Naiman dan Ugur serta masih banyak lagi suku-suku bangsa yang kecil. Para suku bangsa dari utara inilah yang oleh Kerajaan Sui dianggap sebagai ancaman dari utara sehingga di sepanjang perbatasan itu di bangun benteng pertahanan yang kokoh.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 10

   Propinsi Shan-si di pimpin oleh seorang gubernur atau kepala daerah yang telah memegang kedudukan itu sejak Kaisar Yang Chien masih hidup. Gubernur itu bernama Li Goan. Dia mempunyai lima orang anak laki-laki dan empat orang anak perempuan. Akan tetapi yang paling di sayangnya justeru puteranya yang dilahirkan oleh seorang selirnya, yaitu Puteri seorang kepala suku bangsa Turki. Puteranya itu bernama Li Si Bin dan memang putera inilah yang paling menonjol diantara saudara-saudaranya.

   Keadaan di utara selama ini tenang saja. Hal ini berkat hubungan baik antara Gubernur Li Goan dengan suku"suku bangsa di utara, terutama sekali dengan suku bangsa Turki yang di pimpin oleh keluarga isterinya, karena masih ada hubungan keluarga inilah maka banga Turki menghentikan gerakannya yang mengganggu keamanan perbatasan utara. Juga dengan suku-suku lain, Gubernur Li Goan mengambil sikap bersahabat sehingga orang-orang dari selatan dapat melakukan hubungan perdagangan dengan suku-suku bangsa itu tanpa ada gangguan.

   Gubernur Li Goan maklum bahwa kedudukannya sebagai kepala daerah di perbatasan utara itu merupakan kedudukan yang berbahaya. Dialah yang bertanggung jawab atas keamanan daerah itu, dan kalau sampai daerah itu di kuasai oleh suku asing, tentu kerajaan akan menyalahkan dia. Oleh karena itu, Gubernur Li Goan selalu memperkuat pasukannya untuk menjaga keamanan di daerahnya, walaupun perbatasan telah ada perbentengan Pasukan Sui yang menjaga. Dia memerlukan banyak pembantu yang pandai, maka hampir setiap tahun dia mengadakan pemilihan bagi tenaga-tenaga baru untuk di jadikan opsir-opsir atau tentara. Dia memberi kedudukan yang cukup tinggi sesuai dengan kepandaian masing-masing. Karena ini, dia berhasil menarik perhatian banyak tokoh persilatan yang ingin memperoleh kedudukan tinggi dalam pasukan gubernur itu.

   Dengan adanya banyak ahli silat yang berilmu tinggi menjadi perwira-perwira pasukan ayahnya, Li Si Bin yang sejak kecil gemar mempelajari ilmu silat itu, dengan mudah memperdalam ilmu silatnya dengan belajar dari para perwira itu. Bahkan lebih dari itu, pemuda ini sering berkelana mengunjungi gurun-gurun dan bukit-bukit sunyi di utara, menjumpai para pertapa sakti dan kalau menemukan seorang yang sakti dan ahli dalam ilmu silat, dia lalu menjadi muridnya. Dengan cara demikian, setelah dia menjadi seorang pemuda dewasa, dia telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Selain ilmu silat, Li Si Bin juga mempelajari ilmu perang dan sastra.

   Gubernur Li Goan yang merasa bangga akan kelihaian puteranya, lalu menyerahkan kepada Li Si Bin bilamana diadakan pemilihan perwira. Pemuda itulah yang mengatur ujian bagia para peserta. Dan sejak Li Si Bin yang mengatur ujian, jaranglah ada calon yang berhasil di angkat menjadi perwira. Kebanyakan hanya berhasil lulus sebagai tentara saja karena untuk menjadi perwira, syaratnya amat berat dan harus memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi kalau ada yang lulus, tentulah dia menjadi seorang perwira yang gagah perkasa dan dapat diandalkan.

   Pada suatu pagi, dua orang pemuda tampan memasuki pintu gerbang kota Taigoan. Mereka in iadalah Cian Han Sin dan Cu Sian. Setelah melakukan perjalanan berhari-hari lamanya, meninggalkan Huang-ho menuju ke timur, sampailah mereka berdua di kota terbesar di daerah Shan-si itu.

   Begitu memasuki kota Taigoan mereka sudah melihat keadaan yang ramai seolah-olah di kota itu sedang diadakan pesta. Cu Sian bertanya kepada seorang dengan bahasa daerah utara dengan lancar sehingga diam-diam Han Sin kagum sekali. Agaknya sahabat mudanya ini mengenal pula bahasa daerah utara. Mereka mendapatkan penjelasan orang itu bahwa di lapangan depan gedung Gubernur memang sedang di adakan semacam pesta, yaitu ujian bagi mereka atau tentara.

   "Ah, paman. Tontonan apa saja yang di adakan di sana?" Tanya Cu Sian, sementara itu Han Sin hanya mendengarkan dan memandang sahabatnya yang kelihatan gembira sekali.

   "Tentu saja seperti biasa, ada pertunjukan kekuatan, keahlian menunggang kuda dan memanah, dan yang terakhir pertunjukkan ilmu silat. Bagi mereka yang ingin menjadi perwira harus bertanding melawan Li-Kong-cu sebagai pengujinya.

   Sepasang mata Cu Sian bersinar-sinar dan Han Sin memaklumi hal ini. Semua pendekar tentu saja gembira mendengar akan ada pertunjukkan ilmu silat. Dia sendiri pun tertarik.

   "Siapa sih Li-kongcu itu?" Cu Sian bertanya.

   "Hemm, tentu ji-wi (Kalian berdua) datang dari jauh sekali maka tidak mengenal Li Kong-cu" kata orang itu "Kalau ji-wi tinggal di daerah Shan-si tentu sudah mengenal atau setidaknya mendengar nama ini. Li Kong-cu adalah seorang pemuda yang paling hebat dan paling tangguh ilmu silatnya akan tetapi paling popular dan dekat dengan rakyat jelata. Dia adalah putera Kepala Daerah Shan-si, yaitu Gubernur Li Goan"

   "Wah, tentu ramai sekali. Sin-ko, kita harus nonton pertunjukkan itu" kata Cu Sian gembira, lalu tanpa menanti jawaban sahabatnya, dia sudah menarik tangan Han Sin di ajak pergi kearah lapangan seperti yang di tunjukkan orang tadi. Han Sin tersenyum dan menurut saja. Kalau sedang bergembira seperti itu, Cu Sian sungguh kelihatan seperti seorang kanak-kanak. Selama melakukan perjalanan bersama Cu Sian, dia semakin tidak mengerti akan sikap Cu Sian yang suka berubah-ubah. Kadang begitu akrab, akan tetapi kadang-kadang juga seperti orang asing baginya. Selama dalam perjalanan itu, Cu Sian tidak pernah mau tidur dekat dengannya. Juga kalau membersihkan badan di sumber air atau anak sungai, selalu dia ingin menyendiri dan mencari tempat yang agak jauh. Tingkahnya kadang-kadang seperti seorang kanak-kanak yang manja dan mudah tersinggung. Maka ketika diajak nonton pertunjukkan itu, dia tidak membantah karena bantahan hanya akan membuat pemuda remaja itu ngambek.

   Ketika mereka tiba di lapangan rumput yang luas, di depan sebuah bangunan besar, mereka mendengar tambun dan gendering di pukul orang sehingga suasana menjadi ramai meriah. Ratusan orang sudah berkumpul untuk menonton. Akan tetapi tempat itu dilingkari tali karena untuk ujian itu di butuhkan tempat yang luas. Di tengah-tengah lapangan terdapat sebuah panggung dari papan setinggi dua meter.

   Di dekat panggung itu terdapat dua kelompok orang. Mereka semua adalah orang-orang muda yang gagah. Kelompok pertama terdiri dari seratus orang lebih, sedangkan kelompok kedua hanya ada dua belas orang. Setelah bertanya-tanya, Cu Sian mendapat keterangan dari seorang penonton bahwa kelompok besar itu adalah mereka yang ingin menempuh ujian sebagai tentara, sedangkan kelompok kecil itulah calon-calon perwira.

   Tiba-tiba Cu Sian memegang lengan Han Sin, kuat sekali sehingga Han Sin terkejut dan memandang kepadanya. sahabatnya itu sedang memandang kearah tengah lapangan dimana dua kelompok calon itu berkumpul dekat panggung maka diapun memandang ke sana. Setelah memandang dengan teliti barulah dia tahu mengapa sahabatnya mencengkram lengannya demikian kuatnya. Ternyata di dalam kelompok duabelas orang itu terdapat pemuda tinggi besar yang sudah dua kali mereka lihat. Pertama di dalam rumah makan ketika pemuda itu rebut mulut dengan Cu Sian, dan kedua kalinya ketika mereka berdua melihat pemuda itu mendayung perahu melawan arus.

   "Dia ada di sini" bisik Cu Sian demikian sungguh-sungguh sehingga Han Sin menjadi geli.

   "Kalau di sini mau apa?" katanya tersenyum "Tenanglah, Sian-te. kita lihat saja sampai dimana kelihaian pemuda itu nanti"

   Cu Sian mengangguk, akan tetapi alisnya berkerut "Hemm, aku ingin menandinginya dalam ujian ini" bisiknya.

   "Hushh, apa-apaan kau ini? apakah kau ingin masuk menjadi perwira di Shan-si?"

   "Tidak, aku hanya ingin mengukur kepandaian orang sombong itu"

   "Ingat, Sian-te, kita ini hanya penonton saja. Jangan membikin rebut di sini. Apalagi aku membutuhkan bantuan Gubernur Li. Ibuku berpesan agar aku menghadap Gubernur Li dan minta keterangan darinya. Siapa tahu dia akan dapat memberi banyak keterangan tentang kematian ayahku, karena menurut ibuku, Gubernur Li adalah seorang sahabat baik mendiang ayah"

   "Hemmm, baiklah, Sin-ko"

   Ratusan orang yang menjadi penonton dan yang tadi ramai saling bercakap sendiri, tiba-tiba menjadi diam ketika ujian itu di mulai.

   Ujian bagi para calon tentara tidaklah terlalu menarik bagi Han Sin dan Cu Sian. Ujian itu hanyalah ujian tenaga mengangkat sebuah arca singa dari batu, kemudian ujian memanah orang-orangan dari jerami dalam jarak seratus li, kemudian ujian ilmu silat yaitu setiap orang calon di haruskan memainkan ilmu silatnya menggunakan senjata golok atau tombak. Hampir seluruh calon lulus dengan baik. Agaknya para penonton juga tidak begitu memperhatikan ujian bagi para calon tentara ini karena merekapun ingin sekali nonton ujian bagi calon perwira yang lebih seru.

   Akhirnya, setelah calon tentara sudah di uji semua dan lulus lalu di kumpulkan dan di ajak masuk rumah gedung lewat jalan samping untuk di daftar sebagai tentara, maka ujian perwira di mulai. Dua belas orang calon itu di uji satu demi satu. Mula-mula mereka di haruskan melompat ke atas panggung yang dua meter tingginya itu. Di atas panggung sudah tersedia sebuah busur yang besar dan berat dan mereka di haruskan menggunakan busur itu untuk memanah orang-orangan dari jerami dalam jarak dua ratus kaki. Singa batu yang tadi di angkat oleh para calon tentara juga sudah di taruh di panggung dan para calon perwira di haruskan mengangkat arca singa itu dan melemparkannya ke atas dan di terima lagi dengan tangan. Setelah itu mereka di haruskan menunggang kuda sambil melepaskan anak panah pada orang-orangan jerami dalam jarak lima puluh kaki. Setelah semua itu lulus, barulah si calon akan di uji oleh Li Kong-cu sendiri dengan bertanding ilmu silat.

   Satu demi satu maju untuk menempuh ujian itu. Akan tetapi ternyata bahwa ujian itu amat berat. Delapan orang dari mereka gugur. ada yang gagal baru dalam babak kedua ketika menggunakan busur yang berat itu untuk memanah orang-orangan jerami. Ada pula yang gugur ketika melemparkan arca singa dan menerimanya kembali, karena mereka tidak kuat dan terpaksa melepaskan singa itu. Ada pula yang gugur ketika menunggang kuda sambil melepaskan anak panah. Tiga orang dari mereka, dengan susah payah, berhasil lulus, tinggal menanti ujian ilmu silat dan mereka di persilahkan menunggu di sudut panggung. Orang kesebelas adalah pemuda tinggi besar yang selalu diperhatikan Cu Sian.

   Ketika orang ini melompat ke atas panggung, jelas kelihatan bahwa dia memiliki gin-kang yang jauh lebih baik daripada para peserta lainnya. Dia melompat tinggi, jauh lebih tinggi dari panggung itu dan berjungkir balik dua kali baru turun ke atas panggung tanpa mengeluarkan suara ketika kakinya menginjak panggung, seolah tubuhnya itu ringan sekali. Tentu saja lompatan istimewa ini mendapat sambutan paling meriah dari para penonton.

   "Huh, lompatan begitu saja apa artinya?" Cu Sian mengomel tak senang melihat orang yang tidak di sukainya itu mendapat sambutan dan pujian begitu meriah.

   Peserta terakhir itu lalu berjalan dengan lenggang seperti harimau menghampiri busur dan anak panah yang berada di atas meja. Tiga orang peserta yang berhasil tadi, ketika menarik busur melepaskan anak panah kelihatan berat sekali dan mereka mengerahkan seluruh tenaga mereka. Akan tetapi peserta terakhir dengan mulut tersenyum memasang anak panah pada busur berat dan berat itu dengan sekali tarik dengan seenaknya, dia telah berhasil membuat busur itu melengkung dan ketika dia melepaskan anak panah, anak panah itu meluncur bagaikan kilat kearah orang-orangan dari jerami dan menembus badan orang jerami itu, bahkan setelah menembus masih melayang cukup jauh. Sorak sorai menggegap gempita menyambut pameran memanah yang istimewa itu. Tak dapat di ragukan lagi, pemuda tinggi besar itu memiliki tenaga yang hebat.

   Pemuda itu tersenyum bangga dan mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat agar semua orang tidak membuat gaduh. Kemudian dia menghampiri singa batu dan semua orang mengikuti gerak geriknya tanpa berkedip. Pemuda itu memegang singa batu dengan kedua tangan lalu mengangkatnya ke atas, melemparkannya dan menerimanya kembali sampai tiga kali, kelihatan demikian ringannya. Kembali orang-orang bersorak sorai dan bertepuk tangan.

   "Huh, apa sih anehnya pertujunkkan seperti itu? Sombongnya" Cu Sian mendengus marah sehingga Han Sin menoleh kepadanya dan tersenyum.

   "Sian-te, kau lihat? Orang itu boleh juga" kata Han Sin "Tenaganya seperti gajah. Dia pasti lulus dengan baik"

   Mendengar ini, Cu Sian menjadi semakin gemas "hemm, apa hebatnya semua itu? Permainan anak kecil"

   "Sssttt, lihat, Sian-te, lihat gayanya menunggang kuda" bisik Han Sin.

   Peserta terakhir itu sudah meloncat ke atas punggung kuda yang disediakan untuk ujian itu sambil membawa busur dan anak panah. Kuda dibalapkan kearah orang-orangan jerami dan setelah jaraknya lima puluh kaki seperti telah ditentukan dia melepas anak panah yang menyambar cepat dan menancap tepat di ulu hati orang-orangan itu. Kembali para penonton menyambut dengan tepuk tangan. Tak usah di sangsikan lagi, peserta terakhir ini lulus dengan baik dan diapun dipersilahkan berkumpul dengan tiga orang yang lain di sudut panggung.

   Seorang yang berpakain perwira dan menjadi juru bicara, melangkah ke tengah panggung dan mengangkat kedua tangan, suaranya terdengar lantang sekali "Para penonton harap jangan gaduh. Sekarang ujian ilmu silat akan dimulai. Empat orang yang telah lulus dan akan menghadapi ujian ilmu silat, peserta pertama di minta maju"

   Peserta pertama itu seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun dan dia melangkah maju ke tengah lapangan, siap menghadapi ujian.

   Semua penonton kini nampak gembira dan kagum karena dari bawah panggung melompat seorang pemuda yang amat gagah dan tampan. Pemuda ini masih muda sekali, paling banyak delapan belas tahun usianya akan tetapi tubuhnya tegap dan dadanya bidang, sepasang matanya mencorong seperti mata naga. Pakaiannya dari sutera, akan tetapi tidak terlalu mewah dan pakaian itu ringkas. Begitu dia berada di atas panggung, terdengar orang-orang berseru.

   "Hidup Li-kongcu """""

   Han Sin dan Cu Sian memperhatikan ketika mendengar orang menyebut pemuda itu Li Kong-cu. Jadi pemuda itulah putera Gubernur Li. Mengapa pakaiannya tidak mewah dan mentereng? Juga sikapnya sederhana sehingga mendatangkan rasa kagum dalam hati Han Sin dan Cu Sian.

   Pemuda itu memang Li Si Bin atau lebih dikenal dengan sebutan Li-Kongcu (Tuan muda Li) oleh rakyat. Ketika die mendengar teriakan menyambutnya, dia lalu menghadapi penonton dan membungkuk sambil berkata "Harap saudara sekalian menonton dengan tenang. Ini bukan pertandingan, melainkan ujian bagi calon perwira"

   Suaranya nyaring namun lembut dan mendengar ucapannya itu, semua penonton diam. Han Sin juga dapat merasakan suatu wibawa yang besar terkandung dalam suara itu. Dia semakin kagum. Pemuda ini sungguh bukan orang biasa. Gerak geriknya demikian matang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, wibawanya amat besar.

   Kini Li Si Bin berhadapan dengan peserta pertama yang bertubuh pendek tegap "Saudara menghendaki ujian tangan kosong atau kah senjata? Silahkan pilih" terdengar Li Si Bin bertanya ramah. Sama sekali tidak nampak sikap congkak seperti layaknya putera bangsawan tinggi.

   Peserta pendek itu memberi hormat. Agaknya dia adalah orang daerah Shan-si yang sudah tahu dengan siapa dia berhadapan" Saya bertangan kosong saja, kong-cu"

   "Baiklah, mudah-mudahan kau berhasil" kata Li Si Bin, lalu setelah melihat peserta itu memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, dia berseru" Lihat seranganku"

   Li Si Bin menyerang dengan tamparan tangannya ke arah pundak lawan. Peserta pendek itu cepat mengelak dan membalas dengan tendangan kakinya. Akan tetapi Li Kong-cu dapat pula menangkis tendangan itu dan melancarkan serangan kedua. Kedua orang ini sudah cepat saling menukar serangan.

   Sementara itu, Cu Sian sibuk bertanya kepada seorang penonton yang berdiri di sebelahnya tentang peraturan ujian ilmu silat itu.

   "Yang kalah sebelum dua puluh lima jurus dinyatakan gagal dan harus di terima sebagai prajurit kelas satu. Yang dapat melampaui dua puluh lima jurus akan tetapi tidak sampai empat puluh jurus akan di angkat menjadi seorang perwira, yang mampu bertahan sampai empat puluh jurus akan tetapi tidak melampaui lima puluh jurus menjadi perwira yang lebih tinggi kedudukannya, akan tetapi yang mampu bertahan sampai lima puluh jurus lebih, diberi kedudukan perwira yang paling tinggi. Akan tetapi selama dua tahun ini, tidak ada peserta yang mampu bertahan sampai lebih dari lima puluh jurus melawan Li Kong-cu"

   Cu Sian mengangguk-angguk dan kembali melihat ke atas panggung. Dia kagum sekali melihat gerakan Li Si Bin. Jelas bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang hebat, akan tetapi putera gubernur itu membatasi tenaga dan kecepatannya. Agaknya dia memberi kelonggaran kepada lawannya karena menurut perhitungan Cu Sian, kalau Li kong-cu itu menghendaki ,dalam sepuluh jurus saja peserta pendek itu akan terjungkal. Dugaan Cu sian memang benar, Li Kong-cu memberi kelonggaran, akan tetapi tidak lebih dari dua puluh empat jurus. Pada jurus ke dua puluh empat, tiba-tiba saja peserta pendek itu terkulai roboh, cepat Li Kong-cu menjulurkan tangan kanannya, memegang tangan orang itu dan mengangkatnya bangun. Dia tersenyum ramah ketika berkata "sayang kau gagal. Akan tetapi dengan bekal tenaga dan kepandaianmu, kalau kau mau masuk menjadi prajurit kelas satu, dalam waktu singkat kau tentu akan memperoleh kenaikan pangkat asal kau suka berlatih dengan baik"

   Peserta pendek itu memberi hormat. Dia tidak nampak terpukul perasaannya karena di kalahkan Li Kong-cu, bahkan sikap Li Kong-cu yang demikian ramah dan baik, membuat dia menjawab dengan suara tegas "Saya mau menjadi prajurit, kong-cu, dengan harapan mendapat petunjuk kong-cu untuk memperoleh kemajuan"

   Peserta pertama mundur di gantikan peserta kedua yang seperti juga peserta pertama, memilih bertanding dengan tangan kosong. Akan tetapi, tidak seperti peserta pertama, pserta kedua yang bertubuh jangkung kurus ini ternyata memiliki sin-kang yang cukup kuat dan juga ilmu silatnya tanggung sekali. Cu Sian yang memperhatikan gerakan Li Kong-cu, mendapat kenyataan bahwa pemuda bangsawan itu menambah takaran tenaga dan kecepatannya, namun sampai lewat dua puluh lima jurus si jangkung itu masih bertahan dan akhirnya dia tertotok lemas dalam jurus ke tiga puluh. Dia lulus sebagai perwira pertama dan juga seperti perserta pertama dia di kalahkan tanpa menderita luka dan Li Kong-cu bersikap bersahabat dengannya. Maka, peserta ini pun tidak menderita malu dan dia lalu mengundurkan diri setelah mengucapkan terima kasih.

   Peserta ke tiga adalah seorang pemuda berusia hampir tiga puluh tahun, berkumis dan perawakannya sedang saja, namun dari gerak geriknya jelas nampak oleh Cu Sian bahwa peserta ke tiga ini lebih lihai dari pada dua peserta terdahulu. Dugaannya tepat karena setelah mereka bergebrak, pertandingan kini berjalan dengan ramai dan seru. Peserta ke tiga dapat mengimbangi gerakan Li Kong-cu sehingga penonton memandang dengan gembira dan dengan hati tegang.

   Akan kalahkah jago mereka, yaitu Li Kong-cu? Akan tetapi Cu Sian dengan kagum dapat menilai gerakan mereka berdua dan dia tahu bahwa Li Kong-cu tidak akan dapat di kalahkan orang itu. Perhitungannya memang tepat. Peserta ketiga ini memang lihai dan mampu bertahan sampai lima puluh jurus. Akan tetapi tetap saja dia harus mengakui ke unggulan Li Kong-cu karena dalam jurus ke lima puluh lima, dia pun terpelanting jatuh. Walaupun dia tidak menderita luka, tetap saja kejatuhannya sudah menunjukkan bahwa dia memang kalah. Li kong-cu nampak gembira sekali. Dia mengangkat bangun peserta itu dan memberinya kedudukan perwira menengah, tidak seperti dua orang peserta terdahulu yang mendapatkan kedudukan perwira rendah.

   Kini peserta ke empat yang maju. Cu Sian yang tidak senang melihat pemuda tinggi besar yang di anggapnya sombong itu memandang dengan mata bersinar-sinar. Dia melihat betapa pemuda tinggi besar itu menghadapi Li Kong-cu dengan lagak yang angkuh, tidak mau tunduk.

   Li Si Bin hanya tersenyum melihat lagak pemuda tinggi besar itu dan setelah mereka berdua mengangkat kedua tangan depan dada sebagai salam, Li Si Bin bertanya "Sobat, kau memilih ujian silat dengan senjata apa?"

   Berbeda dengan tiga orang peserta yang memilih di uji ilmu silat tangan kosong, pemuda tinggi besar itu menjawab lantang "Setiap orang pendekar sejati tidak akan pernah melepaskan pedangnya, demikian pula seorang panglima harus pandai menggunakan berbagai macam senjata. Aku memilih pedang untuk bertanding ilmu"

   Setelah berkata demikian, si tinggi besar itu menggerakkan tangan kanannya ke belakang punggung dan "sing """" dia telah memegang sebatang pedang yang berkilauan.

   Para penonton memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang, akan tetapi Li Si Bin masih tersenyum dengan tenang. Sementara itu Cu Sian sudah tidak mampu menahan kemarahannya melihat sikap congkak itu. Dia tahu bahwa Li Si Bin adalah seorang yang bijaksana. Ketika mengalahkan tiga orang lawannya tadi saja sudah menunjukkan bahwa dia seorang yang rendah hati dan baik budi. Kini melihat si congkak itu mencabut pedang yang berkilauan, dia merasa khawatir akan keselamatan putera gubernur itu. Tanpa dapat di cegah Han Sin yang sama sekali tidak menduganya, Cu Sian sudah melompat memasuki batas tali, kemudian dengan mengerahkan ginkangnya dia melompat tinggi dan membuat poksai (salto) sampai tiga kali baru turun ke atas panggung dengan ringan sekali.

   Tentu saja perbuatannya itu mengejutkan semua orang, dan Li Si Bin sendiri memandang dengan heran.

   "Siapakah kau dan apa artinya kau naik ke atas panggung ini?" tanya Li Si Bin sambil memandang tajam, suaranya penuh wibawa. Sementara itu Han Sin terkejut sekali karena dia dapat menduga bahwa sahabatnya itu tentu akan menimbulkan keributan. Akan tetapi sudah terlambat dan dia tidak dapat berbuat lain kecuali menonton dengan hati tegang dan khawatir.

   Cu Sian mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat kepada putera gubernur itu lalu berkata "Maafkan aku, kong-cu. Karena ku lihat kong-cu sudah melayani bertanding sampai tiga kali berturut-turut, maka perkenankanlah aku untuk mewakili kongcu dalam pertandingan ini. Dengan melihat jalannya pertandingan antara orang sombong ini dan aku, tentu kong-cu sudah dapat menilai apakah dia pantas di terima ataukah tidak"

   Li Si Bin menjadi tertarik sekali. Belum pernah dia melihat seorang pemuda remaja yang tampan dan halus seperti ini memperlihatkan keberanian yang luar biasa. Dia ingin sekali melihat bagaimana lihainya pemuda ini, maka sambil tersenyum dia menoleh kepada peserta ke empat yang tinggi besar itu.

   "Tentu saja aku tidak keberatan dan pertandingan itu tentu akan menarik sekali dan menambah semaraknya ujian ini. Akan tetapi entah bagaimana dengan pendapat peserta keempat ini"

   Pemuda tinggi besar itu mengerutkan alisnya karena dia tidak mengenai Cu Sian, lalu menjawab ucapan Li Si Bin, dia berkata dengan lantang "Li Kong-cu, saya tidak takut menghadapi siapapun juga, akan tetapi yang berhak naik ke panggung adalah mereka yang lulus ujian yang telah di tetapkan. Karena itu, saya ingin melihat apakah bocah ini mampu melakukan syarat yang telah di tentukan. Kalau dia dapat melakukan itu semua dengan baik, baru dia ada harganya untuk menguji ilmu silat saya. Kalau tidak, sebaiknya kong-cu melemparkan bocah pengacau ini keluar panggung"

   Li Si Bin menoleh kepada Cu Sian sambil tersenyum "Apa sih sukarnya melakukan itu semua? Aku dapat memenuhi persyaratan itu jauh lebih baik daripada yang dia lakukan tadi"

   Mendengar ini, Li Si Bin lalu berkata "Baiklah, sekarang ditetapkan begini. Saudara ini akan memenuhi semua persyaratan, yaitu ujian tenaga dan ketangkasan, kemudian kalau dia lulus, kalian berdua akan saling menguji ilmu silat. Bagaimana, apakah kalian berdua setuju?"

   Pemuda tinggi besar itu menjawab hampir berbareng dengan jawaban Cu Sian "Aku setuju"

   Li Si Bin lalu meninggalkan panggung dan duduk di kursinya, sedangkan pemuda tinggi besar itu berkata mengejek "Bocah pengacau, sekarang perlihatkan kemampuanmu, hendak kulihat apakah kemampuan tenaga dan kecekatanmu sama besarnya dengan mulutmu" Setelah berkata demikian, diapun mundur dan berdiri di sudut panggung sambil bertolak pinggang dan mulutnya tersenyum mengejek.

   Cu Sian kini menghadapi penonton dan tersenyum geli ketika dari situ dia melihat wajah Han Sin yang kerut merut dan matanya melotot kepadanya.

   "Saudara sekalian, saudara yang menjadi saksi apakah saya dapat lulus lebih baik daripada manusia sombong ini ataukah tidak. Pertama, melompat ke panggung. Tadi sudah kulakukan dan semua orang telah menyaksikannya. Sekarang akan kulakukan ujian kedua, memanah dengan busur itu. Silahkan kalian semua melihat"

   Dengan langkah gagah Cu Sian menghampiri meja dan mengambil busur yang besar dan berat itu. Para penonton melihat betapa pemuda remaja yang bertubuh kecil dan gerak geriknya halus itu mengerahkan tenaga pada kedua tangannya untuk mengangkat busur itu. Pemuda tinggi besar itu tertawa terkekeh melihat ini dan para penonton juga mengerutkan alis karena kecewa. Bagaimana mungkin pemuda itu mampu memanah orang jerami yang jauh itu dengan busur yang demikian beratnya? Mengangkat busur itu saja dia harus menggunakan kedua tangannya.

   Semua penonton memandang dengan hati tegang dan suasana menjadi hening sekali. Ketika Cu Sian menahan busur dengan tangan kirinya lalu mengambil tiga batang anak panah, memasang tiga batang anak panah itu kepada busurnya, semua orang mulai terbelalak. Cu Sian lalu memasang kuda-kuda, mengangkat kaki kiri tinggi lalu di langkahkan ke depan lebar-lebar, membentuk pasangan kaki menunggang kuda, kemudian dia mementangtali busur sepenuhnya.

   "Kena" serunya sambil melepas anak panah. Tiga batang anak panah itu menyambar ke depan secepat kilat dan menancap di orang jerami itu, tepat mengenai leher, dada dan pusar.

   "Ahhhh "" Penonton berseru dan meledaklah sorak sorai dan tepuk tangan mereka. Kiranya ketika mengangkat busur dengan kedua tangannya, Cu Sian hanya berpura-pura saja. Dan tentu hebat dan menganggumkan. Li Si Bin sendiri sampai bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan mata bersinar-sinar. Bukan main pemuda remaja itu pikirnya. Melepas tiga batang anak panah dengan sekali luncuran merupakan ilmu memanah tingkat tinggi. Di daerah Shansi ini mungkin hanya dia seorang yang mampu melakukannya.

   Han Sin yang tadinya marah dan gelisah melihat ulah sahabatnya itu, juga merasa amat kagung. Tak di sangkanya bahwa Cu Sian memiliki ilmu memanah yang demikian hebat dan melihat semua orang bersorak dan bertepuk tangan, tak dapat di tahannya lagi diapun ikut"ikutan bertepuk tangan.

   Kegaduhan penonton itu tiba-tiba berhenti dan suasana menjadi sunyi kembali ketika semua orang melihat pemuda remaja itu kini menghampiri singa batu yang berada di sudut panggung. Cu Sian mengangkat singa batu itu dengan sebelah tangan saja, lalu melontarkan ke atas, tinggi dan menerimanya kembali lalu melontarkan kembali lagi sampai lima kali. yang hebat, pada lemparan terakhir, ketika singa batu itu meluncur turun, bukan di sambut dengan tangannya melainkan dengan kepalanya. Dengan menggunakan tenaga lembut, kepala itu menempel singa batu dari samping lalu membuat gerakan melengkung ke bawah lalu ke kiri sehingga daya luncur singa batu itu dapat di salurkan ke atas dan hilang. Beberapa saat lamanya singa batu itu tertahan di atas kepala Cu Sian, baru di ambil oleh kedua tangan dan di turunkan di atas panggung.

   Sorak sorai menyambut demonstrasi yang luar biasa ini dan tanpa di ucapkan dengan suara, semua orang juga sudah tahu bahwa apa yang diperlihatkan pemuda remaja ini jauh lebih hebat daripada apa yang tadi dipamerkan pemuda tinggi besar.

   Cu Sian tersenyum, mengangguk kepada penonton di empat penjuru lalu tiba-tiba tubuhnya melayang turun dan tahu-tahu dia sudah berada di atas punggung kuda, di atas mana telah tersedia anak panah dan busurnya. Cu Sian menggeprak kuda itu sehingga kuda berlari congklang menuju ke orang jerami. Dalam jarak lima puluh kaki, tiba-tiba Cu Sian melompat dan berdiri di atas punggung kuda yang berlari itu, dan anak panahnya dengan tepat menancap di dada orang jerami.

   Kembali penonton menyambut dengan gembira. Cu Sian lalu melompat lagi ke atas panggung dan menghadapi si pemuda tinggi besar sambil tersenyum-senyum.

   "Nah, semua persyaratan telah ku penuhi, bukan? sekarang kita harus saling menguji ilmu silat dan aku ingin sekali melihat apakah ilmu silatmu setingkat dengan kesombonganmu"

   Pemuda tinggi besar itu berseru "Bagus. Keluarkan senjatamu aku akan menggunakan pedangku ini" Pemuda itu kembali mencabut pedang yang tadi sudah di simpannya kembali "Hemmm, aku menghadapimu tidak perlu aku mengggunakan senjata yang tajam dan runcing. Cukup sebatang tongkat saja. Eh, Sin-ko, tolong carikan sebatang tongkat untukku" Dia berteriak ke arah Han Sin. Pemuda itu bersungut-sungut. Ulah Cu Sian mendatangkan kekhawatiran dalam hati Han Sin, kalau-kalau ulah itu akan menggagalkan niatnya bertemu dengan gubernur Li dan minta keterangan tentang ayahnya. Akan tetapi sebelum dia menanggapi permintaan Cu Sian, seorang perwira atas perintah Li Si Bin sudah naik ke panggung dan menyerahkan sebatang toya. Toya itu merupakan senjata tongkat yang terbuat daripada besi.

   "Terima kasih, ciangkun. Aku hanya membutuhkan sebatang tongkat bambu atau kayu saja, yaitu tongkat pemukul anjing. Kalau menggunakan toya ini, anjing yang ku pukul bisa mati"

   Tentu saja ucapan ini merupakan ejekan dan sekaligus makian terhadap pemuda tinggi besar yang di anggapnya sebagai anjing yang layak di pukul. Para penonton merasakan hal ini dan mereka semua tertawa. Seorang penonton kebetulan melihat sebatang bambu di bawah lalu di ambilnya bambu itu dan di lemparkannya ke atas panggung.

   Cu Sian menyambut bambu itu dan memutarnya dengan tangan kanan, menghadapi pemuda tinggi besar sambil berkata" Nah, inilah senjataku"

   Sebelum mereka bergerak saling serang, Li Si Bin berseru dari bawah panggung, suaranya terdengar gembira karena peristiwa ini sungguh belum pernah terjadi dan membuat penyelenggaraan ujian pemilihan perwira yang menjadi meriah "Kedua orang saudara yang hendak bertanding, di minta memperkenalkan diri masing-masing"

   Cu Sian segera menyambut seruan ini dengan suara lantang sambil melintangkan tongkat bambunya di depan dada "Aku bernama Cu Sian dari Tiang-an"

   "Saya bernama Bong Sek Toan, dari Nan-king" pemuda tinggi besar itu berseru pula dengan suaranya yang mengguntur dari Tiang-an dan Nan-king, suasana menjadi semakin ramai karena para penonton mengerti bahwa dua orang muda itu datang dari luar daerah Shansi.

   "Sekarang kalian mulailah" seru Li Si Bin "akan tetapi ingat bahwa pertandingan ini hanya untuk menguji kepandaian silat, bukan perkelahian"

   Cu Sian tersenyum memandang lawannya lalu berkata "Orang she Bong, sudah siapkah kau untuk di pukul dengan tongkatku"

   Sejak tadi pemuda tinggi besar bernama Bong Sek Toan itu sudah merasa panas hatinya dan marah bukan main. Dia merasa di pandang rendah dan dipermainkan pemuda remaja itu. Akan tetapi agaknya diapun maklum bahwa pemuda remaja yang ugal-ugalan itu merupakan seorang lawan tangguh, dapat di lihat dari cara dia memperlihatkan tenaga dan kecepatannya tadi.

   "Sambut pedangku ini" katanya dan menyerang dengan dahsyat sekali.

   Bagaimanapun juga dia merasa lebih untung karena dia memegang sebatang pedang sedangkan lawannya hanya memegang sebatang tongkat bambu.

   Akan tetapi dengan gerakan yang gesit sekali Cu Sian dapat mengelak dan diapun menggerakkan tongkatnya menotok kearah pinggang lawan. Bong Sek Toan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga, bermaksud untuk mematahkan tongkat itu, akan tetapi tongkat itu hanya terpental dan sama sekali tidak menjadi rusak oleh pedang yang tajam itu. Segera terjadi serang menyerang yang amat seru. Biarpun kalah untung dalam hal senjata, namun Cu Sian dapat mengimbangi lawannya dengan kecepatan gerakannya. Tubuhnya berkelebat diantara sinar pedang dan ujung tongkat bambunya menotok ke tempat berbahaya sehingga Bong Sek Toan tidak mampu mendesak lawannya itu.

   Saling serang sudah berlangsung tigapuluh jurus lebih dan belum ada diantara mereka mereka yang terdesak. Tiba-tiba Bong Sek Toan mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya berputar menyambar-nyambar kearah tubuh bagian atas dari lawannya. Hebat bukan main serangan ini, bagaikan gelombang samudera yang menerjang kearah Cu Sian. Pemuda remaja inipun terkejut dan maklum akan hebatnya serangan pedang, maka diapun bergulingan di atas papan panggung sehingga pedang itu menyambar-nyambar di atas tubuhnya. Dari bawah, tongkat Cu Sian mengirim serangan balasan ke arah kaki dan perut. Dengan perlawanan seperti ini, terpaksa Bong Sek Toan mengubah lagi gerakan pedangnya. Diam-diam dia terkejut sekali. Ternyata tongkat bambu yang di pandang rendah itu merupakan senjata istimewa di tangan lawannya. Sebaliknya, Cu Sian juga terkejut. Tak di sangkanya bahwa lawannya yang di anggap sombong itu ternyata tangguh bukan main. Keduanya mengeluarkan seluruh kemampuan dan mengerahkan seluruh tenaga sehingga pertandingan itu berlangsung seru, bukan lagi merupakan pertandingan menguji ilmu, melainkan perkelahian yang sungguh-sungguh untuk merobohkan lawan. Jurus"jurus terampuh dari mereka dikeluarkan.

   Penonton menahan napas menyaksikan pertandingan yang amat seru itu. Li Si Bin sendiripun sampai bangkit dari kursinya. Dia merasa girang dan juga khawatir. Girang karena dia merasa mendapatkan dua orang calon perwira yang akan menjadi pembantu-pembantu yang boleh diandalkan. Akan tetapi khawatir karena pertandingan itu menjadi sungguh-sungguh menjadi perkelahian untuk saling bunuh.
Yang merasa amat kaget dan heran adalan Cian Han Sin. Ketika Bong Sek Toan mengeluarkan ilmu pedang mendesak Cu Sian dengan jurus yang seperti gelombang, dia segera mengenal ilmu pedang itu. Bahkan semua gerakan ilmu silat Bong Sek Toan itu tidak asing baginya karena bersumber pada ilmu silat Lo-hai-kun. Pada hal ilmu silat Lo-hai-kun (Silat Pengacau Lautan) adalah ilmu ibunya yang pernah diajarkan kepadanya. Berarti masih ada hubungan antara orang bernama Bong Sek Toan ini dengan ibunya.

   "Haiiii" Tongkat di tangan Cu Sian bergerak seperti ular dan mematuk"matuk ke arah kedua mata lawan. Bong Sek Toan terkejut dan dia harus berlompatan ke belakang untuk menghindarkan matanya dari bahaya.

   "Yaahhhhh" Dia membentak dan pedangnya menyambar dengan sapuan ke arah kedua kaki Cu Sian. Pemuda remaja itu meloncat tinggi sehingga pedang itu lewat di bawah kakinya, kemudian tubuhnya berjungkir balik dan menukik sambil menusukkan tongkatnya kearah ubun-ubun lawan.

   "Hiaatttt """. traanggg "" Pedang itu menangkis tongkat dan keduanya melompat mundur setelah pertemuan antara tongkat dan pedang itu membuat Bong Sek Toan terhuyung dan Cu Sian juga melayang turun hampir terjatuh. Akan tetapi setelah keduanya melompat mundur, kini mereka sudah siap lagi untuk saling serang.

   Pertandingan sudah berlangsung tujuh puluh jurus lebih dan Han Sin yang merasa khawatir kalau-kalau kedua orang itu celaka, padahal Bong Sek Toan itu masih mempunyai hubungan dengan ibunya. Maka diapun memasuki lapangan yang di lingkari tali dan berlari menuju ke panggung.

   Pada saat itu, Li Si Bin juga mengangap bahwa pertandingan itu sudah lebih dari cukup dan kedua orang itu dapat di terima sebagai perwira maka diapun melompat ke atas panggung.

   Pada saat itu, kedua orang itu sudah mulai menyerang lagi. Ketika Li Si Bin melompat dan tiba diantara keduanya, dengan sendirinya dialah yang menjadi sasaran tongkat dan pedang. Akan tetapi dengan tenang Li Si Bin menangkap tongkat dan menangkis pedang dari samping sehingga pedang terpental dan Cu Sian tidak mampu menarik lepas tongkatnya. Dari gerakan melerai ini saja sudah dapat diketahui bahwa ilmu kepandaian Li Si Bin memang hebat dan lebih tinggi tingkatnya di bandingkan kedua orang yang sedang bertanding itu.

   "Cukup, kalian sudah cukup bertanding" kata Li Si Bin sambil tersenyum ramah.

   "Akan tetapi aku belum kalah" kata Cu Sian penasaran.

   "Sian-te. Turunlah dan jangan bertanding lagi atau aku akan marah kepadamu" terdengar teriakan Han Sin dari bawah panggung.

   Bong Sek Toan juga menoleh dan memandang kepada Han Sin. Melihat pemuda ini, dia teringat. Tadi dia sudah berpikir siapakah pemuda remaja yang bertanding dengannya itu. Dia merasa sudah pernah bertemu. Setelah kini melihat Han Sin, maka diapun teringat bahwa lawannya bukan lain adalah pengemis muda yang kurang ajar itu.

   "Ah, kiranya kau jembel itu" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Cu Sian.

   Cu Sian membelalakan matanya dengan marah "Dan kau anjing sombong itu" dia balas memaki "Mari kita lanjutkan pertandingan sampai seorang diantara kita roboh tak bernyawa"

   "Sudahlah, harap ji-wi (anda berdua) bersabar. Pertandingan ini hanya untuk ujian bukan berkelahi" kata Li Si Bin.

   Bong Sek Toan yang juga sudah marah sekali memandang kepada Cu Sian dengan mata mendelik. Pada saat itu, Han Sin dari bawah panggung berseru.

   "Saudara Bong Sek Toan, kau ada hubungan apakah dengan mendiang Toat-beng Giam-ong?" Han Sin bertanya demikian karena melihat ilmu pedang Lo-hai Kiam-Sut tadi dan menduga bahwa pemuda itu tentu ada hubungan dengan mendiang Toat-beng Giam-ong, guru dari ibunya.

   Bong Sek Toan terkejut bukan main, wajahnya berubah kemerahan dan dia memberi hormat kepada Li Si Bin, berkata "Kong-cu, sebaiknya saya pergi saja" Dan dia melompat turun dari panggung, setelah tiba di bawah dia memandang kepada Cu Sian sambil berseru "Bocah setan, lain kali aku aku tidak memberi ampun lagi kepadamu" Setelah berkata demikian dia meloncat jauh dan lenyap diantara penonton yang banyak itu.

   Melihat ini, Li Si Bin menjadi heran dan menyesal karena pemuda tinggi besar itu dapat menjadi perwira yang tangguh. Dia lalu menghadapi Cu Sian dan berkata "Biarlah, kalau dia tidak ingin menjadi perwira, kamipun tidak akan memaksanya. Dengan mendapatkan kau sebagai perwira, kami sudah cukup puas, saudara Cu Sian"

   "Tapi ". Tapi ". Aku sama sekali tidak ingin menjadi perwira, kong-cu"

   Li Si Bin mengerutkan alisnya dan merasa dipermainkan "Apa artinya semua ini? tanyanya dengan suara tidak senang. Pada saat itu Han Sin yang berada di bawah panggung segera berkata dengan suara lembut dan penuh hormat.

   "Kami mohon agar Li-Kongcu suka memberi kesempatan kepada kami untuk menceritakan semua ini, tanpa di dengar banyak orang"

   Li Si Bin menjadi semakin heran dan penasaran. Akan tetapi melihat sikap Han Sin yang penuh hormat itu dan sikap Cu Sian yang seperti orang kebingungan, diapun tersenyum "Baiklah, mari jiwi ikut bersamaku"

   Li Si Bin lalu melangkah pergi menuju gedung di depan lapangan itu. Cu Sian mengikutinya dan Han Sin mengambil jalan mengitari panggung dan mengikuti pula. Dia melirik kearah Cu Sian yang juga sedang melirik kepadanya. Han Sin melihat Cu Sian cengar cengir sehingga mau tidak mau hatinya yang sedang mendongkol itu agar mencair.

   "Kau jangan buka mulut sembarangan, biar aku saja yang bicara" kata Han Sin lirih dan singkat.

   "Baiklah, Sin-ko. Aku menaati perintahmu" jawaban itu demikian di buat-buat untuk melucu sehingga Han Sin terpaksa tersenyum gemas.

   Setelah memerintahkan para pembantunya untuk membubarkan ujian itu dan menampung para calon yang lulus, Li Si Bin mengajak kedua orang muda itu memasuki sebuah ruangan di bagian samping gedung besar itu. Ruangan itu cuku luas dan hanya terisi kursi"kursi dan meja, agaknya ruangan pertemuan atau ruangan rapat.

   Setelah mempersilahkan kedua orang tamunya duduk, Li Si Bin segera berkata "Nah, sekarang kalian ceritakan sebetulnya apa artinya saudara Cu Sian ingin naik ke panggung kalau bukan untuk mengikuti ujian sebagai calon perwira"

   Pandangan matanya mencorong penuh selidik. Diam-diam Cu Sian merasa ngeri juga. Pandang mata pemuda bangsawan ini sungguh penuh wibawa.

   Han Sin menoleh kepada sahabatnya dengan pandang mata memperingatkan agar Cu Sian tidak sembarangan bicara. Dia khawatir sekali Cu Sian bicara seenaknya, akan terjadi keributan pula.

   "Sebelumnya kami mohon maaf sebesarnya kepada kong-cu bahwa tanpa disengaja kami telah merepotkan kong-cu dan mengacaukan ujian tadi. saya bernama Cian Han Sin dan adik Cu Sian ini adalah sahabat saya. Sebetulnya kedatangan kami ke Shansi ini sama sekali tidak mempunyai maksud untuk ujian perwira. Akan tetapi, dalam perjalanan kami ke sini, kami pernah bertemu dengan pemuda bernama Bong Sek Toan tadi dan dia bersikap kasar terhadap Sian-te. Inilah sebebnya mengapa Sian-te, ketika melihat Bong Sek Toan tadi berlagak di atas panggung, lalu nekat naik untuk menandinginya. Jadi yang mendorong dia naik ke panggung semata-mata karena ingin menandingi Bong Sek Toan. Untuk itu, sekali lagi kami mohon maaf kepada kong-cu.

   
😮

   
Li Si Bin mengangguk-anggukkan kepalanya. Biarpun dia seorang putera bangsawan, akan tetapi dia mengetahui akan watak para pendekar yang kadang aneh. Dia memang tidak suka akan sikap Cu Sian yang ugal-ugalan itu, akan tetapi mendengar ucapan Han Sin dan melihat sikap pemuda ini merasa suka dan tertarik.

   "Hemmm, begitukah? Kami amat mengagumi ilmu kepandaian saudara Cu, akan tetapi kau tentu memiliki ilmu yang lebih lihai lagi"

   "Ah, saya tidak dapat dibandingkan dengan Sian-te, kong-cu"

   "Sin-ko adalah seorang ahli sastra yang lemah dan sayalah yang menjadi pengawal yang melindunginya, kong-cu" kata Cu Sian tanpa dapat di cegah lagi oleh Han Sin.

   Li Si Bin mengangguk-angguk, akan tetapi pandang matanya meragukan kebenarannya ucapan Cu Sian tadi" Karena ayah kami menjadi kepala daerah di Shan-si, sudah sepatutnya kalau aku bertanya kepada kalian apa maksud kunjungan kalian ke Shan-si?"

   "Terus terang saja Li Kong-cu, yang mempunyai kepentingan di sini adalah saya sedangkan Sian-te ini hanya mengawal dan menemani saya. Saya bermaksud untuk mencari keterangan tentang tewasnya mendiang ayah saya dalam pertempuran di daerah Shan-si"

   Li Si Bin memandang tajam "Hemmm, siapakah ayahmu?"

   "Kong-cu, kakak Cian Han Sin ini adalah putera mendiang Panglima besar Cian Kauw Cu"

   "Ahhhh """ Li Si Bin bengkit berdiri "Panglima besar Cian Kauw Cu yang telah berjasa besar dalam mendirikan Kerajaan Sui itu? Teman seperjuangan mendiang Kaisar Yang Chien?"

   Karena sudah di di dahului Cu Sian, terpaksa Han Sin bangkit berdiri dan mengangguk" Mendiang Panglima Cian Kauw Cu adalah ayah saya, kong-cu"

   "Ah, senang sekali dapat berkenalan denganmu, saudara Cian" kata Li Si in sambil mengangkat kedua tangan depan dada yang cepat di balas oleh Han Sin "Silahkan duduk dan ceritakan apa yang kau kehendaki. Apa yang hendak kau tanyakan kepada ayah?"

   Han Sin duduk kembali "Menurut keterangan ibuku, mendiang ayah tewas dalam pertempuran di daerah Shan-si ini, gugur ketika terkena anak panah musuh. Akan tetapi ibu mendengar desas-desus di kalangan prajurit pasukan yang di pimpin ayah bahwa anak panah itu mengenai punggung ayah, yang berarti bahwa anak panah itu dilepaskan dari belakang. Tidak mungkin pihak musuh melepaskan anak panah dari belakangnya. Maka saya ingin menyelidiki, apa yang sebenarnya terjadi dengan kematian ayah itu"

   "Hemmm, maksudmu kau hendak mencari pembunuhnya untuk membalas dendam kematian ayahmu?" Tanya Li Si Bin.

   "Sama sekali tidak, kong-cu" Han Sin kagum kepada pemuda bangsawan itu dan menaruh kepercayaan sepenuhnya "Sebetulnya saya ingin mencari pedang pusaka Hek-Liong-Kiam milik ayah yang lenyap ketika ayah gugur. Kalau saya dapat menemukan siapa yang membunuh ayah, agaknya saya dapat menemukan siapa pencuri Hek-Liong-Kiam"

   Li Si Bin mengangguk"angguk "Peristiwa itu telah terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu maka aku sendiri tidak dapat menceritakan apa-apa. Ketika itu usiaku masih kecil, tidak jauh bedanya denganmu, saudara Cian. Sebaiknya kalau kau bertanya kepada ayahku"

   "Memang demikianlah maksud saya, kong-cu. Menurut ibu, Gubernur Li dahulu juga teman seperjuangan ayah dan karena dia bertugas di sini, sangat boleh jadi ayahmu itu akan dapat memberi keterangan yang lebih jelas"

   "Memang benar perkiraanmu itu, saudara Cian. Marilah kalian ikut denganku menghadap ayah"

   Kembali dua orang muda itu mengikuti Li Si Bin memasuki gedung besar itu dan akhirnya mereka memasuki sebuah ruangan yang penuh kitab, agaknya ruangan baca dan Gubernur Li berada di ruangan itu.

   Han Sin memandang penuh perhatian. Gubernur itu seorang laki-laki yang berusia lima puluh tahun berwajah tenang dan penyabar, berbeda dengan wajah puteranya yang penuh semangat.

   "Ayah, coba ayah terka siapa yang aku bawa menghadap ayah ini" kata Li Si Bin.

   Gubernur Li memandang kepada Han Sin dan Cu Sian, alisnya berkerut dan dia menggeleng kepalanya.

   "Ayah, saudara ini adalah Cian Han Sin, putera dari mendiang Panglima Besar Cian Kauw Cu"

   Sepasang alis berkerut itu terangkat, sepasang mata itu berseri. Han Sin yang diperkenalkan cepat memberi hormat, di turut pula oleh Cu Sian.

   "Ah, begitukah?" kata Gubernur itu sambil mengamati Han Sin dari kepala sampai ke kaki.

   Cu Sian yang tidak diperkenalkan merasa dikesampingkan, segera memperkenalkan dirinya sendiri "Dan saya bernama Cu Sian, sahabat dan pengawal dari Kakak Cian Han Sin"

   Gubernur itu memandang Cu Sian sejenak dengan heran, lalu menggerakkan tangan mempersilahkan mereka duduk "Aih, betapa cepatnya waktu berlalu. bagaimana kabarnya dengan keadaan ibumu yang gagah perkasa itu, Han Sin?"

   "Terima kasih, tai-jin, keadaan ibu saya baik-baik saja" jawab Han Sin dengan sikap hormat "Dan mohon tai-jin suka memaafkan kalau kunjungan saya ini mengganggu kesibukan tai-jin"

   "Ah, tidak mengapa. Apakah keperluanmu datang menemuiku? Apa yang dapat kami Bantu untuk putera sahabat baik kami, Cian-ciangkun?"

   "Saya mohon keterangan tai-jin tentang kematian mendiang ayah saya ketika memimpin pasukan di daerah Shansi ini. Ibu menyuruh saya untuk menhgadap tai-jin dan mohon keterangan dari tai-jin"

   "Apakah ibumu belum mendapat pelaporan tentang kematian ayahmu?"

   "Sudah tai-jin. Akan tetapi laporan resmi itu hanya mengatakan bahwa ayah gugur dalam pertempuran. Desas"desus di kalangan pasukan mengatakan bahwa kematian ayah tidak wajar, terkena anak panah yang datangnya dari belakang. Ibu mencurigai dan menyuruh saya mohon penjelasan dari tai-jin"

   Gubernur Li menghela napas panjang "Peristiwa itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Kenapa ibumu baru menyelidikinya sekarang?"

   "Agaknya ibu menanti sampai saya dewasa sehingga dapat melakukan penyelidikannya sekarang?"

   "Akan tetapi peristiwa itu telah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Apa yang kau kehendaki "". aahhh, aku mengerti, agaknya kau hendak menyelidiki siapa pembunuh ayahmu dan hendak membalas dendam?" Tanya Gubernur Li.

   "Bukan itu benar yang penting bagi saudara Han Sin, ayah. Dahulu, mendiang Cian-ciangkun memiliki sebatang pedang pusaka yang di sebut Hek-Liong-Kiam. Nah ketika dia gugur, pedang pusaka itu lenyap di curio rang. Saudara Han Sin ingin menyelidiki siapa pencuri pedang itu, ayah agar dia dapat merampasnya kembali" kata Li Si Bin, menjelaskan "Dan dengan menyelidiki siapa pembunuh ayahnya, dia mengharapkan akan dapat menemukan kembali pedang pusaka itu"

   Gubernur Li mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk "Hemmm, begitukah?"

   "Benar, tai-jin dan saya mohon petunjuk tai-jin mengingat bahwa mendiang ayah adalah sahabat tai-jin, mungkin tai-jin mengetahui tentang peristiwa itu"

   Gubernur Li mengeluskan alisnya, mengingat-ingat "Pada waktu itu kami juga menerima laporan dari Panglima Lui yang menjadi pembantu mendiang Panglima Cian, yang melaporkan bahwa Panglima Cian telah tewas dalam pertempuran. Kami juga mendengar desas-desus itu bahwa Panglima Cian tewas karena terkena anak panah di punggungnya. Akan tetapi pada waktu itu kami tidak menaruh curiga. Sedangkan tentang pedang pusaka milik Panglima Cian, kami tidak pernah mendengarnya. Sayang sekali, Han Sin, kami tidak dapat banyak membantu dalam hal ini. Apalagi terjadinya sudah sepuluh tahun yang lalu"

   Biarpun hatinya kecewa, Han Sin tidak memperlihatkannya. Dia lalu berpamit dari Gubernur Li. Han Sin dan Cu Sian mengundurkan diri dan di antar oleh Li Si Bin sampai keluar gedung" Sayang sekali bahwa ayah tidak dapat memberi keterangan tentang kematian ayahmu dan pedang pusaka itu, saudara Han Sin. Akupun merasa prihatin dan ikut memikirkan hal itu. Dan menurut pendapatku, ada beberapa macam cara bagimu untuk dapat menyelidiki siapa pembunuh ayahmu itu"

   "Ah, Li kong-cu, saya akan berterima kasih sekali kalau kau suka memberi petunjuk kepada saya" kata Han Sin.

   "Tolonglah, Li kong-cu" Cu Sian juga memohon "Sin-ko sudah jauh-jauh dari selatan pergi ke sini, kasihan kalau dia tidak mendapatkan petunjuk"

   Li Si Bin tersenyum dan memandang Cu Sian dengan kagum "Aku kagum kepadamu, saudara Cu Sian. Kau seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali, juga ternyata merupakan seorang sahabat yang setia dan baik. Begini, saudara Han Sin, setelah kau tiba disini, sebaiknya kalau kau melakukan penyelidikan di tempat dimana dahulu terjadi pertempuran yang mengorbankan nyawa ayahmu itu. Banyak suku-suku mongol berada di daerah utara itu, akan tetapi pada data ini, yang menguasai daerah itu adalah suka Yakka. Mereka juga ikut bertempur melawan pasukan pasukan Sui pada waktu itu, siapa tahu dari mereka kau bias memperoleh keterangan. Sekarang suku Yakka itu bersikap baik dan tidak pernah mengganggu, bahkan terdapat jalur yang menghubungkan para pedagang yang menuju ke sana. Aku tahu bahwa para pimpinan suku Yakka yang tua-tua semua mengenal nama mendiang ayahmu dan mengangguminya. Akan saya perhatikan nasihat Li kong-cu ini. Apakah masih terdapat petunjuk lain?"

   "Masih ada dua cara, sepanjang yang aku dengar, mendiang Panglima Cian Kauw Cu adalah seorang yang memperoleh kedudukan tertinggi dalam pasukan, menjadi sahabat mendiang Kaisar Yang Chien dan merupakan tangan kanan beliau. Hal ini mungkin saja menimbulkan iri hati kepada para tokoh perjuangan lainnnya sehingga sangat boleh jadi ayahmu itu terbunuh oleh usaha perebutan kedudukan. Maka kau dapat melakukan penyelidikan diantara para panglima dan perwira kerajaan. Dan Kenyataan kedua adalah bahwa sewaktu muda, menurut yang ku dengar, ayahmu adalah seorang pendekar kang-ouw. Dengan sendirinya ayahmu tentu mempunyai banyak musuh dari kalangan sesat, maka dapat juga kau melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. Nah, hanya itulah yang dapat aku bantu"

   Han Sin merasa kagum dan senang sekali. Sungguh seorang pemuda yang bijaksana sekali Li Si Bin ini, memiliki pandangan yang tajam dan tepat. Dia cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat "Sungguh tepat semua nasihat kong-cu. Saya tentu akan melaksanakan semua petunjuk itu"

   "Ahh, Saudara Han Sin terlalu memuji. Aku akan ikut merasa gembira kalau kau dapat menemukan siapa pembunuh ayahmu yang curang itu dan mendapatkan kembali pedang pusaka ayahmu"

   "Li Kong-cu sungguh seorang yang amat cerdas dan bijaksana. Sekarang aku baru mengerti mengapa rakyat Shansi menyangjung-nyanjungmu" kata Cu Sian.

   Dua orang pemuda itu lalu berpamit dan mereka meninggalkan kota Taigoan menuju ke utara. Setelah melihat sepak terjang Cu Sian ketika bertanding melawan pemuda bernama Bong Sek Toan itu, Han Sin lebih percaya bahwa Cu Sian memiliki kepandaian yang cukup untuk menjaga dan melindungi diri. Dia tidak merasa khawatir lagi dan mereka melakukan perjalanan ke utara dengan gembira. Tidak mungkin bagi Han Sin untuk tidak terbawa gembira melakukan perjalanan bersama Cu Sian yang selalu lincah dan riang itu.

   ***

   Jalan yang dilalui para pedagang yang membawa barang dagangan dari daerah utara ada dua jalur. Kalau para pedagang itu membawa dagangan ke utara, mereka melalui jalan darat yang melalui jalan darat yang melalui bukit-bukit. Akan tetapi kalau mereka membawa dagangan dari utara, mereka lebih suka mempergunakan jalan air Sungai Huang-ho yang mengalir ke selatan.

   Baik jalan melalui darat maupun melalui sungai, sama saja resikonya. Kadang muncul perampok atau bajak sungai yang mengganggu para pedagang itu. Maka, biasanya rombongan pedagang itu membayar piauw-su (pengawal barang) untuk melindungi mereka dari gangguan penjahat. Tentu saja terdapat semacam permusuhan diantara para piauw-su dan para penjahat itu. Akan tetapi akhir-akhir ini mereka menempuh jalan damai. Para gerombolan itu tidak lagi mengganggu rombongan para pedagang asal saja mereka di beri imbalan sebagai "pajak jalanan" Para piauw-su tentu saja lebih suka kehilangan sebagian dari penghasilan mereka untuk diberikan kepada penjahat-penjahat itu daripada mereka harus bertempur. Demikian pula para penjahat itu, lebih baik menerima imbalan dari mereka yang lewat. Pertempuran hanya akan merugikan kedua pihak, ada yang luka-luka, bahkan tidak jarang ada kematian diantara mereka.

   Pada suatu pagi yang cerah serombongan orang menunggang kuda melewati jalan yang sunyi iyu. Mereka terdiri dari belasan orang yang dari pakaiannya menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang suku Yakka Mongol. rata-rata bertubuh ramping kokoh menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kuat yang biasa bergerak atau bekerja keras. Yang menunggang kuda terdepan adalah dua orang gadis berusia tujuhbelas dan dua puluh tahun. Mereka berpakaian indah, baju dan topi dari bulu dan wajah mereka cantik sekali. Akan tetapi dilihat dari sikap mereka menunggang kuda, dapat diketahui bahwa dua orang gadis ini juga sudah biasa menunggang kuda dan bertubuh kuat. Hal ini tidaklah aneh karena para wanita yakka juga biasa melakukan pekerjaan kasar, rata-rata pandai berburu binatang mempergunakan anak panah, tombak maupun pedang bengkok model Turki. Dua orang gadis itu adalah kakak beradik, puteri ketua suku Yakka. Ayah mereka adalah kepala suku Yakka yang terkenal karena kuat dan pandai memimpin sukunya, bernama Tar-sukai. Adapun dua orang puterinya itu, yang pertama bernama Loana, berusia duapuluh tahun, sedangkan yang kedua bernama Hailun, berusia tujuhbelas tahun.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 11

   Suku Yakka menguasai daerah yang luas dan subur. Mereka berpusat di lembah antara sungai Kerulon dan Sungai Onon yang amat subur. Bukit-bukit di sini di tumbuhi hutan yang lebat, penuh binatang perburuan. Air yang berasal dari salju di gunung-gunung berlimpah, tak pernah kering. Daerah ini selalu menjadi perebutan antara suku-suku di utara, akan tetapi akhirnya dikuasai oleh suku Yakka yang terkenal gagah berani dan mempunyai pasukan yang cukup besar jumlahnya. Bahkan suku Yakka ini mengembangkan kekuasaan mereka sampai ke selatan, ke perbatasan propinsi Shan-si. Mula-mula memang terjadi pertempuran besar-besaran diantara suku Yakka dan pasukan Sui, akan tetapi akhir-akhir ini, setelah Gubernur Li mengambil seorang wanita Turki sebagai istrinya, keadaan berubah. Gubernur Li mengambil sikap bersahabat dengan semua suku bangsa Turki dan yakka. Bahkan dibukalah hubungan dagang dengan suku-suku bangsa di utara itu.

   Pada suatu hari, Tarsukai, kepala suku Yakka, berhasil mengumpulkan banyak bulu biruang yang di dapatkan oleh para pemburu dan juga banyak batu permata yang khas. Maka, diapun memilih bulu terbaik dan batu-batu yang langka, lalu bermaksud mengirim barang berharga itu sebagai hadiah kepada Gubernur Li. mendengar bahwa ada rombongan hendak pergi ke selatan, dua orang puterinya merengek menyatakan ingin pergi bersama rombongan.

   Tarsukai amat menyayang kedua orang puterinya ini, maka diapun tidak tega menolak. Demikianlah, kedua orang puterinya itu bahkan ditugaskan mewakilinya mengahturkan bingkisan itu kepada Gubernur Li. Mereka dikawal oleh tujuhbelas orang perwira jagoan dari Suku Yakka, melakukan perjalanan ke selatan yang cukup jauh dan akan memakan waktu beberapa pekan dengan menunggang kuda.

   Bukan main gembiranya hati Loana dan Hailun melakukan perjalanan itu. Bagi mereka, perjalanan itu bukan sekedar membawa tugas mengantar barang bingkisan, melainkan terutama sekali merupakan pesiar yang menggembirakan.

   Bahkan kalau mereka melewati sebuah hutan yang banyak binatangnya. Mereka berdua melakukan perburuan. Kalau melewati telaga, dua orang kakak beradik itu memerintahkan para pengawalnya untuk berhenti dan mereka lalu berpesiar di telaga. Tujuh belas orang jagoan pengawal itu selalu tunduk dan memenuhi kehendak Loana dan Hailun. mereka semua maklum betapa sayangnya pemimpin mereka kepada dua orang puterinya ini. Apalagi yang memimpin para pengawal itu adalah Temugu, adik kandung Tarsukai sendiri, atau paman dari kedua orang gadis itu. Temugu juga amat sayang dan memanjakan kedua orang keponakannya itu.

   Loana berwatak lembut dan agak pendiam, berbeda dengan adiknya, Hailun yang wataknya riang dan lincah jenaka. banyak sekali orang muda bangsa Mongol yang tergila-gila kepada dua orang gadis ini dan banyak putera kepala suku lain yang mengajukan pinangan, akan tetapi tidak satupun pinangan di terima oleh Tarsukai. Bukan berarti bahwa Tarsukai tidak ingin kedua puterinya memperoleh jodoh, akan tetapi semua pinangan di tolak keras oelh kedua orang puterinya itu. Karena ini pula maka ketika kedua orang puterinya hendak mewakilinya menyerahkan hadiah kepada Gubernur Li di Shansi, dia mengijinkan dengan harapan mudah-mudahan kedua orang puterinya itu akan menemukan jodoh yang seimbang dan baik di Shansi. Gubernur Li di Shansi mempunyai banyak putera dan di sana terdapat pula panglima-panglima muda yang gagah perkasa. Siapa tahu Loana dan Hailun akan bertemu jodoh mereka.

   Pada pagi hari yang cerah itu, rombongan orang suku Yakka Mongol itu tibalah di daerah pegunungan yang menjadi perbatasan dengan daerah Shansi. dua orang gadis yang menunggang kuda paling depan itu tiba-tiba melihat sekelompok kijang melarikan diri memasuki hutan. Bukan main gembira hati mereka dan dengan anak panah siap di tangan mereka membalapkan kuda mereka mengejar ke dalam hutan.

   Melihat ini, Temugu berteriak "Heiii, Loana, Hailun, tunggu. Kembalilah" Dia sudah banyak mendengar tentang gerombolan-gerombolan perampok yang bermarkas di dalam hutan lebat. Akan tetapi dua orang gadis yang sedang gembira it uterus membalapkan kuda mereka.

   "Heiii, tunggu kami """"" Temugu berteriak dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melakukan pengejaran ke dalam hutan. Tujuh belas orang itu lalu melarikan kuda mereka memasuki hutan lebat itu. Akan tetapi dua orang gadis itu sudah jauh meninggalkan mereka sehingga mereka terpaksa harus mencari-cari jejak kuda dua orang gadis itu.

   Sambil membalapkan kuda mereka, Loana dan Hailun melepaskan anak panah berulang kali. Mereka tidak mampu mendekati kijang-kijang itu yang larinya pesat bukan main.

   "Panahku mengena" teriak Hailun.

   "Panahku juga" kata Loana. Akan tetapi karena jaraknya jauh anak panah mereka tidak dapat merobohkan kijang-kijang yang terlalu cepat larinya itu.

   Mereka mengejar secepatnya sehingga meninggalkan rombongan pengawal mereka.
Selagi kedua orang gadis Mongol itu membalapkan kuda, tiba-tiba kuda mereka meringkik kaget dan ketakutan ketika dari balik pohon dan semak berloncatan belasan orang dari sikapnya mereka yang kasar dapat di duga bahwa mereka adalah orang-orang jahat. Lima belas orang itu di pimpin oleh seorang yang usianya sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh brewok dan kulit mukanya hitam. Melihat dua orang gadis yang cantik manis itu, si kepala perampok tertawa bergelak.

   "Biar aku sendiri yang menangkap mereka, kalian hadang pasukan berkuda itu, bunuh mereka dan rampas kuda dan barang-barang mereka" teriaknya dan bagaikan seekor orang utan besar, dia sudah meloncat dan menerkam kearah Loana yang duduk di atas kuda berusaha menenangkan kudanya. Terkaman itu demikian hebat sehingga tubuh Loana terseret turun dari atas kuda. Sebelum ia sempat bangkit berdiri, tubuhnya sudah menjadi lemas dan lumpuh karena di totok oleh kepala perampok itu. melihat ini Hailun menjadi marah dan ia sempat melepaskan anak panah kearah kepala perampok itu. Akan tetapi kepala perampok itu ternyata lihai sekali. Anak panah itu dapat di tangkisnya dengan tangan sehingga melesat jauh dan sebelum Hailun dapat memanah lagi, kakinya telah di tangkap dan di tarik turun dari atas kuda. Sebagai seorang gadis Mongol yang sejak kecil mempelajari ilmu bela diri, ia melawan. akan tetapi kepala perampok itu jauh lebih kuat dan lebih cepat. Dia lihai sekali dan sebelum Hailun dapat berbuat banyak, iapun sudah roboh terkulai oleh totokan kepala perampok brewok itu.

   "Ha-ha-ha-ha. hari ini beruntung sekali aku, mendapatkan dua orang nona yang cantik jelita. Ha-ha-ha " sambil tertawa tawa dia lalu memanggul tubuh kedua orang gadis itu dan di kedua pundaknya dan membawa mereka menyusup hutan belukar menuju ke kelompok bangunan dari kayu dan bambu yang menjadi sarang gerombolan perampok itu.

   Sementara itu, secara kebetulan Han Sin dan Cu Sian tiba pula di jalan yang melalui hutan itu dalam perjalanan mereka ke utara. Mereka berjalan santai sambil bercakap-cakap.

   "Eh, Sin-ko. Kau belum menceritakan bagaimana kau dapat menduga bahwa Bong Sek Toan itu mempunyai hubungan dengan nama Toat Beng Diam-Ong. Aku pernah mendengar dari para pamanku bahwa Toat-beng Giam-Ong adalah seorang datuk yang dahulu menjadi Kok-su Kerajaan Toba.

   "Dari ibuku aku mengenal ilmu silat Lo-han-kun dan orang she Bong itu ketika melawanmu menggunakan ilmu pedang Lo-hai kiam-hoat. Maka aku dapat menduga demikian"

   "Dan dugaanmu itu ternyata tepat. Buktinya, ketika dia dikenal sebagai orang yang ada hubungannya dengan bekas Kok-su Kerajaan Toba itu, dia terus melarikan diri"

   "Ssssttt, Sian-te. Ada suara rebut-ribut dari dalam hutan itu?" Han Sin menunjuk ke arah kiri darimana terdengar suara pertempuran.

   Cu Sian juga mendengar itu dan cepat dia meloncat dan berlari memasuki hutan, di ikuti oleh Han Sin. Tak lama mereka berlari dan mereka melihat ada dua kelompok orang yang berkelahi. Yang sekelompok adalah orang-orang Mongol dan yang kedua adalah orang-orang yang melihat pakaiannya tentu orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, mungkin perampok. Orang-orang Mongol itu berlompatan turun dari kuda mereka dan terjadilah pertempuran yang hebat.

   Han Sin melihat seorang laki-laki tinggi besar memanggul tubuh dua orang wanita muda "Sian-te, gadis-gadis itu di culik"

   Cu Sian menengok dan ketika dia melihat seorang laki-laki tinggi besar melarikan dua orang gadis yang di panggulnya, dia lalu berkata "Sin-ko, biar aku menolong mereka" Dan diapun sudah berlari cepat melakukan pengejaran terhadap pria tinggi besar yang melarikan dua orang gadis mongol itu.

   Han Sin membiarkan saja Cu Sian yang melakukan pengejaran karena dia yakin bahwa sahabatnya itu tentu akan mampu menolong dua orang gadis itu.

   Dia sendiri lalu menghampiri tempat pertempuran dan memperhatikan. Tidak lama dia meragu harus membantu siapa karena dia segera mendengar seruan orang-orang kasar itu.

   "Bunuh dan rampas kuda mereka"

   Dari teriakan"teriakan ini tahulah dia bahwa orang-orang kasar itu tentu segerombolan perampok yang menyerang segerombolan orang mongol ini. Dan dua orang gadis tadi pun gadis mongol. Dia tidak ragu lagi harus membantu siapa.

   "Perampok jahat" serunya dan dia pun sudah terjun ke dalam gelanggang pertempuran itu. Walaupun Han Sin hanya bertangan kosong, namun setiap orang perampok yang neyerangnya, tentu senjata mereka terpental dan orangnya terjengkang oleh tamparan tangan mau pun tendangan kaki Han Sin.

   Masuknya Han Sin yang membantu orang-orang mongol itu membuat gerombolan perampok menjadi panik. Sebentar saja Han Sin telah merobohkan tujuh orang perampok. Walaupun dia tidak melukai berat para perampok itu dan mereka dapat bangkit kembali namun mereka telah jerih dan larilah mereka cerai berai di kejar oleh orang-orang mongol.

   Melihat bahwa para perampok telah melarikan diri, Han Sin lalu berkelebat cepat melakukan pengejaran kearah larinya perampok yang menculik dua orang gadis dan sedang di kejar oleh Cu Sian. Dia khawatir kalau-kalau Cu Sian terjebak atau menghadapi ancaman bahaya.

   Sementara itu, sebentar saja Cu Sian sudah berhasil menyusul kepala perampok yang melarikan dua orang gadis Mongol. Loana dan Hailun yang tertotok tidak mampu bergerak, tidak dapat meronta, akan tetapi mereka berseru marah.

   "Lepaskan aku" seru Loana

   "Lepaskan kami, kau anjing bedebah busuk" Hailun memaki.

   Akan tetapi kepala perampok itu hanya tertawa-tawa, seolah seruan marah dan makian kedua gadis itu terdengarnyanyian merdu bagi telinganya.

   Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda tampan telah berdiri menghadang di depan kepala perampok itu. Pemuda itu adalah Cu Sian. Dia membawa sepotong tongkat kayu dari ranting pohon dan menudingkan tongkat itu kearah muka si kepala perampok.

   "He, monyet muka hitam. Berani kau menculik dua orang gadis ini? Hayo kau bebaskan mereka kalau tidak ingin ku tusuk hidungmu yang besar dan jelek itu sampai hancur dengan tongkat ini" Dengan sikap mengejek Cu Sian menudingkan tongkatnya ke arah hidung kepala perampok itu.

   Kepala perampok itu adalah orang yang terbiasa di taati oleh anak buahnya dan selama ini belum pernah ada orang berani menentang kehendaknya. Maka, kini melihat seorang pemuda remaja berani memaki dan menghinanya, tentu saja dia menjadi marah bukan main. Di turunkannya dua orang gadis itu ke bawah sebatang pohon dan dia meloncat dengan sigapnya ke depan Cu Sian sambil membelalakan matanya, sikapnya penuh ancaman. Sepasang mata kepala perampok itu terbuka sedemikian lebarnya seolah"olah dia hendak menelan pemuda remaja yang berani menentangnya itu dengan matanya.

   "Hemmm "" Ia mengeram seperti seekor biruang marah "Tikus kecil, kau sudah bosan hidup"

   Akan tetapi Cu Sian malah tertawa "Ha-ha-ha, monyet muka hitam. Aku tidak bosan hidup. Aku akan hidup seribu tahun lagi untuk melaksanakan tugas hidupku, yaitu membasmi monyet-monyet jahat seperti kau inilah"

   Pada saat itu, Han Sin tiba di tempat itu "Sian-te, berhati-hatilah" katanya.

   Cu Sian menoleh dan tersenyum melihat Han Sin sudah menyusul ke situ "Ahhh, jangan khawatir, Sin-ko. Kalau hanya monyet hitam seperti ini, biar ada selusin pun aku tidak akan kalah"

   Mendengar ucapan pemuda remaja itu, kepala perampok tadi menjadi semakin marah. Apalagi telah muncul seorang pemuda lain. Dia merasa terganggu sekali dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerkam kepada Cu Sian seperti seekor harimau menerkam seekor domba, Namun Cu Sian mengelak cepat dan terkaman itupun mengenai tempat kosong. Dia menjadi semakin marah dan melakukan penyerangan secara bertubi-tubi, akan tetapi semua serangan dapat di elakkan dengan mudah oleh Cu Sian.

   Melihat bahwa kepala perampok itu hanya memiliki tenaga besar saja akan tetapi gerakannya terlalu lamban bagi Cu Sian. Han Sin tidak merasa khawatir lagi dan dia segera menghampiri dua orang gadis Mongol yang masih rebah tak mampu bergerak. Dia menggerakkan tangan dengan cepat sehingga tidak nampak oleh dua orang gadis itu, akan tetapi dia telah menotok mereka dan tiba-tiba saja Loana dan Hailun dapat menggerakkan kaki tangan mereka.

   Loana dan Hailun segera bangkit berdiri. Kedua orang gadis itu memandang kearah Cu Sian yang sedang bertanding melawan kepala perampok itu dan keduanya nampak gelisah karena kapala perampok itu menyerang bertubi-tubi sambil mengeluarkan suara geraman seperti seekor binatang buas. Dia nampak buah dan menyeramkan sekali.

   "Harap nona berdua tidak khawatir, adikku Cu Sian tidak akan kalah melawan kepala perampok itu" kata Han Sin menenangkan mereka. Kedua orang gadis itu menoleh dah mengetahui bahwa pemuda inipun bukan orang jahat melainkan kakak dari pemuda yang telah menolong mereka, mereka lalu mendekati seolah hendak minta perlindungan.

   Loana berkata kepada Han Sin dengan suara memohon "Sobat yang baik, kenapa kau tidak cepat membantu adikmu menghadapi orang jahat itu?"

   Han Sin memandangi kedua orang gadis itu sejak tadi dan dia merasa kagum sekali. Loana memiliki wajah yang bulat telur, cantik manis sekali. Sepasang matanya seperti mata rajawali, demikian tajam namun lembut dan ketika bicara timbul lesung pipit di sebelah kiri. Sikapnya halus dan ketika bertanya kepadanya, suaranya merdu dan lembut dan ketika bicara timbul lesung pipit di sebelah kiri, Sikapnya halus dan ketika bertanya kepadanya, suaranya merdu dan lembut. Gadis kedua yang lebih muda, memiliki bentuk wajah yang bulat, hidungnya mancung dan mulutnya merupakan daya tarik paling kuat. Mulut itu manis menggairahkan.

   "Jangan kalian khawatir, adikku tidak akan kalah dan seorang laki-laki sejati tidak akan bersikap curang melakukan pengeroyokkan" jawab Han Sin dan mendengar jawaban ini Loana menjadi kagum. Jawaban itu menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan seorang pendekar yang gagah perkasa. Kalau adiknya saja sudah demikian gagah. kakaknya ini tentu lebih hebat pula. pikirnya. Akan tetapi, melihat Han Sin dan Hailun memandang ke arah perkelahian itu penuh perhatian, Loana lalu memandang pula.

   Kepala perampok itu menjadi semakin beringas ketika beberapa kali tubrukannya dan serangannya hanya mengenai tempat kosong. Dia mengerahkan tenaganya dan menerjang kembali dengan kedua lengan di buka seperti seekor beruang menyerang calon mangsanya sambil mengeluarkan teriakan keras.

   "Haiiittttt """" Kedua tangan itu membuat gerakan memeluk. Cu Sian cepat menghindarkan diri dan langkah ke samping belakang, lalu kakinya mencuat dengan tendangan yang cepat seperti kilat menyambar.

   "Dukkk " aaggghh ". Kaki bersepatu itu kecil saja akan tetapi karena sambarannya cepat dan mengenai lambung, raksasa muka hitam itu terjengkang dan mengaduh. Ketika dia merangkak bangun, dia memegangi perutnya yang seketika terasa mulas. Kini kemarahannya memuncak dan dia tidak lagi berani memandang rendah pemuda remaja itu. tangannya meraih ke punggung dan dia sudah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.

   Melihat ini, Loana dan Hailun menjadi ngeri dan khawatir sekali, apalagi melihat kepala perampok itu tanpa peringatan lagi sudah mengayun goloknya menyerang. Golok menyambar ke arah leher Cu Sian. Loana sudah memejamkan matanya dan Hailun mengepal tinjunya. Akan tetapi dengan cepat dan ringan sekali tubuh Cu Sian sudah mengelak ke belakang dan golok itu membacok angin.

   "Curang. Pengecut. Biar aku membantunya" terdengar Hailun berteriak dan gadis mongol yang licah ini sudah mencabut sebatang pisau belati bengkok dari balik ikat pinggangnya. Agaknya ia akan nekat maju mengeroyok kepala perampok itu, akan tetapi Han Sin cepat mencegahnya.

   "Jangan, nona. Adikku tidak akan kalah. Kalau kau membantunya, kau malah akan membikin dia repot melindungimu. Lihatlah, dia tidak akan kalah"

   "Tapi dia di serang dengan senjata oleh pengecut curang itu" Hailun membantah dan masih hendak nekat menyerbu.

   "Hailun, sobat ini benar, Jangan mencampuri, kau akan terancam bahaya. Dia tidak akan. Lihatlah"

   Hailun memandang dan iapun bernapas lega, Kiranya Cu Sian sudah memegang sebatang tongkat yang tadi dia tancapkan di atas tanah dan kini dengan tongkatnya itu dia melawan kepala perampok yang memegang golok.

   "Ha-ha-ha, monyet hitam. Golokmu penyembelih ayam itu tidak menakutkan aku" Cu Sian mengejek dan begitu dia memutar tongkatnya, lawan yang tinggi besar itu baginya demikian aneh, tongkat seolah berubah menjadi belasan banyaknya, menyerang dari segenap penjuru. Dia mencoba untuk melindungi tubuhnya dengan putaran goloknya, namun tetap saja tongkat itu dapat menyelinap diantara gulungan sinar goloknya dan dua kali tubuhnya berkenalan dengan tongkat itu. Pertama kali, kepalanya di ketuk sedemikian kerasnya sampai timbul benjolan sebesar telur ayam di dahinya, dan kedua kali, dadanya tertotok ujung tongkat yang membuat dia terjengkang dan dadanya terasa sesak bernapas. Pengalaman ini membuat kepala perampok merasa jerih. Anak buahnya juga muncul dan dia merasa tidak akan mampu menandingi pemuda remaja yang amat lihai itu. Kalau di lanjutkan, tentu dia akan celaka. Apalagi di situ masih ada pemuda lain yang belum turun tangan. Karena itu, begitu dia dapat meloncat bangun, dia langsung membalikkan diri dan lari meninggalkan tempat itu secepatnya.

   Hailun bertepuk tangan dengan gembira "Heiii, monyet hitam pengecut. Jangan lari kau" Ia berteriak dan melihat kegembiraan gadis itu, Cu Sian juga menjadi gembira.

   "Nona, apa kau ingin aku menangkap monyet itu?" Cu Sian bertanya sambil tertawa.

   "Benar, sobat yang gagah perkasa. Kejar dan tangkaplah monyet hitam itu, seret dia ke sini agar aku sendiri dapat memberi hukuman kepadanya" teriak Hailun dengan gembira.

   Akan tetapi sebelum Cu Sian bergerak untuk mengejar lawannya, Han Sin berkata "Sian-te, lawan yang sudah kalah dan melarikan diri tidak perlu dikejar lagi"

   Cu Sian memandang kepada Han Sin dengan alis berkerut, akan tetapi melihat pandang mata Han Sin, dia teringat bahwa dia sudah berjanji akan menaati kata-kata sahabatnya itu. Maka diapun lalu tersenyum dan menoleh kepada Hailun sambil mengembangkan kedua lengannya dan mengangkat pundak.

   "Sayang, adik yang manis, kakakku ini melarang aku mengejar monyet hitam itu"

   Hailun melangkah maju dan tanpa ragu atau malu lagi dara mongol ini memegang tangan kanan Cu Sian dengan kedua tangannya, sepasang matanya menatap penuh kagum wajah pemuda itu dan ia berkata "Ah, kau hebat sekali. Kau adalah pahlawanku yang gagah perkasa. Kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, sobat"

   Cu Sian tersenyum dan berkata dengan lagak bangga "Ah, melawan monyet hitam itu tidak ada artinya, nona manis. Biar ada selusin monyet seperti dia. Kalau berani mengganggu sehelai rambutmu, tentu akan kubasmi semua"

   Han Sin tertegun menyaksikan lagak Cu Sian ini. Memang biasanya pemuda itu lincah gembira dan jenaka, bahkan ugal-ugalan, akan tetapi sekali ini lagaknya demikian sombong dan takabur. Ah, jangan-jangan sahabatnya ini memang seorang pemuda mata keranjang.

   Maka, untuk menghentikan Cu Sian yang menjual lagak itu dia berkata dengan sikap sopan sambil memandang kepada Loana.

   "Nona berdua, apa yang telah terjadi dengan kalian? Mengapa pula kalian melakukan perjalanan melalui hutan yang liar ini? Kalian dari manakah dan hendak menuju kemana?"

   Loana segera menjawab "Kami berdua adalah kakak beradik. Kami adalah puteri kepala suku Yakka Mongol yang sedang melakukan perjalanan menuju ke Shan-si, di kawal oleh paman kami dan seregu prajurit. Akan tetapi setibanya di tempat ini, rombongan kami dihadang dan di serang oleh segerombolan perampok tadi dan kami berdua ditawan kepalanya dan di bawa lari sampai ke sini, Untung kami di tolong oleh sobat berdua. Untuk itu kami berdua menghaturkan banyak terima kasih"

   Han Sin memandang kagum. Dua orang gadis mongol ini dapat bicara dalam bahasa Han yang cukup baik. ini menandakan bahwa mereka terdidik dengan baik.

   "Siapakah nama sobat berdua yang gagah perkasa?" Tiba-tiba Hailun bertanya sambil memandang kepada Cu Sian.

   Cu Sian tertawa "Ha, mestinya kalian berdua yang lebih dulu memperkenalkan nama kalian kepada kami"

   Hailun juga tersenyum "namaku Hailun dan ini adalah kakak saya bernama Loana. Ayah kami adalah kepala suku Yakka bernama Tarsukai"

   Han Sin gembira sekali mendengar bahwa dua orang gadis itu adalah puteri-puteri kepala suku Yakka. Dia teringat akan nasihat Li Si Bin agar dia melakukan penyelidikan tentang kematian ayahnya itu diantara orang-orang Yakka yang dahulu ikut bertempur melawan pasukan ayahnya. Mungkin ayah gadis-gadis ini akan dapat memberi banyak keterangan kepadanya.

   "Ah, kebetulan sekali. kami juga sedang melakukan perjalanan ke utara untuk mengunjungi kepala suku Yakka Mongol. Perkenalkanlah, nona. Aku bernama Cian Han Sin dan ini adalah sahabat baikku bernama Cu Sian"

   Pada saat itu, terdengar suara gaduh banyak orang dan juga suara derap kaki kuda. Dua orang gadis itu nampak gelisah dan mereka mendekati penolong mereka. Tanpa disengaja Loana mendekati Han Sin dan Hailun mendekati Cu Sian, bahkan memegang lengan pemuda itu. Dua orang pemuda itupun membalikkan tubuh menghadapi orang-orang yang baru datang untuk melakukan perlawanan.

   Akan tetapi yang muncul itu adalah orang-orang Mongol yang mengawal kedua orang gadis itu. Temugu yang tinggi besar itu segera meloncat dari atas kudanya dan sikapnya mengancam ketika dia melihat dua orang keponakannya berada di situ bersama dua orang pemuda Han yang tidak mereka kenal. Belasan orang mongol yang datang berjalan kaki dan ada pula yang berkuda, segera mengepung dengan sikap mengancam.

   "Dua orang muda yang bosan hidup. Bebaskan dua orang nona kami sebelum kami menggunakan kekerasan dan membunuh kalian" bentak Temugu yang sudah siap dengan pedang bengkok di tangannya.

   Hailun segera berkata dengan suara nyaring "Paman Temugu, jangan ngawur. Dua orang pemuda ini justeru yang menolong kami dari tangan perampok"

   Temugu membelalakkan matanya, akan tetapi karena sudah menjadi watak Hailun yang suka main-main, maka dia memandang kepada Loana seperti minta penjelasan. Loana menghadapinya dan berkata "Memang benar Paman Temugu. mereka ini bernama Cian Han Sin dan Cu Sian. Dua orang pemuda yang baru saja membebaskan kami dari tangan kepala perampok"

   Mendengar penjelasan Loana ini, Temugu tidak ragu lagi dan dia cepat memberi hormat dengan mengangguk kemudian menjulurkan tangan mengajak dua orang pemuda itu bersalaman "Ah, maafkan kami yang tidak tahu. Kami berterima kasih sekali kepada dua orang sobat baik. Ketua kami tentu akan menerima kalian sebagai tamu-tamu agung dan akan mengucapkan terima kasihnya"

   Sebelum Han Sin dan Cu Sian menjawab, Loana sudah berkata lagi "Memang mereka berdua ingin mengunjungi tempat kita dan bertemu dengan ayah, paman"

   Hailun menyambung "Baiknya begini saja, paman Temugu. Paman dan para pengawal melanjutkan perjalanan ke Shan-si dan menyerahkan barang-barang hadiah dari ayah, sedangkan kami berdua akan kembali saja bersama saudara Cian Han Sin dan Cu Sian"

   Mendengar usul Hailun itu, Temugu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala tidak setuju "Hailun, bagaimana kalian pulan sendiri? Kami yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian. Kalau terjadi apa-apa dengan kalian bagaimana kami akan mempertanggung jawabkannya?"

   "Ah, paman. Dengan dikawal dua orang penolong kami ini, kami akan sampai di rumah dengan selamat. Jangan pandang ringan mereka berdua, paman, Pengawalan mereka berdua jauh lebih aman dibandingkan pengawalan kalian yang tujuhbelas orang banyaknya itu"

   Temugu tetap tidak setuju, akan tetapi Loana berkata dengan suaranya yang halus namun meyakinkan" Ucapan, adik Hailun tidak berlebihan, paman Temugu. Buktinya tadi, dengan pengawalan paman sekalian, tetap saja kami di tawan penjahat. Kalau tidak ada dua orang penolong ini, entah bagaimana jadinya dengan kami. Pula, setelah mengalami peristiwa tadi, kami berdua sudah tidak bersemangat lagi untuk melanjutkan perjalanan. Biarkan kami berdua pulang bersama dua orang pemuda ini yang hendak berkunjung kepada ayah"

   Temugu tidak dapat membantah lagi. Juga kini dia mengenal bahwa pemuda yang berkelebat cepat membantu mereka melawan gerombolan adalah pemuda yang tinggi tegap dengan pakaian sederhana ini. Memang hanya sekelebatan saja dia melihat bayangan yang merobohkan banyak anggota perampok tadi, akan tetapi dia ingat benar bahwa bayangan itu mengikat rambutnya dengan pita kuning.

   Temugu menginginkan kepastian dari dua orang pemuda yang sama sekali asing itu "Sobat muda berdua, apakah benar-benar kalian berdua berani mempertanggung jawabkan keselamatan dua orang keponakan kami ini dan mengantar mereka sampai ke tempat tinggal kami?" Temugu memandang tajam kepada Han Sin dan Cu Sian.

   Han Sin segera menjawab "Paman yang baik, sesungguhnyalah bahwa aku dan sahabatku ini hendak pergi mengunjungi Kapala Suku Yakka Mongol untuk suatu keperluan penting. Kami sama sekali tidak mengajak kedua orang nona ini untuk pergi bersama kami"

   Mendengar ini, Loana berkata "Sobat Cian Han Sin. memang kalian tidak mengajak kami berdua, akan tetapi setelah terjadi peristiwa ini kami berdua kakak beradik ingin pulang saja. Dan mendengar bahwa sobat Cian Han Sin dan Cu Sian hendak mengunjungi ayah kami, maka hal itu kebetulan sekali. Kita dapat melakukan perjalanan bersama"

   "Kakak Loana berkata benar" sambung Hailun"Perjalanan dari sini menuju ke perkampungan kita aman, tidak akan ada yang berani mengganggu kami. Bahkan tanpa pengawalan sama sekalipun kami berdua berani melakukan perjalanan pulang. Kami berdua bukanlah gadis-gadis lemah dan cengeng, Karena kebetulan dua orang pemuda ini hendak berkunjung ke tempat tinggal kami, apa salahnya kalau kami berdua melakukan perjalanan dengan mereka?"

   Cu Sian merasa tidak enak kalau diam saja "Sudahlah, biarkan dua orang nona ini melakukan perjalanan pulang bersama kami berdua. tentang keselamatan mereka berdua, jangan khawatir. Kalau terjadi gangguan dan halangan, akulah yang akan melindungi mereka dengan taruhan nyawa" Ucapan ini terdengar gagah sekali. Mendengar ini, Hailun mendekati Cu Sian dan gadis ini berkata kepada pamannya.

   "Paman dengar itu? Dengan pengawalan sobat Cu Sian ini, aku akan merasa lebih aman daripada dikawal pasukan pengawal kita"

   Wajah Temugu berubah kemerahan dan sambil mengerutkan alisnya dia berkata "Semua pengawal ini manjadi saksi, bahwa pemisahan diri kami ini adalah kehendak kalian berdua sendiri. Kalau sampai terjadi sesuatu, jangan persalahkan kami"

   Han Sin merasa tidak enak sekali. Diapun tidak ingin mengajak kedua gadis itu. Adalah mereka berdua itu yang menghendakinya sendiri. Kalau dia merasa setuju mereka berdua ikut dan melakukan perjalanan bersama dia dan Cu Sian, hal itu adalah karena dengan adanya dua orang gadis itu tentu akan lebih memudahkan dia mencari keterangan tentang kematian ayahnya di perkampungan Yakka itu.

   "Aku mempunyai usul yang kiranya dapat kalian terima. Bagaimana kalau para pengawal ini di bagi dua? Sebagian melanjutkan perjalanan ke Shan-si dan yang sebagian lagi tetap mengawal kedua orang nona pulang ke utara bersama kami"

   Usul Han Sin ini di terima dengan suara bulat. Temugu lalu membagi pasukan pengawalnya. Delapan orang di tugaskan untuk mengawal dua orang keponakannya sedangkan selebihnya ikut dengan dia ke Shan-si. Dan dua ekor kuda di berikan kepada Han Sin dan Cu Sian.

   Dua rombongan ini lalu berpisah dan Han Sin bersama Cu sian dan dua orang gadis itu di kawal delapan orang, menunggang kuda menuju ke utara.

   ***

   Seperti kehidupan para nenek moyang mereka, Suku Yakka Mongol hidup sebagai suku perantau, hanya menetap untuk sementara di daerah yang mereka anggap subur dan menguntungkan. Apabila daerah itu sudah tidak menguntungkan lagi. mereka memboyong seluruh keluarga mereka, pindah ke daerah baru yang lebih baik.

   Karena itulah, di setiap daerah yang mereka pilih sebagai tempat tinggal sementara, mereka tidak pernah atau jarang sekali membangun rumah tinggal yang tetap. mereka lebih suka mendirikan kemah-kemah yang mudah di bongkar pasang.

   Pada waktu itu, suku Yakka Mongol itu bertempat tinggal di daerah yang subur, diantara Sungai Kerulon dan Sungai Ono. Bukit-bukit di sekitar tempat itu penuh dengan hutan lebat. Di sebuah yang lembah yang penuh dengan padang rumput, mereka mendirikan kemah-kemah mereka.

   Rumah atau kemah mereka itu terbuat dari bulu binatang kempa yang di tangkupkan pada rangka dari kayu. Dibagian paling atas terdapat sebuah lubang untuk mengeluarkan asap. Dinding kemah itu di kapur dan dihiasi dengan lukisan-lukisan. Kemah yang paling besar dan mewah tentu saja menjadi tempat tinggal kepala suku mereka, yaitu Tarsukai. Kemah seperti ini, di dalam bahasa mereka di sebut Yurt. Bentuknya agak bundar dan bentuk ini menyebabkan angina yang meniup kuat-kuat akan melewatinya Tanpa menimbulkan bahaya tumbang atau runtuh.

   Di dalam perkampungan suku Yakka itu, perkemahan milik Tarsukai berada di tengah-tengan, terdiri dari beberapa buah Yurt yang mengelilingi yurt yang terbesar. Para isterinya tinggal bersama anak-anak mereka dalam sebuah yurt. Sebuah yurt untuk seorang isteri dan anak-anaknya.

   Ketika Han Sin dan Cu Sian tiba di perkampungan itu, mereka di sambut oleh orang-orang Yakka dengan heran dan juga gembira. Apalagi ketika mereka mendengar dari para pengawal bahwa dua orang itu adalah pendekar-pendekar yang telah menyelamatkan dua orang nona mereka dari tangan kepala perampok, semua orang memandang kepada dua orang pemuda itu dengan takjub. Di dampingi oleh Loana dan Hailun, kedua orang pemuda itu dipersilahkan memasuki kemah yang terbesar, yang menjadi tempat tinggal dan juga tempat pertemuan dari Tarsukai.

   Dengan kikuk dan juga terheran-heran, Han Sin dan Cu Sian memasuki kemah itu dan mengamati keadaan di dalam kemah. Kemah itu besar dan luas sekali dan di situlah tersimpan milik keluarga Tarsukai, kepala klan (suku) Yakka mongol itu. Ada permadani yang tebal dan indah berasal dari Bhokhara atau Kabul, yang di bawa oleh para pedagang dari barat. Ada pula peti-peti besar berisi pakaian dari sutera yang mereka peroleh dari tukar menukar barang dengan pedagang-pedagang bangsa Arab. Ada pula barang-barang dari perak ukir-ukiran. Di sudut terdapat sebauh rak penuh dengan senjata yang sebagian tergantung pada dinding kemah, pedang-pedang dari Turki. lembing-lembing, kotak-kotak busur dari gading dan bambu, anak-anak panah dari berbagai jenis terhias bulu-bulu indah dan perisai-perisai dari kulit yang di cat beraneka corak dan warna.

   Han Sin dan Cu Sian merasa asing sekali, seolah masuk ke dalam dunia yang lain sama sekali. Juga suasana di situ bebas namun mengandung suasana yang menyeramkan, seolah-olah semua seramah-tamahan itu dalam sekejab dapat berubah menjadi kebengisan.

   Didalam yurt besar itu, seperti juga dalam yurt-yurt lainnya, terdapat perapian yang menhangatkan hawa dalam kemah itu.

   Seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun duduk di atas sebuah kursi berukir dengan sikap gagah. Kedua kakinya terpentang lebar, kepalanya juga tegak. Pakaiannya berbeda dengan pakaian orang orang Yakka lainnya, karena dia memakai jubah dari bulu. Pria ini bersikap seperti seekor burung rajawali yang bertengger di puncak pohon, gagah dan berwibawa.

   Loana dan Hailun segera lari kedepan menyalami ayah mereka dan mencium tangan ayah mereka. Tarsukai yang tadinya berwajah seperti topeng itu tiba-tiba saja nampak tampan ketika tersenyum dan matanya bersinar-sinar, mulutnya kelihatan ramah sekali. Dia merangkul Loana dengan tangan kanan dan Hailun dengan tangan kiri.

   "Hemm, anak-anakku yang nakal. Apa yang ku dengar dari pelaporan para pengawal tadi? Kalian tidak melanjutkan perjalanan ke Shan-si akan tetapi di tengah perjalanan lalu menghentikan perjalanan dan pulang? Dan laporan itu mengatakan bahwa kalian di tawan perampok? Bagaimana sebetulnya, apa yang terjadi?"

   Hailun terkekeh dan mengelus tangan ayahnya "Ah, ayah menghujani kami dengan pertanyaan-pertanyaan. Sebelum kami bercerita, ayah, lebih dulu perkenalkanlah, dua orang pemuda itu adalah penolong-penolong kami. Ini Cian Han Sin dan yang itu Cu Sian"

   Tarsukai menoleh dan memandang kepada dua orang pemuda yang masih berdiri di depannya. Sejenak dia memandang penuh perhatian dan selidik, kemudian dia mengangguk. Han Sin dan Cu Sian segera memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada yang di balas oleh Tarsukai dengan membungkuk. Kemudian kepala suku itu bangkit berdiri dan nampaklah bentuk tubuhnya yang kokoh kuat, tinggi dan berotot.

   "Kalian telah menolong kedua orang puteri kami? Kalau begitu, duduklah. Kalian adalah sahabat-sahabat kami dan menjadi tamu-tamu kehormatan kami" Tarsukai mempersilahkan kedua orang muda itu duduk di atas bangku pendek, sedangkan dua orang puterinya duduk bersimpuh di atas permadani.

   "Terima kasih" kata Han Sin yang di turut oleh Cu Sian. Mereka duduk di depan kepala suku itu.

   "Nah, anak-anakku, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi" kata Tarsukai.

   "Ayah, kami melakukan perjalanan ke selatan dengan lancar. Bahkan kami berdua sempat singgah di tempat-tempat yang indah, bertamasya di danau-danau. Akan tetapi ketika kami tiba di perbatasan, di dalam hutan, tiba-tiba muncul sekelompok kijang. Aku dan adik Hailun tertarik dan kami berdua mengejar kijang-kijang itu sambil melepaskan anak panah"

   "Anak panah kami mengena, ayah" sambung Hailun "Akan tetapi kijang-kijang itu masih dapat berlari memasuki hutan dan kami terus mengejar"

   "Dan tiba-tiba muncul segerombolan orang jahat itu" kata Loana "Kepala perampok itu lalu menyerang aku dan Hailun. tiba-tiba saja kami berdua tidak mampu bergerak dan dia lalu memanggul kami dan membawa kami pergi memasuki hutan"

   "Hemmm, apa kerjaannya paman kalian Temugu? Apa dia tidak melindungi kalian?" Tanya Tarsukai dengan nada marah.

   "Paman dan para pengawal melakukan pengejaran kepada kami berdua akan tetapi mereka sibuk melawan serangan anak buah gerombolan perampok, ayah" kata Loana "Akan tetapi untunglah kami di tolong oleh dua orang sahabat yang gagah perkasa ini"

   "Ayah, hebat sekali kepandaian Cu Sian ini" kata Hailun sambil menunjuk kearah pemuda itu" Dia muncul dan menyerang kepala perampok yang menyeramkan itu. Hanya dengan sebatang tongkat dia menghadapi kepala perampok yang bersenjata golok besar dan akhirnya monyet hitam itu melarikan diri. Kalau tidak ada Cu Sian ini, entah apa jadinya dengan kami"

   Tarsukai mengangguk-angguk sambil memandang kepada Han Sin dan Cu Sian, terutama sekali kepada Cu Sian. Diam-diam kepala suku ini kagum akan tetapi juga meragukan cerita kedua puterinya. Pemuda-pemuda yang penampilannya tidak mengesankan itu, nampaknya hanya pemuda-pemuda pelajar yang lemah lembut, bagaimana mungkin dapat menjadi seorang laki-laki yang jantan dan kuat?

   Akan tetapi, karena bukan hanya dua orang puterinya yang bercerita, akan tetapi juga para pengawal melapor kepadanya akan kelihaian dua orang pemuda itu, maka diapun percaya walaupun tidak yakin benar karena tidak menyaksikan sendiri. Untuk menyatakan terima kasihnya, tarsukai lalu mengadakan pesta untuk menyambut dan menghormati dua orang tamu agungnya. Dua orang pemuda itu tentu saja merasa gembira akan penyambutan yang sedemikian ramah dan baiknya. Mereka mendapatkan sebuah kemah sendiri untuk mereka berdua tinggal. di dalam kemah yang tidak berapa besar namun lengkap itu, Han Sin dan Cu Sian beristirahat setelah mereka ikut hadir dalam pesta untuk menyambut mereka dan makan minum sampai kenyang.

   


   
Di dalam kemah itu hanya terdapat sebuah tempat tidur yang hanya merupakan sebuah kasur bulu yang terletak di atas permadani. kasur ini kurang lebih satu setengah meter lebarnya dan melihat ini, Cu Sian mengerutkan alisnya dan berkata "Sin-ko, malam nanti aku akan tidur di atas permadani saja dan kau boleh tidur di atas kasur"

   "Ah, Sian-te. Kasur ini cukup besar untuk kita berdua" bantah Han Sin.

   "Sudah sering kukatakan padamu, Sin-ko. Aku tidak biasa tidur sekamar dengan orang lain dan kalau hal itu dipaksakan, semalam suntuk aku takkan dapat tidur. Apalagi satu tempat tidur. Sudahlah, kalau kau memaksa, aku malah akan tidur di luar saja"

   Melihat Cu Sian ngambek, Han Sin tersenyum "Baiklah, aku tidak akan memaksamu, Sian-te. Kau boleh tidur di atas kasur itu seorang diri dan aku yang tidur di permadani"

   "Tidak, kau yang di kasur"

   "Aihh, Sian-te. Seorang kakak harus mengalah kepada adiknya, bukan? Hanya aku merasa heran, bagaimana kelak kalau kau sudah beristeri? Apakah kaupun akan tidur berpisah tempat tidur dan berpisah kamar?"

   "Aku tidak akan beristri" kata Cu Sian tegas.

   Han Sin tertawa dan menggoda "Wah, jangan sombong kau, Sian-te. Kalau kau takabur, kelak kau akan malu sendiri. Aku tahu bahwa sekarangpun sudah ada bidadari yang siap melepaskan anak panah asmaranya kepada hatimu"

   "Jangan mengacau, Sin-ko"

   "Aih, apa kaukira aku tidak tahu? Apakah kau hanya pura-pura tidak melihat dan tidak tahu? Aku melihat puteri Hailun yang cantik jelita itu telah jungkir balik jatuh cinta kepadamu, Sian-te"

   Cu Sian cemberut "Hemm, jangan menggoda, Sin-ko. Apakah kau kira aku tidak tahu betapa Loana memandangmu dengan sepasang mata redup memancarkan cinta? gadis itu mencintaimu, Sin-ko"

   Han Sin menghela napas panjang dan berkata dengan sungguh-sungguh "Ah, Sian-te. Akupun tahu akan hal itu dan aku merasa kasihan sekali padanya. Ia seorang gadis yang baik hati dan memenuhi semua syarat untuk dapat menjadi seorang istri yang amat baik. Sayang sekali, aku belum berpikir tentang perjodohan, bahkan tugasku disinipun belum sempat ku lakukan. Aku akan menanti saat yang baik untuk minta keterangan dari paman Tarsukai. Akan tetapi aku harus berhati-hati. Dia kelihatan seorang laki-laki yang keras hati dan mendiang ayahku dahulu pernah menjadi musuhnya dalam pertempuran. Aku khawatir dia akan marah dan membenciku kalau aku berterus terang bahwa aku adalah putera mendiang Panglima Cian Kauw Cu"

   "Hal itu dapat dilakukan kalau sudah terbuka kesempatan bagi kita, Sin-ko. Agaknya dia belum percaya benar kepada kita. Akan tetapi. kau katakan tadi bahwa Loana memenuhi semua syarat untuk menjadi seorang isteri yang baik. Ah, agaknya kau seorang filsuf yang mengenal benar watak-watak seorang wanita. Sin-ko, katakanlah kepadaku, bagaimana agar dapat memenuhi syarat menjadi seorang isteri yang baik itu? Agar kelak aku dapat memilih yang benar"

   Han Sin memandang seperti orang melamun, pandang matanya kosong dan jauh. Dia membayangkan wajah dan watak ibunya "Seorang isteri yang baik pertama-tama tenatu saja yang memiliki kecantikan yang wajar dan aseli, tidak polesan ".

   "Hemmm, ya, Sin-ko?" Cu Sian mendesak.

   "Kecantikan seperti itu adalah khas kecantikan wanita, cantik lahir bathin, tanpa cacat"

   "Seperti Loana itu?"

   "Ya, seperti itulah, akan tetapi aku belum yakin benar akan kecantikan bathin Loana"

   "Lalu, bagaimana lagi?"

   "Ia harus mencinta suaminya dengan sepenuh jiwa raganya, setia sampai mati"

   "Hemmm, begitukah? Lalu apa lagi?"

   Macam kesukaran, berani menghadapi bahaya apapun demi membela suaminya karena di dalam lubuk hatinya hanya ada bayangan suaminya, tidak ada bayangan pria lain ""

   "Begitukah? Lalu bagaimana lagi?"

   "Ia harus melayani segala keperluan hidup suaminya, selalu siap untuk menyenangkan dan menghibur hati suaminya, ikut bergembira ria kalau suaminya sedang senang dan menghibur kalau suaminya sedang susah. Ia harus menaati semua kehendak suaminya dan """" "

   Tiba-tiba Cu Sian yang sejak tadi sudah merasa jengkel dengan penggambaran Han Sin, tidak dapat menahan lagi hatinya dan meledaklah kejengkelannya.

   """"". Dan kau boleh menikah dengan wanita bayangan itu, dewi pujaan yang hanya hidup dalam mimpi. Kau boleh menikah dengan wanita roh halus atau siluman itu, karena wanita macam itu tidak berdarah daging, dan tidak dapat hidup di dunia ini, wanita macam itu hanya makan harumnya bunga dan asap hio, sebangsa setan kuntilanak"

   "Ehhh? dan kenapa kau marah-marah, Sian-te?"

   "Tentu saja aku marah karena kau adalah seorang laki-laki yang tolol, sombong dan tak tahu diri. Huh, aku muak, belum pernah aku bertemu orang sepertimu. Mual perutku melihatmu Sin-ko" Cu Sian lalu keluar dari kemah itu dengan muka merah dan marahnya.

   Han Sin tertegun bingung. Dia masih duduk bersila dalam kemah itu, di atas permadani. terheran-heran melihat sikap Cu Sian. Kenapa pemuda itu marah-marah kepadanya? Padahal dia hanya mememuji kecantikan Loana. Loana "? Ah, apakah Cu Sian mencinta Loana sehingga timbul cemburu di hatinya di kala dia memuji-muji gadis itu?

   Perlahan-lahan dia melangkah keluar kemah. Dia melihat Cu Sian berdiri di depan serumpun bunga. Dia menghampiri sampai dekat.

   "Sian-te, maafkanlah aku"

   Cu Sian memutar tubuhnya menghadapinya. Mulutnya masih cemberut, akan tetapi pandang matanya tidak semarah tadi.

   "Apa yang harus di maafkan?" dia bertanya dan matanya memandang nakal.

   "Aku tadi telah membuatmu marah " kata Han Sin dan pemuda ini merasa heran akan dirinya sendiri. Kenapa dia demikian membutuhkan sahabat yang kadang amat nakal ini? Bahkan justeru kenakalan Cu Sian yang membuat dia tidak ingin kehilangan sahabat itu. Kenakalan itu bagaikan bumbu penyedap dalam hidupnya.

   "Sudahlah, jangan bicarakan tentang itu lagi, Sin-ko, lihat. Di sana orang-orang nampak sibuk, membawa bunga-bunga dan menghias tenda besar"

   Melihat sikap Cu Sian sudah biasa lagi, diapun memandang dan benar saja. Orang-orang Mongol itu sedang sibuk mengatur dan menghias tenda besar yang berdiri di tengah-tengah, tenda tempat tinggal Tarsukai.

   Pada saat itu, Loana dan Hailun datang menghampiri mereka. Dua orang pemuda itu segera menyambut dengan gembira.

   "Ah, sahabat Cu Sian dan Han Sin. Kami kira kalian masih beristirahat dalam kemah, tidak tahunya sudah berada di luar. Apakah kalian tidak lelah dan pergi berisitirahat?" Tanya Hailun sambil tersenyum manis menghampiri Cu Sian.

   Cu Sian tersenyum dan pemuda ini melihat betapa Loana secara otomatis menghampiri Han Sin dan tersenyum manis kepada pemuda itu.

   "Tidak, kami tidak lelah" kata Cu Sian.

   "kalau begitu. mari Bantu aku mencari bunga untuk menghias tempat pesta" kata pula Hailun sambil menarik tangan Cu Sian.

   "Hemm, kami melihat kesibukan orang-orang menghias kemah itu. Ada pesta apakah?" Han Sin bertanya.

   "Ayah hendak mengadakan pesta tari-tarian malam ini untuk menghormati kalian. Cian Han Sin, malam nanti ku harap kau suka menari denganku" kata Loana kepada Han Sin.

   "Dan kau harus menari denganku, Cu Sian" kata Hailun.

   "Menari? Kami tidak dapat" kata Cu Sian sambil tertawa.

   "Mudah sekali. Asal kalian menirukan gerakan kami beres" kata Hailun.

   Kemudian ia menarik tangan Cu Sian "Marilah, Cu Sian, temani aku memetik bunga"

   Han Sin tersenyum melihat Cu Sian dipaksa pergi oleh Hailun dan dia memandang Loana yang masih berdiri di dekatnya. Loana juga memandang kepadanya dan Han Sin melihat betapa sepasang mata indah itu memandang kepadanya penuh kagum, dan dari sinar mata itu jelas nampak perasaan gadis itu yang seperti memujanya. Dia menjadi salah tingkah melihat betapa Loana benar-benar menyukainya.

   "Eh, Loana. Sebetulnya pesta tari-tarian itu bagaimanakah? Apa saja yang terjadi dalam pesta itu?"

   "Pesta seperti ini diadakan setiap tahun, akan tetapi untuk tahun ini di ajukan penyelenggraannya untuk menghormati kalian. dalam pesta ini biasanya diberi kesempatan kepada muda-mudi untuk memilih pasangannya tanpa perasan malu karena di lakukan secara terbuka dan ramai-ramai. Setiap orang gadis yang menari akan berhak memilih pasangannya masing-masing. Ahli-ahli menabuh alat musik dan penyanyi-penyayi terbaik akan meramaikan pesta. Kadang-kadang terjadi juga perebutan seorang gadis oleh beberapa orang pemuda"

   Han Sin mengerutkan alisnya "Hemm kalau begitu tentu akan terjadi keributan dan perkelahian"

   "Kekacauan dan perkelahian tidak akan ada karena hal itu dilarang keras. Akan tetapi perebutan yang timbul diselesaikan secara jantan, yaitu dengan mengadu kegagahan di atas panggung. Yang kalah dalam pertandingan itu harus mengakui kekalahannya dan dia akan mundur"

   "Hem, jadi akan ada perkelahian juga, akan tetapi perkelahian yang di atur sebagai pertandingan. tentu akan jatuh korban"

   "Tidak, Han Sin. Adu kepandaian itu harus dilakukan dengan gagah dan jantan, tidak mempergunakan senjata. Mereka yang ilmu gulatnya lebih tinggi tentu akan keluar sebagai pemenang dan yang kalahpun tidak akan terluka parah apalagi mati"

   "Adu gulat?"

   "Ya, karena ilmu gulat merupakan kebanggaan kami"

   Han Sin tertarik sekali.

   "Bagaimana ketentuan kalah menangnya?"

   Loana memandang sambil tersenyum heran. Bagaimana ada seorang pemuda, yang gagah perkasa pula, tidak mengerti tentang peraturan adu ilmu gulat?.

   "Sederhana saja, yang terbanting dan diringkus sampai tidak mampu melepaskan diri, itulah yang kalah. Marilah, Han Sin, kau Bantu aku mencari bunga untuk menghias bagian dalam kemah"

   Karena tangannya di tarik Loana, Han Sin terpaksa mengikuti gadis itu pergi ke tepi sungai dimana tumbuh banyak bunga beraneka warna. Akan tetapi baru beberapa langkah, dia melihat dua orang pemuda Mongol memandang kepada mereka dengan mata mengandung kemarahan besar. Han Sin melihat kebencian terpancar dari pandang mata mereka itu. Tentu saja dia terkejut dan bertanya kepada Loana.

   "Loana, lihat, siapakah dua orang pemuda itu?"

   Loana menoleh dan memandang kearah dua orang pemuda itu yang tiba-tiba memutar tubuh dan pergi dari situ. Dua orang pemuda yang bertubuh kekar, dengan otot melingkar-lingkar di tubuh mereka.

   "Ahhh, mereka itu adalah kakak Sabutai dan Camuka"

   "Siapakah mereka?"

   "Kakak Sabutai adalah putera paman Temugu, dan Camuka seorang pemuda kami yang terkenal gagah berani. Kedua orang muda itu adalah jago-jago muda kami, ahli-ahli gulat yang sukar di cari tandingannya"

   "Hemm, tadi kulihat mereka itu memandang kearah kita dengan mata penuh kemarahan. Mengapa?"

   Loana tersenyum "Dua orang muda tidak tahu diri itu menaksir aku dan Hailun. Akan tetapi kami tidak menyukai mereka. Marilah kita pergi" Mereka melanjutkan perjalanan dan Han Sin merasa hatinya tidak enak. Terbayang permusuhan mengancam dia dan Cu Sian dan dia harus cepat memberitahu Cu Sian agar sahabatnya itu berjaga-jaga. Dan dia mengambil keputusan untuk tidak terlalu lama berada di tempat itu. Setelah memperoleh keterangan dari Tarsukai, dia akan segera mengajak Cu Sian pergi dari situ.

   Akan tetapi ada kekhawatiran menyelinap dalam hatinya. Bagaimana kalau Cu Sian benar-benar mencinta Hailun atau Loana? Sahabatnya itu memiliki watak yang keras. Kalau mendengar bahwa dia mempunyai saingan dalam bercinta, tentu dia akan siap menghadapi dan melawan saingannya. Baru tadi saja ketika dia memuji-muji Loana, Cu Sian sudah kelihatan marah bukan main. Han Sin menghela napas. Dahulu dia sudah ragu untuk mengajak Cu Sian yang wataknya aneh, keras dan ugal-ugalan.

   ***

   Hailun memetik bunga sambil bernyanyi lagu mongol yang bagi telinga Cu Sian terdengar aneh namun indah. Suara gadis itu merdu dan menggetar dan setiap kali Cu Sian memandang kepadanya, ternyata gadis itupun berhenti memetik dan menatap wajahnya dengan sinar mata yang demikian jelas membayangkan cintanya.

   Setelah gadis itu selesai bernyanyi, Cu Sian memuji "Sungguh indah sekali suaramu, Hailun"

   Memang pujian inilah yang di harap-harapkan Hailun, maka begitu mendengar pujian Cu Sian, ia tersenyum manis "Kalau kau tahu artinya akan lebih indah lagi, Cu Sian" katanya dengan suara manja.

   Cu Sian tertawa, mengumpulkan bunga dari tangan Hailun di jadikan satu dengan bunga yang di petiknya dan meletakkannya ke dalam keranjang yang tadi dibawa oleh Cu Sian.

   "Hem, begitukah? Apa sih artinyanyanyianmu tadi?"

   "Tentang setangkai bunga merah yang sedang mekar mengharum" kata Hailun dan matanya bersinar-sinar.

   "Hem, lalu bagaimana?" Cu Sian tersenyum dan tertarik oleh kata-kata indah itu.

   "Setangkai bunga merah merindukan datangnya seekor kupu-kupu pujaannya. Akan tetapi yang berdatangan dan merubungnya hanyalah kumbang-kumbang kasar yang tidak di sukainya.

   "Cu Sian ""

   Sebutan itu begitu merdu keluar dari mulut Hailun, membuat Cu Sian menengok dan memandang gadis itu dengan heran.

   "Ya? Ada apakah, Hailun"

   "Yang bernyanyi tadi itu ""

   "Ya "?"

   "Bukan bunga merah, melainkan aku"

   Cu Sian tertawa He-he, tentu saja kau. Masa bunga merah dapat bernyanyi?"

   "Maksudku, akulah yang merindukan datangnya kupu-kupu pujaanku, dan aku sudah bosan dengan kumbang-kumbang yang merubungku"

   "Ehhh?"

   "Dan kaulah kupu-kupu pujaanku itu, Cu Sian. Aku " aku merindukanmu, aku memujamu, aku kagum kepadamu"

   Wajah Cu Sian berubah menjadi kemerahan dan pada saat itu, kebetulan dia memandang ke kiri dan melihat tak jauh dari situ Han Sin sedang berjalan membawa keranjang bunga dan bergandengan tangan dengan Loana. Mesra sekali.

   "Cu Sian, aku " aku ""

   "Lihat, Hailun. Lihat itu di sana. Kakakmu Loana ""

   Hailun menengok dan berkata gembira "Sudah kuduga. Kakak Loana tentu jatuh cinta kepada Han Sin. Dan aku girang sekali, tadinya aku khawatir ia akan jatuh cinta kepadamu, Cu Sian"

   Hailun lalu memegang kedua tangan Cu Sian dan memandang mesra.

   "Mari kita lanjutkan pekerjaan kita mengumpulkan bunga-bunga ini, Hailun. Aku malu kalau sampai terlihat mereka" Cu Sian melepaskan tangannya dan menyibukkan diri dengan memetik bunga-bunga yang sedang mekar.

   Sementara itu, Loana juga bersikap mesra kepada Han Sin. Namun Loana tidak seberani Hailun menyatakan cintanya, hanya dari sikapnya jelas dapat diketahui oleh Han Sin apa yang terkandung dalam hati gadis itu. Biarpun tidak ada perasaan cinta dalam hatinya terhadap Loana, namun dia tidak tega memperlihatkannya dalam sikap dan diapun membiarkan saja ketika Loana menggandeng tangannya. Ketika dia melihat Cu Sian bersama Hailun, melihat itu memegang kedua tangan Cu Sian dan memandang dengan mesra, melihat mereka bercakap-cakap, diapun tersenyum. Akan tetapi timbul kekhawatiran dalam hatinya. Cu Sian agaknya benar-benar saling mencinta dengan Hailun dan tentu Cu Sian akan berhadapan dengan pemuda yang mencinta Hailun. Dan dia yakin bahwa Cu Sian pasti tidak akan mau mengalah.

   Loana juga melihat adiknya bersama Cu Sian dan ia berkata "Han Sin, lihat itu Hailun bersama Cu Sian. Mereka itu serasi dan mesra benar, ya?"

   Han Sin melepaskan tangan Loana yang menggandengnya dan menyibukkan diri dengan dengan memilih bunga-bunga yang terindah "Biarlah kalau mereka memang saling mencinta. Semoga saja mereka akan hidup berbahagia"

   Sampai lama Loana hanya memandang kepada Han Sin. Ia tidak selincah adiknya dan berat rasanya lidah itu untuk mengeluarkan isi hatinya. Akhirnya dapat juga ia berkata "Han Sin "" ia berhenti lagi dan ragu.

   Mendengar nada suara panggilan itu, Han Sin berhenti memetik bunga dan menoleh "Ada apakah, Loana?"

   "Hailun akan hidup bahagia di samping Cu Sian sebagai suami isteri ""

   "Mudah-mudahan begitulah" kata Han Sin, akan tetapi suaranya tidak menyakinkan.

   "Dan kita "?"

   "Kita? Mengapa dengan kita?"

   "Apakah kita "". tidak dapat hidup berbahagia seperti mereka?" biarpun tidak secara langsung, akan tetapi pertanyaan Loana ini sudah cukup jelas.

   Han Sin maklum bahwa dia harus mengambil keputusan tegas. Maka di pandangnya wajah gadis itu dan dia berkata "Loana, dengarlah. Kita ini adalah sahabat baik, aku menganggapmu sebagai seorang kawan baik, dan aku sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan. Ini bukan berarti bahwa aku tidak menyukaimu, aku suka dan kagum kepadamu sebagai seorang teman baik"

   Loana nampak terpukul oleh ucapan itu itu, akan tetapi gadis itu hanya menundukkan mukanya. Bagaimanapun juga pemuda yang di pujannya ini mengaku suka dan kagum kepadanya, dan menjadi seorang kawan baik. Hal ini berarti masih ada harapan baginya. Perasaan suka dan kagum mudah saja berkembang menjadi perasaan cinta, pikirnya.

   Mereka melanjutkan pekerjaan mereka dan setelah mengumpulkan banyak bunga, Loana meninggalkan Han Sin untuk membantu pekerjaan orang-orang yang menghias tempat diadakannya pesta malam nanti. Demikian pula Hailun sudah berada di situ.

   Ketika Han Sin kembali ke kemahnya dan masuk ke dalam, dia melihat Cu Sian sudah rebah miring membelakanginya. Agaknya pemuda itu sudah tidur. Hampir dia lupa dan akan merebahkan diri di atas kasur di samping pemuda itu, akan tetapi dia segera teringat akan pantangan tidur berdua bagi Cu Sian. maka diapun merebahkan diri di atas permadani dekat pintu dan beristirahat.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 12


   ***

   Setelah bergantian mandi dan bertukar pakaian, Han Sin dan Cu Sian menerima kunjungan kepala suku Tarsukai sendiri yang datang menjemput mereka.
Segera kedua orang pemuda itu menyambutnya dan memberi hormat.

   "Ha-ha-ha" Tarsukai tertawa ramah "Malam ini kami sengaja mengajukan pesta musim semi yang setiap tahun kami adakan, sekali in isekalian untuk menyambut dua orang tamu agung kami"

   "Ah, paman terlalu baik kepada kami. Terima kasih, paman" kata Cu Sian "Pesta apakah yang akan paman adakan malam ini?"

   "Pesta muda-mudi, penuh dengan tarian dan nyanyian, dan ada pertandingan adu gulat pula. Selain memberi kesempatan kepada para gadis untuk memilih pasangan masing-masing, juga memberi kesempatan para jago muda berlaga memperlihatkan keahlian dan kekuatan mereka, sekalian memilih jago-jago muda yang akan dijadikan pimpinan pasukan.

   "Bagus. Aku senang sekali menonton pertandingan. Ketika kami berada di Shan-si, kamipun sempat menonton, bahkan mengikuti pertandingan adu kepandaian memanah dan silat untuk menerima perwira baru" kata pula Cu Sian.

   Tarsukai tersenyum dan mengelus jenggotnya yang panjang. Dia suka melihat Cu Sian yang sifatnya terbuka dan berani "Ha-ha-ha, di sini tidak perlu diadakan pertandingan memanah atau menunggang kuda, karena dengan sendirinya semua pemuda di sini mahir menggunakan anak panah dan menunggang kuda.

   Akan tetapi yang di adakan adalah pertandingan gulat, adu kekuatan dan kecepatan"

   "Wah, menarik sekali" kata pula Cu Sian "Bagaimana aturan menang kalahnya, paman?"

   "Tentu saja yang sudah teringkus dan tidak mampu bergerak lagi di anggap kalah. Marilah, Cian Han Sin dan Cu Sian, kalian berdua mendapat tempat kehormatan sebagai tamu kami" Kepala suka itu merangkul kedua orang pemuda itu dan di ajaknya pergi ke perkemahan induk dimana diadakan pesta itu.

   Musik sudah mulai dibunyikan ketika mereka bertiga memasuki kemah besar itu. Kemah itu dibuka separuh dan di depan kemah itu didirikan sebuah panggung dari kayu. Ternyata tari-tarian dilakukan didalam kemah sedangkan pertandingan gulat dilakukan di luar kemah, di atas panggung yang sudah di sediakan. Semua orang bangkit berdiri ketika kepala suku itu masuk dan dia mengajak Han Sin dan Cu Sian duduk di panggung kehormatan yang di bangun di kemah besar itu.

   Lebih dari dua puluh orang gadis sudah berkumpul dan duduk berkelompok di sudut. Mereka mengenakan pakaian warna-warni yang mewah dan semua wajah yang berada di situ nampak cerah. Penerangan cukup besar karena di mana-mana di gantung lampu-lampu, bahkan diluar kemah dinyalakan api unggun yang besar.

   Setelah semua orang yang berkepentingan, yaitu para gadis dan pemuda memenuhi ruangan itu, dan para orang-orang tua berkumpul dan menonton diluar kemah, pesta itupun dimulai atas isyarat Tarsukai. Gadis-gadis mulai bernyanyi dan sebagian pula dari mereka mengeluarkan hidangan dan kesempatan ini dipergunakan oleh mereka untuk mencari-cari, siapa pemuda yang akan dijadikan pasangan menari malam itu.

   Para gadis itu dipimpin oleh Loana dan Hailun sendiri yang mengenakan pakaian sutera yang berwarna cerah. Secara otomatis, ketika membawa hidangan, Loana menghampiri Han Sin dan Hailun menghampiri Cu Sian. Hal ini menjadi perhatian para pemuda yang memandang kearah mereka dengan mata melotot marah.

   "Ssttt, Cu Sian, kau berhati-hatilah terhadap dua orang pemuda di sana itu, yang mengenakan kain ikat kepala berwarna merah. Mereka cemburu dan marah kepada kita" Bisik Han Sin kepada sahabatnya. Cu Sian menoleh dan memandang. Melihat dua orang pemuda itu memandang marah, dia malah mengejek dan tertawa kepada mereka. Celaka, pikir Han Sin. Cu Sian benar-benar hendak mencari keributan.

   "Sian-te, sekali ini harap jangan mencari keributan" bisiknya pula.

   "Jangan khawatir, Sin-ko. Takut apa sih? Kalau ada apa-apa, biar aku yang maju menghadapi mereka"

   Suara alunan musik dannyanyian mengantar mereka menikmati hidangan. Setelah makan secukupnya, Tarsukai memberi isyarat kepada para pemain musik. Segera terdengar bunyi musik yang gembira.

   "Pesta tarian dimulai" Terdengar seruan dan duapuluh orang lebih gadis yang tadi menghidangkan makanan dan minuman, kini mencabut sehelai saputangan sutera dari saku baju mereka dan dengan gerakan dan mata mereka berlari-lari kecil mereka mulai menari, berputar-putar dan mata mereka melirik-lirik, mulut mereka tersenyum-senyum. Tubuh mereka meliak-liuk dengan lemah gemulai, pinggang yang ramping itu bergerak-gerak, melenggang-lenggok dalam tarian mereka. Beberapa saat kemudian, kepala suku Tarsukai sendiri yang berteriak.

   "Pemilihan pasangan di mulai"

   Agaknya para gadis itu masih malu-malu dan menanti sampai kedua orang puteri kepala suku itu mulai dengan pilihannya. Para pemuda sudah memasang aksi mengharapkan dipilih oleh para gadis yang mereka sukai. Loana dan Hailun sambil tersenyum lebar berlari kecil ke arah tempat duduk kehormatan dimana Han Sin dan Cu Sian duduk disebelah kepala suku Tarsukai dan para pembantu kepala suku itu.

   Han Sin dapat menduga bahwa Loana tentu akan memilih dia sebagai pasangan menari dan siapa lagi yang akan dipilih Hailun kalau bukan Cu Sian? Dia memperhatikan dua orang pemuda yang bernama Sabutai dan Camuka itu dan diam-diam dia merasa khawatir. dua orang pemuda itu berdiri sambil mengepal tinju memandang kearah dua orang gadis yang menghampiri tempat kehormatan.

   Akan tetapi mendadak terjadi hal yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan sebelumnya, Cu Sian bangkit berdiri dan pemuda itu dengan langkah lebar menyambut dua orang gadis yang datang sambil mengibarkan saputangan di tangan mereka. Tadinya tentu saja Han Sin hanya tersenyum melihat pemuda sahabatnya itu demikian tergesa-gesa menyambut gadis pilihannya, akan tetapi dia terbelalak dan menjadi bengong ketika melihat Cu Sian melewati Hailun dan menyambut saputangan Loana.

   Loana sendiri terkejut dan terbelalak, akan tetapi sapu tangannya telah dipegang ujungnya oleh Cu Sian dan pemuda itu malah dengan gaya mesra merangkul pinggangnya yang ramping dan di tariknya ketengah ruangan untuk menari. Han Sin memandang kearah Hailun dan melihat betapa gadis inipun terkejut, memandang dengan muka berubah pucat, lalu merah sekali, dan gadis ini menjadi termangu-mangu bingung karena pemuda pilihannya telah berpasangan dengan kakaknya. Bukan main marahnya hati Han Sin. Sahabatnya itu telah bermesraan dengan Hailun, akan tetapi sekarang sengaja menyakiti hati gadis ini dan meninggalkannya untuk merayu Loana. Padahal dari air mukanya, dia tahu bahwa Loana juga terkejut dan tidak suka, Akan tetapi terpaksa karena Cu Sian sudah menariknya. Perasaan iba yang sangat membuat Han Sin cepat berdiri. Dia sudah melihat seorang diantara dua pemuda yang mengincar dua orang puteri kepala suku itu, pemuda yang tinggi tegap dan bernama Sabutai, sudah melangkah, agaknya hendak menghampiri agar dipilih Hailun. Maka, cepat Han Sin mendekati Hailun dan menangkap ujung sapu tangan yang dipegang Hailun.

   Hailun terkejut, menoleh dan ketika melihat bahwa yang memegang ujung saputangannya adalah Han Sin, gadis ini tersenyum. Senyum yang menyedihkan.

   "Aku akan menegur sahabatku itu" bisik Han Sin kepada Hailun dan gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk. akan tetapi Han Sin melihat betapa kedua mata gadis manis ini basah. Dia tidak peduli betapa Camuka mengepal tinju dan mengamangkannya kepadanya. Karena dia tidak pandai menari tarian orang mongol, maka dia hanya meniru sedapatnya gerakan Hailun yang hanya merupakan gerakan tarian sederhana sambil mendorong gadis itu agar mendekati Cu Sian yang sudah menari dengan Loana.

   Akan tetapi agaknya Cu Sian memang sengaja menjauhinya karena setiap kali hendak didekati agar dia dapat menegur Cu Sian, pasangan itu lalu menari dengan berlari kecil menjauhinya. Dan yang membuat Han Sin terheran-heran dan marah sekali adalah ketika dia melihat betapa mesranya mereka menari.

   Bahkan Cu Sian berbisik-bisik dekat telinga Loana sehingga hidungnya hampir menyentuh pipi gadis itu. Dan yang membuat Han Sin penasaran adalah ketika dia melihat Loana yang tadinya seperti orang kaget dan heran, kini mulai tersenyum-senyum mesra dan balas berbisik. Tak dapat di ragukan lagi, kedua orang muda itu memang sedang asyik bermesraan seperti sepasang kekasih yang sedang mengobral janji muluk. Han Sin mengerahkan tenaga Sin-kangnya dan membuat telinganya dapat menangkap dengan tajam sekali. Dia dapat mendengar suara Cu Sian yang membuat mukanya berubah merah.

   "Loana sayang, kau masih meragukan hatiku? Hanya kau yang ku sayang, yang ku cinta sepenuh hatiku. Kau begini cantik jelita bagaikan bidadari """"

   "Akan tetapi """ bisik Loana "Hailun """ ia mencintaimu "" bukankah kaupun mencintainya?"

   "Ahhh, Hailun yang kekanak-kanakan itu. ia masih hijau, dibandingkan denganmu. Ia seperti seekor merpati disamping seekor burung hong"

   "Akan tetapi ". bagaimana dengan Cu Sian? Dia hanya mencintaiku ""

   "Ah tidak mungkin. Di Selatan dia sudah mempunyai dua orang wanita, seorang calon isterinya dan seorang lagi kekasihnya. Dia hanya mempermainkanmu. Hanya akulah satu-satunya pria yang mencintaimu, Loana manis """

   Loana nampak memejamkan matanya, seperti terayun ke sorga tertinggi mendengar rayuan seorang pemuda tampan seperti Cu Sian.

   Han Sin hampir saja meloncat untuk menghajar Cu Sian. Pemuda keparat. Pengkhianat. Dia tidak peduli andaikata dia diburukkan, akan tetapi pemuda itu jelas merayu Loana. Setelah Hailun jatuh hati kepadanya. Pemuda itu agaknya hendak menguasai kedua orang gadis itu. Mata keranjang, hidung belang. Tidak, dia harus mencegahnya.

   Kini semua gadis menari sudah mendapatkan pasangan masing-masing dan para pemuda yang tidak terpilih keluar dari kemah sambil bersungut-sungut. Akan tetapi tiba-tiba Camuka, jagoan gulat muda yang bertubuh tinggi besar itu. melompat ke atas panggung di depan kemah, membanting-banting kakinya sehingga mengeluarkan suara gaduh.

   Sikap itu merupakan tantangan, tanda bahwa ada pemuda yang merasa marah dan menantang saingannya. Kegaduhan ini menghentikan mereka yang sedang menari dan Tarsukai lalu memandang keluar, kearah pemuda yang berdiri bagaikan seekor biruang di tengah panggung itu.

   "Kaukah itu Camuka? Apa yang kau hendaki?" Tanya Tarsukai dengan suara garang.

   Camuka memberi hormat dan terdengar suaranya yang menggelegar.

   "Hormat saya kepada Khan yang perkasa. Semua orang tahu belaka bahwa Loana, puteri khan yang cantik jelita. Sudah sepatutnya kalau Loana menjadi jodoh pemuda paling perkasa di seluruh permukaan bumi ini. Akan tetapi malam ini ada pemuda lain yang berani bersaing dengan saya. Karena itu, saya menantang pemuda itu untuk bertanding dan membuktikan, siapa diantara kami yang lebih pantas menjadi pasangan Loana"

   Mendengar tantangan Camuka ini, semua orang tahu bahwa sebentar lagi akan ada pertandingan yang hebat dan mereka semua tertarik. Yang menggandeng Loana menari adalah Cu Sian, pemuda yang dikabarkan telah menolong dua orang puteri ketua itu dari tangan kepala perampok dan kabarnya pemuda remaja yang tampan sekali memiliki kepandaian tinggi. maka tentu akan terjadi pertandingan menarik. Semua orang menghentikan tarian mereka dan berbondong menuju ke bawah panggung untuk mencari tempat yang enak untuk menonton pertandingan.

   Biasanya, kalau ada dua pemuda memperebutkan gadis dan saling menantang, kepala suku tidak menentang bahkan dengan gembira menganjurkan mereka untuk bertanding. Akan tetapi sekali ini, Tarsukai mengerutkan keningnya dan membentak "Camuka, lupakah kau dengan siapa kau berhadapan? Pemuda yang menjadi pasangan Loana dalam pesta ini adalah Cu Sian, tamu kehormatan kita. Jangan bersikap kurang ajar terhadap tamu"

   Akan tetapi Cu Sian sudah cepat menghampiri Tarsukai dan berkata sambil tersenyum "Paman Tarsukai, jangan sungkan dan jangan khawatir, aku menerima tantangan pemuda itu" Tanpa menanti jawaban, Cu Sian sudah meloncat dan tubuhnya melayang seperti seekor burung saja ke atas panggung dan tiba di depan Camuka. Semua orang tertegun kagum. Belum pernah ada orang yang dapat melompat seperti terbang saja.

   Akan tetapi Camuka yang sudah penasaran dan marah itu tidak merasa gentar. Bagaimana dia dapat merasa takut berhadapan dengan pemuda kerempeng seperti itu. Sekali banting tentu tidak akan dapat bangun kembali, atau sekali terkam pemuda itu tentu tidak akan mempu berkutik lagi. Akan dia perlihatkan kepada semua orang, terutama sekali kepada Loana, betapa kuat dan gagah perkasanya dia. Sambil tersenyum mengejek Camuka segera menanggalkan bajunya bagian atas dan melemparkannya ke bawah panggung. Nampak dada bidang dan penuh otot melingkar-lingkar, sepasang lengan yang panjang dan kokoh kuat. Akan tetapi diapun tahu bahwa pemuda ini adalah seorang tamu kehormatan, maka dia tidak berani bersikap kasar dan berkata dengan lantang.

   "Sobat, tanggalkan bajumu agar kita dapat mulai bertanding"

   Cu Sian tersenyum lebar dan bertolak pinggang, agaknya tubuh atas telanjang yang kokoh kuat itu tidak membuatnya khawatir sama sekali.

   "Menanggalkan baju? Untuk apa? Seperti hendak mandi saja. Tidak, aku tidak perlu menanggalkan bajuku, aku akan menghadapi dan melawanmu dengan pakaian lengkap. Kau yang bernama Camuka, bukan? Dengar, Camuka, kalau kau dapat menagkap ujung bajuku ini saja, aku sudah mengaku kalah"

   Semua orang terlongong mendengar ini. Alangkah bodohnya dan lancangnya pemuda itu. Bertanding gulat tanpa melepaskan bajunya sama dengan sudah kalah sebelum bertanding. Kalau bertelanjang baju, lawan tidak akan mudah menangkap. Akan tetapi kalau berbaju tentu itu mudah di tangkap sehingga memudahkan lawan untuk membantingnya. Apalagi menantang untuk di tangkap ujung bajunya dan akan mengaku kalah kalau bajunya sampai dapat di tangkap.

   Camuka menjadi girang sekali. Sedikitnya, dia tadinya bersikap hati-hati karena diapun sudah mendengar bahwa pemuda ini lihai dan merupakan seorang pendekar dari selatan. Akan tetapi mendengar pemuda ini menantangnya dan akan mengaku kalah kalau ujung bajunya dapat di tangkap, tentu saja hal itu akan memudahkannya untuk mendapatkan kemenangan,

   Sementara itu, Loana dan Hailun, sudah duduk lagi di dekat ayah mereka. Kedua orang gadis itu tidak saling menyapa, bahkan dari pandang mata mereka terdapat perasaan tidak senang, terutama sekali padang mata Hailun. Dan kini mereka melihat kearah panggung dimana pemuda yang kini menjadi perebutan diantara mereka itu telah siap untuk bertanding melawan Camuka. Dari tempat duduk mereka itu memeang dapat menonton pertandingan dengan jelas dan tidak terhalang danini memang sudah diatur sebelumnya.

   Han Sin yang masih merasa penasaran dan marah kepada sahabatnya, juga terpaksa tidak mencampuri dan hanya duduk menonton. Dalam hatinya dia memaki-maki karena di anggapnya Cu Sian mencari perkara saja. Akan tetapi sama sekali dia tidak mengkhawatirkan akan keselamatan Cu Sian karena dia maklum bahwa sahabatnya itu memiliki kepandaian yang cukup lihai untuk membela diri, dan dia dapat menduga bahwa Camuka hanya seorang pemuda yang memiliki tenaga otot besar saja.

   Camuka kini memasang kuda-kuda, dengan kedua kaki di pentang lebar, kedua lutut di tekuk sehingga dia seperti setengah berjongkok, kedua lengan dikembangkan dan kedua tangan dengan jari-jari terbuka siap mencengkram atau menangkap.

   "Nah, sobat, aku telah siap. Apakah kau sudah siap?"

   Cu Sian sejak tadi mengikuti gerak-gerik Camuka dengan pandang matanya. Dia berdiri santai seenaknya dan berkata sambil tersenyum memandang rendah "Aku sudah siap sejak tadi. Mulailah"

   Camuka mengeluarkan bentakan panjang melengking, kemudian tubuhnya sudah menerjang cepat sekali ke depan, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri untuk mencengkram lawan. Semua orang memandang dengan hati tegang karena mereka sudah akan tahu akan ketangkasan dan kekuatan Camuka. Akan tetapi, ternyata terkaman itu hanya mengenai tempat kosong. Hampir tak dapat diikuti dengan gerakan Cu Sian tadi yang sudah mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi Camuka yang gagal serangannya itu sudah cepat mengejar dan menubruk lagi bagaikan seekor harimau menerkam domba. Sekali lagi Cu Sian mengelak, kini meloncat ke samping kiri tubuh Camuka. Melihat bayangan lawan berkelebat ke sebelah kirinya, tangan kiri Camuka cepat menyambar bagaikan gerakan seekor ular untuk mencengkram apa saja, bagaikan baju atau badan lawan. Serangan ini cepat sekali bagaikan lanjutan dari terkamannya yang luput. Melihat tangan itu meluncur seperti ular, Cu Sian lalu menangkis dengan tangannya sambil mengerahkan tenaga.
"Dukkk """ Lengan Camuka terpental dan dia meringis karena merasa betapa tulang lengannya seolah bertemu dengan sepotong baja yang membuat dia kesakitan. Akan tetapi dia menggulingkan tubuhnya di atas panggung. Bagaikan seekor trenggiling tubuh itu menggelinding kearah Cu Sian dan setelah dekat, tubuh itu mencelat ke atas dan kedua tangannya sudah menyambar lagi dengan cepatnya, kini mencengkram kearah kedua kaki Cu Sian. Tubuh Cu Sian tentu akan terbanting kalau kedua kakinua dapat di tangkap oleh sepasang tangan yang kuat itu. Akan tetapi kembali tangkapan itu itu luput karena tiba-tiba tangkapan itu luput karena tiba-tiba kedua kaki itu telah lenyap dari pandang mata Camuka. Kiranya Cu Sian sudah melompat ke atas dan ketika tubuhnya turun kembali kedua kakinya menekan kedua pundak Camuka.

   "Bresss "" Tak dapat di hindarkan lagi, tubuh Camuka terdorong roboh. Akan tetapi dia dapat menggulingkan tubuhnya lagi dan melompat berdiri. Matanya bersinar-sinar penuh kemarahan, mukanya kemerahan dan diapun menyerang lagi dengan cepat dan mengerahkan seluruh tenaganya. Setiap kali Cu Sian mengelak, Camuka menyambung serangannya dengan terkaman lain, susul menyusul dengan amat cepatnya. Semua orang tahu bahwa sekali saja Cu Sian dapat di terkam, tentu dia akan di banting dan di tekuk sehingga tidak mampu melepaskan diri lagi. Akan tetapi, semua serangan susul menyusul itu tidak pernah berhasil. Kalau tidak di elakkan, tentu di tangkis. Camuka merasa seolah dia menyerang sebuah bayangan sehingga dia menjadi pusing sendiri.

   Han Sin mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang karena dia maklum bahwa Cu Sian yang nakal itu sengaja mempermainkan lawannya. Kalau Cu Sian menghendaki, tentu dengan mudah sekali dia akan dapat mengalahkan lawannya dan menyudahi pertandingan itu. Dia mengerling kearah Loana dan merasa heran sekali, Loana menonton dengan wajah berseri, mulut tersenyum dan nampak gembira bukan main. Sebaliknya Hailun duduk dengan wajah cemberut. Benarkan Loana telah berbalik hati, dan jatuh oleh rayuan Cu Sian, kini menganggumi dan meninta Cu Sian?

   Pada saat itu, Camuka yang sudah menjadi pening dan penasaran sekali, menyerang dengan nekat sekali. Dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, yanag kanan mencakar kearah dada. Cu Sian mengelak ke kanan dan dari sudut itu tiba-tiba tubuh Cu Sian merendah dan kakinya mencuat dan menyapu kearah kedua kaki Camuka. Camuka tidak sempat menghindarkan diri dan tubuhnya segera roboh terpelanting. Ketika dengan cepat Camuka berguling dan hendak meloncat bangun, tiba-tiba kaki kiri Cu Sian sudah menyambar.

   "Dukkk" ujung kaki itu tepat mengenai leher Camuka dan pemuda Mongol itu terpelanting lagi. Dia mencoba untuk bengkit, akan tetapi Cu Sian cepat mengenai leher Camuka dan pemuda mongol itu terpelanting lagi. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi Cu Sian cepat menggerakkan kedua tangan. Jari tangan kanan dan kirinya sudah menotok ke pundak yang telanjang itu dan seketika tubuh Camuka terkulai, tidak mampu lagi menggerakkan kedua lengannya. Kedua lengan tangan merupakan senjata terpenting bagi seorang pegulat. Kalau kedua lengannya sudah tidak mampu berbuat sesuatu. Demikianlah, Camuka yang jatuh lagi menelungkup tidak mampu berbuat sesuatu dan ketika Cu Sian menginjak punggungnya dengan kaki kiri, dia hanya mampu mengerang dan terengah-engah, merasa seolah"olah yang menginjaknya itu kaki gajah yang amat berat.

   Tepuk tangan menyambut kemenangan Cu Sian ini. Sambil tersenyum bangga Cu Sian lalu cepat menotok kedua pundak Camuka membebaskannya dan pemuda tinggi besar itu bangkit berdiri sambil menyeringai menahan rasa nyeri dan malu. Akan tetapi dengan sikap gagah dia membungkuk kepada Cu Sian dan berkata lantang "Aku Camuka mengaku kalah" Dan dengan lesu diapun melompat turun dari atas panggung. Di bawah tepuk tangan yang memujinya Cu Sian melenggang kembali ke tempat kehormatan. mengangguk kepada Tarsukai dan menyambutnya dengan tepuk tangan pula. Cu Sian segera mengambil tempat duduk diantara Loana dan Hailun, dan sama sekali tidak memperdulikan Han Sin yang memandang kepadanya dengan wajah muram. Loana menyambutnya dengan wajah berseri dan mulut tersenyum.

   "Wah, kau memang hebat, Cu Sian" kata gadis ini sambil memegang tangan Cu Sian. Cu Sian tertawa dan ketika menengok ke kiri dan melihat Hailun berwajah muram, dia pun tetap tertawa kecil.

   Akan tetapi pada saat itu, tepuk tangan tak terdengar lagi dan orang-orang mencurahkan perhatian kepada seorang pemuda yang sudah naik ke panggung. Pemuda ini bukan main adalah Sabutai, seorang pemuda berusia duapuluh tahun yang tampan dan bertubuh tinggi tegap. Sabutai sebaya dengan Camuka, juga sama gagahnya, bahkan lebih tangguh karena dalam pemilihan jago gulat tahun lalu, Sabutai inilah yang menjadi juara setelah mengalahkan Camuka dalam pertandingan yang seru dan seimbang.

   Sabutai memberi hormat kepada Tarsukai dan dengan lantang dia berseru "Saya Sabutai, menantang sobat Cian Han Sin yang tadi menjadi pasangan Hailun menari"

   Singkat saja ucapannya itu, akan tetapi terdengar lantang dan merupakan tantangan langsung. Tarsukai yang mendengar ini, tersenyum kepada Han Sin, kau di tantang dan kalau kau meramaikan pesta ini agar lebih meriah, kami merasa senang sekali"

   Akan tetapi Han Sin cepat berdiri dan menjura kepada kepala suku itu "Tidak, paman. Sabutai adalah putera paman Temugu, dan masih keponakan paman sendiri. Untuk apa aku menandinginya? Aku hanya seorang tamu, dan aku tidak ingin merampas gadis manapun karena bukan itu tujuan kunjuganku ke sini"

   Sambil berkata demikian, Han Sin mengerling ke arah Cu Sian.

   Cu Sian bangkit berdiri dan sekali meloncat dia sudah tiba pula di atas panggung, berhadapan dengan Sabutai.

   "Sabutai, kalau kau menantang kakakku Han Sin, biar akulah yang mewakilinya. Dia adalah sahabatku dan juga aku menjadi pengawalnya"

   Sabutai nampak jerih. Dia sudah menyaksikan kehebatan pemuda ini ketika membuat Camuka tidak berdaya.

   "Cu Sian, aku hanya menantang pemuda yang menjadi sainganku menjadi pasangan Hailun. Aku tidak mempunyai urusan denganmu" jawab Sabutai tegas.

   "Akan tetapi dia tidak ingin merampas Hailun darimu. Dia tidak mencintai Hailun"

   "Aku akan tetap menantang dia kalau dia tidak berani, dia harus mengatakan sendiri" Sabutai berkata kukuh.

   Sementara itu, Tarsukai sudah memandang Han Sin dengan sinar mata tajam penuh selidik "Cian Han Sin, benarkah kau tidak menanggap Hailun sebagai pasanganmu?"

   "Tidak sama sekali, paman"

   Tarsukai menjadi merah mukanya. Sudah jelas bahwa puterinya itu tadi di ajak menari oleh Han Sin dan dia sudah mengharapkan puetrinya akan berjodoh dengan Han Sin. Dengan marah dia bertanya langsung kepada Hailun "Hailun, apakah kau mengharapkan Cian Han Sin sebagai pasanganmu"

   Hailun memandang kepada ayahnya, lalu memandang kearah Cu Sian yang masih berdiri di panggung, dan ia menggelengkan kepalanya.

   Kemarahan Tarsukai menghilang ketika dia mendapat jawaban yang menyakinkan dari Hailun dengan gelengkan kepalanya. Kalau puterinya tidak mencinta Han Sin, andaikata pemuda itu meminang puterinya, tetap saja tidak akan diberikannya. Maka diapun lalu meneriaki Sabutai yang masih berhadapan dengan Cu Sian.

   "Sabutai, kau tidak berhak menantang Han Sin karena dia tidak ingin merebut Hailun. Ini hanya kesalah pahaman belaka. Maka, turunlah dari atas panggung"

   Mendengar ini, Sabutai mengangguk dan melompat turun, hatinya lega karena Hailun ternyata tidak mencinta pemuda yang menjadi pasangannya menari tadi.

   Cu Sian juga berjalan dengan langkah gagah kembali ke tempatnya dan segera di sambut oleh Loana. Mereka nampak marah dan Hailun yang nampak muram.

   Setelah pesta itu di bubarkan, Han Sin segera menghadap Tarsukai dan berkata "Paman Tarsukai, aku ingin bicara empat mata dengan paman, kalau paman menyetujui"

   Tarsukai memandang kepada Han Sin dengan penuh selidik "Hemmm, ada urusan apakah, Han Sin? Apakah tidak dapat kita bicarakan di sini saja?"

   "Tidak, paman. Urusan ini bagiku amat penting, dan kerana urusan inilah saya datang ke utara ini. Ada sesuatu yang ingin ku tanyakan kepada paman"

   Tarsukai segera bangkit berdiri dan mengajak Han Sin pergi ke sebuah kemah lain yang kosong. Setelah mereka duduk berhadapan, kepala suku Yakka Mongol itu bertanya "Nah, apakah yang hendak kau tanyakan, Han Sin?"

   "Sebelumnya harap memaafkan apabila aku terlalu merepotkan paman, akan tetapi bagiku, yang ku tanyakan ini penting sekali. Ketika terjadi pertempuran antara pasukan kerajaan Sui dan para suku bangsa di utara sepuluh tahun yang lalu, apakah paman juga ikut memimpin kelompok Suku Yakka melakukan pertempuran melawan Pasukan Sui?"

   "Hemm, pertanyaanmu aneh, Han Sin. Tentu saja aku memimpin bangsaku melakukan perlawanan mati-matian. Akan tetapi hal itu telah lama sekali berlalu dan kini hubungan antara kami dan pejabat di Shan-si telah menjadi baik. Mengapa kau tanyakan?"

   "Begini, paman. Kalau paman memimpin dalam pertempuran, tentu paman mengetahui siapa yang menjadi panglima pasukan Sui pada saat itu?"

   "Panglimanya amat terkenal, yaitu Panglima Cian Kauw Cu yang pandai dan gagah perkasa, terkenal oleh bangsa kami sebagai panglima naga hitam karena pedangnya begitu hebat bagaikan seekor naga hitam yang mengamuk"

   "Nah, inilah yang hendak kutanyakan, paman. Bukankah Panglima Cian Kauw Cu itu tewas dalam suatu pertempuran? Tahukah paman tentang peristiwa kematiannya itu?"

   Tarsukai tertawa "Ha-ha-ha, kau bertanya kepada orang yang tepat, Han Sin. Justeru ketika itu aku memimpin pasukanku, bekerjasama dengan bangsa Turki, bertempur melawan pasukan yang di pimpin oleh Panglima Naga Hitam itu. Walaupun akhirnya kami mengakui keunggulan pasukan Sui, akan tetapi kami gembira karena panglima naga hitam tewas dalam pertempuran dahsyat itu"

   "Apakah paman melihat sendiri robohnya panglima itu?" Tanya Han Sin dengan jantung berdebar tegang.

   "Ah, tidak. Akan tetapi aku tertarik sekali mendengar tentang tewasnya panglima naga hitam itu, maka aku lalu mengumpulkan anak buahku yang mengetahui atau melihat robohnya sang panglima. Diantara anak buahku, kebetulan ada yang bertempur, tak jauh dari terjadinya peristiwa itu.

   "Kalau Panglima naga hitam terkenal tinggi ilmu kepandaiannya, bagaimana dia dapat tewas dalam pertempuran?"

   "Ah, sukar merobohkan panglima itu dan aku sendiri pernah merasakan kelihaiannya. Pedangku patah-patah dan terpaksa aku melarikan diri. Dia roboh karena ada penyerang gelap dari belakangnya yang melepas anak panah sehingga robohlah sang panglima besar itu, bukan oleh musuh, melainkan oleh orangnya sendiri"

   Han Sin tertarik sekali dan jantungnya berdebar semakin keras.

   "Oleh orangnya sendiri? apa maksud paman?"

   "Menurut kenyataan panglima itu roboh oleh anak panah yang di lepas dari belakang, maka siapa lagi kalau bukan anak buahnya sendiri yang menyerangnya dari belakang?"

   "Akan tetapi, tahukah paman siapa penyerang gelap itu?"

   "Hal itu tidak ada yang melihatnya, hanya menurut anak buahku, ketika panglima itu roboh, ada perwira Sui lain yang berjongkok mendekatinya. Seorang panglima pula, dan masih muda. Tidak lebih dari tigapuluh tahun. Dialah yang berjongkok dekat panglima naga hitam yang roboh itu dan dia pula yang mengangkatnya pergi. hanya itu yang kami ketahui.

   Biarpun tidak banyak keterangan itu, akan tetapi sudah membuat Han Sin merasa yakin bahwa pembunuh ayahnya seorang perwira Sui, ketika itu berusia tigapuluh tahun lebih. Dia harus menyelidikinya di kota raja, diantara para perwira tinggi yang dulu membantu ayahnya.

   "Banyak terima kasih atas keterangan paman. Dan sekarang aku hendak berpamit. Besok pagi-pagi aku akan meninggalkan tempat ini dan kembali ke selatan"

   "Aih, mengapa demikian tergesa-gesa? Tidak senangkah kau tinggal dengan kami di sini, Han Sin?"

   "Bukan begitu, paman. Akan tetapi aku sudah tinggal di sini selama hampir tiga pekan dan selama ini paman sekeluarga bersikap ramah dan baik kepadaku. Aku berterima kasih sekali, paman. Akan tetapi masih banyak urusan yang harus ku kerjakan"

   "Cu Sian juga pergi bersamamu?" Kalau dia terserah kepada dia saja, paman. Kami hanya sahabat yang kebetulan melakukan perjalanan bersama. Kalau dia menghendaki tinggal di sini selamanya, terserah, bukan urusanku"

   Tarsukai menghela napas panjang "Han Sin, tadinya aku sungguh mengharapkan agar kau dan Cu Sian dapat tinggal di sini selamanya dan menjadi mantu-mantuku, agar kalian dapat membantuku melatih ilmu silat kepada anak buahku"

   Han Sin tersenyum "Aku belum mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan perkawinan, paman. Entah kalau Cu Sian. Maafkan kalau aku mengecewakan hati paman yang baik"

   Demikianlah, Han Sin kembali ke kemahnya dan dengan hati mendongkol dia melihat Cu Sian sudah tidur mendengkur di atas kasur. Ingin sekali dia menyeret pemuda itu dan memakinya sebagai seorang pemuda mata keranjang yang telah mempermainkan cinta dan menghancur hati Hailun, atau mungkin pemuda itu demikian gila untuk menguasai kedua kakak beradik itu. Mendengkur, dia menahan kemarahannya. Untuk apa dia menegur? Bukan urusannya. Kalau dua orang gadis itu mau di permainkan Cu Sian, apa dayanya?

   Dengan hati mengkal Han Sin lalu tidur di atas permadani. Hatinya gelisah. Peristiwa itu membuat dia merasa kehilangan. Kehilangan seorang sahabat yang selama ini amat di kagumi dan di sayangnya. Akan tetapi sahabatnya itu ternyata hanya seorang pemuda hidung belang yang lemah terhadap kecantikan wanita. Orang semacam itu tidak pantas dijadikan sahabat. Akan tetapi dia merasa kehilangan.

   ***

   Ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin bangun dari tidurnya, pertama-tama yang dilakukannya adalah menoleh ke arah kasur dimana Cu Sian tidur. Dalam tidurnya tadi dia bermimpi tentang Cu Sian yang naik kuda memboncengkan Loana dan Hailun melarikan diri. Dan hatinya terkejut ketika dia tidak melihat Cu Sian di atas kasurnya. Pemuda itu telah pergi. Jangan-jangan dia pergi melarikan dua orang gadis kakak beradik itu seperti yang terjadi dalam mimpinya. Kalau benar demikian, dia akan melakukan pengejaran dan dia akan mencegahnya.

   Dia cepat berkemas, membuntal pakaiannya dan sambil menggendong pakaiannya dia keluar dari kemah itu. Pagi masih sepi karena pagi itu dingin sekali. Hanya kelihatan beberapa api unggun dinyalakan orang di beberapa tempat. Tiba-tiba seorang pemuda menghampirinya sambil menuntun kuda. Kuda itu sudah lengkap dengan pelananya dan ada bungkusan di atas pelana kuda. Orang itu ternyata adalah Sabutai.

   "Eh, kau Sabutai?" Tanya Han Sin, hatinya tegang, khawatir akan mendengar lenyapnya dua orang gadis itu, di larikan oleh Cu Sian "Ada apakah, Sabutai?"

   "Sobat, Han Sin, kau hendak pergi sekarang? Sepagi ini?" Tanya Sabutai dan nada suaranya terdengar ramah sekali sehingga Han Sin merasa heran. Baru kemarin dalam pesta tari pemuda ini menantangnya untuk bertanding memperebutkan Hailun.

   "Benar, Sabutai. Aku hendak pergi sekarang dan aku sudah berpamit malam tadi kepada paman Tarsukai"

   "Aku sudah tahu, Han Sin justeru sepagi ini aku mencarimu atas perintah paman Tarsukai semalam untuk menyerahkan kuda dan perbekalan ini kepadamu"

   Sabutai menyerahkan kendali kuda kepada Han Sin.

   "Ah, untuk apa semua ini, Sabutai. Sampaikan terima kasih ku kepada Paman Tarsukai. Selama tiga pekan aku tinggal di sini siperlakukan sebagai seorang sahabat dan tamu yang sudah lebih dari cukup. Akan tetapi aku tidak dapat menerima hadiah kuda dan perbekalan ini.

   "Akan tetapi, Han Sin. Paman Tarsukai sudah sepatutnya memberi hadiah kepadamu. Bukankah kau telah menyelamatkan Loana dan Hailun?"

   Han Sin tersenyum "Sabutai, hal itu tidak perlu di bicarakan lagi. Menolong siapa saja yang berada dalam kesulitan merupakan tugas kewajiban kita yang mempelajari ilmu-ilmu untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan. Bukan mengharapkan balas jasa dan hadiah. Hadiah hanya akan merendahkan perbuatan kita"

   "Ah, Han Sin. Kau seorang gagah perkasa sejati. Aku kagum kepadamu dan maafkanlah sikapku semalam yang berani menantangmu"

   Han Sin menatap wajah pemuda mongol itu sambil tersenyum "Kau tidak perlu minta maaf. Kau tidak bersalah dan memang sudah sepantasnya kalau kau membela nama dan kehormatan gadis yang kau cintai. Nah, selamat tinggal, Sabutai"

   Han Sin segera meninggalkan Sabutai yang masih berdiri termenung dan mengikuti bayangan Han Sin dengan pandang mata kagum.

   Begitu keluar dari perkampungan suku Yakka, Han Sin lalu berlari cepat menuju ke selatan. Akan tetapi, baru kurang lebih satu li dia berlari, tiba-tiba dia menahan larinya dan berhenti. Matanya bersinar-sinar ketika dia melihat Cu Sian duduk di atas sebuah batu di tepi anak sungai sambil melamun dan memandang ke sungai membelakanginya. Semua kemarahan yang di tahan-tahannya sejak malam tadi seperti hendak meledak ketika dia mendapat kesempatan bertemu dan berdua saja dengan Cu Sian. Dadanya terasa panas dan dia segera menghampiri Cu Sian dengan marah.

   "Sian-te "" panggilnya tidak ramah, bahkan seperti bentakan marah. Cu Sian terkejut dan menoleh, Ketika melihat siapa yang membentaknya itu, diapun cepat meloncat turun dari atas batu.

   "Eh, kiranya kau, Sin-ko? Wah, sepagi ini kau sudah membawa buntalan pakaian, kau hendak pergi ke manakah, Sin-ko?" Sikap dan suara Cu Sian masih seperti biasa, ramah dan gembira, bahkan dia tersenyum-senyum.

   😄

   

   "Kemana aku hendak pergi bukan urusanmu. Tidak perlu kau tahu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa sama sekali tidak aku sangka kau seorang pemuda tidak tahu malu dan mata keranjang"

   Cu Sian membelalakan mata dan memandang heran "Eh-eh, apa alasannya kau mengatakan demikian, Sin-ko?"

   "Jangan berpura-pura bersih. Apa yang kau lakukan semalam di tempat pesta? Kau menggandeng Loana, bahkan memperebutkannya dengan Camuka"

   Cu Sian mengerutkan alisnya dan mulut itu tersenyum mengejek "Aha, jadi kau cemburu dan iri hati, ya? Sin-ko, kau pernah menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa kau hanya mau berjodoh dengan seorang wanita yang sempurna tanpa cacat sedikitpun. Seorang dewi dari kahyangan. Akan tetapi ternyata baru bertemu dengan Loana saja kau sudah tergila-gila, bertekuk lutut dan mencintanya. Ha-ha, dimana dewi khayalanmu itu, Sin-ko?"

   Han Sin semakin menjadi marah. Pemuda remaja ini malah mengejeknya. Cu Sian, kau pemuda tak tahu malu. Kau sudah akrab dengan Hailun, akan tetapi masih juga merayu Loana, memburukkan diriku. Kau ternyata seorang pemuda mata keranjang, hidung belang yang tidak tahu malu. Tidak sudi lagi aku melakukan perjalanan dengan seorang pemuda macam kau. Selamat tinggal" Han Sin membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Akan tetapi dia melihat bayangan berkelebat dan Cu Sian telah berdiri di depannya, bertolak pinggang dan sikapnya angkuh sekali.

   "Sin-ko, mengapa kau marah-marah seperti gila? Begitu besarkah cintamu kepada Loana sehingga membutakan matamu? Sepatutnya kau berterima kasih kepadaku yang telah membuka matamu untuk melihat gadis macam apa Loana itu, begitu ku rayu lalu meninggalkanmu"

   "Cukup, mulai saat ini aku tidak sudi berteman denganmu, tidak sudi bicara lagi denganmu" Han Sin lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat dan marah.

   Khawatir kalau Cu Sian akan mengejar dan membayanginya, Han Sin memasuki hutan lalu mengerahkan ilmunya berlari cepat. Akhirnya dia merasa bahwa Cu Sian tidak mengejarnya. Dia lalu meninggalkan hutan itu menuju ke barat mencari sungai Kuning karena dia bermaksud kembali ke selatan melalui air.

   Keterangan yang diperolehnya dari Tarsukai amat berharga dan untuk menyelidiki siapa pembunuh ayahnya, dia harus pergi ke kota raja. Pembunuh ayahnya tentulah seorang perwira yang pada waktu itu membantu ayahnya memimpin pasukan yang berperang melawan pasukan Turki dan Mongol.

   ***

   Nama julukan Pak-Te-Ong semakin terkenal di daerah utara sebagai seorang datuk baru yang menguasai daerah di sepanjang lembah Huang Ho. Hampir semua gerombolan perampok dan bajak sungai yang besar-besar telah di tundukkan, ketuanya di bunuh kalau tidak mau menakluk sehingga Pak-Te-Ong Ma Giok kini menjadi ketua dari mereka semua. Semua nama perkumpulan gerombolan yang di taklukan itu di hilangkan dan mereka semua menjadi anggota dari perkumpulan baru yang di dirikan oleh Pak-Te-Ong dengan nama Te-kwi-pai (Perkumpulan Iblis Bumi) yang berpusat di Kwi-san (Bukit iblis), di lembah Huang ho. dalam waktu singkat saja Te-kwi-pai telah menjadi sebuah perkumpulan yang anggotanya tidak kurang dari tiga ratus orang. Dan semua penjahat yang bergerak di daerah lembah Huang ho utara, semua tidak ada yang tidak tunduk kepada Te-kwi-pai. Dan setiap kali mereka mendapatkan "rejeki" hasil perampokan atau pembajakan, yang dilakukan oleh perorangan, mereka tentu menyerahkan sebagian hasil itu kepada Te-kwi-pai. Ini sudah merupakan peraturan tidak tertulis dan siapa yang melanggar tentu akan ketahuan dan tidak di ampuni lagi.

   Dari hasil yang berlimpah ini, terutama sekali dari pemungutan "pajak jalan" bagi para saudagar, baik yang melakukan perjalanan lewat darat maupun sungai, sebentar saja Pak-Te-Ong Ma Giok tlah membangun sebuah gedung besar di puncak bukit iblis.

   Di situ dia tinggal bersama seorang gadis, yaitu puteri tunggalnya bernama Ma Goat, yang berusia delapan belas tahun. Pak-Te-Ong Ma Giok sudak tidak mempunyai isteri lagi. Ibu Ma Goat telah meninggal beberapa tahun yang lalu sehingga Ma Goat merupakan keluarga satu-satunya. Tentu saja dia amat menyayang dan memanjakan puterinya ini yang semenjak kecil dia gembleng sendiri sehingga kini menjadi seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi.

   Ma Goat memang seorang gadis yang cantik sekali. Wajahnya yang bulat itu sesuai dengan namanya. Nama Ma Goat berarti bulan dan memang ia cantik seperti bulan purnama, Sepasang matanya tajam berkilat dan setitik tahi lalat hitam di dagu kirinya menambah daya tariknya. Akan tetapi, biarpun dia cantik dan nampak lemah gemulai, orang-orang takut kepadanya karena dalam hal kekejaman, ia tidak kalah dibandingkan ayahnya. Tangannya ringan sekali membunuh orang yang di anggap bersalah kepadanya, dan ia membunuh sambil tersenyum manis. Sama sekali tidak kelihatan kejam, akan tetapi sekali sulingnya menyambar dengan gerakan indah, tentu ada orang yang tewas di depannya. Kemanapun ia pergi, ia selalu membawa sulingnya, sebatang suling kecil berwarna hitam mengkilap, kedua ujungnya di hias emas dan suling itu terselip di ikat pinggangnya, Karena kejamnya ia menggunakan sulingnya untuk membunuh orang yang di anggap bersalah kepadanya. Ma Goat di juluki Suling Maut oleh ratusan anak buah Te-kwi-pai. dank arena anak buah Te-kwi-pai itu datang dari berbagai golongan di dunia kang-ouw, maka julukan suling maut inipun sebentar saja terkenal di dunia persilatan daerah utara.

   ***

   Akan tetapi, hidup di samping ayahnya, diantara para pembantu dan anak buah ayahnya yang terdiri dari orang-orang kasar, Ma Goat merasa jemu dan ia seringkali meninggalkan rumah ayahnya dan pergi merantau di sekitar daerah lembah.

   Pada suatu pagi yang sejuk dan cerah, terdengar suara suling melengking"lengking naik turun dalam irama yang indah sekali. Suara suling ini datang dari tepi sungai. Lengkingannya yangnyaring itu terbawa angina sampai jauh.

   Akan tetapi, suara suling yang amat merdu dan sepantasnya di dengar dengan hati kagum, ternyata membuat orang-orang di sekitar tempat itu ketakutan. Mereka yang sedang melakukan perjalanan di tepi sungai, segera mengambil jalan memutar tidak berani lewat di tempat dari mana suara suling itu datang. Bahkan perahu-perahu yang tadinya meluncur di pinggir sungai, segera di dayung ke tengah, menjauhi pantai. Diantara mereka, ada yang berbisik ketakutan "Suling maut"

   Ada sebuah perahu kecil di tumpangi tiga orang laki-laki tidak menjauhi pantai, bahkan merapat. Agaknya penumpang perahu itu tidak pernah mendengar tentang Suling maut dan mereka tertarik sekali oleh suara suling yang amat merdu itu. Ketika mereka mendekatkan perahu ke tepi. Ketika mereka mendekatkan perahu ke tepi, tiga orang laki-laki berusia antara tigapuluh sampai empat puluh tahun itu terkagum-kagum melihat seorang gadis duduk di atas batu besar yang menonjol ke sungai. Gadis itu mengenakan pakaian berwarna merah muda dan rambutnya yang hitam panjang itu dibiarkan terurai ke belakang punggungnya. Gadis itu cantik bukan main dan ia sedang meniup sebatang suling hitam mengkilap.

   Tiga orang laki-laki itu terpesona. Gadis cantik meniup suling demikian indahnya. Bagaikan seorang bidadari saja. Tiga orang itu menahan perahu dengan dayungnya dan mereka memandang kearah gadis itu sambil tersenyum-senyum kagum.

   "Nona, tiupan sulingmu demikian indah merdu, wajahmu demikian cantik, apakah kau seorang bidadari dari surga?" Tanya seorang.

   "Nona manis, bagaimana kalau kau ikut dengan kami di perahu ini dan memainkan sulingmu di sini?" yanya yang kedua.

   "Jangan khawatir, nona manis. Kami adalah tiga orang yang kaya dan kami akan memberi hadiah yang besar kepadamu" kata orang ketiga.

   Gadis itu adalah Ma Goat. Sepasang matanya berkilat memandang kepada tiga orang itu ketika memandang ucapan mereka. Jarak dari batu dimana ia duduk dan perahu itu kurang lebih sepuluh meter. Tiupan sulingnya berhenti perlahan-lahan, kemudian ia meniup sulingnya yang di arahkan kepada tiga orang di atas perahu itu. Kelihatan sinar lembut meluncur dari sulingnya dan terdengar tiga orang laki-laki itu memekik sekali lalu tubuh mereka roboh.

   Dua orang terjungkal keluar dari perahu dan yang seorang roboh di atas perahu itu dapat di lihat betapa wajahnya berubah menghitam dan dia tewas seketika.

   Perahu itupun terbawa arus sungai, hanyut malang melintang tanpa kemudi.

   Ma Goat tidak peduli lagi dan terdengar pula lengking sulingnya yang tadi terhenti sejenak. Baginya seolah tidak pernah ada apa-apa padahal baru saja ia membunuh tiga orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tidak berdosa. Akan tetapi baginya, tiga orang itu telah bersalah, yaitu mengganggunya dengan ucapan yang di anggapnya kurang ajar dan menghinanya.

   Sebuah perahu kecil lewat. Perahu itu di tumpangi seorang pemuda yang berpakaian sederhana. Pemuda itupun mendengar lengking suara suling dan dia tertarik dengan hati kagum. Didayungnya perahunya ke tepi dan tibalah perahunya di dekat batu besar dimana gadis itu duduk meniup sulingnya.

   Pemuda itu adalah Cian Han Sin yang sedang melakukan perjalanan pulang ke selatan. Han Sin memang suka akan kesenian. Biarpun dia sendiri tidak pandai meniup suling, akan tetapi dia dapat menikmati bunyi musik yang merdu dan tiupan suling itu luar biasa sekali. Bukan hanya merdu dan indah, akan tetapi juga mengandung getaran yang membuat dia tertegun. Peniup suling seperti itu bukan orang biasa, pikirnya. Dari suara tiupannya jelas menunjukkan bahwa peniupnya memiliki tenaga khi-kang yang amat kuat. Dan diapun semakin terheran melihat bahwa peniupnya seorang gadis muda yang cantik sekali.

   Ma Goat juga melihat perahu yang menghampiri tempat ia duduk itu. Dan ia melihat seorang pemuda yang gagah dan tampan. Dahinya lebar, alisnya berbentuk golok dan matanya yang bersinar lembut itu mengandung kekuatan tersembunyi. Hidungnya mancung dan mulutnya selalu terhias senyum ramah, dagunya berlekuk membayangkan kejantanan dan kulit muka dan lehernya putih, pakaiannya sederhana, namun bersih. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Akan tetapi ia ingin melihat bagaimana sikap pemuda itu. kalau ternyata hanya seorang pemuda ceriwis kurang ajar dan mata keranjang, ia tidak segan untuk membunuhnya. maka iapun menyudahi tiupan sulingnya dan pura-pura tidak melihat pemuda itu.

   "Alangkah indah tiupan sulingmu, nona. Sungguh aku merasa kagum sekali. Akan tetapi sayang """ " Han Sin menahan ucapannya.

   Ma Goat merasa heran bahwa ia tidak marah mendengar ucapan itu. Bahkan ia merasa girang, akan tetapi juga penasaran karena kalimat yang memuji dengan sopan itu di sambung kata-kata yang meragukan. Pemuda itu memuji tiupan sulingnya, sama sekali tidak menyinggung kecantikannya seperti para pria lain yang memujinya.

   Ia menoleh dan kini memandang Han Sin penuh perhatian. Seorang pemuda sederhana, mungkin seorang pemuda dari selatan yang miskin. Akan tetapi wajahnya tampan menarik dan sinar matanya itu demikian lembut dan kuat.

   "Akan tetapi apanya yang sayang """?" Ma Goat bertanya dengan suara mendesak.

   Han Sin merasa bahwa dia telah kelepasan bicara. mengapa dia menjadi lancang dan usil? Terpaksa dia harus memberi penjelasan atau gadis itu tentu akan tersinggung dan marah.

   "Maaf, nona. Aku tadi mengatakan sayang karena lagu yang kau mainkan dengan suling itu mengandung kedukaan yang menyayat hati, seperti orang yang sudah kehilangan semangat hidup. Sungguh tidak sesuai dimainkan oleh seorang gadis muda seperti nona yang sepatutnya memiliki semangat hidup yang besar"

   Ma Goat tertarik sekali. Pemuda ini ternyata bukan ngawur belaka, melainkan agaknya memiliki pengetahuan tentang lagu dan sifatnya. memang tadi ia memainkan lagu "Hancurnya sebuah hati" ratap tangis seorang gadis yatim piatu yang merindukan kekasih yang meninggalkannya.

   "Seorang peniup suling haruslah pandai memainkan lagu apa saja. Apa kau kira aku hanya dapat memainkan lagu sedih saja? Dengarkan yang ini"

   Ma Goat lalu meniup lagi sulingnya dan sekali ini, sebuah lagu merdu yang gembira penuh semangat melengking dari sulingnya. Dan sekali lagi Han Sin terpesona. Bukan main gadis ini. Benar-benar mahir dan telah menguasai kesenian itu.

   Kesedihan yang tadi tidak berbekas lagi dan kini suara suling itu membayangkan gadis-gadis sedang menari-nari dan bersenda gurau dengan dengan penuh kegembiraan. Atau lebih tepat lagi, karena ada pula suara seperti air mengucur, seakan-akan ada beberapa orang bidadari sedang bermain-main dan mandi di telaga sambil tertawa-tawa gembira.

   Setelah Ma Goat menyelesaikan lagu yang gembira dan bersemangat itu, Han Sin kembali merasa kagum. Dia bangkit berdiri di perahunya dan merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat" Bukan main. Aku harus mengakui bahwa selamanya belum pernah aku mendengar tiupan suling sedemikian indahnya seperti yang nona mainkan"

   Ma Goat tersenyum manis, sikap dan ucapan pemuda ini menggembirakan hatinya. Pujian itu demikian jujur dan tulus, sama sekali tidak ada sifat menjilat seperti pujian para pria yang pernah di dengarnya.

   "Apa yang kau tangkap dalam lagu tadi?" Tanyanya sambil tersenyum.

   "Lagu yang amat menggembirakan. mendengar tiupan suling tadi, aku melihat beberapa orang bidadari sedang bersenda gurau dan aku mendengar berpercik dan mancurnya air seolah para bidadari sedang bersenda gurau. Matahari pagi dengan cerahnya menghidupkan segala sesuatu, terdengar kicauan burung-burung diantara ranting dan dahan pohon yang penuh daun menghijau dan di hias bunga beraneka warna yang semerbak mengharum """"

   Sekarang Ma Goat yang memandang kagum "Sobat, kau seorang seniman" serunya.

   "Ah, aku hanya seorang kelana yang bodoh, nona"

   "Akan tetapi penilaianmu terhadap lagu-lagumu tepat sekali. Memang tadi aku memainkan "Tujuh bidadari di Telaga Barat"

   Begitu mendengar lagu itu, kau sudah dapat menebaknya dengan tepat. Ma Goat merasa gembira sekali sehingga ia melompat turun dari atas perahu dan setelah gadis itu berdiri, Han Sin melihat betapa gadis itu hanya memiliki wajah cantik saja, juga ia memiliki bentuk tubuh yang ramping padat menggairahkan.

   "Bukan aku pandai menebak, nona. Akan tetapi adalah suara sulingmu yang menggambarkan keadaan sedemikian jelasnya"

   "Sobat, siapakah namamu, dan darimana kau datang dan apa yang membawamu ke tempat ini?"

   Han Sin tersenyum. Gadis itu menghujamkan pertanyaan kepadanya.

   "Nona, namaku Cian Han Sin, aku datang dari selatan dan yang membawaku sampai ke sini adalah keinginan untuk meluaskan pengalaman"

   Pada saat itu, dua orang laki-laki datang berlarian dan melihat mereka, Ma Goat cepat menegur "Heiii, kalian berlarian seperti di kejar setan. Ada apakah"

   Dua orang laki-laki setengah tua itu begitu melihat siapa yang menegur mereka, segera memberi hormat sambil membungkuk dalam.

   "Celaka, nona. Ada seorang kakek memaksa hendak bertemu dengan ketua. ketika kami mencegahnya, dua orang pengikutnya mengamuk dan kami yang belasan orang jumlahnya tidak mampu menandingi mereka yang lihai sekali. Teman-teman kini masih berusaha untuk melawan mereka """

   "Hemmm, dimana mereka?" Tanya Ma Goat.

   "Di Lereng bukit, nona"

   "Cepat melapor kepada ayah, biar aku yang menghajar mereka. kata Ma Goat dan setelah kedua orang anak buahnya itu berlari pergi, Ma Goat menoleh kepada Han Sin yang masih berdiri di atas perahunya.

   "Namaku Ma Goat dan aku senang sekali bertemu dan berkenalan denganmu, Cian Han Sin. Selamat tinggal" Ma Goat lalu berkelebat dan melompat jauh, berlari cepat meninggalkan tempat itu.

   Han Sin tertegun. Bukan main. gadis itu selain cantik jelita, pandai meniup suling, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi gadis itu pergi untuk menemui lawan yang tangguh. Dia menjadi tertarik, juga khawatir kalau-kalau gadis yang serba bisa itu akan terancam bahaya, maka diapun menambatkan perahunya pada akar pohon, kemudian dia meloncat ke daratan dan cepat berlari menuju kearah bukit di depan.

   Ma Goat berlari cepat dan sebentar saja tibalah ia di lereng Kui-san dan ia melihat belasan orang anak buah ayahnya mengeroyok dua orang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun yang lihai sekali. Seorang kakek berusia enampuluhan tahun duduk bersila di atas batu sambil menonton perkelahian itu. Dua orang yang di keroyok itu bertangan kosong, sedangkan belasan orang anak buah Te-kwi-pai semua bersenjata pedang atau golok, akan tetapi mereka itu seperti sekelompok semut melawan dua ekor jangkrik saja. Mereka menyerang, akan tetapi ternyata dua orang itu agaknya memang tiding ingin membunuh sehingga para pengeroyok itu tidak mengalami luka-luka berat dan mereka segera bangkit lagi.

   Melihat ini, Ma Goat segera melompat ke dalam pertempuran dan membentak "Kalian semua mundurlah. biar aku menghadapi dua ekor tikus ini"

   Mendengar suara nona mereka, para anggota Te-kwi-pai menjadi girang dan mereka segera berlompatan ke belakang. Kini Ma Goat berdiri tegak di depan dua orang itu memandang dengan penuh perhatian. Akan tetapi ia sama sekali tidak mengenal mereka, maka ia menjadi marah sekali. Ia tidak perlu bertanya lagi karena tadi sudah dapat keterangan cukup jelas. Dua orang ini bersama kakek itu hendak naik ke puncak untuk mencari ayahnya. Menurut peraturan, tak seorangpun orang boleh naik ke puncak maka anak buah ayahnya melarang dan terjadi pertempuran.

   Setelah memandang dengan sinar mata tajam dan bersinar kemarahan. Ma Goat lalu membentak "Dua ekor tikus darimana berani membikin kacau tempat kami" dan ia sudah menerjang dengan hebatnya, menggunakan sulingnya menyerang kepada dua orang itu. Serangannya cepat bukan main dan suling itu menyambar bagaikan sebatang pedang. Sinar hitam menyambar kearah leher kedua orang itu. Akan tetapi dua orang itu bukan orang-orang lemah. Melihat sinar hitam menyambar dahsyat, mereka sudah mengelak dengan loncatan yang ringan ke belakang. Akan tetapi suling di tangan Ma Goat mengejar dan menyerang lagi dengan dahsyat. Dua orang itu terkejut dan sambil mengelak lagi, tangan mereka bergerak ke punggung dan mereka telah mencabut senjata mereka, yaitu masing-masing memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

   Ma Goat tidak menjadi jerih, bahkan semakin marah karena dua kali serangannya dapat di elakkan lawan. Ia membawa suling ke depan bibirnya dan dua kali meniup. Sinar hitam meluncur cepat kearah dua orang itu. Akan tetapi mereka agaknya sudah waspada. Mereka menggerakkan pedang menangkis dan jarum-jarum halus yang di lepas melalui tiupan suling itupun runtuh ke atas tanah. Ma Goat menjadi marah sekali. Tubuhnya menerjang ke depan, sulingnya bergerak menjadi gulungan sinar hitam menyerang kearah dua orang lawannya. Akan tetapi dua orang itu menyambut dengan pedang mereka dan terjadilah pertandingan yang amat seru.

   Ternyata dua orang yang memegang pedang itu lihai bukan main. Biarpun permainan suling Ma Goat amat berbahaya, namun mereka dapat menahan serangan itu bahkan membalas dengan serangan pedang yang tidak kalah hebatnya. Dan perlahan-lahan Ma Goat terdesak oleh dua batang pedang itu, dan akhirnya ia hanya mampu memutar suling untuk melindungi hanya mampu memutar suling untuk melindungi dirinya tanpa membalas.

   Sejak tadi Han Sin mengintai dan kini melihat betapa gadis itu terdesak dan terancam bahaya, dia tidak tinggal diam lagi.

   "Dua orang laki-laki mengeroyok seorang gadis muda, sungguh tidak tahu malu" bentak Han Sin dan dia sudah menerjang ke dalam pertempuran itu. Biarpun dia bertangan kosong, akan tetapi karena dia mengerahkan sin-kangnya, begitu kedua tangannya mendorong, dua orang pengeroyok itu terhuyung-huyung ke belakang seperti di sambar angin yang amat kuat. hampir saja kedua orang ini terpelanting roboh.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 13


   Dua orang itu terkejut akan tetapi juga marah sekali. Mereka adalah dua orang yang telah memiliki ilmu silat yang tinggi, maka tidak mungkin mereka dapat di buat terhuyung dan hampir terpelanting seperti itu. Keduanya sudah melompat bangun lagi, akan tetapi Ma Goat yang juga terkejut akan tetapi girang sekali melihat pemuda dalam perahu yang baru saja di kenalnya datang membantu, segera menerjang kearah seorang diantara mereka. Sulingnya menyambar-nyambar dan orang itu segera menangkis dengan pedangnya. Segera kedua orang itu sudah terlibat dalam pertandingan yang hebat. Orang kedua juga penasaran, akan tetapi sebelum dia dapat membantu temannya mengeroyok gadis itu, Han Sin sudah melompat ke depan orang itu.

   Melihat pemuda yang datang membantu gadis itu dan tadi hampir saja merobohkannya, orang kedua yang berkumis penjang itu menjadi marah dan dia segera menyerang Han Sin dengan pedangnya. Serangannya cepat dan bertenaga, akan tetapi Han Sin mudah saja mengelak sambil mundur. Lawannya mendesak dan sekali Han Sin menggerakkan kedua tangannya, tangan kanan sudah menotok kearah siku kanan orang itu dan tangan kirinya menyambar. Di lain saat, pedang itu telah dapat di rampas dari tangan pemiliknya. Orang itu terbelalak dan tidak tahu apa yang harus dilakukan Han Sin tersenyum, tidak membalas serangannya tadi melainkan menekuk pedang itu dengan kedua tangannya.

   "Krekk" Pedang itu patah menjadi dua potong dan Han Sin melemparkannya ke atas tanah. Melihat ini, si kumis panjang itu melangkah mundur dan menjadi jerih.

   Sementara itu, setelah kini hanya menghadapi seorang lawan, Ma Goat mengamuk dan dapat mendesak lawannya dengan sulingnya. Ia memang masih menang setingkat kalau melawan satu orang saja dan lawannya kini hanya mampu menangkis dengan pedangnya. Ma Goat menyerang dengan ganas sekali. Ketika sulingnya menyambar dahsyat kearah kepala lawan, lawannya itu menggerakkan pedang ke atas untuk menangkis.

   "Traangg "" Bunga api berpijar ketika kedua senjata itu bertemu dan suling itu terpental ke bawah terus menyerang dada. Lawannya menurunkan pedang untuk menangkis, akan tetapi mendadak suling itu tidak jadi menyerang pedang melainkan menyambut lengan lawan dengan menghantam ke arah siku.

   "Dukkk """ siku itu terkena hantaman suling menjadi lumpuh seketika dan pedangnya terlepas dari pegangan. Biarpun lawan sudah tidak berdaya, Ma Goat menyerang terus dengan sulingnya secara bertubi-tubi. Lawannya menjadi gugup, berloncatan ke belakang dan hanya mampu mengelak ke kanan kiri, Ma Goat tidak memberi kesempatan lagi, terus mendesak dengan pukulan-pukulan maut. Suling yang menyambar"nyambar cepat itu, sekali saja mengenai kepala tentu akan menamatkan hidup orang itu.

   Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan lawan Ma Goat itu, tiba-tiba kakek yang sejak tadi hanya duduk bersila dan menonton pertandingan menggerakkan tubuhnya dan tubuh yang tadi bersila itu telah melayang ke atas, berjungkir balik beberapa kali dan meluncur turun ke arah Ma Goat yang sedang mendesak lawannya.

   Pada saat itu, Ma Goat sudah berhasil menyapu kaki lawannya dengan kakinya sehingga lawannya terpelanting jatuh dan ia sudah menggerakkan sulingnya yang menyambar kearah kepala lawan. Akan tetapi suling itu tertahan di udara oleh tangan kakek yang melayang di atasnya. Ma Goat terkejut sekali dan melangkah ke belakang. Kakek itu pun meloncat turun di depannya.

   Begitu memandang bahwa yang menahan serangannya tadi seorang kakek yang tadi duduk bersila, Ma Goat menjadi marah. Ia maklum bahwa kakek itu yang mendatangkan kekacauan bersama dua orang pengikutnya, maka tanpa banyak cakap lagi iapun menggerakkan sulingnya, menusuk dengan totokan kearah dada kakek itu.

   "Ha-ha, kau ganas sekali" kakek itu tertawa dan tidak mengelak, melainkan mengangkat tangan kirinya ke depan dada sehingga suling itu mengenai telapak tangannya.

   "Tukkk" Ma Goat terkejut merasakan betapa totokannya mengenai daging lunak. Akan tetapi ketika ia menarik sulingnya, ia tidak mampu melakukan itu karena sulingnya seperti telah melekat pada telapak tangan lawan. Selagi ia mengerahkan tenaga untuk menarik lepas sulingnya, kakek itu lalu mendorongkan tangannya ke depan sambil membentak dan seperti sehelai daun kering di terbangkan angina, tubuh Ma Goat terlempar ke belakang. Tenaga dorongan itu kuat bukan main dan membuat Ma Goat merasa kehilangan tenaganya. Ia tentu akan roboh terpelanting kalau saat itu tidak ada orang yang menolongnya. Han Sin sudah cepat berkelebat dan menerima tubuh yang telentang itu ke atas kedua lengannya, kemudian menurunkannya dengan lunak, sehingga Ma Goat tidak terbanting. Gadis itu berkilat matanya dan tentu ia akan marah sekali, mungkin akan membunuh orang yang berani menyentuh tubuhnya, bahkan memondongnya. Akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang menolongnya adalah Han Sin, ia tidak marah, dan tersenyum dengan muka berubah kemerahan.

   "Terima kasih atas bantuanmu" katanya singkat kepada Han Sin.

   Pada saat itu muncul Pak-Te-Ong Ma Giok. Pemunculannya membuat dua orang pengikut kakek tadi terkejut sekali. Bagaikan pandai menghilang saja Pak-Tek-Ong tahu-tahu berdiri di situ dengan tongkat kepala naga di tangan kanan, tubuhnya tinggi besar, kepalanya botak dan jubahnya dari kulit biruang, pakaiannya terbuat dari sutera halus.

   "Siapa berani naik ke Kwi-san membikin kacau?" suaranya tenang namun mengandung wibawa. Melihat ayahnya, Ma Goat segera berlari menghampiri dan memegang lengan ayahnya.
"Ayah "" katanya manja "Tiga orang itulah yang menjadi pengacau, harap ayah sendiri turun tangan memberi hajaran"

   Dua orang kakek itu kini sudah berdiri saling berhadapan. Pak-Te-Ong memandang penuh perhatian. Kakek itu usianya sebaya dengan dia, pakaiannya hanya merupakan kain yang di belit-belitkan tubuhnya yang pendek gendut, rambutnya yang hitam panjang di kuncir ke belakang dan selebihnya dibiarkan awut-awutan. Mukanya bundar dengan sepasang mata yang lebar, hidungnya pesek dan mulutnya juga lebar, akan tetapi yang menonjol adalah sepasang telinganya yang seperti telinga gajah.

   "Hemmm, kiranya See-Thian-Mo (Iblis dunia barat) yang berani main-main di sini" kata Pak-Te-Ong sambil tersenyum dan dia tidak kelihatan marah.

   "Ha-ha-ha" kakek pendek gendut itu tertawa gembira "Pak-Te-Ong, lama tidak berjumpa dan sekali bertemu, kau telah menjadi tokoh besar, bahkan mendirikan Te-kwi-pai di Kwi-san. Jadi nona ini puterimu?. Ha-ha-ha dulu ia masih ingusan, sekarang telah menjadi gadis yang cantik dan ilmunya itu boleh juga walaupun muridmu yang satu itu benar-benar mengejutkan dan mengagumkan hatiku" Dia menuding kearah Han Sin.

   Pak-Te-Ong menoleh dan memandang kearah yang di tunjuk oleh kakek yang berjuluk See-Thian-Mo itu. Han Sin juga memandang kepada Pak-Te-Ong dengan hati berdebar. Kiranya kakek ini ayah dari Ma Goat? Dia masih ingat benar, kakek ini adalah orang yang pernah mengejar Cu Sian di dalam hutan dan dia pernah menghadangnya untuk memberi kesempatan kepada Cu Sian melarikan diri. Dia pernah bertanding beberapa jurus dengan kakek ini sebelum dia melarikan diri setelah Cu Sian dapat meloloskan diri.

   "See-Thian-Mo, dia bukan muridku" Pak-Te-Ong berseru akan tetapi alisnya berkerut karena dia merasa pernah melihat pemuda itu, akan tetapi dimana.

   "Bagus. Kalau begitu aku boleh membunuhnya" kata See-Thian-Mo dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah melompat ke depan Han Sin dan menyerang dengan dorongan telapak tangan kanannya kearah dada pemuda itu.

   "Wuutttt " plaakkk "" Han Sin menangkis dari samping dengan tangan kirinya dan See-Thian-Mo mengeluarkan seruan kaget ketika merasa betapa ada kekuatan dahsyat yang membuat tubuhnya terpental. Juga Han Sin merasa betapa kuatnya pukulan itu, mengandung tenaga yang berhawa dingin.

   See-Thian-Mo menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang tokoh besar dunia kang-ouw bagian barat. Setelah dia dikeluarkan dari kalangan para pendeta lama, dia lalu malang melintang di dunia kang-ouw dan mendapat julukan See-Thian-Mo. Baru ketika pasukan Sui melakukan serangan dan pembersihan di daerah barat, terpaksa dia menyembunyikan diri. Kini, berhadapan dengan seorang pemuda yang mampu menandingi tenaga sin-kangnya, dia menjadi penasaran sekali. Dia harus mampu membunuh pemuda ini, apalahi disaksikan oleh Pak-Te-Ong, datuk utara yang dahulu pernah menjadi rekannya karena mereka memiliki kedudukan setingkat. Keduanya di akui sebagai datuk besar di dunia hitam.

   "Orang muda, tidak biasa aku membunuh orang tanpa nama. Karena itu, beritahukan namamu agar kau tidak akan mati tanpa nama" kata See-Thian-Mo dan tangan kanannya sudah mengeluarkan seuntai tasbih dari balik bajunya. Tasbih ini luar biasa, bijinya hitam dan besar-besar, sebesar ibu jari kaki, ketika berada di tangannya bergerak sedikit saja tasbih itu mengeluarkan suara trak-trik nyaring sekali.

   Han Sin mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata dengan suara lembut "Lo-cian-pwe, namaku adalah Cian Han Sin, akan tetapi aku tidak mempunyai permusuhan apapun denganmu. Karena itu akupun tidak ingin bertanding denganmu.

   "Trakk-traakk-trikkkk" See-Thian-Mo menggerak-gerakkan tasbihnya dan berkata "Kau tidak ingin bertanding masa bodoh, akan tetapi aku harus membunuhmu karena kau telah berani menantangku, Cian Han Sin. Bersiaplah untuk menerima kematianmu"

   Ma Goat sudah melangkah ke depan dan sambil bertolak pinggang ia membentak "See-Thian-Mo kakek tidak tahu malu. Cian Han Sin tidak bersalah. Adalah dua orang pengikutmu yang mengeroyokku dan melihat aku di keroyok, Cian Han Sin turun tangan membantuku. Kalau kau memang gagah, hayo lawanlah aku sampai seorang diantara kita menggeletak tak bernyawa, jangan mengganggu Cian Han Sin yang tidak bersalah" Ma Goat menuding-nudingkan sulingnya kearah muka kakek gendut pendek itu yang menjadi serba salah. Mukanya berubah merah sekali. Belum pernah dia di hina orang seperti itu, apalagi penghinanya hanya seorang gadis muda. Dua orang pengikutnya tadi adalah murid-muridnya dan mereka sudah memandang ke arah Ma Goat dengan sikap mengancam.

   "Goat-ji (Anak Goat), jangan kurang ajar kau. See-Thian-Mo, lupakan saja sikap dan kata-kata anakku, ia memang manja dan keras kepala" kata Pa-te-ong yang merasa tidak enak dengan sikap anaknya itu.

   "Aih, ayah "" Ma Goat memprotes ayahnya.

   "Diam kau" Pak-Te-Ong membentak marah dan Ma Goat bersungut-sungut sambil membanting-banting kakinya, hampir menangis.

   Han Sin dapat menduga bahwa kakek yang berjuluk See-Thian-Mo ini tentu lihai sekali, apalagi senjatanya berupa tasbih itu. Maka diapun tersenyum mengejek dan berkata "Seorang seperti lo-cian-pwe seharusnya malu menghadapi aku seorang pemuda yang bertangan kosong menggunakan senjata. Akan tetapi kalau lo-cianpwe memang seorang datuk yang tidak tahu malu, silahkan maju. Aku tidak takut melawanmu, biarpun aku tidak suka bermusuhan denganmu tanpa sebab"

   Mendengar ucapan pemuda itu, tentu saja See-Thian-Mo merasa malu dan mukanya berubah merah, matanya yang besar itu melotot. Di depan orang banyak dia seperti mendapat tantangan "Ha-ha-ha, Cian Han Sin, kematianmu sudah di depan mata dan kau masih berani membuka mulut besar. Untuk membunuhmu tidak perlu aku mengeluarkan senjataku"

   Dia lalu menyimpan kembali tasbih ke dalam saku bajunya, kemudian dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya maju menerjang Han Sin dengan pukulan kedua tangannya.

   "Haaiiitttt "" Tangan kiri itu menyambar ke arah dada Han Sin, sedangkan tangan kanannya menyambar kearah perut. Kedua tangan terbuka jari-jarinya. Angin yang dingin menyambar kearah tubuh Han Sin. Akan tetapi pemuda ini yang sudah dapat menduga bahwa lawannya berbahaya sekali, cepat menggunakan keringanan tubuhnya untuk mengelak lalu dari samping dia membalas serangan lawan dengan tamparan tangan kanan. Akan tetapi dengan mudah See-Thian-Mo menangkis tamparan ini dan menyerang lagi dengan dahsyatnya.

   Mula-mula Han Sin memainkan Lo-hai-kun, diselingi dengan Hek-liong-kun. Karena dia tidak berniat untuk melukai lawannya, maka dia menggunakan kedua ilmu silat ini hanya untuk membela diri. Akan tetapi tidak demikian sengan See-Thian-Mo. Setiap serangannya di tujukkan untuk membunuh lawan. Dia akan merasa malu sekali kalau tidak dapat merobohkan pemuda itu dengan tangan kosong, maka serangannya semakin dahsyat dan hawa dingin yang keluar dari keluar pukulannya semakin terasa.

   Semua orang menonton pertandingan itu dengan hati kagum. Juga Ma Goat memandang dengan hati kagum bukan main. Dalam pertemuannya yang pertama dengan Han Sin, hatinya memang sudah tertarik oleh sikap dan pembawaan Han Sin yang lain daripada pemuda-pemuda lain yang pernah di jumpainya. Dan sekarang, ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang demikian lihainya sehingga mampu menandingi kakek itu. Timbul perasaan kagum dan sayang dalam hatinya yang biasanya sekeras batu dan belum pernah merasa tertarik kepada pria.

   Pak-Te-Ong juga terkejut bukan main. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian See-Thian-Mo seimbang dengan tingkatnya, akan tetapi pemuda itu ternyata mampu mengimbangi Datuk barat itu. Dia mengingat-ingat siapa adanya pemuda yang lihai itu. Diingatnya siapa saja diantara orang-orang yang pernah dilawannya, yang memiliki kepandaian tinggi dan masih demikian muda. Tiba-tiba dia teringat ketika dia mengejar pengemis muda itu, dia di hadang seorang pemuda yang lihai sekali. Setelah bentrok beberapa jurus pemuda itu lalu melarikan diri. Inilah pemuda itu. Tidak salah lagi.

   "Keparat, kaulah pemuda itu. mampuslah di tanganku" Dia membentak dan dia lalu meloncat ke depan lalu menyerang Han Sin dengan pukulan mautnya.

   Han Sin terkejut dan cepat mengelak ke samping. Akan tetapi See-Thian-Mo menyambutnya dengan pukulan dahsyat sehingga terpaksa dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali.

   "Ayah, mengapa melakukan pengeroyokan?" Ma Goat memrotes ayahnya.

   "Diam kau. Pemuda ini adalah musuhku" jawab Pak-Te-Ong yang cepat menyerang lagi.

   Han Sin menjadi repot dan terdesak. kalau dua orang datuk itu maju mengeroyoknya. Terpaksa dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Bu-tek-cin-keng.

   Pak-Te-Ong memiliki ilmu pukulan ampuh yang di sebut Tian-ciang (Tangan Halilintar) yang mengandung hawa panas bagaikan halilintar menyambar. Sedangkan See-Thian-Mo memiliki ilmu pukulan yang tidak kalah hebatnya, yaitu Swat-ciang (Tangan salju) yang mengandung hawa dingin membeku.

   Karena penasaran belum juga dapat merobohkan pemuda yang mereka keroyok itu, pada suatu saat Pa-te-ong dan See-Thian-Mo melakukan penyerangan dari kanan kiri. Mereka mengeluarkan ilmu simpanan mereka itu dan memukul dengan dorongan tangan kanan. Angin dingin sekali menyambar dari pukulan See-Thian-Mo sedangkan dari tangan Pak-Te-Ong menyambar hawa panas.

   Han Sin maklum bahwa dua orang itu menyerangnya dengan pukulan yang dahsyat, yang tidak mungkin dapat di elakkannya. Maka diapun memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, mengerahkan tenaga sakti dari ilmu Bu-tek-cin-keng lalu mengembangkan kedua lengannya mendorong ke kanan kiri, menyambut dua pukulan lawan itu.

   "Desss "" pertempuran dua tenaga sinking raksasa itu hebat sekali, menggetarkan bumi dan membuat semua yang menonton terguncang. Tian-Ciang dan Swat-ciang tiba dengan berbareng, di sambut kedua tangan Han Sin yang di penuhi tenaga dari ilmu Bu-tek-cin-keng. Dan akibatnya, kedua orang kakek itu terlempar ke belakang seperti di dorong tenaga raksasa yang tidak nampak. Mereka terbanting karena tenaga mereka tadi membalik, akan tetapi Han Sin juga berdiri terhuyung dan darah mengalir dari bibirnya, tanda bahwa dia menderita luka dalam yang hebat.

   Melihat ini, dua orang kakek itu melompat berdiri, akan tetapi mereka juga terhuyung dengan muka pucat. Melihat keadaan Han Sin, Pak-Te-Ong berseru kepada anak buahnya sambil menudingkan telunjuknya kearah Han Sin "Bunuh dia"

   Para anak buah Te-kwi-pai sudah berlompat ke depan mengepung Han Sin dengan senjata di tangan, akan tetapi pada saat itu Ma Goat meloncat ke depan Han Sin, suling hitamnya ditangan dan matanya berkilat penuh ancaman.

   "Siapa berani menyentuhnya akan dibunuh" bentaknya dan semua anak buah Te-kwi-pai menjadi terkejut dan tidak berani bergerak.

   "Goat-ji """ Pak-Te-Ong membentak marah, dan menghampiri anaknya.
Akan tetapi Ma Goat melintangkan suling di depan dada dan menentang pandang mata ayahnya dengan sinar mata berkilat "Ayah, Han Sin ini tidak bersalah. Dia hanya ingin menolongku dari bahaya maka sampai terlibat dalam urusan ini dan diapun dipaksa untuk berkelahi. kalau aku yang pernah dia selamatkan sekarang diam saja melihat dia terancam bahaya, aku akan menjadi seorang yang paling tidak mengenal budi. Akan akan membelanya dengan taruhannyawaku, ayah"

   Melihat sikap putrinya, Pak-Te-Ong menahan langkahnya. Dia mengenal benar watak putrinya yang tidak berbeda jauh dengan wataknya sendiri, yaitu keras hati dan tak mengenal takut.

   Melihat ayahnya berhenti menghampirinya, Ma Goat lalu memegang tangan Han Sin yang masih berdiri terengah-engah, lalu menariknya "Han Sin, mari kita pergi" gadis itu lalu menggandeng tangan Han Sin, diajak pergi dari situ sambil siap melindunginya dari serangan. Tidak ada anak buah Te-kwi-pai berani bergerak, dan See-Thian-Mo sendiri juga tidak mau menyerang karena dia merasa tidak enak kalau harus menyerang puteri rekannya. Apalagi dia sendiri juga sudah menderita luka dalam, walaupun tidak parah karena tadi dia menyerang Han Sin saling Bantu dengan tenaga Pak-Te-Ong.

   Pak-Te-Ong juga mengetahui bahwa See-Thian-Mo menderita luka dalam seperti dia sendiri, maka dia lalu berkata "See-Thian-Mo, mari kita ke rumah dan menyembuhkan luka kita sebelum bicara"

   "Baik, Pak-Te-Ong" kata kakek gendut pendek itu dan bersama dua orang muridnya dia lalu mengikuti Pak-Te-Ong mendaki puncak bukit Kwi-san.

   ***

   Ma Goat menggandeng tangan Han Sin yang berjalan terhuyung-huyung. Han Sin merasa tubuhnya lemah dan nyeri karena didalam tubuhnya seperti ada dua kekuatan hawa yang saling berebutan. Kadang tubuhnya seperti dibakar api di sebelah dalam, terkadang seperti direndam dalam salju yang dingin sekali. Setelah menguatkan diri melangkah cepat ketika diajak melarikan diri oleh Ma Goat, akhirnya dia mengeluh dan tentu roboh terpelanting kalau saja Ma Goat tidak cepat merangkulnya.

   "Han Sin, bagaimana keadaanmu?" Ma Goat bertanya sambil memeluk tubuh pemuda itu.

   Han Sin memejamkan matanya "Panas " dingin "" dia mengeluh lalu lehernya terkulai, pingsan. Ma Goat lalu memodong tubuh itu dan di bawa lari menuju ke tepi sungai. Setelah tiba di tepi sungai, dia merebahkan tubuh pemuda itu di atas rumput. Dikeluarkannya sebuah botol kecil dari dalam bajunya, kemudian ia membuka mulut Han Sin. Pemuda itu dalam keadaan setengah sadar dapat menelan obat itu.

   Ma Goat menanti dengan hati gelisah melihat pengaruh obat yang diminumkannya. Ia merasa yakin bahwa obatnya itu pasti akan dapat menyembuhkan luka beracun akibat pukulan Tian-ciang karena ia sendiri juga sudah mempelajari Tangan halilintar itu. Obat itu adalah buatan ayahnya yang khas untuk mengobati luka akibat pukulan ilmu itu.

   Tak lama kemudian, nampak reaksi obat itu. Akan tetapi sungguh di luar dugaan Ma Goat ketika ia melihat pemuda itu mengeluh, membuka mata lalu tubuh itu menggigil kedinginan dan muka serta seluruh badannya berubah pucat kebiruan.

   "Han Sin "., bagaimana rasanya tubuhmu "?" Ma Goat memegang lengan pemuda itu dengan khawatir. Dan alangkah kagetnya ketika ia memegang lengan itu, terasa lengan itu dingin seperti es. Dan tak lama kemudian, Han Sin sudah tidak menggigil atau bergerak lagi, melainkan telentang diam dan kaku seperti mayat yang dingin sekali.

   "Han Sin " Han Sin ". Ahhh" Ma Goat menjadi kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ingin rasanya ia menangis karena merasa begitu tidak berdaya.
Tiba-tiba terdengar langkah orang yang ringan dan lembut sekali menghampirinya. Ma Goat cepat menoleh dan siap menyerang karena dalam keadaan bingung dan khawatir itu mudah sekali bangkit kemarahannya. Akan tetapi ketika ia memandang, yang datang adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun. Gadis ini melangkah ringan dan gerak-geriknya lembut, pakaiannya yang serba putih bersih itu terbuat dari sutera. Wajahnya bulat telur, dagunya meruncing dan rambutnya yang panjang itu di gelung ke atas, sebagian di kuncir dan dibiarkan bergantung di depan pundaknya. Alisnya melengkung hitam dan matanya indah dengan pandang mata lembut dan tenang sekali, mulutnya mengarah senyum dengan bibir merah basah, lesung pipit nampak di kedua pipinya. Tubuhnya sedang dan pinggangnya ramping, Ma Goat sendiri sampai tertegun. Belum pernah ia melihat seorang wanita secantik dan anggun seperti itu.
"Enci yang baik, kau nampak gelisah. dapatkah aku membantumu?" Gadis yang bukan lain adalah Kim Lan itu bertanya dengan halus. Ia kebetulan lewat di situ dan melihat Ma Goat nampak kebingungan dan gelisah sedangkan di depan gadis yang berlutut itu menggeletak seorang pria yang telentang. Kim Lan baru kembali dari sebuah dusun di lembah Huang-Ho dimana berjangkit penyakit menular. Mendengar ini ia lalu pergi ke dusun itu dan dengan kepandaiannya mengobati, ia berhasil menyelamatkan banyak orang dari cengkraman maut. Setelah penyakit itu berhasil dibasminya, ia lalu kembali ke selatan dan dalam perjalanan ke selatan inilah ia kebetulan melihat Ma Goat di tepi sungai itu dan menghampirinya.

   Ma Goat sedang gelisah dan jengkel melihat keadaan Han Sin yang mengkhawatirkan, maka ia menganggap kedatangan gadis berpakaian serba putih itu sebagai gangguan.

   "Pergilah dan jangan ganggu aku" katanya ketus "Kau tidak akan dapat menolongku"

   Akan tetapi, Kim Lan atau yang biasa di sebut Lan Lan itu sudah memandang wajah Han Sin. Ia terkejut sekali ketika mengenal wajah itu akan tetapi kekagetannya itu sama sekali tidak kelihatan. Hanya kerut alisnya saja yang menunjukkan kekagetannya. Tanpa diminta iapun berlutut di samping Ma Goat dan meletakkan jari-jari tangan kirinya di atas dahi yang mengepulkan uap dingin itu.

   "Hemm, dia keracunan hawa dingin yang hebat sekali. kalau terlambat menolongnya, dalam waktu empat lima jam lagi dia tidak akan tertolong lagi" katanya sambil memegang nadi tangan pemuda itu.

   Ma Goat kini memandang dengan penuh harapan "Kau ". kau mengerti ilmu pengobatan?" tanyanya.

   Dengan tenang sambil tersenyum manis Kim Lan mengangguk "Sedikit, akan tetapi jangan khawatir. Aku akan mencoba menyembuhkannya. Akan tetapi tempat ini kurang layak untuk mengobatinya. Aku melihat di sana ada sebuah pondok kosong, kita bawa saja dia ke sana"

   Ketika Kim Lan hendak membantu menggotong tubuh pemuda itu, Ma Goat menolaknya "Tidak usah, biar ku pondong sendiri" Dan ia pun sudah mengangkat dan memondong tubuh Han Sin yang terasa luar biasa dinginnya itu. Kim Lan memandang dengan sinar kelembutan membayang di matanya. Sekali pandang saja tahulah ia dan gadis itu amat mencinta Han Sin.

   Pondok itu adalah sebuah pondok yang didirikan oleh mereka yang membutuhkannya, yaitu para pemburu dan para nelayan yang kemalaman di daerah ini dan menggunakan pondok itu sebagai tempat melewatkan malam. Sebuah pondok kayu dan bambu sederhana, akan tetapi lantainya bersih dan terdapat banyak jerami kering.

   "Rebahkan dia di sini" kata Lan Lan menunjuk ke tengah ruangan yang penuh jerami.

   Ma Goat dengan hati-hati sekali merebahkan Han Sin di atas jerami dan ia memandang penuh perhatian ketika Lan Lan mulai melakukan pemeriksaan. menekan nadi, dada dan leher Han Sin, kemudian ia menoleh kepada Ma Goat "Coba ceritakan, apa yang telah terjadi padanya agar aku dapat menentukan obatnya"

   Ma Goat berkata dengan harap-harap cemas "Dia terkena pukulan ayahku, yaitu pukulan tangan halilintar yang panas. Akan tetapi dia pada saat yang sama juga terkena pukulan See-Thian-Mo. Dalam keadaan panas dingin dia kubawa ke sini dan tadi sudah ku obati dengan obat penangkal racun akibat pukulan halilintar. Panasnya memang hilang, akan tetapi tubuhnya menjadi dingin seperti es """

   Lan Lan mengangguk-angguk "Dia terkena pukulan See-Thian-Mo? Hemm, aku pernah mendengar bahwa See-Thian-Mo memiliki ilmu pukulan Swat-ciang. Dia keracunan hawa dingin pukulan itu, kemudian dia minum obatmu. Obat itu melawan pengaruh pukulan halilintar, tentu mengandung hawa dingin pula. Maka, racun hawa dingin itu menjadi lipat ganda. Untung dia memiliki sinking yang kuat, kalau tidak, dia tentu sudah mati"

   "Kau " kau tentu dapat mengobatinya dan menyembuhkannya, bukan?" Tanya Ma Goat.

   "Jangan khawatir, akan ku coba" Lan Lan mengeluarkan bungkusan jarum-jarumnya dan segera minta kepada Ma Goat agar menanggalkan baju bagian atas pemuda itu, kemudian ia menancapkan jarum-jarumnya di beberapa jalan darah. Setelah itu, ia lalu menggunakan jari tangannya untuk menotok jalan darah di dada, pundak dan punggung, kemudian menempelkan tangan kirinya ke atas dada Han Sin dan menyalurkan tenaga sinkangnya.

   Ma Goat memandang penuh perhatian dan alangkah girang hatinya melihat betapa perlahan-lahan wajah Han Sin menjadi normal kembali, warna pucat kebiruan itu lenyap dan terganti warna kemerahan. Pernapasan Han Sin juga tidak lemah seperti tadi. Kemudian terdengar dia mengeluh dan bergerak. Lan Lan menarik kembali tangannya, dan bangkit berdiri. Dahi dan lehernya yang putih basah oleh keringat. Ia menghapus keringat itu dengan ujung lengan bajunya lalu berkata lirih.

   "Dia akan sembuh, racunnya sudah meninggalkan tubuhnya"

   Ma Goat merasa girang sekali dan pada saat itu, Han Sin mengeluh lirih. Ma Goat cepat berlutut lagi dan ia melihat pemuda itu sudah membuka matanya dan mata itu di tujukan kepada gadis berpakaian putih yang telah menolongnya tadi.

   "Lan-moi "" Han Sin berkata lemah dan mencoba hendak bangkit duduk, akan tetapi dia mengeluh dan roboh lelentang lagi, memejamkan mata karena merasa pening.

   "Dia harus beristirahat sebentar dan jangan banyak bergerak dulu selama satu jam" kata Lan Lan.

   Ma Goat segera bangkit berdiri dan memegang tangan Lan Lan, menariknya menjauhi Han Sin "Sobat yang baik, terima kasih banyak atas pertolonganmu ini. Siapakah namamu agar aku tidak akan melupakanmu. Aku sendiri bernama Ma Goat"

   Kim Lan tersenyum "namaku Lan, she Kim. Panggil saja Lan Lan"

   "Lan-Lan, aku sudah berterima kasih kepadamu, mudah-mudahan lain waktu aku dapat membalas kebaikanmu. Sekarang kuharap kau suka meninggalkan kami"

   Sesaat pandang mata Lan Lan bertemu dengan pandang mata Ma Goat dan ia maklum. Gadis yang bersenjata suling ini tidak ingin Han Sin melihatnya kalau sudah sadar nanti.

   Ia pun mengangguk sambil tersenyum, lalu meninggalkan tempat itu dengan langkah lembut seenaknya.

   Ma Goat adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di tengah-tengah kekerasan kehidupan seorang datuk kangouw. Ia menjadi keras akan tetapi jujur mengeluarkan apa saja yang menjadi isi hatinya. Ia merasa khawatir setelah melihat betapa Lan Lan yang cantik jelita itu berhasil menyelamatkan Han Sin. Khawatir kalau Han Sin sadar lalu melihat Lan Lan akan jatuh hati kepada gadis cantik jelita itu. Maka terang-terangan ia minta agar Lan Lan meninggalkan tempat itu.

   Akan tetapi ia tidak tahu bahwa tadi Han Sin sudah sadar dan membuka matanya dan dia mengenali Lan Lan. Bahkan ketika dia terpaksa memejamkan mata karena pening, telinganya dapat mendengar dan mengenal dengan baik suara Lan Lan. Diapun mendengar ucapan Lan Lan yang mengharuskan dia istirahat dulu dan jangan banyak bergerak, maka diapun merebahkan diri dan melemaskan seluruh urat syaraf di tubuhnya. Dia merasa tenang dannyaman. Setelah dia merasa kesehatannya telah pulih kembali, dibukanya matanya dan dia tidak merasa pening lagi. Dengan perlahan dia lalu bangkit duduk.

   "Han Sin, jangan banyak bergerak dulu """ kata Ma Goat sambil mendekatinya dan memegang pundaknya "bagaimana rasanya sekarang? sudah baikkah?"

   Akan tetapi Han Sin tidak menjawab melainkan memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Dimana ia? Ma Goat, kemana perginya?"

   Ma Goat mengerutkan alisnya "Siapa? Kau mencari siapa?"

   "Lan-moi, kemana ia pergi?"

   "Lan-moi siapa? Tidak ada siapa-siapa di sini kecuali aku dan kau, Han Sin" kata Ma Goat.

   Han Sin sekali lagi memandang ke kanan kiri. Setelah melihat bahwa memang tidak ada Lan Lan di sekitar tempat itu, diapun bangkit dan berdiri. Dia menggerakkan kedua lengannya dan sudah merasa sehat.

   "Ma Goat, harap jangan membohongi aku. Tadi aku melihat Lan Lan di sini, bahkan mendengar suaranya. Kemana ia pergi?" tanyanya sambil memandang tajam wajah gadis itu.

   Ma Goat menjadi jengkel. Ia bersusah payah menolong Han Sin dan begitu sembuh pemuda itu menanyakan wanita lain "Sudah kukatakan tidak ada siapa-siapa selain aku dan kau. Tidak ada yang bernama Lan Lan"

   "Hemmm, Ma Goat. Aku ingat bahwa aku telah terkena pukulan ayahmu dan See-Thian-Mo sehingga aku terluka parah. Kemudian kau membawaku ke sini. Akan tetapi siapa yang mengobatiku sampai sembuh?"

   "Siapa lagi yang menyembuhkanmu kecuali aku? Aku yang telah mengobatimu, Han Sin. Dan aku yang membelamu, mencegah mereka membunuhmu. Lihat, ini botol obatku yang sudah habis kuminumkan padamu tadi"

   Han Sin lalu mengangkat kedua tangan depan dada "Ma Goat, kau baik sekali kepadaku. Aku masih ingat betapa kau melawan ayahmu sendiri dan See-Thian-Mo untuk menyelamatkanku dan membawaku ke sini untuk mengobatiku. Aku mengucapkan terima kasih dan mudah-mudahan lain waktu aku akan dapat membalasmu. Sekarang aku hendak melanjutkan perjalanan"

   "Kau hendak pergi meninggalkan aku? Tidak, Han Sin. Kalau kau pergi, kemanapun aku harus ikut denganmu" kata gadis itu dengan suara tegas.

   Han Sin terkejut dan memandang heran. Sejenak pandang mata mereka bertemu, Han Sin penuh selidik dan gadis itu kukuh dan keras.

   "Ma Goat, apa maksudmu? Tidak mungkin kau pergi mengikutiku"

   "Kalau kau tidak mau membawaku, kaulah yang harus ikut dengan aku menghadap ayahku"

   "Ehhh? Apa yang kau maksudkan? Aku tidak mengerti sikap dan ucapanmu ini"

   "Maksudku sudah jelas. Kau harus mempunyai dua pilihan. Yang pertama, kau membawaku kemanapun kau pergi dan yang kedua, kalau kau tidak dapat membawaku, kau harus ikut aku menghadap ayah dan tinggal bersama ku di Kwi-san"

   "Akan tetapi mengapa begitu? Apa artinya ini?" Han Sin benar-benar merasa terkejut, heran dan tidak mengerti.

   "Artinya sudah jelas, Han Sin. Kau menjadi pilihan hatiku dan aku sudah memutuskan untuk memilihmu sebagai jodohku. Sekarang tinggal kau pilih. Hidup sebagai suamiku di Kwi-san, atau kau membawa aku kemanapun kau pergi. Aku akan menjadi pendampingmu yang setia selama hidupmu"

   Han Sin terbelalak kaget dan mengamati wajah cantik itu penuh selidik. Teringatlah dia kepada Kui Ji, gadis dari keluarga gila itu. Apakah Ma Goat inipun gila seperti Kui Ji? Akan tetapi sikap dan kata-katanya tidak menunjukkan bahwa ia gila. Kemudian dia melihat kenyataannya yang menggelisahkan hatinya. Gadis ini tidak gila akan tetapi jatuh cinta kepadanya dan hendak memaksanya untuk menjadi suaminya. Sungguh suatu cara pemaksaan jodoh yang tidak banyak bedanya dengan cara yang di pakai si gadis gila Kui Ji.

   "Menyesal sekali aku tidak dapat memenuhi permintaanmu, Ma Goat. Maafkan aku. Aku belum mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Aku tidak mau tinggal di Kwi-san sebagai suamimu, juga tidak mau membawamu dalam perjalananku" katanya tegas.

   Alis itu berkerut dan sepasang mata yang indah itu berkilat. Ma Goat menggerakkan tangannya dan suling hitamnya sudah dicabutnya dari ikat pinggang "Kalau begitu, terpaksa aku harus menawanmu, Han Sin" katanya sambil mengamangkan sulingnya "Kau sungguh tidak mengenal budi. Kau pernah menyelamatkan aku, sebaliknya aku pun sudah menyelamatkan nyawamu. Mengapa kau menolak keinginanku untuk hidup bersamamu?"

   "Ma Goat, ketika aku menolongmu, sama sekali tidak ada pamrih dalam hatiku. Akan tetapi kau menolongku dengan pamrih mendapatkan imbalan yang tidak dapat aku memenuhinya"

   "Sudahlah, kau harus menjadi suamiku, apapun yang terjadi" Gadis itu sudah menggerakkan sulingnya untuk menotok pundak Han Sin.

   Akan tetapi Han Sin cepat mengelak. Ia tidak ingin berkelahi dengan gadis ini, apalagi tenaganya belum pulih seluruhnya, maka dia lalu mempergunakan ginkang untuk melompat jauh dari tempat itu lalu melarikan diri.

   "Han Sin, tunggu. Jangan tinggalkan aku" Ma Goat berteriak lalu mengejar. Akan tetapi larinya kalah cepat dan sebentar saja ia sudah kehilangan bayangan Han Sin. Akhirnya ia berhenti dan membanting-banting kaki, kemudian ia berlari pulang sambil menangis di sepanjang jalan.

   Pak-Te-Ong sedang bersama tamunya, See-Thian-Mo, dalam sebuah ruangan. Mereka berdua bercakap-cakap dengan rahasia, tidak seorangpun boleh ikut mendengarkan. Akan tetapi mendadak terdengar suara gaduh diluar pintu dan ketika mereka menengok, ternyata para anak buah Te-kwi-pai yang sedang berjaga diluar, roboh terpelanting. Dua orang kakek itu terkejut akan tetapi Pak-Te-Ong tersenyum lega ketika melihat bahwa yang mengamuk dan merobohkan para penjaga itu bukan lain adalah Ma Goat, puterinya. Kiranya Ma Goat mengamuk dan memukuli mereka ketika ia dilarang oleh para penjaga pada saat ia hendak memasuki ruangan itu.

   Ma Goat berlari masuk ruangan itu dengan kedua mata merah, karena menangis, melihat ayahnya, ia lari menghampiri ayahnya.

   "Ayah " Han Sin "" Ia menangis dalam rangkulan ayahnya. Sikapnya sungguh seperti seorang anak kecil yang manja sekali.

   Pa-tek-ong tertawa dan menepuk-nepuk pundak puterinya "Ha-ha-ha, Goat-ji. Maksudmu Cian Han Sin itu telah mampus?"

   "Ah, tidak, ayah. Dia tidak mati, dia melarikan diri. Ayah, carilah dia, tangkaplah dia untukku ""

   "Apa? Dia tidak mati?" See-Thian-Mo yang bertanya ini sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya. Dia terkejut dan saling pandang dengan Pak-Te-Ong.

   "Tapi, dia telah terkena Tangan Halilintarku" kata Pak-Te-Ong.

   "Aku telah memberinya obat penawarnya ayah" kata Ma Goat.

   "Akan tetapi dia telah kupukul dengan Tangan Saljuku" kata pula See-Thian-Mo.

   "Obat penawarku itu mengandung inti hawa dingin, maka tentu akan membuat akibat akibat pukulan Tangan Salju See-Thian-Mo lebih hebat lagi. Bagaimana dia dapat bertahan dan hidup?" Pak-Te-Ong bertanya heran.

   "Mula-mula juga begitu, ayah. Setelah ku beri obat penawar, Han Sin terserang dingin dan aku kira dia telah mati. Akan tetapi lalu muncul seorang gadis, dan gadis cantik itulah yang telah mengobatinya hingga sembuh. Akan tetapi setelah sembuh dia pergi meninggalkan aku, ayah "

   

  

   "Hemm, bukankah kau sendiri yang minta agar kami tidak mengganggunya dan membebaskannya? Setelah kini dia sembuh dan bebas pergi, mengapa kau rewel lagi?" Pak-Te-Ong menegur puterinya dengan heran.

   "Ayah "" kata Ma Goat dan suaranya bernada manja sekali "Aku melarang dia di bunuh karena aku ingin melihat dia hidup di sampingku selamanya. Hatiku telah memilihnya sebagai jodohku dan dia """ dia lari meninggalkan aku """

   "Apa?" kini mata Pak-Tek-Ong melotot "Dia berani menolakmu? Anakku, bawa anak buah dan carilah dia, tangkap dan seret ke sini. Dia harus mau menjadi suamimu kalau kau sudah memilihnya"

   Dia bertepuk tangan sebagai isyarat memanggil para anak buahnya. Anak buah Tee-kwi-pai lari berdatangan dan Pak-Te-Ong memerintahkan duapuluh orang anak buah untuk membantu Ma Goat mencari Han Sin yang melarikan diri.

   "Cepat kejar dia, anakku. Jangan sampai dia lari jauh dan lolos"

   Ma Goat lalu berlari keluar, memberi isyarat kepada duapuluh orang itu dan segera mengikutinya. Setelah Ma Goat dan anak buahnya pergi, See-Thian-Mo tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha. Anaknya sama keras kepala dengan bapaknya. Kalau kau dapat memiliki mantu seperti pemuda tadi, Pak-Te-Ong, kedudukanmu tentu akan semakin kuat"

   Pak-Te-Ong tertawa sambil mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk "Mudah-mudahan Goat-ji dapat menangkapnya. sekarang marilah kita lanjutkan percakapan kita tadi. Aku amat tertarik, See-Thian-Mo"

   Dua orang kakek itu masuk kembali ke dalam rumah dan melanjutkan percakapan mereka yang tadi terputus. Mereka duduk berhadapan dalam ruangan tertutup itu.

   "See-Thian-Mo, coba jelaskan lagi, tugas rahasia apakah yang di berikan oleh Lui ciangkun untuk kita?" Tanya Pak-Te-Ong "Kau tadi mengatakan bahwa kita harus membunuh Kaisar Yang Ti?"

   "Benar, Pak-Te-Ong. Kita di tugaskan membunuh Kaisar Yang Ti dan sebagai imbalannya kalau kita berhasil, dia akan memberi seribu tail emas dan mengusahakan agar kita berdua menjadi pimpinan di dunia kang-ouw"

   "Hemm, imbalan yang amat menarik. Akan tetapi, pekerjaan itupun amat sukar, bahkan aku anggap tidak mungkin di lakukan. Kaisar berada di istana yang terjaga oleh pasukan pengawal dengan ketat, bahkan di istana terdapat jagoan-jagoan istana yang berilmu tinggi.

   Bagaimana mungkin kita berdua melaksanakan tugas itu? Seperti memasuki lautan api. Jangankan berhasil, kita berdua bahkan akan terbakar hangus"

   "Ah, Pak-Tek-Ong, kalau seperti yang kau sangka itu, aku sendiri tentu tidak akan mau menyanggupi, akan tetapi ketahuilah bahwa Kaisar yang Ti dalam bulan depan akan memimpin pasukan sendiri melakukan pembersihan dan penyerangan ke daerah utara. Terbuka kesempatan baik bagi kita untuk turun tangan. Ketika Kaisar Yang Ti sedang memimpin pasukannya, kita membawa anak buah menyamar dengan pakaian pasukan Sui, menyusup mendekati Kaisar dan dengan mudah akan membunuhnya"

   Pak-Te-Ong mengangguk-angguk "Hemm, kalau demikian halnya menjadi lain lagi dan siasat itu baik sekali. Akan tetapi aku merasa heran. Bukankah Lui-ciangkun kini telah memperoleh kedudukan baik sebagai seorang panglima besar? Kenapa dia menghendaki kematian Kaisar Yang Ti?"

   "Sebabnya mudah di duga, Pak-Tek-Ong. Dia amat membenci Kaisar dan dia pula yang banyak membantu sehingga kaisar terjerumus ke dalam keadaan yang sekarang, berfoya-foya menghamburkan uang Negara. Semua itu masih belum memuaskan hati Luiw Couw. Dia menghendaki Kaisar itu mati"

   "Akan tetapi, mengapa dia demikian membenci Kaisar?"

   "Sederhana saja, Dendam sakit hati. Ketahuilah bahwa Lui Couw itu adalah putera mendiang Toat Beng Giam Ong"

   "Ahhh. Kok-su dari Kerajaan To-ba yang di jatuhkan oleh Kerajaan Sui?" Tanya Pak-Te-Ong.

   "Benar, karena itu Lui-ciangkun memiliki banyak peninggalan ayahnya berupa harta benda yang berhasil di selamatkan, juga warisan ilmu silatnya sehingga dia dapat memperoleh kedudukan tinggi sebagai panglima besar. Dalam usahanya membunuh kaisar, bukan semata untuk membalas dendam. Akan tetapi juga demi masa depannya. Dia sudah mencalonkan pangeran yang akan mendukungnya menggantikan kedudukan kaisar sehingga dia akan dapat menguasai kaisar baru dan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi. Dan dia tentu tidak akan melupakan jasa kita, Pak-Te-Ong"

   "Baik, See-Thian-Mo, akan ku pertimbangkan penawaran Lui-ciangkun itu. Akan tetapi aku akan mengurus lebih dahulu puteriku yang manja itu. Mudah-mudahan ia telah berhasil menangkap calon mantuku, ha-ha-ha"

   See-Thian-Mo lalu berpamit setelah berjanji akan mengadakan pertemuan lagi untuk mendengar kepastian jawaban ketua Te-kwi-pai itu.

   ***

   "Cepat, hayo kalian berlari lebih cepat" teriak Ma Goat kepada anak buahnya. Tentu saja para anggota Te-kwi-pai terengah-engah mengejar, karena ilmu berlari cepat Ma Goat tidak mungkin dapat mereka tandingi. Biarpun mereka sudah berlari secepatnya, tetap saja mereka tertinggal jauh sehingga terpaksa Ma Goat menghentikan larinya dan beberapa kali menanti sampai mereka datang dekat.

   Mereka telah melakukan pengejaran sampai jauh namun belum juga berhasil menemukan orang yang di cari, yaitu Han Sin. Ma Goat sudah menjadi jengkel sekali dan hampir putus asa ketika tiba-tiba ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih berjalan seorang diri di sebelah depan. ia mengerutkan alisnya dan teringat akan gadis berpakaian serba putih yang telah mengobati dan menyembuhkan Han Sin. Cepat ia melakukan pengejaran dan setelah wanita baju putih itu tinggal belasan meter di depannya, Ma Goat lalu menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) meloncat tinggi melampaui kepala wanita itu dan turun berjungkir balik di depannya. Ia melihat bahwa benar dugaannya, wanita itu bukan lain adalah Kim Lan, gadis yang telah mengobati Han Sin. Kim Lan atau lan Lan sendiri tersenyum ketika melihat Ma Goat. Dara berpakaian putih ini memang selalu tenang dan ia tidak terkejut atau heran melihat Ma Goat muncul begitu saja, meloncat turun dari udara.

   Akan tetapi Ma Goat sudah memandang dengan muka merah dan hati panas. Teringat ia betapa Han Sin menyebut-nyebut nama gadis ini ketika siuman dari pingsannya, mencari "Lan-moi"

   "Lan-Lan" bentak Ma Goat "Hayo katakan dimana kau menyembunyikan Han Sin" Ia mengangkat sulingnya dengan sikap penuh ancaman.

   Lan-Lan memandang dengan sinar mata heran dan mulut tersenyum sabar "Ma Goat, apa yang kau maksudkan dengan pertanyaan itu? Aku tidak menyembunyikan Han Sin atau siapapun. Bukankah ketika itu dia bersamamu?"

   "Katakan dimana dia atau kubunuh kau" kembali Ma Goat yang sudah marah karena cemburu itu membentak, sementara itu duapuluh orang anak buah Te-kwi-pai sudah tiba di situ pula dan mengepung Lan Lan. Gadis itu masih saja bersikap tenang seperti biasa. Ia tidak merasa melakukan kesalahan apapun, maka orang yang merasa dirinya bersih selalu tenang.

   "Ma Goat, tenangkanlah hatimu. Sejak aku meninggalkan kau dan Han Sin, aku tidak melihatnya lagi"

   Akan tetapi Ma Goat sudah membenci dara baju putih itu karena cemburu, maka baik Lan Lan mengetahui dimana adanya Han Sin atau tidak, tidak ada bedanya baginya. Lan Lan harus di bunuhnya untuk melampiaskan cemburu dan kebenciannya" mampuslah" bentaknya dan sulingnya sudah menyambar bagaikan kilat kearah leher Lan Lan yang putih mulus itu. Serangan ini hebat sekali. Karena kehebatan dan keganasan sulingnya Ma Goat sampai di juluki Suling Maut. Sulingnya memang ganas sekali dan biasanya jarang ada lawan yang mampu terhindar dari serangan suling mautnya.

   Namun ternyata Lan Lan bukan seorang gadis yang lemah, biarpun nampaknya ia lemah lembut. Dengan gerakan indah dan halus sekali ia dapat mengelak dari serangan suling maut itu. Ia menarik tubuh bagian atas ke belakang dan ketika suling it uterus menyambarnya dengan serangan berikutnya, yaitu menotok kearah dadanya, iapun melompat ke samping sejauh dua meter sehingga totokan itupun luput.

   "Ma Goat, tahan dulu. Apa kesalahanku kepadamu maka kau hendak membunuhku? Jelaskan dulu agar andaikata kau dapat membunuhku, aku dapat mati dengan mata terpejam"

   Ma Goat menudingkan sulingnya dan tanpa malu-malu lagi diapun berkata ketus "Han Sin lari meninggalkan aku. Ketika siuman dari pingsan, ia menyebut-nyebut namamu, maka tentu kau hendak merebut dia dari tanganku. Kau yang menyembunyikannya"

   Wajah Lan Lan berubah kemerahan. Andaikata benar hatinya tertarik dan merasa suka kepada Han Sin, ia tidak mungkin akan merebut seorang laki-laki dari tangan gadis lain. Dengan suara penuh kesabaran iapun berkata "Ma Goat, aku tidak menyembunyikannya dan juga tidak tahu dia berada dimana. Kalau aku bertemu dengan dia akan kuberitahukan padanya bahwa kau mencarinya. Akan tetapi dengar nasehatku. Ma Goat, cinta tidak mungkin dapat dipaksakan. kalau dia tidak mencintaimu, sebaiknya kalau dia pergi karena kalau kau memaksanya, kelak kau hanya akan menderita kekecewaan dan kesengsaraan"

   "Persetan dengan nasehatmu. Aku menginginkan dia dan tidak ada seorangpun manusia boleh menghalangiku" Dan Ma Goat sudah menyerang lagi dengan lebih hebat. Bahkan kini tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka dan hawa panas menyambar kearah tubuh Lan Lan. Itulah pukulan Tian-Ciang (Tangan Halilintar) yang sangat ampuh. Lan Lan mengenal pukulan ampuh dan iapun mengelak ke samping dan tiba-tiba kakinya mencuat dengan tendangan memutar. Ia harus membalas serangan lawan kalau tidak ingin terdesak. Ma Goat juga dapat menghindarkan diri dari tendangan itu dan terjadilah pertandingan yang seru dan mati-matian karena agaknya Ma Goat berusaha benar untuk membunuh Lan Lan.

   Sungguh tidak di sangka-sangka oleh Ma Goat sendiri bahwa dara berpakaian putih yang pandai ilmu pengobatan itu ternyata memiliki kepandaian silat yang tinggi pula. Buktinya Lan Lan mampu menandinginya bahkan sama sekali tidak dapat ia mendesaknya. Hal ini memang tidak mengherankan. Lan Lan adalah murid terkasih dari Thian Ho Hwesio yang berjuluk Siauw Bin Yok Sian (Dewa Obat Muka Tertawa), seorang kakek sakti yang dikenal semua datuk di dunia persilatan sebagai seorang yang pandai ilmu silat dan ilmu pengobatan. Thian Ho Hwesio amat syang kepada Lan Lan, maka diapun mewariskan semua ilmu silat dan ilmu pengobatannya kepada gadis ini. Dan Lan Lan sendiri memiliki otak yang cerdik dan juga amat berbakat, maka ia kini menjadi seorang gadis yang lihai sekali, walaupun ia tidak pernah memperlihatkannya karena ia lebih senang mempraktekkan kepandaiannya dalam hal pengobatan untuk menolong orang ketimbang mempraktekkan silatnya untuk berkelahi.

   Setelah tigapuluh jurus lebih lewat tanpa dapat mendesak Lan Lan, Ma Goat menjadi marah dan ia berseru kepada anak buah Te-kwi-pai untuki mengeroyok. Majulah mereka semua dan duapuluh orang anak buah itupun menggerakkan senjata mereka mengeroyok Lan Lan. Gadis ini diam-diam terkejut. Tak di sangkanya bahwa Ma Goat demikian bernafsu untuk membunuhnya sehingga tak malu untuk melakukan pengeroyokan. Ia tahu bahwa semua ini adalah gara-gara cinta gadis liar itu kepada Han Sin. Ia menggerakkan tubuhnya berkelebatan diantara para pengeroyoknya untuk melepaskan diri dari kepungan dan kalau mungkin melarikan diri. Akan tetapi pengeroyokan itu ketat sekali sehingga Lan Lan berada dalam keadaan gawat. Terutama sekali serangan Ma Goat yang selalu mengancam nyawanya.

   Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba para pengeroyok manjadi kacau ketika datang seorang yang menerjang mareka dari luar. Beberapa orang roboh oleh terjangan ini dan muncullah seorang pemuda tampan yang mengamuk dengan sepotong tongkat dari ranting pohon itu. Biarpun senjatanya hanya sepotong tongkat kayu, namun pemuda tampan itu hebat sekali gerakannya.

   Ketika melihat pemuda tampan ini, Lan Lan merasa gembira sekali. Biarpun pemuda itu kini sudah mengenakan pakaian yang bagus seperti pakaian seorang sastrawan muda yang terbuat dari sutera halus dan mahal, namun ia masih dapat mengenalnya sebagai pemuda yang dulu berpakaian seperti seorang pengemis dan yang bersamanya menolong Han Sin dari tangan keluarga gila.

   Melihat betapa Cu Sian, pemuda tampan itu, mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok, Lan Lan khawatir kalau-kalau akan banyak orang dibunuhnya, maka ia lalu bergerak mendekati dan berseru "Sobat, tidak perlu melayani mereka. Bantulah aku lolos dari kepungan ini"

   Mendengar ucapan ini, Cu Sian menjawab "Baiklah" Dia tidak tahu urusannya yang terjadi antara Lan Lan dan para pengeroyoknya itu, dan diapun melihat betapa lihainya gadis yang memegang lihainya gadis yang memegang suling, yang agaknya menjadi pemimpin para pengeroyok. Dia membantu Lan Lan hanya karena sudah pernah bertemu dan bekerjasama menolong Han Sin. Maka diapun memutar tongkatnya dan membantu Lan Lan untuk lolos dari kepungan dan tak lama kemudian mereka berdua sudah melarikan diri dengan cepat.

   Ma Goat marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan memaki-maki para anak buah Te-kwi-pai karena tidak berhasil membunuh Lan Lan. Ia maklum bahwa mengejar kedua orang itu tidak ada gunanya. Anak buahnya pasti tidak akan mampu menyusul. Hanya ia yang dapat menandingi ilmu berlari cepat kedua orang itu, akan tetapi ia seorang diri tidak mungkin menang menghadapi kedua orang itu, karena pemuda remaja tadipun amat lihai. Dengan wajah murung iapun meninggalkan tempat itu bersama anak buahnya.

   ***

   Mereka berdua mepergunakan ilmu berlari cepat dan seperti dulu, ketika mereka pada malam hari di atas kuil Hwa-li-pang saling berkejaran mengadu ginkang, kini mereka seolah berlumba lari untuk mengetahui siapa diantara mereka yang lebih cepat larinya.

   Sampai jauh mereka berlari dan ternyata mereka memiliki ilmu berlari cepat yang seimbang tingkatnya. Akhirnya Cu Sian berhenti di dalam sebuah hutan dan dia agak terengah. Dia berhenti memandang Lan Lan dan pernapasannya biasa saja. Maka dengan terkejut Cu Sian diam-diam harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat.

   "Hemmm, kau enci " eh " siapa lagi namamu?"

   Lan Lan tersenyum "Namaku Kim Lan, panggil saja Lan Lan"

   "Dan aku Cu Sian, kau masih ingat kepadaku, enci Lan?"

   Lan Lan tersenyum ramah "Tentu saja aku masih ingat kepadamu, biarpun kini kau menjadi seorang kong-cu yang kaya raya dan dahulu kau seorang jembel muda yang nakal"

   Keduanya tertawa dan Cu Sian merasa suka sekali kepada gadis berpakaian putih yang lembut ini "Akupun mengenalmu. Mudah saja ingat kembali kepada gadis berpakaian putih yang cantik jelita seperti bidadari, lihai dalam ilmu pengobatan dan juga ilmu silat"

   "Hai, perayu benar kau" cela Lan Lan sambil tersenyum polos. Ia tidak merasa tersipu mendengar pujian muluk ini dari mulut seorang pemuda tampan, karena pandang mata yang tajam dari Lan Lan sudah membuat ia menyadari bahwa pemuda tampan ini adalah seorang gadis yang nakal dan suka menggoda orang.

   Cu Sian tertawa senang "Begitu melihat kau di keroyok, aku langsung turun tangan membantumu. Eh, enci Lan, kenapa sih kau dikeroyok begitu banyaknya orang? Siapakah mereka dan siapa pula gadis memegang suling yang galak tadi?"

   "Panjang ceritanya, Cu Sian. Mari kita mencari tempat yang bersih untuk duduk dan bicara" Mereka lalu mencari tempat yang bersih di dekat sebuah anak sungai dimana terdapat batu-batu besar yang bersih. Mereka duduk di atas batu yang rata dan bercakap-cakap dengan santai.

   "Nah, sekarang berceritalah, encu Lan. Aku menyebutmu enci karena usia kita tentu sebaya"

   "Boleh saja. Dan apakah aku harus menyebut koko (kanda) kepadamu?"

   Cu Sian tertawa "Sebut saja namaku, itu lebih akrab. Nah, lanjutkan ceritamu, enci Lan"

   "Tadi pagi secara kebetulan aku melihat Han Sin """

   "Ah, benarkah? Dimana dia? Apa yang dikerjakan dan dimana dia sekarang?"

   Melihat Cu Sian memberondongnya dengan pertanyaan tentang Han Sin, Kim Lan tertawa, akan tetapi didalam hatinya ia mencatat bahwa gadis yang menyamar pria ini agaknya menaruh banyak perhatian terhadap pemuda itu.

   "Dengarkan dulu ceritaku, Cu Sian. Aku melihat Han Sin bersama seorang gadis di tepi sungai. Akan tetapi aku lihat Han Sin dalam keadaan sekarat, keracunan pukulan ampuh"

   "Wah, celaka. Lalu ". Lalu bagaimana?"

   "Aku menawarkan bantuan kepada gadis itu untuk mengobati Han Sin. Dan kebetulan aku mengenal hawa beracun yang menyebabkan dia sekarat itu. Aku berhasil menyembuhkannya dan sebelum Han Sin sadar, aku sudah meninggalkan mereka. Akan tetapi, tiba-tiba tadi muncul gadis yang bersama Han Sin itu, bersama anak buahnya dan ia menuduh aku melarikan dan menyembunyikan Han Sin. Tentu saja aku menyangkal karena sesudah mengobatinya, aku lalu meninggalkan mereka dan tidak bertemu lagi dengan Han Sin. gadis itu tidak percaya, bahkan lalu menyerangku dan mengeroyokku bersama anak buahnya. Untung kau datang membantuku kalau tidak tentu aku celaka karena gadis itu lihai bukan main"

   "Hemmm, aneh. Siapakah gadis itu dan mengapa pula ia mencari Han Sin kalau kau meninggalkan Han Sin bersamanya?"

   "Namanya Ma Goat, demikian menurut pengakuannya. Dan karena ayahnya ahli ilmu pukulan Tangan Halilintar, aku ingat bahwa yang memiliki ilmu itu adalah datuk Pak-Te-Ong Ma Giok. jadi ia tentu puteri Pak-Te-Ong. Akan tetapi menurut penuturannya, Han Sin menderita karena pukulan Tangan Halilintar ayahnya, kemudian juga terkena pukulan Tangan Salju dari See-Thian-Mo. Agaknya melihat Han Sin menjadi korban kedua pukulan itu, Ma Goat lalu menolongnya, akan tetapi, ia hanya dapat mengobati akibat pukulan Tangan Halilintar, tidak mampu mengobati bekas Tangan Salju. Dan aku tidak tahu apa hubungan gadis itu dengan Han Sin"

   Cu Sian mengerutkan alisnya dan merenung, lalu bicara kepada diri sendiri "Ma Goat itu membela dan menolong Han Sin, biarpun agaknya Han Sin dimusuhi ayahnya. Agaknya Han Sin meninggalkannya dan ia mencari-carinya. Tak salah lagi, tentu gadis liar itu jatuh cinta kepada Han Sin" Ketika mengucapkan kalimat terakhir itu ia menoleh dan memandang wajah Lan Lan.

   Lan Lan tersenyum melihat Cu Sian mengerutkan alisnya dan pandang matanya demikian serius "Mungkin benar dugaanmu itu" katanya.

   "Tentu saja benar. Gadis liar itu telah menolong Han Sin, kenapa kemudian ia lalu mencarinya? Tentu ia telah jatuh cinta dan ingin memiliki Han Sin. Akan tetapi "" ia lalu bicara lirih lagi sambil mengingat-ingat "kenapa ia ingin membunuhmu, kenapa ia menduga kau melarikan dan menyembunyikan Han Sin?" Dia diam sebentar dan mengelus dagunya yang halus tanpa selembarpun jenggot, kemudian tiba-tiba ia memandang lagi kepada Lan Lan dan berkata "Ah, tentu saja. Ia mengira bahwa kau juga mencinta Han Sin. Ia ingin membunuhmu karena cemburu"

   "Hemmmm " " Lan Lan hanya mengguman biarpun didalam hatinya ia membenarkan pula dugaan Cu Sian yang cerdik itu.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 14


   Tiba-tiba Cu Sian menatap wajah gadis itu dengan tajam dan bertanya "Enci Lan, benarkah dugaan itu bahwa kau mencinta Han Sin?" Sinar mata Cu Sian demikian tajam memandang wajah Lan Lan penuh selidik. Mendapat pertanyaan yang di tujukkan tiba-tiba ini, Lan Lan merasa seolah-olah dadanya di todong ujung pedang. Ia tergagap menjawab.

   "Aku ". Eh, aku tidak tahu, Cu Sian. Belum pernah aku berpikir tentang itu """

   "Sukurlah kalau begitu. enci Lan. Aku kasihan kepadamu kalau sampai kau jatuh cinta kepada Han Sin. Pemuda seperti itu tidak patut menerima cinta seorang gadis seperti kau"

   "Eh " kenapa begitu Cu Sian?"

   "Dia " dia tidak berharga. Dia seorang pemuda mata keranjang dan di mana-mana ia mempunyai kekasih. Hatimu akan hancur dan patah-patah kalau kau mencintanya"

   "Bagaimana kau tahu?"

   "Tentu saja aku tahu. Aku sudah melakukan perjalanan bersamanya ke utara. Dia merayu dan menggoda puteri kepala suku, bahkan merayu kedua-duanya sehingga mereka jatuh cinta kepadanya, memperebutkannya. Akan tetapi apa jadinya? Dia tinggalkan mereka begitu saja. Huh, dia laki-laki yang tidak boleh dicinta seorang gadis"

   Lan Lan tersenyum "Hem, dan bagaimana dengan kau sendiri?"

   Cu Sian memandang dengan mata terbelalak "Aku?" Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?"

   Lan Lan masih tersenyum "Maksudku, kalau kau tentu bukan seorang pemuda seperti itu. Kau tidak akan mempermainkan orang yang jatuh cinta kepadamu, bukan?"

   "Tentu saja tidak. Kalau aku jatuh cinta, aku akan mencinta dengan sepenuh jiwa ragaku, dan aku siap untuk membelanya, dengan taruhannyawa sekalipun. Aku akan bersetia sampai mati"

   Kata-kata ini diucapkan penuh semangat dan diam-diam Lan Lan merasa terharu. Ia percaya bahwa kata-kata itu keluar dari lubuk hati dan bukan sekedar membual.

   "Mudah-mudahan saja orang yang kau cinta itu akan membalas pula cintamu Cu Sian. Orang seperti kau cinta dan patah hati"

   "Mudah-mudahan, enci Lan. Kau ". Sungguh baik sekali. Agaknya, aku akan mudah jatuh cinta kepadamu kalau saja aku belum mempunyai seorang pilihan hati"

   Lan Lan tersenyum lalu bangkit berdiri "Nah, sudah cukup kita bicara, Cu Sian. Aku harus melanjutkan perjalananku dan selamat berpisah"

   "Eh, nanti dulu, enci Lan, Menurut pendapatmu, kemanakah perginya Han Sin? Aku ingin bertemu dan bicara dengannya"

   "Bagaimana aku tahu? Ketika aku mengobatinya, bahkan aku tidak sempat bicara dengannya. Akan tetapi mengingat aku menemukannya di bukit Kwi-san di pantai Huang-Hi, mungkin ia berada di sekitar lembah sungai itu. Nah, sampai jumpa, Cu Sian"

   "Selamat jalan, enci Land an terima kasih"

   Mereka berpisah dan di sepanjang perjalanan, Kim Lan tersenyum-senyum seorang diri. Jelas bagaikan sebuah kitab terbuka, Cu Sian adalah seorang gadis dan gadis itu mencinta Han Sin. Akan tetapi senyumnya agak berubah ketika ia merasa betapa hatinya seperti tertusuk. Pedih rasanya, cepat ia mengusir perasaan itu, dan melanjutkan perjalanannya sambil berlari secepat terbang.

   ***

   Han Sin menuju ke Shan-si. Dia hendak singgah dulu di tai-goan, hendak mencari keterangan dimana adanya kuburan ayahnya. Dari Tarsukai dia mendapat keterangan bahwa ayahnya yang tewas di pertempuran itu dimakamkan oleh Gubernur Li Goan.

   Ketika dia menghadap Gubernur, dia di terima oleh Li Kongcu, yaitu Li Si Bin yang mewakili ayahnya. Pemuda putera Gubernur itu girang sekali melihat Han Sin, apalagi ketika Han Sin bercerita bahwa dia telah bertemu dan tinggal beberapa hari lamanya di perkampungan suku Yak-ka. Dalam kesempatan itu Han Sin bertanya tentang makam ayahnya.

   "Ah, maafkan kami bahwa ketika itu kami lupa memberitahu kepadamu, Cian-twako. Jenazah ayahmu memang di makamkan di sini, bahkan upacara pemakaman di sini, bahkan upacara pemakaman di lakukan secara besar-besaran seperti layaknya pemakaman seorang pahlawan besar. Semua itu di urus oleh ayah. Mari kuantarkan kau mengunjungi makam"

   Li Si Bin sendiri yang mengantar Han Sin berkunjung ke makam ayahnya. Dia memandang kagum melihat Han Sin berlutut menyembahyangi makam ayahnya tanpa bercucuran air mata seperti kebiasaan orang-orang yang berkunjung ke makam. Pemuda yang tinggi tegap itu ternyata memiliki ketabahan dan kekerasan hati.

   Setelah selesai sembahyang, Li Si Bin lalu mengajak Han Sin bercakap-cakap tentang kegagahan ayahnya seperti yang di dengarnya dari cerita orang-orang tua.

   "Ayahmu bukan hanya seorang pahlawan negeri, Cian-twako. Akan tetapi menurut cerita para tokoh kang-ouw, dia juga seorang pendekar yang amat gagah perkasa dan di takuti para penjahat. Kau patut merasa bangga mempunyai seorang ayah seperti dia" demikian kata Li Si Bin.

   "Sayang dia terbunuh secara pengecut dari belakang ketika dia sedang memimpin pasukan berperang, dan lebih sayang lagi sampai sekarang aku belum dapat mengetahui siapa pembunuhnya" kata Han Sin.

   Akan tetapi, tentu di utara kau sudah mendapatkan keterangan tentang itu, bukan?"

   "Ketarangan yang belum jelas menyebutkan siapa pelakunya, kong-cu. Aku masih harus menyelidikinya ke kota raja"

   "Aku percaya penyelidikanmu akan berhasil, Cian-twako"

   Pada saat itu, empat orang pengawal menemani seorang berpakaian panglima menghampiri Li Si Bin dan Cian Han Sin. Empat orang pengawal itu memberi hormat kepada Li Si Bin dan berkata "Kami diutus oleh Tai-jin untuk mengantarkan ciang-kun yang datang dari kota raja ini ke sini karena dia hendak bertemu dengan pemuda ini" Pengawal itu menundingkan telunjuknya kearah Han Sin.

   Tentu saja Han Sin merasa heran sekali dan dia memandang kepada perwira itu dengan penuh perhatian. Panglima itu berusia tigapuluh lima tahun, tubuhnya jangkung kurus dan sikapnya gagah. Mendengar laporan pengawal itu, panglima itu segera memberi hormat kepada Li Si Bin dan berkata "Harap kong-cu maafkan kalau saya mengganggu"

   Li Si Bin menatap wajah perwira itu penuh selidik, lalu bertanya "Ciang-kun, siapakah dan ada keperluan apa mencari saudara Cian Han Sin?"

   Perwira itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang merupakan sebuah leng-ki (Bendera utusan raja), memperlihatkannya kepada Li Si Bin lalu menyimpannya kembali "Kong-cu, saya bernama Coa Hong Bu, seorang panglima istana dan saya melaksanakan sebuah tugas yang di berikan Yang Mulia Kaisar kepada saya. Untuk keperluan itu saya harus bertemu dan bicara dengan saudara Cian Han Sin"

   Melihat leng-ki itu, Li Si Bin memberi hormat "Kalau begitu silahkan ciangkun bicara dengannya dan saya akan pulang terlebih dahulu. Cian-twako, kau bicaralah dengan Coa-ciangkun, aku hendak pulang lebih dulu" Li Si Bin lalu pergi diikuti para pengawal tadi, meninggalkan Han Sin berdua saja dengan Coa Hong Bu di makam ayahnya itu.

   Setelah mereka berdua saja, Han Sin berkata "Coa-ciangkun, ada urusan apakah ciangkun mencariku?"

   "Cian-kongcu, aku diutus oleh Sri Baginda Kaisar untuk mendapatkan dua buah benda. Yang pertama adalah pedang pusaka Hek-Liong-Kiam, dan yang kedua adalah Kitab ilmu Bu-tek-cin-keng, Karena aku tidak bisa mendapatkan kedua benda itu dirumah ibu kong-cu dan mendengar kong-cu pergi ke utara, maka aku menyusul ke sini untuk menanyakan kepadamu tentang kedua benda itu"

   Han Sin mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah panglima itu "Hemmm " Pedang Naga Hitam adalah Pusaka milik mendiang ayahku, sedangkan kitab ilmu Bu-tek-cin-keng adalah pemberian mendiang kaisar Yang Cien kepadaku, kenapa sekarang Sri Baginda Kaisar Yang Ti hendak memintanya?"

   "Entahlah, kong-cu. Aku hanya seorang utusan dan kehendak Sri Baginda harus dilaksanakan"

   "Akan tetapi, Pedang Naga Hitam tidak ada padaku, pedang itu lenyap ketika mendiang ayah gugur di medan perang dan tentang kitab ilmu Bu-tek-cin-keng, telah kubakar agar tidak terjatuh ke tangan orang lain. Kalau Sri Baginda kaisar menghendaki belajar itu, aku dapat mengajarinya, asalkan mendapat perkenan ibuku"

   Panglima Coa mengangguk-angguk lalu menghela napas panjang dan memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh iba "Aku mengerti, Cian-kongcu. Aku sudah tahu bahwa Hek-Liong-Kiam tidak ada padamu. Bahkan " aku membawa sebuah berita duka untukmu, kong-cu"

   Han Sin mengerutkan alisnya lagi dan memandang tajam "Berita duka? Apa maksudmu, Coa-ciangkun?"

   "Berita duka mengenai ibumu, kongcu"

   "Ibuku? Ada apa dengan ibuku?" wajah Han Sin berubah agak pucat dan dia memandang panglima itu dengan kedua mata terbelalak.

   "Beberapa bulan yang lalu, ibumu tewas terbunuh orang """

   Andaikata bumi di depannya terbelah, belum tentu Han Sin akan sekaget itu. Matanya terbelalak lebar, wajahnya pucat sekali dan sesaat dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, bahkan tidak mampu berpikir. Pikirannya menjadi gelap oleh guncangan batin yang amat hebat. Kemudian setelah dapat menguasai dirinya, dia berteriak.

   "Ibu "".?? Siapa pembunuhnya?"

   Tidak ada yang mengetahuinya, kongcu. Hanya ada bibi Cio Si, pelayan itu" yang mengetahui, akan tetapi iapun tidak mengenal si pembunuh. Ia hanya dapat mengatakan bahwa pembunuh itu memegang sebatang pedang hitam yang berkilauan.

   "Hek-Liong-Kiam " "

   "Kukira juga demikian, kongcu. Pembunuh ibumu itu menggunakan pedang Naga Hitam. Setelah mendapatkan kenyataan itu, aku lalu berangkat mencarimu ke sini"

   "Tidak ada yang mengetahuinya, kong-cu. Pembunuh ibumu itu menggunakan Pedang Naga Hitam. Setelah mendapatkan kenyataan itu, aku lalu berangkat mencarimu ke sini"

   "Ibu "" Han Sin terhuyung dan menutupi mukanya dengan kedua tangan kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan makam ayahnya. Tak dapat dia menahan air matanya yang bercucuran keluar saking pedih rasa hatinya mengenang kematian ibunya tercinta.

   "Ayah ". Maafkan anakmu, ayah. Kematian ayah belum juga terbalas, pembunuh ayah belum juga ku temukan, Hek-Liong-Kiam juga masih di tangan pembunuh, kini ibuku bahkan terbunuh pula. Ayah, aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum pembunuh ayah dan ibu dapat di hokum dan Hek-Liong-Kiam belum dapat ku temukan"

   Coa Hong Bu hanya melihat dan mendengarkan, dalam hatinya merasa iba sekali kepada pemuda ini. Sungguh tidak dapat di sangka, nasib keluarga Panglima Besar Cian Kauw Cu begini menyedihkan. Panglima itu terbunuh secara curang, dan isterinya terbunuh pula. Padahal mendiang Cian Kauw Cu adalah seorang panglima besar yang banyak jasanya dalam mendirikan Kerajaan Sui dan berjasa besar pula sebagai seorang pendekar yang menentang segala macam bentuk kejahatan.

   Setelah pemuda itu menjadi tenang kembali, Coa Hong Bu berkata kepada Han Sin "Cian-kongcu, seorang laki-laki sejati tidak tenggelam dalam kedukaan peristiwa yang lalu. Aku percaya kelak kong-cu pasti akan dapat menemukan pembunuh orang tua kong-cu dan mendapatkan kembali Hek-Liong-Kiam"

   Han Sin bangkit berdiri dan dengan ujung lengan bajunya menghapus sisa airmatanya. Lalu dia mengepal tinju "Aku yakin pasti akan dapat menemukannya dan kukira tempatnya adalah di kota raja. Aku akan kembali ke kota raja mencari musuh besarku"

   "Aku rasa duganmu benar, kong-cu. Dan kalau kau dapat menemukan pembunuh itu, berarti kau akan menemukan pula Hek-Liong-Kiam. Akan tetapi, bagaimana tentang kehendak Sribaginda itu, kong-cu? Bagaimanapun juga aku harus membuat pelaporan kepada Yang Mulia Kaisar"

   Laporkan saja bahwa aku bersedia menghadap Sri Baginda kalau aku sudah menemukan musuh besarku. Aku akan menyerahkan Pedang Naga Hitam dan juga mengajarkan Bu Tek Cin Keng kalau memang Sri Baginda menghendaki"

   "Baik, kong-cu. Nah, aku akan berangkat dulu kembali ke kota raja melaporkan kepada Sri Baginda kaisar"

   "Baik, Ciangkun dan selamat jalan" kata Han Sin.

   Panglima Coa Hong Bu lalu meninggalkan makam itu dan Han Sin duduk bersila di depan makam ayahnya, termenung memikirkan nasibnya. Diam-diam dia memikirkan mengapa ibunya terbunuh orang. Kalau ayahnya, mungkin ayahnya memiliki banyak musuh, atau orang membunuhnya untuk merampas Pedang Naga Hitam? Akan tetapi mengapa ibunya juga di bunuh oleh perampas Pedang Naga Hitam? Hampir dia yakin bahwa pembunuh ibunya juga pembunuh ayahnya. Dan menurut keterangan yang dia dapatkan dari Tar-sukai ketua suku Yakka, ketika ayahnya tewas, jenazahnya di dekati seorang perwira Sui berusia tigapuluh tahun lebih. Mungkin perwira itulah pembunuh ayahnya. Perwira yang menjadi pembantu ayahnya sendiri. mengingat bahwa kematian ayahnya di sebabkan oleh anak panah yang dilepas dari belakang, besar kemungkinan perwira itu yang memanahnya dari belakang kemudian mendekati jenazahnya dan mengambil pedang Naga Hitam. Akan tetapi kenapa pembunuh itu, kalau benar dia si perwira membunuh pula ibunya? Ibunya adalah seorang wanita perkasa. Tidak mudah terbunuh begitu saja. Tentu pembunuhnya seorang yang lihai ilmu silatnya.

   Akhirnya dia meninggalkan makam itu dan singgah di rumah Gubernur Li Goan untuk berpamit. Li Si Bin menemuinya dan tanpa ditanya Han Sin menceritakan kepada Li Si Bin tentang apa yang di dengarnya dari Coa Hong Bu.

   Li Si Bin terkejut dan maju memegang lengan Han Sin "Ah, betapa buruk nasibmu, Cian-twako. Akan tetapi tabahlah, seorang jantan harus tabah menghadapi segala cobaan hidup. Ibumu sudah bersatu dengan ayahmu, tentu beliau telah berbahagia"

   Han Sin menghela napas "Terima kasih, Li-kongcu. Aku sudah bersumpah di depan makam ayahku bahwa aku pasti akan menemukan pembunuh ayah dan ibu dan menemukan kembali Pedang Naga Hitam"

   "Kau seorang laki-laki yang gagah dan berilmu tinggi, toako. Aku percaya usahamu akan berhasil. Selamat jalan dan ku harap kelak kita akan dapat bertemu kembali. Diantara kita harus ada perhubungan erat dan saling bantu. Aku mengharap kelak akan dapat memperoleh banyak akan dapat bantuan tenagamu yang amat berharga"

   "Terima kasih, kongcu. Mudah-mudahan saja begitu dan selamat tinggal"

   Han Sin menolak ketika dibekali uang karena bakal uangnya masih cukup akan tetapi dia menerima ketika diberi seekor kuda. Dengan menunggang kuda dia lalu cepat melakukan perjalanan untuk kembali ke selatan.

   Dari Tai-goan, Han Sin melarikan kudanya dengan cepat menuju ke lembah Sungai Huang-ho. Perjalanan yang memakan waktu berhari-hari itu berjalan lancer tanpa ada gangguan. Setelah tiba di tepi Sungau Huang ho, dia menukarkan kudanya dengan sebuah perahu yang kuat dan baik, lalu melanjutkan perjalanan melalui air sungai yang mengalir ke selatan.

   Perjalanan melalui air sungai ini selain cepat, juga tidak melelahkan. Berhari-hari hanya duduk saja mengemudikan perahu yang hanyut oleh arus sungai. Karena menganggur ini membuat Han Sin banyak melamun.

   Dia mengenangkan semua peristiwa yang terjadi dan menimpa dirinya, Ketika kenangan tentang kematian ibunya muncul mengganggu hatinya dan menimbulkan kedukaan, dia cepat mengenangkan kembali semua peristiwa lain yang di alaminya selama meninggalkan rumah dan pergi ke utara mencari Hek-Liong-Kiam yang belum juga dapat ditemukan. Banyak peristiwa yang membuatnya risau. Gadis gila Kui Ji itu tergila-gila kepadanya. Kemudian gadis mongol puteri Ketua suku Yakka. Dia merasa heran mengapa dia bertemu gadis-gadis yang mencintanya. Padahal dia sama sekali tidak menyukai gadis-gadis itu. Bahkan hatinya belum pernah tertarik kepada wanita, kecuali hanya satu kali hatinya tertarik kepada Kim Lan. Ini pun hanya menimbulkan rasa rindu saja untuk bertemu dan bercakap-cakap. Dia belum yakin apakah perasaan rindu ini ada hubungannya dengan cinta, ataukah hanya rasa suka karena tertarik akan kepribadian gadis itu yang lemah lembut.

   Tanpa terasa, perahu Han Sin setelah melakukan pelayaran berhari-hari, pada suatu siang tiba di dekat kota Loan. Melihat seorang nelayan sedang menjemur dan menjahit jala ikan di tepi pantai. Han Sin menepikan perahunya.

   "Sobat, apakah kota Lo-an jauh dari sini?" tanyanya.

   "Ah, tidak, kong-cu. Hanya dua tiga mil dari sini" jawab nelayan itu.

   Han Sin mengikat perahunya pada sebatang pohon. Dia memang bermaksud pergi ke kota Lo-an untuk membeli perbekalan makan. Bekal makanannya sudah habis. Karena khawatir kalau perahunya di curio rang dia lalu menitipkannya kepada nelayan itu dengan memberi upah sekedarnya. Setelah itu, dia menggendong buntalan pakaiannya dan melangkah menuju ke kota Lo-an.

   ***

   Cu Sian bersungut-sungut. Dia telah melakukan perjalanan secepatnya untuk mengejar Han Sin. Akan tetapi dia kehilangan jejak dan tak pernah dapat menyusul pemuda itu. Hatinya kesal bukan main. Sejak ditinggalkan pemuda itu di perkampungan suku Yakka, dia melakukan pengejaran. meninggalkan keluarga Tarsukai tanpa pamit, akan tetapi Han Sin seperti lenyap di telan bumi. Hatinya kesal bukan main. Tanpa adanya pemuda itu di sisinya, dia merasa seolah-olah hidupnya sepi, tidak lengkap dan tidak menyenangkan. Tidak ada lagi yang dapat di godanya.

   Dia berhenti di kota Lo-an, bermalam di kota itu sampai dua hari, akan tetapi tidak ada bayangan Han Sin. Bahkan ketika dia bertanya-tanya, tidak seorangpun melihat pemuda yang mirip Han Sin. Agaknya Han Sin tidak melalui Lo-an dan kembali dia menyadari bahwa dia telah salah memilih jalan. Mungkin Han Sin mengambil jalan lewat sungai, dan mungkin sekali sekarang sudah hampir tiba di daerah selatan.

   "Sialan" gerutunya sambil berjalan cepat hendak pergi ke sungau Huang-ho karena dia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan lewat air. Tiba-tiba wajah yang cemberut itu berubah seketika. Kepalanya di angkat dan dia memandang ke depan. Ada seorang pemuda berjalan santai bersama seorang laki-laki yang sudah tua yang bertubuh tinggi kurus dan dari pakaiannya dan rambutnya dia pasti seorang to-su (pendeta agama To).

   "Itu pasti Han Sin" pikirnya dan Cu Sian segera berlari mengejar dua orang itu. Untuk menggodanya, dia menghampiri perlahan lalu menepuk pundak pemuda itu.

   "Akhirnya dapat kutemukan juga kau"

   Pemuda itu cepat menoleh dan Cu Sian terbelalak. Pemuda itu ternyata bukan Cian Han Sin, bahkan lebih celaka lagi, pemuda itu bukan lain adalah Bong Sek Toan, pemuda yang pernah ribut dengan dia sebanyak dua kali. Pertama kali ketika dia sebagai seorang pengemis muda bertemu dengan Bong Sek Toan di sebuah rumah makan dan Bong Sek Toan hendak memukulnya akan tetapi di lerai oleh Han Sin. Dan untuk kedua kalinya dia bertemu Bong Sek Toan, bahkan sempat bertanding dengannya ketika mereka ikut terlibat dalam pemilihan perwira tentara di Shan-si.

   Biarpun kaget bertemu dengan Bong Sek Toan, bukan dengan Han Sin seperti disangkanya, namun Cu Sian tidak merasa takut dan dia segera melepaskan pegangannya pada pundak dan meloncat kebelakang, mengomel "Kiranya kau"

   Bong Sek Toan ternyata segera mengenal Cu Sian. Wajahnya berubah merah karena marahnya. Cu Sian pernah menggoda dan menggangunya. Kalau tempo hari bukan merupakan pertandingan di panggung ujian, tentu dia sudah membunuh Cu Sian.

   "Hemmm, kau jembel busuk" bentaknya marah "Sekali ini aku tidak akan mengampunimu lagi" Setelah berkata demikian, Bong Sek Toan langsung saja menyerang dengan pukulannya. Akan tetapi Cu Sian sudak siap siaga dan karena kemanapun dia pergi, dia tidak pernah ketinggalan sebatang tongkatnya, maka kini dia mengelak sambil menotok tongkatnya kearah perut lawan.

   "Aku juga tidak akan mengampunimu, monyet hitam" bentak Cu Sian dan Bong Sek Toan terpaksa meloncat ke belakang kalau dia tidak ingin perutnya menjadi korban tusukan tongkat. Bagaimanapun juga, dia sudah tahu akan kelihaian pemuda remaja yang tadinya menyamar sebagai pengemis ini dan dia tidak berani memandang rendah. Sambil melompat ke belakang, tangannya meraba punggung dan dia sudah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Setelah bergerak, dia langsung saja memainkan pedang yang menjadi andalannya, yaitu Lo-hai Kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengacau Lautan). Cu Sian memutar tongkatnya dan segera memainkan Hek-tung-hoat (Ilmu Tongkat Hitam). Biarpun tongkatnya tidak berwarna hitam akan tetapi ilmu tongkat itu memang dinamakan Ilmu tongkat hitam karena dahulu, kakek Cu Sian yang di sebut Cu Lokai adalah pendiri Hek I Kaipang dan terkenal dengan tongkat hitamnya.

   Segera terjadi pertandingan hebat sekali. Seru dan setiap serangan merupakan serangan maut. Kedua orang ini memang memiliki tingkat kepandaian yang seimbang. Mungkin Bong Sek Toan lebih menang dalam hal tenaga, akan tetapi kemenangan ini dikurangi kekalahannya dalam hal kecepatan gerakan. Bong Sek Toan lebih kuat tenaganya, namun Cu Sian lebih cepat gerakannya sehingga dua macam kelebihan yang berlawanan ini menguntungkan Cu sian. Karena lebih cepat serangan-serangan yang bertubi-tubi, totokan-totokan yang amat berbahaya sehingga Bong Sek Toan lebih banyak mengankis ketimbang menyerang.

   Lima puluh jurus telah lewat dan Cu Sian berhasil mendesak lawannya "Monyet hitam, bersiaplah untuk mampus. Sebentar lagi kau mampus di ujung tongkatku" Cu Sian menyerang sambil mengejek, membuat Bong Sek Toan yang menjadi marah itu semakin kacau permainan pedangnya.

   "Lo-cian-pwe, bantulah aku "" Akhirnya dia berteriak minta bantuan.

   To-su tua itu sejak tadi hanya menonton dengan tertarik sekali. Dia mengenal ilmu pedang dan ilmu tongkat itu sebagai warisan tokoh-tokoh besar dunia persilatan.

   "Sian-cai ". Lo-hai kiam-hoat bertemu dengan Hek-tung-pang, sungguh seru dan menganggumkan. Bong-sicu, apa sih sukarnya menundukkan pengemis liar ini?" Biarpun Cu Sian tidak berpakaian sebagai pengemis, akan tetapi karena ilmu tongkatnya itu terkenal sebagai ilmu tongkat ketua perkumpulan pengemis yang terkenal, maka to-su itu menyebut pengemis liar.

   To-su itu melangkah maju menghampiri, kebutan di tangan kirinya menyambar ke depan dengan kecepatan kilat dan mengeluarkan suara bersuitan. Tentu saja Cu Sian terkejut sekali. Dia mengelak dari pedang Bong Sek Toan yang menyambar, meloncat ke samping dan pada saat itulah kebutan di tangan kiri tosu itu menyambar kearah kepalanya. Dia cepat memutar tongkatnya menangkis, akan tetapi tiba-tiba to-su itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang tongkat putih meluncur dan menahan tongkat Cu Sian. Begitu kedua tongkat bertemu, Cu Sian merasakan tongkatnya melekat pada tongkat putih itu dan tidak dapat di tarik kembali. Padahal kebutan itu sudah menyambar kearah kepalanya. Dia hanya dapat miringkan kepalanya untuk mengelak.

   "Breett """ sutera pengikat rambutnya terlepas dan rambutnya menjadi riap-riapan. Rambut yang hitam panjang.

   "Sian-cai ". To-su itu berseru dan kini kebutannya menyambar lagi kearah dada Cu Sian. Dengan tenaga sepenuhnya Cu Sian menarik tongkatnya dan berhasil melepaskan tongkatnya dari lekatan tongkat putih, lalu menangkis kebutan yang menyerang kearah dadanya itu.
"Wuuukk " pllaakk" kini tongkat itu terlibat ujung kebutan dan tidak dapat terlepas. Pada saat itu Bong Sek Toan menusukkan pedangnya kearah dadanya. Cu Sian tidak dapat menghindar diri lagi kecuali miringkan tubuhnya.

   "Breeettt" Bajunya terobek pedang dan untuk sekejab nampaklah bukit dada yang menonjol ketika baju itu terobek dan pundaknya terluka.

   "Aha. Kiranya kau seorang wanita?" Bong Sek Toan mengejek.

   "Ha-ha-ha, sejak rambutnya terurai pinto sudah mengetahuinya"

   "Ha-ha-ha, jangan khawatir, mudah saja" kata to-su itu sambil tertawa-tawa dan diapun menggerakkan tongkat dan kebutannya yang lihai. Akan tetapi Cu Sian menggigit giginya dan mengamuk. Tongkatnya di putar cepat dan dia tidak akan menyerah sampai titik darah terakhir.

   Bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya jauh sekali dibandingkan tingkat to-su itu. Apalagi di situ masih ada Bong Sek Toan yang membantu si tosu lihai. Setelah lewat belasan jurus, sebuah sapuan tongkat putih mengenai mata kakinya dan Cu Sian terpelanting. Pada saat Bong Sek Toan hendak menubruknya, nampak bayangan berkelebat dan Bong Sek Toan terhuyung ke belakang karena ada kekuatan dahsyat yang mendorongnya mundur. Ketika dia melihatnya, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang membantu Cu Sian berdiri lagi. Pemuda itu bukan lain adalah Cian Han Sin.

   Melihat Han Sin, Cu Sian girang sekali akan tetapi segera kegirangannya itu berubah menjadi kekhawatiran. Teringatlah dara yang menyamar pria ini bahwa Han Sin adalah seorang pemuda lemah, atau kalaupun memiliki ilmu silat, kepandaiannya itu tidak seberapa, masih jauh dibawah tingkatnya sehingga dahulu ialah yang menjadi "pengawal" Han Sin. Timbul kekhawatirannya kalau-kalau Han Sin akan menjadi korban dan mati konyol.

   "Sin-ko " cepat, larilah selagi masih mungkin. Larilah, mereka ini lihai sekali. Kau dapat terbunuh "" katanya sambil siap menggunakan tongkatnya untuk melindungi Han Sin.

   Han Sin kebetulan lewat di situ dalam perjalanannya dari tepi sungai menuju ke Lo-an untuk mencari bekal makanan ketika dia melihat Cu Sian di keroyok oleh seorang pemuda dan seorang to-su. Kekagetannya itu bertumpuk-tumpuk ketika dia mengenal Bong Sek Toan dan lebih lagi ketika dia mengenal tosu itu sebagai Ngo-heng-thian-cu, pembunuh gurunya, Hek-Liong-Ong atau Ho-beng Hwesio. Dan rasa kagetnya itu menjadi lebih hebat ketika ia melihat bahwa Cu Sian adalah seorang wanita, nyaris Cu Sian celaka karena semua kenyataan ini membuatnya bengong sesaat. Akan tetapi dia segera menyadari bahwa kalau dia tidak cepat turun tangan. Cu Sian tentu akan celaka, maka dia lalu meloncat, mendorong Bong Sek Toan dan membantu Cu Sian bangkit berdiri. Ketika dia mendengar permintaan Cu Sian agar dia melarikan diri agar selamat, diam-diam dia merasa terharu. Dalam keadaan terancam seperti itu, Cu Sian masih mengkhawatirkan dirinya dan minta agar dia melarikan diri.

   "Tidak, aku tidak akan lari. Biar aku menghadapi to-su Iblis ini" katanya dan dia segera mengerahkan tenaga dari Bu-tek Cin-keng "Kau lawanlah pemuda itu"

   Melihat ada orang yang menolong gadis yang menyamar pria itu, Ngo-heng Thian-cu menjadi penasaran. Kini Han Sin bukan pemuda remaja lagi, melainkan seorang pemuda dewasa. Kurang lebih empat tahun yang lalu, dia mencoba menyerang to-su ini ketika melihat gurunya tewas dan to-su ini tidak mau melayaninya karena mengira dia murid Siauw-li-pai. Agaknya Ngo-heng Thian-cu gentar menghadapi permusuhan dengan perguruan silat yang terkenal itu.

   Maka to-su itu tidak mengenalnya dan dengan kebutan di tangan kiri, tongkat putih di tangan kanan, dia melangkah maju dan siap untuk menyerang.

   "Hiattt "" Han Sin menyerang dengan Bu-tek Cin-keng, mendorongkan kedua tangannya dengan jari terbuka ke depan. Angin dahsyat menyambar. To-su itu terkejut dan berusaha untuk menangkis, akan tetapi tetap saja tubuhnya terdorong dan terpental sampai beberapa meter jauhnya. Dia terbanting keras, akan tetapi dia segera dapat bangkit berdiri lagi. Kenyataan ini saja membuktikan betapa kuatnya kakek tua ini. Sementara itu, Cu Sian sudah bergebrak lagi melawan Bong Sek Toan.

   Melihat Kakek itu dapat berdiri dengan cepat, dan Cu Sian sudah terluka, Han Sin segera menyambar lengan tangan Cu Sian dan sekali melompat dia segera berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bong Sek Toan tidak berani mengejar dan ketika dia mengajak to-su itu untuk melakukan pengejaran, Ngo-heng Thian-cu menghela napas panjang "Aihh siapa dapat menduga bahwa ada seorang pemuda memiliki kekuatan seperti itu? Siancai, jangan mengejar mereka, Bong-sicu, berbahaya sekali"

   Biarpun hatinya amat penasaran dan kecewa, Bong Sek Toan terpaksa tidak berani mengejar sendiri dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.

   ***

   Han Sin membawa lari Cu Sian dan baru berhenti setelah tiba di tepi pantai. Dia segera menuntun Cu Sian memasuki perahunya dan menjalankan perahunya mengikuti aliran sungai menuju ke selatan.

   Barulah kini mereka saling pandang sambil duduk di dalam perahu itu. Tangan kanan Han Sin memegang kemudi perahu. Mereka saling pandang dengan penuh keheranan sehingga sampai lama mereka hanya saling tatap tanpa dapat berkata-kata.

   "Luar biasa "" Ucapan ini keluar dengan berbareng dari mulut mereka, seperti di komando saja dan kejadian yang kebetulan ini membuat keduanya tertawa lepas, karena merasa lucu sekali.

   "Apanya yang luar biasa?" Tanya Han Sin.

   "Kau yang luar biasa. Biasanya, kau hanya seorang pemuda yang lemah, bahkan aku menjadi pengawalmu. Akan tetapi sekarang ternyata kau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai dibandingkan aku"

   "Ah, biasa-biasa saja "" " kata Han Sin merendah.

   "Tidak, Sin-ko, kau hebat. Kau dapat merobohkan to-su sakti itu dalam segebrakan saja. Dan tadi kau mengatakan luar biasa, nah apanya yang luar biasa?"

   "Kaulah yang luar biasa" kata Han Sin dan baru sekarang dia melihat betapa cantiknya Cu Sian. Padahal, biasanya dia menganggap Cu Sian seorang pemuda remaja yang Bengal dan liar "Ternyata kau seorang wanita. Bukankah itu luar biasa sekali?"

   Cu Sian tersenyum "Sejak lahir aku memang perempuan, apanya yang luar biasa?" Akan tetapi senyumnya kini berubah, ia menyerengai kesakitan.

   Han Sin terbelalak dan cepat minggirkan perahunya, menghentikan perahu dengan mengikatkan talinya ke sebuah batu besar di tepi sungai yang sepi. Lalu dia menghampiri Cu Sian yang masih menyerengai kesakitan sambil memegangi pundak kirinya.

   "Kenapa kau, Sian-te "?"

   Biarpun ia sedang kesakitan, Cu Sian kini tertawa, menertawakan Han Sin "Kau masih menyebutku Sian-te (adik laki-laki Sian)?"

   Han Sin tercengang baru teringat akan kesalahanya "Eh " ohh " habis, aku harus menyebut apa? Oya, Sian-moi (adik perempuan Sian). Kau terluka? Biarkan aku memeriksanya"

   Han Sin memegang pundak kiri dara itu dan membuaka baju di bagian itu yang memang sudah robek. Akan tetapi Cu Sian menepiskan tangannya "Hemm, kau mau apa? kenapa buka-buka baju?"

   Wajah Han Sin menjadi kemerahan "Habis, kalau tidak di buka, bagaimana aku dapat memeriksa lukanya?"

   Cu Sian lalu dengan hati-hati membuka sedikit baju yang robek itu, hanya cukup untuk memperlihatkan luka di pundaknya. Han Sin memeriksa dan hatinya lega. Luka itu tidak terlalu besar, hanya luka kulit dan juga nampak bersih tidak ada tanda-tanda keracunan. Tentu saja nyeri, yaitu pedih karena kulit itu terobek.

   "Sukur lukamu tidak berbahaya, Sian-mo. Hanya luka kulit dan tidak beracun. Biar ku obati dengan obat luka ini" Dia mengeluarkan sebuah bungkusan dari buntalan pakaiannya dan menaburkan obat bubuk warna merah kepada luka itu.

   


   
Cu Sian memejamkan matanya, tadinya ia khawatir kalau obat itu menimbulkan rasa pedih, akan tetapi ternyata tidak, bahkan rasa pedih pada lukanya hilang, tertutup rasa dinginnyaman. Ia lalu menutupkan lagi robekan bajunya, lalu bangkit berdiri dan menyambar buntalan pakaiannya "Kau tunggu di sini, aku mau berganti bajuku yang robek" katanya dan iapun melompat ke darat dan lenyap di balik semak belukar. Tak lama kemudian ia sudah muncul lagi ke dalam perahu. Han Sin melepas tali perahu dan perahu itu kembali meluncur mengikuti aliran air sungai.

   "Sungguh mati tak pernah aku bermimpi bahwa kau adalah seorang wanita, Sian-moi" kata Han Sin sambil tersenyum memandang kepada gadis itu. Biarpun masih mengenakan pakaian seorang pemuda remaja, akan tetapi karena dia sudah tahu bahwa Cu Sian seorang wanita, gadis itu kelihatan cantik manis, bukan lagi tampan seperti biasa dia melihatnya.

   Cu Sian tersenyum lebar dan lesung pipitnya bermain-main di kanan kiri mulutnya "Akupun tidak pernah mimpi bahwa kau ternyata seorang pendekar yang berilmu tinggi, Sin-ko" katanya.

   Han Sin menatap wajah itu dan dia pun tertawa geli. Cu Sian mengerutkan alisnya dan cemberut, bertanya "Kenapa kau tertawa? Apanya yang lucu pada diriku?"

   "Ha-ha-ha kau " seorang wanita. Sungguh aneh sekali. Kalau ku ingat akan sikapmu selama ini terhadap Loana dan Hailun. Sungguh luar biasa. Kenapa kau mempermainkan kedua orang gadis Mongol itu, Sian-moi?"

   Cu Sian menundukkan mukanya yang berubah kemerahan. Kemudian ia mengangkat mukanya dan memandang kepada Han Sin dengan sinar mata menantang. Agaknya ia tadi tersipu dan dengan kekerasan hatinya ia malah menantang.

   "Aku hanya bermaksud menjauhkan mereka darimu, Sin-ko"

   "Ah, kenapa?"

   "Aku " aku takut kau jatuh cinta kepada Loana. Aku tidak ingin melihat kau terpikat oleh Loana atau gadis lainnya"

   Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya Cu Sian menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali karena ia menyadari bahwa baru ia membuka rahasia hatinya. Han Sin tertegun. Gadis ini cemburu. Dan tidak ingin melihat dia jatuh cinta kepada gadis lain. Jawaban ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Cu Sian juga jatuh cinta kepadanya.

   Han Sin termenung. Dia harus mengakui bahwa dia amat suka kepada Cu Sian yang di sangkanya seorang pemuda remaja, bahkan dia selalu merindukan kehadiran sahabat itu. Alangkah mudah baginya untuk mengubah rasa suka kepada Cu Sian pria itu menjadi rasa cinta kepada Cu Sian wanita. Akan tetapi, perubahan atas diri Cu Sian itu demikian tiba-tiba datangnya dan dia sama sekali tidak tahu perasaan apa yang berada di dalah hatinya terhadap Cu Sian wanita. hatinya sudah di penuhi oleh bayangan Kim Lan, dan agaknya sukar baginya untuk menukar bayangan itu dengan gadis lain.

   Kini dia merasa tidak enak hati sekali dan salah tingkah ketika Cu Sian membuka perasaan hatinya kepadanya. Segera dia hendak mengalihkan percakapan mereka kepada hal"hal lain.

   "O ya, kau maafkanlah aku ketika aku meninggalkan kau tanpa pamit itu, Sian-moi"

   "Ah, tidak, Sin-ko. Aku tahu bahwa tentu kau menganggap aku seorang pemuda mata keranjang yang hendak mempermainkan dua orang gadis. Akan tetapi setengah mati aku mengejar dan mencarimu. Untung bahwa kita dapat bertemu di tempat aku terancam maut itu"

   "Sian-moi, kau hendak pergi kemanakah?"

   Cu Sian memandang kepadanya "Kemana kau pergi ke sanalah aku pergi pula, Sin-ko. Bukankah selama ini kita melakukan perjalanan bersama? Aku ingin melakukan perjalanan bersamamu, Sin-ko. Kemanakah kau hendak pergi? Aku ikut denganmu"

   Han Sin tersenyum. Gadis ini sikapnya masih sama dengan ketika ia menjadi pemuda remaja. Bengal, nakal, keras hati dan nekat. Dia lalu menggeleng kepalanya "Hal itu tidak mungkin kita lakukan, Sian-moi. Ingatlah, kau seorang gadis dan aku seorang pemuda, mana mungkin melakukan perjalanan berdua saja?"

   "Apa salahnya? Kalau aku menyamar sebagai pria, siapa yang akan tahu? Kau sendiri juga tidak tahu. Biarkan aku menyertaimu dan aku akan tetap menyamar sebagai pria, Sin-ko"

   "Hemm, biarpun selama ini aku dapat kau kelabui, akan tetapi ku rasa lambat laun aku tentu akan mengetahui juga. Banyak kejanggalan kau perlihatkan selama ini. Kau dekat namun jauh. Bahkan bermalam pun menggunakan dua kamar. Tentu akan ketahuan orang dan amat tidak baik bagi nama dan kehormatanmu sebagai seorang gadis, Sian-moi, kita terpaksa harus mengambil jalan masing-masing. Apalagi aku sendiri mempunyai urusan pribadi yang amat penting.

   "Apakah kau telah mendapat tahu siapa pembunuh ayahmu dan pencuri pedang Hek-Liong-Kiam itu?"

   "Belum, akan tetapi aku sudah mendapat petunjuk"petunjuk. Apalagi, aku menerima kabar duka bahwa ibuku pun baru saja di bunuh orang "" suara Han Sin terdengar sedih.

   Cu Sian terkejut "Ahhhh ". Siapa pembunuh keparat itu?"

   "Tidak ada yang tahu, akan tetapi aku mendengar bahwa pembunuh ibuku menggunakan pedang hitam bersinar"

   "Wahhh, jangan-jangan pembunuh ibumu adalah juga pembunuh ayahmu dan pencuri Hek-Liong-Kiam"

   Han Sin mengangguk-angguk. Akupun berpendapat begitu, maka aku akan melakukan penyelidikan ke kota raja"

   "Wah, ke Tiang-an?"

   "Ya, menengok rumah di luar kota raja dan mengunjungi makam ibuku, dan menyelidiki musuh yang ku kira berada di kota raja"

   "Bagus, kalau begitu aku pun akan pulang"

   "Kemana?"

   "Tiang-an. Kau tahu, Hek I Kaipang berpusat di Taing-an, Sin-ko. Jadi kita sama-sama menuju ke Tiang-an. Satu tujuan. Kau tentu tidak keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama, bukan?"

   Apa yang dapat dikatakan Han Sin untuk menolak? Tidak ada alas an sama sekali baginya untuk menolak dan kalau dia mau berterus terang kepada diri sendiri, dia pun sebenarnya senang dapat melakukan perjalanan dengan Cu Sian, walaupun kini Cu Sian telah berubah menjadi seorang gadis.

   Diapun tersenyum "Kalau memang tujuan perjalanan kita sama, mengapa keberatan, Sian-moi?"

   Bukan main girangnya hati Cu Sian nampak pada wajahnya yang kemerahan dan berseri-seri, matanya yang bersinar-sinar.

   "Terima kasih, Sin-ko. Aku tahu, kau memang seorang yang baik sekali"

   "Ada satu syarat, Sian-moi, yaitu mulai sekarang kau harus menuruti petunjukku dan jangan bersikap ugal-ugalan lagi" kata Han Sin dengan sikap galak sehingga Cu Sian tertawa geli.

   "Baik, kakaku yang budiman. Dan aku pun mempunyai syarat yang harus kau penuhi"

   "Ehhh? Kenapa jadi kau yang menentukkan syarat? Kau mulai ugal-ugalan lagi?"

   "Tidak. Sekali ini kau harus menurut, yaitu mulai sekarang jangan menyebut aku Sian-moi. Bagaiamana nanti orang-orang yang mendengar seorang pemuda di sebut Sian-moi? Tentu mereka akan mengira kita ini berotak miring"

   Han Sin tertawa bergelak. Hidup selalu nampak gembira kalau Cu Sian berada di dekatnya. Bocah ini memang lincah jenaka dan selalu mendatangkan kegembiraan.

   "Baik, Sian-te. dan maafkan kelupaanku" Tiba-tiba Han Sin teringat akan sesuatu "Wah, payah ini"

   "Kenapa Sin-ko?"

   ***

   "Ketika aku bertemu denganmu tadi, aku sedang hendak pergi ke Lo-an untuk membeli perbekalan makan karena perbekalanku sudah habis. Karena peristiwa tadi, aku tidak jadi ke Lo-an dan sekarang perutku lapar sekali"

   "Aku juga tidak membawa perbekalan makanan, akan tetapi aku selalu membawa bumbu untuk membuat makanan. Jangan khawatir, Sin-ko, bahan makanan tersedia banyak di dalam air ini" ia menunjuk keluar perahu.

   "Eh? Makanan apa?"

   "Ikan. Kau suka ikan panggang, bukan?"

   "Tentu saja. Akan tetapi bagaimana menangkap ikan-ikan itu?"

   "Ha-ha, alangkah bodohnya. Tentu saja memberi umpan dan memancing agar ikan-ikan itu muncul ke permukaan air lalu menangkapnya"

   "Kita tidak mempunyai kail ""

   "Lihat sajalah. Dalam waktu kurang dari satu jam sudah akan dapat menikmati ikan panggang" Cu Sian lalu membongkar buntalan pakaiannya dan ia mengambil sebilah pisau. Dengan pisau itu ia membuat ujung tongkatnya menjadi runcing. Lalu ia mengeluarkan pula sehelai benang yang panjangnya kurang lebih dua meter. Dengan cekatan sekali jari-jari tangannya bergerak memotong sedikit kain dari bajunya yang robek tadi, membentuk potongan kain itu seperti seekor kupu-kupu kecil lalu di ikatkan kupu-kupu kain itu pada ujung benang.

   "Nah, sekarang dayunglah perahumu ke bagian yang airnya tidak berarus kuat, agak ke pinggir. Itu, di bawah pohon sana itu, tentu tempat itu menjadi sarang ikan. Biasanya ikan ekor kuning suka berada di tempat yang teduh seperti itu. Kau pernah makan ikan ekor kuning? Lezat sekali, Sin-ko"

   Han Sin tidak mengerti apa yang hendak di perbuat oleh gadis itu, akan tetapi dia segera mengemnudikan perahunya menuju ke tepi, di bawah pohon besar.

   "Nah, hentikan perahumu di sini"

   Han Sin melempar tali ke darat dan perahunya terhenti. Ujung tali perahu itu melibat pohon kecil "Diam, jangan banyak bergerak atau bersuara" kata Cu Sian. Gadis itu menggunakan ujung benang dan melempar kupu-kupu kain ke air, lalu menarik-nariknya sehingga kupu-kupu kecil itu seolah bergerak-gerak di atas permukaan air. Tangan kanannya siap memegang tangkat yang ujungnya sudah runcing itu. Barulah Han Sin mengerti apa yang di lakukan gadis itu. namun dia masih ragu apakah gadis itu akan berhasil menangkap ikan dengan cara itu. Cara yang belum pernah di lihat atau di dengar sebelumnya.

   Akan tetapi Cu Sian mengerti apa yang ia lakukan. Ia melakukan usaha menangkap ikan itu secara itu dengan penuh keyakinan karena pengalaman. Ia tahu bahwa ikan ekor kuning, terutama yang besar, pasti akan muncul dan menyambar kupu-kupu kain itu.

   Dan benar saja, tak lama kemudian Han Sin melihat dua ekor ikan sebesar betisnya muncul dan berebutan menyambar kupu-kupu kain itu. Secepat kilat Cu Sian menggerakkan tongkatnya menusuk dan ia berhasil menangkap seekor ikan yang gemuk. Seekor ikan yang ekornya kuning.

   Tentu saja Han Sin menjadi girang dan kagum sekali. Dia membantu gadis itu melepaskan ikan dari ujung tongkat yang menjadi tombak itu dan ikan itupun menggelepar-gelepar di dalam perahu.

   "Satu lagi baru cukup, Sin-ko" kata Cu Sian dan kembali ia memasang umpan pancingnya yang istimewa. dan tak lama kemudian, ia berhasil menangkap lagi seekor ikan yang sebesar betis.

   Han Sin hanya dapat memandang kagum dan senang. Tanpa di minta ia membantu gadis itu untuk membersihkan ikan dengan pisau yang agaknya selalu di bawa oleh gadis itu, membuka perutnya dan membuang isi perutnya. Ikan itu tidak bersisik dan gemuk sekali. Sementara itu, Cu Sian sudah melompat ke darat dan membuat api unggun. Ia sudah mengeluarkan merica, bawang putih dan garam.

   Setelah dua ekor ikan itu di lumuri bumbu, lalu di tusuk ranting kayu dan di panggang.

   Bau yang sedap gurih membuat Han Sin menjadi semakin lapar sehingga keruyuk perutnya sampai terdengar oleh Cu Sian. Gadis itu tersenyum dan Han Sin terpesona. Kalau sudah begitu, Cu Sian menjadi demikian lembut dan cekatan, sifat kewanitaannya menonjol sepenuhnya. Seorang gadis yang hebat, pikir Han Sin sambil mengenang semua sepak terjang Cu Sian. Gadis yang gagah perkasa, pemberani tak mengenal takut, berbudi baik walaupun baik walaupun kadang nakal seperti kanak-kanak suka menggoda orang, dan sekarang memperlihatkan ketrampilannya dalam mempersiapkan makanan.

   Dengan ketrampilan Cu Sian, agaknya kemanapun gadis itu pergi, ia tidak perlu membawa bekal makanan karena dimana-mana tersedia makanan untuknya.

   Dan tepat seperti yang tadi dijanjikan Cu Sian, kurang dari satu jam hidangan berupa daging ikan panggang yang lezat sudah di lahap oleh Han Sin. Cu Sian juga makan daging ikan panggang itu, namun tidak selahap Han Sin dan sekarang barulah Han Sin ingat bahwa dulu gadis itupun selalu makan dengan perlahan dan selalu mengambil potongan"potongan kecil dengan sumpitnya ketika makan bersama di rumah makan. Kini baru dia mengerti mengapa demikian. Betapa bodohnya dia.

   "Hemm, lezat sekali" kata Han Sin berulang kali dan pujian yang jujur tanpa maksud merayu ini membuat Cu Sian bersinar-sinar penuh kegembiraan.

   Daging dua ekor ikan itu habis dan setelah minum air jernih yang menjadi bekal Cu Sian, mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka. Perahu mereka meluncur cepat dan keduanya merasa gembira sekali. Han Sin tidak merasa canggung lagi walaupun kini dia tahu bahwa temannya itu adalah seorang gadis. Dan dari sikap Cu Sian yang sewajarnya, tidak dibuat-buat. Dia semakin yakin bahwa gadis itu benar-benar mencintanya. Tahulah dia mengapa sejak masih menyamar sebagai pria Cu Sian selalu hendak menemaninya.

   ***

   Pada suatu pagi yang cerah, Han Sin dan Cu Sian berjalan santai mendaki sebuah bukit. Sudah beberapa pekan mereka meninggalkan perahu di sungai Huang-ho, menghadiahkan perahu itu kepada seorang nelayan miskin yang tentu saja menjadi kegirangan. Mereka melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menuju ke Tiang-an.
Kota raja sudah tidak terlalu jauh lagi, tinggal kurang lebih seratus mil dari bukit itu, membutuhkan perjalanan seenaknya selama tiga empat hari.

   " Sian-moi ""

   "Huushh, kau lupa lagi menyebutku Sian-moi" tegur Cu Sian.

   Han Sin tertawa "Apa salahnya menyebutmu Sian-moi kalau kita sedang berduaan saja? Kalau ada orang lain, barulah aku menyebutmu Sian-te. Kau ini seorang gadis, mengapa ingin benar di anggap pria?"

   Cu Sian juga tertawa "Demi keamanan penyamaranku"

   "Sian-moi, kita sudah dekat dengan Kota raja dalam beberapa hari lagi. Apa perlunya kau masih menyamar dengan pakaian itu? Bagaimana kalau sekarang kau berganti pakaian yang sewajarnya?"

   "Kenapa, Sin-ko? Apakah kau ingin melihatku dengan pakaian seorang gadis?" Cu Sian mengamati wajah Han Sin dengan penuh selidik.

   Wajah Han Sin agak kemerahan, akan tetapi dia menjawab sejujurnya.

   "Bukan hanya ingin melihatmu, melainkan agar kelak kalau aku bertemu denganmu dalam pakaian wanita, aku tidak akan pangling. Aku rasa kalau mulai sekarang kau berpakaian wanita, tidak akan ada halangannya"

   "Hemm, bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa kalau diketahui orang, seorang gadis tidak pantas melakukan perjalanan dengan seorang pemuda?" Cu Sian menggoda.

   "Kalau kita mengaku sebagai kakak dan adik, siapa mengatakan tidak pantas?"

   Cu Sian tertawa "Baiklah, aku memang selalu membawa bekal pakaian wanita, akan tetapi dimana aku dapat berganti pakaian?"

   Han Sin menunding ke sebuah hutan tak jauh dari dari situ" Di sana ada sebuah hutan. Kau dapat berganti pakaian di sana. Biar aku menanti di sini"

   "Baiklah, Sin-ko" Cu Sian lalu berlari memasuki hutan itu dan lenyap di balik pohon-pohon dan semak belukar.

   Han Sin duduk di atas akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah dan dia tersenyum-senyum. Ingin sekali dia melihat bagaimana rupanya Cu Sian kalau mengenakan pakaian wanita. Gadis itu tentu nampak cantik sekali. Akan tetapi sungguh aneh, ketika dia mencoba untuk membayangkan wajah Cu Sian, eh yang nampak adalah wajah Kim Lan.

   Entah dimana adanya gadis bijaksana ahli pengobatan itu, dan apa yang sedang ia lakukan. Begitu teringat kepada Kim Lan, seketika dia sudah melupakan Cu Sian dan timbul perasaan rindu yang amat mengganjal di dalam hati. Dia sudah lupa lagi berapa lama dia menanti di situ dan Cu Sian juga belum kembali. Ketika akhirnya dia teringat kepada Cu Sian, dia bangkit berdiri dan memandang kearah hutan itu. Baru dia teringat bahwa sudah lama Cu Sian memasuki hutan, akan tetapi belum juga kembali. Tidak mungkin berganti pakaian memakan waktu selama itu. Atau barangkali Cu Sian sedang bersolek diri? Dia tersenyum, akan tetapi kembali senyumnya menghilang. Jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Cu Sian.

   Han Sin lalu berlari kearah hutan itu. Karena takut kalau-kalau gadis itu sedang berganti pakaian, dia pun memanggil "Sian-moi" Akan tetapi tidak ada jawaban dan diapun memasuki hutan.

   Pada saat itu dia mendengar suara orang bertempur di sebelah dalam hutan itu. Cepat dia meloncat kearah itu dan tak lama kemudian dia melihat Cu Sian, yang sudah berpakaian sebagai seorang dara yang cantik, sedang bertanding melawan seorang pemuda. Pemuda itu berusia sebaya dengannya, mungkin lebih tua setahun dua tahun, bertubuh sedang tegap dan berwajah tampan. Pakaiannya indah sebagai seorang sastrawan dan rambutnya tersisir rapi. Dia seorang pesolek dan dia bertanding melawan Cu Sian dengan menggunakan senjata sebuah kipas, kipas besar. Gagang kipas itu terbuat dari pada baja dan gerakannya lihai bukan main. Di dekat tempat itu berdiri pula serombongan orang terdiri lima belas orang. Akan tetapi yang amat mengejutkan hati Han Sin adalah ketika dia melihat seorang gadis diantara mereka karena gadis ini bukan lain adalah Ma Goat, puteri Pak-Te-Ong yang tempo hari mengejar-ngejarnya.

   Sebetulnya, dengan tongkat ranting di tangannya, Cu Sian tidak terlalu terdesak oleh pemuda itu dan mereka bertanding seimbang. Akan tetapi ketika melihat munculnya Han Sin, Ma Goat cepat bergerak kedepan, suling di tangannya berkelebat dan terdengar Cu Sian berseru kaget karena ranting di tangannya telah terlepas dari pegangan.

   Totokan suling itu pada pergelangan tangannya membuat ia terpaksa melepaskan tongkatnya dan sebelum ia dapat berbuat sesuatu, Cu Sian tidak mampu melawan lagi dan tidak berani bergerak karena sekali suling itu menyerang lehernya tentu ia akan tewas.

   Melihat ini, Han Sin sudah hendak meloncat dan menerjang untuk menolong Cu Sian, akan tetapi Ma Goat yang cerdik sudah berteriak kepadanya, sambil menempelkan sulingnya di leher Cu Sian.

   "Cian Han Sin, jangan bergerak. Sedikit saja kau bergerak, gadis ini akan mati"

   Mendengar ancaman ini, tentu saja Han Sin tidak berani bergerak. Dia tahu kelihaian Ma Goat, dan tahu pula bahwa gadis itu merupakan puteri seorang datuk dan memiliki watak yang aneh, keras dan kejam.

   "Ma Goat" katanya tenang "Kenapa kau menawan nona itu? Ia tidak bersalah apa-apa, lepaskan ia"

   "Enak saja, dan kau akan melarikan diri lagi? Gadis ini menjadi tawananku sebagai sandera agar kau tidak melarikan diri lagi dariku. Lui-kongcu, suruh anak buahmu mengikat kedua tangan Han Sin"

   Pemuda yang di sebut Lui Kong-cu itu lalu memberi isyarat dan empat orang anak buahnya lalu menghampiri Han Sin dengan tali yang kuat di tangan.

   Melihat ini, Cu Sian berseru "Sin-ko, lawanlah, berontaklah dan jangan pedulikan aku"

   Akan tetapi Han Sin melihat bahwa sekali dia bergerak. Tentu saja akan terbunuh. Tentu saja dia tidak menghendaki hal ini terjadi. Pihak lawan terlalu banyak dan Cu Sian sudah terjatuh ke tangan Ma Goat. Keadaannya tidak menguntungkan dan memaksanya untuk menyerah.

   "Aku berjanji tidak akan mengganggunya, Han Sin"

   Han Sin merasa lega dan dia menjulurkan kedua lengannya ke depan "Nah, belenggulah aku" Empat orang itu segera membelenggu kedua tangan itu dengan tali yang kuat sehingga Han Sin tidak mampu menggerakkan kedua tangannya, Melihat ini, Ma Goat tertawa gembira dan sekali sulingnya bergerak, ia telah menotok pundak Cu Sian dan gadis itu terkulai lemas.

   "Ma Goat. Kau melanggar janji?" bentak Han Sin marah.

   Ma Goat tersenyum dan berkata "Tenanglah, Han Sin. Gadis ini terlalu galak dan suka memberontak, kalau tidak ku totok, tentu ia akan merepotkan kami. Lui-kongcu, kau urus gadis ini, biar aku yang akan mengurus Han Sin"

   Lui-kongcu tersenyum dan sekali melompat dia telah berada dekat Cu Sian, lalu dengan ringan dia memondong tubuh gadis yang sudah lemas tidak mampu menggerakkan kaki tangannya itu.

   "Lepaskan aku, kau jahanam busuk. Ku hancurkan kepalamu nanti, lepaskan" Cu Sian berteriak-teriak karena ia sudah tidak dapat meronta. Pemuda itu tersenyum. Kipasnya berkelebat menotok kearah leher dan Cu Sian tidak mampu mengeluarkan suara lagi. Pemuda itu lalu membawanya pergi ke dalam hutan, mendaki bukit itu.

   "Marilah, Han Sin. Kau ikut dengan kami. Ingat, gadis ini masih berada di tangan kami. Maka jangan kau membuat ulah" Ma Goat mengancam. Terpaksa Han Sin menurut dan diapun melangkah ketika lengannya di gandeng Ma Goat yang tersenyum-senyum senang.

   "Kau membuat aku sengsara, Han Sin. Siang malam aku teringat kepadamu. Sekali ini kau harus berada di sisiku untuk selamanya dan jangan meninggalkan aku lagi. Kenapa sih kau ini tidak tahu di cinta orang setengah mati?"

   Han Sin menjadi merah mukanya. Ucapan gadis itu dikeluarkan begitu saja, tanpa malu-malu padahal di belakang mereka berjalan lima belah orang anak buah itu. Diapun diam saja, pura-pura tidak mendengar dan tidak perduli ketika Ma Goat di sepanjang jalan mengeluarkan kata-kata rayuan. Dia hanya memperhatikan Cu Sian yang masih berada di pundak pemuda she Lui itu, dan hatinya merasa amat khawatir. Dia harus mencari kesempatan untuk dapat membebaskan Cu Sian dari tangan mereka. Dia merasa menyesal sekali mengapa tadi minta kepada Cu Sian untuk berganti pakaian. Merasa bersalah karena kalau dia tidak minta gadis itu berganti pakaian, tentu kini Cu Sian tidak tertawan.

   Tak lama kemudian mereka tiba di puncak bukit dan di puncak itu tersembunyi diantara pohon-pohon raksasa, terdapat sebuah bangunan baru. Agaknya bangunan dari kayu ini belum dibangun orang. Sebuah bangunan yang besar sekali sehingga amat mengherankan bagaimana bangunan sebesar itu dibangun orang di tengah hutan puncak bukit,

   Pemuda tampan yang memondong Cu Sian yang telah tertotok tak berdaya itu dengan cepat menghilang kedalam bangunan. Pemuda itu bukan lain adalah Lui Sun Ek, putera Panglima Lui Couw di kota raja. Dia telah mewarisi ilmu kepandaian dari ayahnya dan merupakan seorang pemuda yang pandai ilmu silat dan sastra. Sikapnya lemah lembut dan nampaknya sopan santun. Tak seorangpun akan mengira bahwa putera panglima besar Lui itu sebetulnya adalah seorang pemuda hidung belang dan mata keranjang yang namanya tidak asing lagi di rumah-rumah pelesir. Para pelacur tingkat tinggi di kota raja mengenal pemuda ini sebagai seorang kong-cu yang royal sekali. Akan tetapi pemuda ini pandai menyembunyikan kelakuannya ini, bahkan para pembesar di kota raja tidak ada yang menyangka bahwa dia seorang yang gemar berjudi dan melacur.

   Melihat pemuda itu membawa Cu Sian ke dalam bangunan dan menghilang, Han Sin merasa khawatir sekali "Ma Goat, aku sudah menyerah, dengan janjimu bahwa kau tidak akan mengganggu Cu Sian"

   "Aku tidak membohongimu, Han Sin. Aku tidak akan mengganggu sehelai rambutpun dari gadis itu" kata Ma Goat sambil menggandeng lengan Han Sin "Mari masuk dan kita bicara di dalam"

   Han Sin terpaksa menurut "Rumah siapakah ini?" tanyanya ketika mereka memasuki rumah yang besar itu. Ma Goat menariknya masuk ke dalam sebuah kamar yang cukup mewah dan bersih, lalu mereka duduk berhadapan terhalang meja.

   "Nah, sekarang katakan, apa maksudmu menangkap kami berdua, Ma Goat?" Tanya Han Sin. Dia duduk dan sikapnya tenang walaupun kedua tangannya masih terbelenggu. Dia sama sekali tidak khawatir akan diri sendiri, hanya mengkhawatirkan nasib Cu Sian.

   Ma Goat memandang tajam lalu bertanya "Han Sin, siapakah gadis itu?"

   "Ia tidak bersalah apa-apa. Ia bernama Cu Sian"

   "Apamukah ia?"

   "Hemm, bukan apa-apa, hanya kebetulan jalan bersama. Kenalan biasa. Karena itu, bebaskanlah ia, Ma Goat"

   "Hemm, kau bilang ia bukan apa-apa, akan tetapi kau mau mengorbankan diri, menyerah untuk menyelamatkan ia" Dalam suara Ma Goat terkandung kemarahan karena cemburu.

   "Sudah kukatakan, Ma Goat bahwa Cu Sian tidak bersalah apa-apa. Tentu saja aku tidak ingin melihat ia celaka atau di ganggu oleh siapapun. Nah, sekarang katakan apa kehendakmu? Bebaskan dulu Cu Sian dan kita boleh berurusan diantara kita saja"

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 15

   "Tidak bisa aku membebaskan gadis itu sekarang. Kalau ia ku bebaskan lalu kau memberontak, bagaimana? Aku harus yakin dulu bahwa kau tidak akan melarikan diri, baru aku mau membebaskannya"

   "Ma Goat, apa sih maumu?"

   "Kau sudah tahu apa mauku? Kau harus menjadi suamiku" kata pula gadis itu tanpa malu-malu lagi.

   Han Sin berusaha menyadarkannya "Ma Goat, perjodohan tidak mungkin dapat dipaksakan. Aku sama sekali belum berpikir tentang perjodohan"

   "Kau memang seorang yang tidak mengenal budi. Lupakah kau bahwa kalau tidak ada aku, kau tentu sudah mampus di bunuh ayah dan See-Thian-Mo? Aku menyelamatkan nyawamu karena aku cinta padamu, Han Sin. karena itu, kau harus menjadi suamiku dan kalau aku sudah menjadi isterimu apapun permintaanmu akan aku penuhi"

   Han Sin menggeleng kepala "Perjodohan tidak dapat dilakukan semudah itu, Ma Goat"

   "Apa kau menghendaki Cu Sian kubunuh di depan matamu?"

   "Aku yakin kau tidak akan melakukan hal itu. Pertama karena Cu Sian tidak bersalah dan tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kita. Kedua karena walaupun ia ku bunuh, percuma saja"

   Ma Goat bangkit berdiri dengan alis berkerut "Kau memang keras kepala. Akan tetapi aku dapat lebih keras lagi daripada kau. Kita lihat saja siapa yang akan menyerah" Tiba-tiba gadis itu mencabut sulingnya dan menyerang dengan totokan kearah leher Han Sin. Han Sin cepat mengelak dengan menjatuhkan dirinya ke belakang akan tetapi karena kedua tangannya terikat, gerakannya menjadi kaku sehingga kakinya menabrak bangku dan diapun terpelanting. Tiba-tiba dia merasa nyeri dilehernya dan ternyata Ma Goat sudah meniupkan sebatang jarum yang mengenai lehernya. Dan gadis itu tersenyum lebar kepadanya.

   "Kau tahu jarum apa yang mengenai lehermu? Jarumku itu mengandung racun penghisap darah dan sudah meracuni seluruh jalan darahmu. Kalu tidak percaya, coba kau kerahkan tenaga saktimu"

   Han Sin sudah dapat bangkit berdiri dan dia tidak begitu percaya kepada ucapan gadis itu. Lehernya terasa kaku dan pedih. dan ketika dia mencoba untuk mengerahkan sin-kang, tiba-tiba dia mengeluh karena merasa isi dadanya seperti di tusuk-tusuk. Dia terkejut sekali dan memandang kepada gadis itu.

   "Ma Goat, kau memang seorang gadis yang kejam sekali"

   "Aku? Kejam kepadamu? Ah, tidak ini hanya merupakan caraku untuk membujukmu agar kau suka menjadi suamiku. Nah, lihat. Aku akan membebaskanmu sekarang"
Ia menghampiri Han Sin, mencabut jarum yang menancap di lehernya, kemudian ia melepaskan ikatan tangan Han Sin. Han Sin sudah bebas, akan tetapi dia tahu bahwa dia tidak mampu melakukan sesuatu karena dia tidak dapat mengerahkan tenaga saktinya.

   "Sekarang, apa maumu?" kata pula Han Sin dengan penasaran. Cu Sian tertawa dan dia dibuat tidak berdaya. Keadaan mereka benar-benar terancam.

   "Bukan saja gadis itu kujadikan sandera, akan tetapi kau juga tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyetujui permintaanku untuk menjadi suamiku. Lihat, ini adalah obat penawar racun penghisap darah. Sekali menelan pil ini kau akan terbebas dari cengkraman racun itu" Ia mengeluarkan sebungkus pil dari balik bajunya" Ku beri kau waktu satu malam untuk mempertimbangkan permintaanku. kalau kau menuruti permintaanku, suka menjadi suamiku, aku akan segera membebaskan Cu Sian dan memberikan pil penawar racun ini kepadamu dan kita akan hidup bahagia. Aku akan menjadi isterimu yang mencinta dan setia. Akan tetapi, kalau besok pagi-pagi kau menolak permintaanku, Cu Sian akan kusembelih didepanmu, dan kau akan mati karena darahmu terhisap habis oleh racun"

   Setelah berkata demikian, Ma Goat meninggalkan Han Sin dalam kamar itu dan menutupkan daun pintu kamar dari luar. Setelah yakin bahwa gadis itu sudah pergi. Han Sin kembali mencoba untuk menyalurkan sin-kangnya. Akan tetapi, begitu tenaga sakti itu bergerak dari tan-tian (bawah pusar), dadanya terasa nyeri sekali. Tahulah dia bahwa Ma Goat tidak hanya menggertak. Racun itu talh bekerja dan agaknya racun itu hebat sekali. Dia tidak mungkin akan dapat menggunakan kekerasan untuk menolong Cu Sian. bagaimanapun juga, akan dicobanya. Dengan hati-hati Han Sin membuka daun pintu. Akan tetapi empat batang golok menodongnya dari luar pintu itu terdapat belasan orang penjaga dengan golok di tangan. Kalau saja dia tidak keracunan, belasan orang anak buah itu tentu tidak ada artinya baginya. Akan tetapi dalam keadaan tidak dapat menggunakan tenaga sakti seperti sekarang, melawan seorang anak buah saja dia tidak akan menang. Di cobanya melalui jendela. Akan tetapi, ketika daun jendela terbuka, kembali ada beberapa batang golok menodongnya.

   Kamar itu ternyata telah di jaga ketat. Ma Goat tidak bekerja setengah-tengah. Cu Sian di tawan sebagai sandera. Dia keracunan dan kehilangan tenaga. kamar itupun di kepung ketat. Benar-benar dia tidak berdaya sama sekali.

   Dia kembali duduk. Kini dia duduk di atas pembaringan, bersila dan termenung. Apa yang harus dilakukan? Dia diberi waktu semalam oleh Ma Goat. Jalan kekerasan untuk melawan tidak ada lagi. Kalau dia masih dikuasai oleh racun itu, bagaimana mungkin dia dapat melakukan perlawanan dan dapat membebaskan Cu Sian? Cu Sian sendiri sudah tertawan. Ma Goat amat lihai dan pemuda yang menawan Cu Sian itu pun lihai. Masih di tambah anak buah mereka. Kalau saja dia tidak keracunan, kiranya dia masih sanggup membebaskan Cu Sian. Tidak ada jalan lain kecuali menyerah. Menjadi suami Ma Goat? Untuk selamanya terikat kepada gadis yang kejam dan liar itu? Tidak mungkin. Lalu apa yang dapat dia lakukan? Pura-pura menyerah, kemudian kalau Cu Sian sudah dibebaskan dan dia sudah tidak dipengaruhi racun lagi, dia mengajak Cu Sian melarikan diri? Kiranya hanya itu satu-satunya jalan. Menipu dan melanggar janjinya sendiri? Apa boleh buat. Menghadapi seorang yang licik dan curang seperti Ma Goat yang sudah menawan Cu Sian untuk menundukkannya, kalau perlu dia dapat menggunakan siasat janji palsu.

   Akhirnya Han Sin mengusir semua pikiran yang penuh kegelisahan itu dan diapun berisitrahat untuk menghadapi hari esok yang penuh ketegangan dan ancaman bahaya.

   ***

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin sudah terbangun dan dia segera duduk bersila dan mencoba untuk mengerahkan lagi tenaganya. Akan tetapi kembali dia mengeluh dan terpaksa menghentikan usahanya karena dadanya seperti di tusuk pedang rasanya. Racun itu masih bekerja, bahkan lebih hebat dari pada kemarin. Dia masih duduk bersila sambil mengatur pernapasan. Untuk melenyapkan rasa nyeri di tubuhnya.

   Hari masih pagi sekali dan diluar masih gelap. Akan tetapi di dalam kamar itu di terangi lampu yang semalam memang tidak dipadamkan oleh Han Sin. Ketika mendengar langkah lembut di luar kamarnya, jantungnya berdebar tegang. Daun pintu terbuka perlahan dari luar dan masuklah Ma Goat dalam kamar itu. Seperti biasa, pakaiannya mewah dan agaknya sepagi itu ia sudah mandi dan bersolek. Bau harum menerpa hidung Han Sin ketika pintu di buka lalu di tutup lagi oleh Ma Goat.

   Han Sin merasa semakin tegang hatinya. Dia merasa bahwa bahaya besar yang mengerikan telah datang mengancamnya dan dia sama sekali tidak berdaya. Dia menenangkan hatinya dan mengambil keputusan untuk sementara mengalah dan pura-pura menyerah ketika gadis itu sudah berdiri di depannya, dia membuka mata memandang gadis itu.

   Ma Goat tersenyum manis. Ia membawa sebuah mangkuk terisi sup sum-sum yang masih mengepulkan uap dan mengeluarkan aroma yang sedap menimbulkan selera. Senyumnya melebar ketika ia melihat Han Sin membuka mata memandangnya.

   "Selamat pagi, kekasihku. Ku harap kau sudah mengambil keputusan sekarang. Bagaimana?"

   "Ma Goat, sesungguhnya aku belum memikirkan soal perjodohan pada waktu sekarang ini. Akan tetapi aku agaknya tidak memiliki pilihan lain. Demi keselamatan Cu Sian yang sama sekali tidak berdosa itu, terpaksa aku bersedia menuruti kehendakmu"

   Wajah Ma Goat berseri, sepasang matanya bersinar-sinar "Ah, jadi kau mau menjadi suamiku, Sin-ko? "Bagus, aku merasa gembira dan berbahagia sekali"

   "Ya, aku mau. Sekarang penuhilah janjimu. Pertama, bebaskan Cu Sian dan biarkan ia pergi tanpa di ganggu. Kedua, beri obat penawar racun kepadaku"

   "Aha, urusan itu mudah saja. Akan tetapi kau harus lebih dulu membuktikan bahwa kau benar-benar suka menjadi suamiku. Jangan anggap aku sebagai anak kecil yang mudah saja di bodohi begitu saja. Nah, kau minumlah sup ini, sayang. Sup ini sengaja kubuat untukmu, kemudian buktikan bahwa kau suka menjadi suamiku"

   Diam-diam Han Sin terkejut sekali. Kiranya gadis ini selain lihai dan jahat curang, juga cerdik bukan main. Apa yang harus dia lakukan? Tidak ada lain kecuali menurut saja. Apapun isi sup itu dan bagaimanapun akibatnya nanti, dia tidak dapat menolak untuk meminumnya.

   Akan tetapi ketika dia sudah menjulurkan tangan untuk menerima mangkuk itu, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan muncullah seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Kim Lan atau Lan Lan. Kim Lan sudah mengerahkan kekuatan sihirnya memandang kepada Ma Goat sehingga ketika Ma Goat menoleh kearah pintu dan bertemu pandang dengannya, otomatis Ma Goat telah berada dalam kekuasaan sihirnya.

   "Sobat, kenapa seorang wanita seperti kau bermain-main dengan ular berbisa? Kau memegang ular berbisa, lepaskan atau kau akan di gigitnya" Suara yang lembut itu mengandung pengaruh yang penuh wibawa dan Ma Goat terbelalak kaget ketika melihat bahwa yang dipegangnya bukanlah semangkuk sup sum-sum, melainkan seekor ular cobra yang mendesis-desis. Tentu saja ia terkejut dan cepat membanting ular itu. mangkuk terjatuh dan pecah, isinya muncrat kemana-mana.

   "Sobat, kau tidak mampu bergerak, tubuhmu kaku seperti telah menjadi batu" kembali Kim Lan berkata dan benar saja. Ma Goat tidak dapat bergerak lagi sehingga dengan mudah Lan Lan menghampiri lalu menotok leher dan pundaknya, membuat ia tidak mampu bergerak lagi, juga tidak mampu bergerak lagi. juga tidak mampu berteriak.
"Lan-moi "" seru Han Sin gembira sekali "Untung kau muncul pada saatnya yang tepat sekali.

   Akan tetapi Kim Lan memperhatikan dan berkata dengan alis berkerut, kau keracunan hebat, Sin-ko"

   "Memang benar dan obat penawarnya ada pada Ma Goat itu. Tolong ambilkan obat penawar itu dibalik ikat pinggangnya, Lan-moi"

   Kim Lan menggeledah dan mendapatkan sebungkus obat pil di balik ikat pinggang Ma Goat. Setelah memeriksanya, ia lalu menuruh Han Sin minum obat itu sampai habis. Dan memang luar biasa sekali, begitu minum obat penawar berupa pil itu, tubuhnya terasa segar dan kuat kembali. Dia lalu berusaha untuk mengerahkan sin-kangnya dan ternyata dadanya tidak sakit lagi dan tenaganya sudah pulih. Tentu saja dia menjadi girang sekali. Karena sudah tidak khawatir lagi kalau-kalau Ma Goat melakukan perlawanan. Han Sin lalu membebaskan totokan Kim Lan pada diri Ma Goat. Dan memang Ma Goat tidak lagi berani berbuat sesuatu. Setelah Han Sin tidak keracunan, tentu saja ia tidak dapat berbuat sesuatu, apalagi di situ terdapat gadis berpakaian putih yang pandai sihir itu.

   "Ma Goat, sekarang antar kami ke tempat dimana Cu Sian di tahan. Aku akan memaafkanmu kalau kau mengantar kami ke sana" kata Han Sin.

   Dan sungguh aneh. Ma Goat yang sudah tidak berdaya itu malah tersenyum "Kau hendak menemui gadis liar itu? hik-hik, boleh, boleh, marilah"

   Dengan Ma Goat sebagai penunjuk jalan, Han Sin dan Kim Lan lalu menuju ke bagian belakang rumah itu dan di depan sebuah kamar, Ma Goat menudingkan telunjuknya kearah pintu kamar itu "Di sinilah temanmu itu" katanya.

   "Lan-moi, jaga ia jangan sampai berbuat yang tidak"tidak. Aku akan memeriksa dalam kamar" kata Han Sin dan sekali tangan kanannya mendorong dia telah membuat pintu kamar itu roboh.

   Dia melihat seorang pemuda tampan pesolek sedang duduk makan minum di depan meja. pakaiannya awut-awutan dan rambutnya kusut. Dan Cu Sian sendiri berada di atas pembaringan dengan pakaian kusut dan rambut terurai, rebah tak dapat bergerak dan air matanya bercucuran tanpa mengeluarkan suara tangis. Jelas bahwa ia tertotok.

   Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lui Sun Ek, pemuda itu, ketika tiba-tiba saja pintu kamar itu jebol dan muncul Han Sin. Dia cepat menyambar kipas besar bergagang baja di atas meja dan menerjang ke arah Han Sin.

   Akan tetapi dengan mudah Han Sin mengelak sambil berloncatan ke sana sini, kemudian kakinya mencuat dan sebuah tendangan kilat mengenai dada Lui Sun Ek yang membuat pemuda itu terjengkang.

   Pada saat itu Cu Sian sudah dapat bergerak karena Kim Lan menotok Ma Goat sehingga tidak mampu bergerak dan cepat ia sudah melompat ke dalam dan membebaskan totokan yang membuat Cu Sian tidak mampu bergerak. Begitu dapat bergerak dan melihat Lui Sun Ek terjengkang roboh, kipasnya terlempar, Cu Sian meloncat dan menyambar kipas itu. kemudian bagaikan orang yang kemasukan setan, ia berteriak-teriak, memaki-maki dan kipas yang bergagang baja itu menghujani tubuh dan muka Lui Sun Ek.

   Lui Sun Ek menjerit-jerit kesakitan, mukanya berlumuran darah dan bajunya robek-robek, akan tetapi Cu Sian terus menusuk-nusuk dan memukul-mukulkan gagang kipas sampai dia tidak mampu bergerak lagi dengan muka hancur dan tubuh penuh luka. Akan tetapi, Cu Sian belum juga mau berhenti, agaknya ia hendak melumatkan tubuh pemuda itu.

   Melihat ini Han Sin melompat dan memegang lengan kanannya.

   "Cu Sian, cukup. Dia sudah mati "" katanya bergidik melihat keadaan tubuh pemuda yang tadinya tampan dan pesolek itu.

   Cu Sian menangis tersedu-sedu, akan tetapi Ma Goat yang berdiri di luar pintu seperti patung tidak mampu bergerak "Kaupun perempuan jalang yang pantas di bunuh" bentaknya dan ia sudah melompat dan menyerang Ma Goat dengan kipas yang berlumuran darah itu.

   Akan tetapi Han Sin kembali menangkis dan memegang lengannya "Jangan, Cu Sian. Jangan bunuh ia. Aku sudah berjanji kepadanya dan ia pernah menyelamatkan nyawaku dahulu" katanya dan dengan tangan kiri masih memegangi dan menahan tangan kanan Cu Sian yang mengamuk, Han Sin menggunakan tangan kanannya untuk membebaskan totokan pada diri Ma Goat.

   "Cepat kau pergi kalau kau tidak ingin mati" kata Han Sin. Ma Goat tahu diri. Ia bergidik ngeri melihat Lui Sun Ek mati seperti itu dengan wajah hancur dan tubuh penuh luka. Ia tahu bahwa Cu Sian tentu akan membunuhnya. Gadis itu seperti telah menjadi gila. maka setelah dibebaskan dari totokan tanpa menanti perintah dua kali ia sudah melompat dan melarikan diri sekuat tenaga meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Ketika para anak buah yang tadi tidak dapat mencegah kedatangan Kim Lan yang menyihir mereka berdatangan untuk mengeroyok, mereka disambut amukan tiga orang itu dan lari kocar kacir mencari keselamatan.

   Cu Sian mengamuk sambil menangis terus, dan ketika mereka berlari, ia mengejar dan membunuh sebanyak mungkin orang yang dapat ia lakukan.

   "Cu Sian, sudahlah, sudah cukup kau membunuh orang" kembali Han Sin yang mencegahnya.

   Melalui cucuran air matanya, Cu Sian memandang kepada Han Sin. Kipas berlumuran darah masih berada di tangannya "Kau " kau membiarkan perempuan jahanam itu pergi """" teriaknya dan dengan marah ia membanting kipas itu lalu meloncat pergi meninggalkan Han Sin.

   "Sian-moi "" Han Sin hendak mengejar.

   "Tidak ada gunanya dikejar" kata Kim Lan dengan suara lembut berwibawa dan Han Sin menahan kakinya, membalik dan memandang gadis berpakaian putih itu.

   "Kenapa ia? Aku khawatir ia "".terguncang jiwanya dan sakit ""

   "Hem, apakah kau tidak dapat menduga apa yang telah terjadi kepada diri Cu Sian yang bernasib malang itu?

   Dunia rasanya kiamat baginya. Ia membunuh pemuda itu dengan penuh kebencian untuk melaksanakan dendamnya. Kau tidak dapat menduga?"

   " Aku " aku tidak mengerti. Ia di tangkap sebagai sandera oleh mereka untuk membuat aku menyerah"

   "Hem, kalau saja kau tidak menyerah, tentu hal itu tidak akan terjadi"

   "Tapi ia tentu akan di bunuh oleh mereka"

   "Dibunuh masih lebih ringan daripada penderitaan yang kini ia alami"

   "Eh, mengapa begitu? Apa yang terjandi dengannya, Lan-moi?"

   "Sin-ko, kau sungguh masih hijau kalau tetap tidak mengerti. Cu Sian mengalami malapetaka yang paling hebat bagi seorang gadis. Ia telah diperkosa, di nodai oleh jahanam yang dibunuhnya itu"

   "Ahhhh """ Wajah Han Sin tiba-tiba menjadi pucat, lalu merah sekali "Keparat jahanam. Pantas saja ia menjadi begitu marah dan benci. Kasihan sekali Cu Sian"

   "Bukan hanya kasihan saja, Han Sin. Kau harus berbuat sesuatu. Kau tahu, Cu Sian amat mencintaimu, mencinta dengan seluruh jiwa raganya. Maka, dapat kau bayangkan ketika ia dinodai orang, dan ia mengira kau pasti mengetahui pula. Hancur hatinya dan hanya kau yang mampu mengobati kehancuran hatinya itu"

   "Aku? Bagaimana caranya?"

   " Ia amat mencintamu. Kau harus mengawininya untuk menebus aib yang menimpanya"

   Han Sin terbelalak, memandang kepada Kim Lan dengan hati berdebar tidak karuan. Sampai lama dia tidak menjawab, lalu ketika dia bicara suaranya gemetar.

   "Itu tidak mungkin. Aku ". Aku menyayangnya seperti saudara, sejak aku mengira ia seorang pemuda, aku menyayangnya seperti sorang adik"

   "Tapi ia amat mencintaimu dan kalau kau tidak mengawininya, kiamatlah dunia ini untuknya"

   "Tapi, Lan-moi. Tidak tahukah kau? Aku ". Aku selama hidupku baru satu kali jatuh cinta dan hanya akan mencinta wanita satu kali saja. Aku mencinta kau, Lan-moi, sejak pertemuan kita yang pertama kali. Bagaimana kau menuruh aku menikah dengan Cu Sian? Dan akupun tidak buta, Lan-moi. Aku tahu dan yakin bahwa kaupun cinta padaku ""

   "Tidak ". Tidak ""

   "Kau tidak dapat membohongiku, Lan-moi, kau tidak dapat menyangkal. Aku dapat melihat cintamu melalui pandang matamu, Lan-moi, kalau kita saling mencinta, kenapa kau menyuruh aku menikah dengan gadis lain?"

   "Tidak, Sin-ko. Aku tidak mau, tidak ingin merusak hati Cu Sian yang demikian berbudi. Ia seorang gadis yang baik sekali dan ia mati-matian mencintaimu, Sin-ko. Kau harus mengawininya, Sin-ko. Aku sendiri kelak akan membencimu dan membenci diri sendiri kalau kau tidak mau mengawininya dan menghancurkan hati Cu Sian yang penuh cinta kasih kepadamu itu. Nah, cepat kejarlah Cu Sian" Setelah berkata demikian. Kim Lan berkelebat pergi.

   "Lan-moi, tunggu """

   "Cukup, aku tidak mau lagi bicara. Jangan mengejarku" kata gadis itu dengan suara bercampur isak dan Han Sin menahan larinya. Tidak akan baik jadinya kalau dia mengejar dan memaksa, maka diapun hanya berdiri bengong, mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang mata sedih dan sayu.

   Apa yang harus dia lakukan? Menuruti permintaan Kim Lan, mengejar Cu Sian dan mengawini gadis itu? Tidak, mungkin hal ini dia lakukan. Bukan karena Cu Sian telah ternoda. Hal itu sama sekali tidak menjadi alasan karena Cu Sian ternoda diluar kehendaknya. Akan tetapi bagaimana dia dapat mengawini Cu Sian kalau cintanya kepada Cu Sian seperti kepada seorang adik, kalau cintanya hanya kepada Kim Lan seorang?

   Dia menghela napas berulang-ulang, kemudian teringat akan urusannya sendiri, teringat akan kematian ibunya seperti yang di dengarnya dari Panglima Coa Hong Bu. Ibunya terbunuh oleh seorang yang mempergunkan Hek-Liong-Kiam, berarti pembunuh ayahnya juga pembunuh ibunya. Dan kemana lagi mencari pembunuh ibunya kalau tidak di kota raja, di tempat ibunya terbunuh? Setelah berpikir demikian, dia lalu mengambil keputusan untuk pulang ke rumah ibunya.

   ***

   "Suhu, terimahlah hormat teecu (murid)" Han Sin menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tiong Gi Hwesio.

   Hwesio yang sudah tua itu nampak heran, cepat membangunkan pemuda itu dan memandang dengan mata tuanya yang sudah dihiasi alis yang putih semua.

   "Omitohud ". Sicu siapakah?" tanyanya.

   "Suhu, apakah suhu sudah lupa kepada teecu? Teecu adalah Cian Han Sin"

   "Omitohud ". Akhirnya kau pulang juga, Han Sin. Ibumu " " Hwesio itu meragu untuk melanjutkan kata-katanya.

   "Teecu sudah mendengar dari Panglima Coa Hong Bu bahwa ibu tewas terbunuh. Karena itulah maka teecu pulang untuk melakukan penyelidikan, siapa gerangan yang membunuh ibu dan mengapa pula ibu dibunuh orang. Barangkali suhu dapat memberi petunjuk kepada teecu"

   "Omitohud. Pin-ceng menyesal sekali bahwa pinceng tidak dapat memberi petunjuk apapun kepadamu, Han Sin. Pinceng tidak mengetahui ketika peristiwa itu terjadi. Kepada Panglima Coa Hong Bu yang datang ke sini, pin-ceng juga tidak dapat memberithu apa-apa. Kalau kau ingin menyelidik, pergilah ke rumahmu. Di sana masih ada Cio Si, pembantu Ibu mu itu dan hanya ia yang berada di rumah ketika pembunuhan itu terjadi. Pergi dan tanyalah kepadanya Han Sin. Semoga kau berhasil.

   Han Sin menghaturkan terima kasih lalu meninggalkan kuil itu, menuju ke rumah ibunya. Dia merasa terharu melihat rumah itu masih dipelihara dengan baik dan segera dia dapat bertemu dengan Cio Si yang menjadi penghuni tunggal rumah itu. Tidak seperti Tiong Gi Hwesio, Cio Si segera mengenalnya dan begitu bertemu dengan majikan muda itu, ia menangis dan merangkul kaki Han Sin.

   Pemuda itu mengangkatnya bangun dan berkata dengan tenang "Sudahlah, Cio Ma, tidak ada yang perlu di tangisi lagi. Sekarang persiapkan alat-alat sembahyang, antarkan aku ke kuburan ibu dan di sana nanti kita bicara"

   Tergopoh-gopoh Cio Si mempersiapkan segala keperluan sembahyang secara sederhana dan tak lama kemudian, tanpa bicara, mereka berdua pergi mengunjungi makam nyonya Ji Goat, ibu kandung Han Sin. Di depan makam ibunya Han Sin bersembahyang dan duduk bersila terpekur sampai beberapa lamanya. Kemudian dia bangkit dan mengajak duduk Cio Si di depan makam.

   "Nah, Cio-ma, sekarang ceritakan apa yang kau lihat dan dengar, apa yang kau ketahui tentang pembunuhan itu"

   "Baru sekarang saya berani bercerita kepadamu, kong-cu. Ketika orang-orang bertanya, saya tidak berani bercerita karena takut di bunuh penjahat itu. Bahkan kepada Panglima yang datang menanyai saya, saya hanya mengatakan bahwa ibumu dibunuh orang yang memakai pedang hitam. Itu saja"

   "Jadi kau tahu lebih banyak lagi? Nah, ceritakan kepadaku semuanya, Cio-ma"

   "Ketika itu ibumu sedang berlatih silat. Ketika penjahat itu datang, saya ketakutan dan bersembunyi di balik semak-semak. Penjahat itu minta kitab yang namanya saya lupa lagi, pendeknya minta kitab agar jangan terjatuh ke tangan Kaisar Yang Ti. Ibumu menolak dan mereka berkelahi. Orang itu lalu mengeluarkan sebatang pedang hitam berkilauan dan ibumu tertusuk dan roboh tewas. Kemudian orang itu masuk ke rumah, agaknya menggeledah karena barang-barang di rumah acak-acakan, lalu pergi. Barulah saya berani keluar dan memanggil tetangga, melapor kepada Tiong Gi Hwesio"

   "Bagaiman wajah pembunuh itu? Berapa kira-kira usianya dan bagaimana pula perawakannya?"

   "Ketika itu, usianya sekitar empat puluh lima tahun, wajahnya gagah dan tubuhnya sedang dan tegap. Pakaiannya juga indah sekali ""

   "Pakaian Panglima?"

   "Bukan, pakaian biasa kong-cu"

   "Hem, apakah ada tanda atau cirri khusus yang membuat dia mudah di ingat atau di kenal?"

   "Wajahnya hanya gagah, akan tetapi biasa saja. Akan tetapi ada satu hal yang penting sekali dan belum saya beritahukan kepada orang lain, kong-cu. Ketika mereka berkelahi, ibumu menyebut orang itu sebagai Lui-sute (adik seperguruan Lui)"
"Lui-sute ".? Hemmm, setahuku ibu tidak mempunyai seorang adik seperguruan" Han Sin melamun dan mengingat-ingat, akan tetapi tetap dia tidak dapat menduga siapa Lui-sute itu.

   "Ibumu juga mengatakan bahwa orang itu pembunuh ayahmu, kong-cu"

   "Hemmm " " Karena tidak ada keterangan lain yang lebih jelas, maka dia berpikir keras. Pembunuh ayahnya? Menurut keterangan Tarsukai, ketika ayahnya roboh, dia didekati seorang perwira Sui. Mungkin itukah pembunuhnya yang bermarga Lui itu? Seorang perwira? Dia harus menyelidiki kalau-kalau ada seorang perwira Lui yang dulu ikut ayahnya berperang ke sebelah utara Shan-si.

   Setelah pulang ke rumahnya, mulailah Han Sin melakukan penyelidikan. Dengan bertanya-tanya, akhirnya die mendengar bahwa dahulu memang ada perwira Lui yang menjadi pembantu ayahnya ketika berperang ke utara. Han Sin menjadi girang sekali mendengar keterangan bahwa perwira Lui itu lihai sekali dan juga usianya sekitar lima puluh tahun kurang. Akan tetapi ketika die melakukan penyelidikan lebih jauh, dia mendengar bahwa panglima Lui itu sedang melakukan perjalanan mengawal Kaisar Yang Ti ke utara. Kaisar Yang Ti berkenan memimpin pasukan melakukan pembersihan ke Shan-si utara.

   Tidak ada lain jalan bagi Han Sin kecuali melakukan pengejaran ke utara. kalau benar perwira Lui itu yang telah membunuh ayah ibunya, dia harus berhati-hati sekali, apalagi perwira itu sedang melakukan pengawalan atas diri Kaisar. Setelah berkunjung lagi ke makam ibunya dan berpamit dari Tiong Gi Hwesio, Han Sin lalu meninggalkan kota raja untuk kembali ke utara mengikuti jejak perwira Lui yang mengawal Kaisar menggerakkan pasukan ke utara.

   ***

   Beberapa hari kemudian, ketika dia berjalan melalui jalan sunyi di sebuah bukit, dia melihat seorang kakek melangkah terhuyung-huyung. nampaknya orang itu menderita sakit dan hampir roboh. Melihat ini Han Sin cepat menghampirinya dan masih sempat mencegahnya roboh dengan merangkul pundaknya. Ternyata dia seorang yang sudah tua sekali, kepalanya gundul dan jubahnya menunjukkan bahwa dia seorang hwesio.

   "Lo-suhu, kau kenapakah?" Tanya Han Sin khawatir melihat wajah ayang amat pucat dan napas yang terengah-engah itu. Aneh, Hwesio yang kesakitan itu malah tertawa.

   "Ha-ha-ha, omitohud ". Agaknya Sang Budha masih menolong pinceng " tidak mati tanpa ketahuan orang " " Dia terengah-engah, akan tetapi mulutnya masih tersenyum lebar. Sikap ini saja sudah amat menarik hati Han Sin dan menimbulkan rasa hormat dan sukanya.

   Dia membantu hwesio tua itu duduk bersila di tepi jalan di atas rumput, bahkan dia membantu dengan penyaluran tenaga saktinya untuk mengobati luka dalam tubuh hwesio itu. Akan tetapi hwesio itu menolak setelah kaget sejenak merasakan getaran tenaga dalam yang amat kuat.

   "Omitohud " kau seorang pemuda yang sakti. Akan tetapi " percuma saja, aku tidak akan dapat disembuhkan. Dengar, orang muda, pinceng bernama Thian Ho Hwesio " dan pinceng sudah mau mati. Mudah-mudahan kau seorang pendekar yang sudi memenuhi permintaan seorang yang mau mati "" "

   "Katakanlah, lo-suhu. Kalau saya dapat melakukannya, tentu akan saya lakukan"

   "Omitohud " ha-ha, kau ternyata seorang pemuda yang teliti dan baik. Pin-ceng bertemu Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo. Mereka hendak membunuh Kaisar dan mengajak pinceng. Ketika pin-ceng menolak, mereka lalu mengeroyok pin-ceng. Mereka terlalu tangguh bagi pinceng sehingga pinceng terluka "" Kembali ia terengah-engah karena telah mengeluarkan banyak tenaga untuk bicara.

   "Hemm, mereka memang bukan orang baik-baik. Lalu apa pesan lo-suhu?"

   "Pinceng mempunyai seorang murid, akan tetapi keadaan murid itu penuh rahasia " tolonglah, tolong ia agar bertemu dengan orang tuanya ""

   "Akan tetapi bagaimana saya dapat lo-suhu?"

   "Datangi ketua Thian-li-pang. Ketua itu yang dahulu menculik muridku ketika masih kecil dan pin-ceng menolong anak itu. tanyakan kepada ketua Thian-li-pang siapa orang tua anak itu " kau memiliki kepandaian, tentu dapat memaksanya mengaku""

   "Ahhh ". terima kasih, kini pin-ceng dapat mati dengan lega dan rela "" Pendeta itu yang duduk bersila lalu memejamkan kedua matanya dan napasnya terhenti.

   Han Sin teringat bahwa dia belum menanyakan nama murid itu, maka dia lalu mengguncang pundak hwesio itu "Lo-suhu ". Lo-suhu, jangan mati dulu, aku ingin bertanya ""

   Akan tetapi tubuh itu biarpun masih hangat, sudah tidak bergerak lagi. Han Sin dengan cepat lalu menotok beberapa jalan darah kearah jantung dan kekek itu membuka matanya.

   "Omitohud. pin-ceng sudah mulai berjalan pulang, kenapa kau panggil lagi?" hwesio itu menegur.

   "Maaf, lo-suhu. Lo-suhu belum menceritakan siapa nama murid lo-suhu"

   "Ha-ha-ha, oh, itu? Namanya Lan Lan. Lan " Lan " " dan dengan nama muridnya di bibir kakek itu terkulai lehernya dan tewas dalam keadaan masih duduk bersila.

   Han Sin tertegun dan terbelalak. Dia tahu bahwa kakek itu sudah tewas. Lan Lan? Siapa lagi kalau bukan Kim Lan? Jadi Kim Lan murid kakek saneh yang ternyata sakti bukan main ini sehingga ketika matipun dalam keadaan bersila? Timbul semangatnya untuk melaksanakan pesan kakek itu. Tanpa di pesan juga dia akan rela melaksanakannya demi kepentingan Kim Lan. Jadi Kim Lan adalah seorang anak yang dulu di culik oleh Ketua Thian li pang, kemudian di pungut sebagai murid oleh hwesio ini dan tidak mengenal ayah bunda sendiri? Sungguh kasihan.

   Han Sin mengubur jenazah kakek itu dengan baik-baik. Di atas makam itu dia menancapkan sebatang kayu besar dan dia mengukirnya dengan kata-kata : MAKAM GURU KIM LAN.

   


   
Setelah itu dia lalu memberi hormat kepada makam itu dan pergi. Thian li pang adalah perkumpulan pendeta wanita yang terkenal gagah perkasa dan termasuk perkumpulan bersih. bagaimana ketuanya dapat melakukan penculikan terhadap seorang anak kecil? Tentu ada rahasianya.

   Di lereng Thian San terdapat perkumpulan Thin li pang. Sejak dulu, ketika masih diketuai oleh mendiang Im Yang To-kouw, Thian li pang terkenal sebagai perkumpulan wanita-wanita gagah, para to-kouw (pendeta wanita To) yang bertindak sebagai para pendekar wanita yang galak dan keras hati. Setelah kini di pegang oleh murid mendiang Im-yang To-kouw, perkumpulan itu terkenal lebih keras lagi. Keras peraturannya terhadap murid-muridnya. Para murid yang jumlahnya ada lima puluh orang lebih itu bukan saja dilarang untuk menikah, bahkan kalau kelihatan bicara dengan laki-laki saja akan dihukum. Dan terhadap dunia luar merekapun bersikap keras, terutama sekali terhadap para penjahat, para murid Thian li pang tidak pernah memberi ampun.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kang Sim To-kouw dahulu ketika masih muda bernama Yap Ci Hwa, seorang wanita yang berhati keras dan bengis. Setelah kini menjadi ketua, ia menjadi lebih keras hati lagi. Akan tetapi diam-diam ia telah menyimpan suatu rahasia dihatinya, yang kadang membuat ia nampak berduka dan menyesal bukan main. Suatu dosa yang baginya kadang-kadang amat menyiksa. Ia pernah menculik puteri dari sumoinya sendiri, yaitu Ciang kwi yang sekarang menjadi ketua Hwa li pang di Hwa-san. ia bahkan telah membunuh secara diam-diam suami sumoinya itu, kemudian ia menculik anak perempuannya. Dosa ini selalu menghantuinya dan membuat ia yang usianya baru lima puluh tahun itu nampak seperti sudah tujuh puluh tahun.

   Tidak sukar bagi Han Sin untuk mendapatkan keterangan dari para penduduk dusun di kaki gunung Thian-san di mana adanya Thian li pang. Semua orang tahu belaka. Para pendeta wanita dari Thian-li-pang memang terkenal sebagai orang-orang dermawan yang suka menolong penduduk, membasmi penjahat, memberi obat dan bahkan memberi uang. Para penduduk juga selalu naik ke lereng dimana Thian li pang mempunyai sebuah kuil untuk bersembahyang. akan tetapi tentu saja yang diperbolehkan datang ke kuil hanyalah kaum wanita saja. Laki-laki dilarang keras naik ke kuil, bahkan tidak boleh menaiki lereng yang menjadi wilayah Thian li pang.

   Setelah mendapat keterangan dari para penduduk dusun dimana letaknya Thian li pang, disertai peringatan pria dilarang keras naik ke sana. Han Sin lalu mempergunakan kepadandaiannya untuk berlari cepat mendaki tempat itu. Kuil itu berada di lereng bukit dan dari jauh saja sudah nampak tembok kuil dan pagarnya yang putih bersih.

   Baru saja tiba di depan pintu gerbang, Han Sin sudah berhadapan dengan dua belas orang pendeta wanita anggota Thian li pang. Mereka terdiri dari wanita yang berusia antara dua puluh sampai tigapuluh tahun dan diam-diam Han Sin merasa heran. Semua pendeta wanita itu sungguh amat sederhana, baik sanggulnya, jubahnya maupun wajahnya yang sama sekali tidak berbau bedak maupun pemerah. Padahal diantara mereka banyak yang memiliki wajah yang lumayan cantiknya. Dia cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat. Akan tetapi seorang diantara para to-kouw itu, yang berusia tiga puluh tahun, sudah membentaknya dengan suara halus namun galak.

   "Agaknya kau tidak tahu bahwa di sini merupakan tempat larangan untuk kaum pria. Hayo cepat menggelinding turun dari sini sebelum kami menggunakan kekerasan"

   Jarak antara Han Sin dan para to-kouw itu ada lima meter dan mendengar bentakan itu, Han Sin melangkah maju untuk menghampiri sambil tersenyum. Melihat ini, para to-kouw itu cepat melangkah mundur menjauhi.

   "Maaf, kenapa cu-wi to-kouw menjauhiku? Aku bukan seorang yang menderita penyakit menular. Aku datang hendak bicara dengan ketua kalian. Bukankah ketua kalian yang bernama Kang Sim To-kouw?"

   "Jangan mendekat atau kami akan membunuhmu" Bentak pimpinan to-kouw itu "Ketua kami tidak sudi bertemu dan bicara dengan seorang pria. Pergilah sebelum terlambat"

   "Heiiii, apakah kalian benar-benar demikian membenci pria?" Tanya Han Sin sambil tersenyum.

   "Kami membenci semua pria mati-matian" mereka menjawab dengan suara hiruk pikuk dan Han Sin tertawa bergelak. Para to-kouw itu merasa heran dan marah mendengar pemuda itu tertawa.

   "Mengapa kau tertawa? Manusia tidak sopan"

   "Mengapa aku tertawa? Tentu saja tertawa melihat kelucuan kalian. Kalian berkata membenci semua pria. Apakah kalian tidak mempunyai ayah kandung? Apakah kalian juga membenci dan membunuh ayah kandung kalian. Juga kakek kalian, saudara kalian yang laki-laki, Keponakan kalian yang laki-laki, saudara misan kalian, kakak ipar kalian, adik laki-laki kalian, paman kalian " "

   "Cukup. Cepat pergi atau kami akan menyerangmu" bentak pemimpin itu sambil menoleh ke kanan kiri dengan sikap ketakutan.

   "Ha-ha-ha, kalian seperti sekumpulan kucing yang ketakutan. Ingin aku bertemu dengan ketua kalian, maka panggillah ia keluar. Aku tidak ingin berurusan dengan kalian"

   "Minggatlah" Bentak pimpinan itu dan iapun sudah menerjang ke depan, menyerang Han Sin dengan sebatang pedangnya. Han Sin miringkan tubuhnya dan ketika dia menggerakkan tangannya, to-kouw itu terpelanting roboh. Semua to-kouw menjadi kaget dan marah dan duabelas orang itu serentak menyerang Han Sin dengan pedang mereka.

   Han Sin tidak tega untuk melukai mereka, maka ia hanyak mengelak dan menangkis, dan mendorong mereka sehingga mereka berpelantingan tanpa menderita luka-luka.

   Beberapa orang dari mereka cepat lari ke dalam untuk memberi laporan. Tak lama kemudian, terdengar bentakan nyaring "Hentikan semua pengeroyokan"

   Para to-kouw yang sudah jatuh bangun itu lalu mundur dan berdiri dengan muka merah di belakang seorang to-kouw tua yang baru muncul. To-kouw ini berusia kurang lebih lima puluh tahun. wajahnya nampak kaku dan galak, matanya seperti mata harimau. Inilah Kang Sin To-kouw yang dahulu bernama Yap Ci Hwa. Dengan tegak ia memandang Han Sin kepalanya di angkat dan matanya tajam menyelidik. Tangan kirinya memegang sebatang kebutan bulu hitam, tangan kanannya memegang pedang. Sebetulnya wanita itu tidaklah buruk, bahkan di waktu mudanya tentu manis, akan tetapi karena wajah itu diselimuti kekerasan dan kekakuan, maka nampak buruk dan kelaki-lakian.

   "Bocah kurang ajar. Siapa kau berani membikin kacau Thian li "pang" bentak Kang Sim To-kouw dengan bengis.

   "Katakan namamu agar kau jangan mati tanpa nama"

   Han Sin tersenyum lebar. Kini mengertilah dia mengapa para to-kouw itu begitu ketakutan. Ternyata ketua mereka memang bengis dan galak.

   "Namaku Cian Han Sin dan aku tidak mau mati dulu, baik dengan atau tanpa nama. Apakah lo-cian-pwe ini pang-cu dari Thian li pang?"

   "Benar, aku pang-cu dari Thian-li-pang, dan kau telah melakukan pelanggaran besar-besaran. Tidak saja kau berani melanggar wilayah kami, akan tetapi kau bahwa telah merobohkan murid-muridku. Sekarang kau akan mati di tanganku" Kang Sim To-kouw lalu memberi tanda dengan tangannya dan semua murid yang berjumlah kurang lebih lima puluh orang itu sudah menyerbu semua. Bergidik juga Han Sin di keroyok wanita demikian banyaknya. Akan tetapi dia mengeluarkan kepandaiannya, tubuhnya bagaikan baja, kalau sampai terserempet pedang, maka pedang itu yang terpental dan tangkisan tangannya membuat pedang lawan terlempar jauh. hanya dengan dorongan tangan saja dia membuat anak buah Thian li pang terjungkal roboh tumpang tindih.

   "Semua mundur" Kang Sim To-kouw berseru ketika melihat betapa muridnya seperti sekumpulan semut mengeroyok seekor jangkrik saja. Para murid yang memang sudah jerih lalu berkelompok mundur dan Kang Sim To-kouw yang cepat menggerakkan pedang dan kebutannya menyerang dengan dahsyatnya ke arah Han Sin.

   ***

   Han Sin melihat bahwa ilmu kepandaian to-kouw ini cukup berat walaupun masih kalah dibandingkan ketua Hwa-li-pang yang pernah di lihatnya bertanding melawan keluarga gila dahulu itu. Dia pun menyambutnya dengan gerakan cepat dan membiarkan wanita itu mengamuk dan menyerang bertubi-tubi sampai tigapuluh jurus lebih. Dia hanya mengelak dan kadang menangkis saja.

   "Lo-cian-pwe, perlahan dulu" Han Sin meloncat ke belakang "Aku bukan orang jahat, aku hanya ingin membicarakan sesuatu denganmu"

   "Kalahkan dulu pedang dan kebutanku, baru kita bicara" kata to-kouw itu yang mengira bahwa pemuda itu menjadi jerih.

   "Hemm, begitukah maumu? Baik" kata Han Sin yang tadinya tidak ingin membikin malu to-kouw itu dengan mengalahkannya. Sekarang mau tidak mau dia harus mengalahkan wanita berhati baja ini. Maka mulailah dia mengisi kedua tangannya dengan tenaga Bu-tek Cin-keng dan begitu dia mendorong kedua tangannya, Kang Sim To-kouw tidak mampu bertahan dan terdorong ke belakang, terhuyung dan hampir roboh kalau beberapa orang muridnya tidak cepat merangkulnya.

   Diam-diam Kang Sim To-kouw terkejut bukan main. Tak disangkanya ia akan di kalahkan demikian mudahnya oleh seorang pemuda.

   "Nah, Lo-cian-pwe, apakah kau akan menjilat ludah sendiri dan tidak memenuhi janji untuk mendengarkan pembicaraanku?"

   Dengan cemberut Kang Sim To-kouw mendengus" Masuklah dan mari kita bicara" katanya karena di depan semua muridnya sudah jelas ia telah dikalahkan dan tentu saja ia tidak ingin mengingkari janji.

   Ia masuk ke dalam kuil dan di ikuti oleh Han Sin. Setelah berada di ruangan dalam, mereka duduk berdua berhadapan dan Kang Sim To-kouw berkata ketus "Nah, katakan apa yang hendak kau bicarakan?"

   Han Sin senang melihat bahwa di situ tidak ada orang lain sehingga dia dapat leluasa bicara. Dia tersenyum, memandang tajam lalu berkata perlahan "Pang-cu, aku datang ingin membicarakan tentang dosamu yang amat besar"

   Sepasang mata itu terbelalak dan muka itu berubah merah sekali karena marahnya "Orang muda. Apakah karena sudah dapat menang melawan aku kau lalu boleh main-main sesuka hatimu? Jangan kurang ajar"
"Maaf, pang-cu. Aku tidak main-main. Aku bicara sejujurnya. Aku tahu apa yang kau lakukan belasan tahun yang lalu. Mungkin tidak ada orang lain yang mengetahui, akan tetapi aku tahu benar bahwa kau telah melakukan dosa besar sekali"

   Kini wajah yang tadinya merah berubah agak pucat dan pandang matanya penuh selidik "Hemm, coba katakan, dosa apa yang telah kulakukan?"

   "Kau telah menculik seorang anak perempuan yang kau tinggalkan di dalam hutan"
Wajah itu menjadi pucat sekali dan otomatis wanita tua itu menoleh ke kanan kiri untuk melihat apakah pembicaraan mereka ada yang mendengarkan. Setelah yakin bahwa di situ tidak ada orang lain, ia memandang kepada Han Sin.

   "Kau bohong. Kau ngawur dan melakukan fitnah" Akan tetapi teriakannya dilakukan dengan suara bisik-bisik.

   Han Sin tertawa "Pang-cu kau seorang ketua dan seorang pendeta wanita. sungguh tidak pantas sekali apa yang kau lakukan itu. Akan tetapi Thian adil. Perbuatanmu itu ada yang melihatnya dan anak perempuan itu kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang berilmu tinggi sekali. Apa yang akan dilakukannya kalau ia kuberitahu bahwa kau dulu menculiknya?"

   Kang Sim To-kouw merasa tersudut dan akhirnya ia menghela napas panjang. Memang perbuatannya itu selalu menghantuinya dan ia merasa menyesal bukan main.

   "Cian Han Sin, lalu apa yang akan kau lakukan?"

   "Hem, aku tidak akan menceritakan kepada siapapun juga asal kau suka memenuhi permintaanku"

   "Apa yang kau kehendaki?"

   "Aku ingin mengatakan siapa orang tua anak itu"

   "Kalau aku tidak mau memberitahu?

   "Akan kusiarkan ke seluruh dunia kang-ouw bahwa pang-cu dari Thian-li-pang yang terhormat itu ternyata hanyalah seorang penculik anak kecil, seorang penculik yang kejam, juga akan ku beritahukan kepada gadis itu agar ia sendiri yang menuntut balas ke sini. Dan jangan harap kalian semua akan mampu menandinginya. Ia lebih lihai daripada aku" kata Han Sin mengancam.

   Wajah itu semakin pucat dan berulang kali ia menghela napas panjang "Baiklah, akan kuberitahu kepadamu sendiri. Bocah itu adalah anak dari sumoiku sendiri"

   "Siapa sumoimu?"

   "Namanya Ciang Hwi, sekarang bernama Pek Mau To-kouw """

   "Pek Mau To-kouw ketua Hwa-li-pang di Hwa-san?" Han Sin memotong dan mengangguk sambil menundukkan mukanya.

   "Akan tetapi " mengapa "?"

   "Jangan Tanya mengapa ". Aku akan menjadi gila karena iri hati ""

   Dan tiba-tiba to-kouw itu menangis sesunggukan, tanpa suara.

   Han Sin dapat melihat betapa to-kouw itu menyesali perbuatannya, maka diapun merasa kasihan "Penyesalan saja tiada gunanya, pang-cu. Yang penting pang-cu harus berani mengakui kepada sumoimu dan minta maaf. Aku mengenal Pek Mau To-kouw dan ia adalah seorang yang berbudi mulia. Tentu ia akan suka memaafkanmu"

   Kang Sim To-kouw mengangguk "Maukah kau menemaniku mengunjunginya?"

   "Tentu saja. Mari kutemani kau berkunjung ke Hwa-li-pang"

   Kang Sim To-kouw lalu menghentikan tangisnya. Ia memanggil para murid kepala dan berpesan agar mereka menjaga Thian-li-pang baik-baik karena ia hendak pergi bersama Han Sin. Para murid memandang heran akan tetapi tidak ada yang berani bertanya.

   Pada hari itu juga, Kang Sim To-kouw berangkat bersama Han Sin menuju ke Hwa-li-pang. Kalau bukan karena urusan itu menyangkut diri Kim Lan, tentu Han Sin tidak mau bersusah payah menemani pang-cu itu ke Hwa-san.

   ***

   Kedua orang to-kouw itu saling berhadapan dan saling pandang sampai beberapa lamanya. Akhirnya Kang Sim To-kouw yang mendahului memanggil "Sumoi ""

   Pek Mau To-kouw terbelalak, merasa seperti dalam mimpi. Tadinya ia tidak mengenal siapa to-kouw yang berdiri di depannya itu karena sudah nampak tua sekali, seperti telah berusia tujuhpuluh tahun. Akan tetapi setelah Kang Sim To-kouw memanggilnya, barulah ia menyadari bahwa yang berdiri di depannya benar-benar Yap Ci Hwa atau Kang Sim To-kouw, sucinya. Ia lalu maju merangkul dan berseru.

   "Suci "... Benarkah kau ini, suci? Terima kasih kepada Thian. Suci mau datang ke sini berkunjung kepadaku?" Mereka berangkulan kemudian Pek Mau To-kouw dapat menguasai dirinya dan memandang kepada Han Sin.

   "Suci datang bersama pemuda ini " heiii, bukankah sicu ini pemuda yang dulu datang bersama keluarga gila itu?"

   Han Sin memberi hormat "Benar pang-cu, Thian-li-pangcu berkunjung untuk membicarakan hal yang teramat penting kepadamu, maka harap kami diperbolehkan bicara di dalam"

   "Ah, mari, silahkan. Silahkan masuk" Pek Mau To-kouw menggandeng tangan Kang Sim To-kouw yang masih terharu melihat sambutan sumoinya yang dahulu di musuhinya dan Han Sin mengikuti dari belakang. Mereka duduk dalam ruangan tamu.

   "Hal penting apakah yang perlu dibicarakan?" Tanya Pek Mau To-kouw dan ia semakin heran melihat betapa tiba-tiba saja sucinya menangis.

   "Eh? Suci, kau kenapakah? Orang-orang seperti kita ini sudah tidak semestinya lagi menangisi sesuatu. Segala sesuatu dalam dunia ini adalah baying-bayang belaka, tidak ada yang perlu di susahkan"

   "Sumoi, aku datang untuk minta ampun kepadamu"

   Pek Mau To-kouw terbelalak memandang sucinya, kemudian menoleh kearah Han Sin. Pemuda itu hanya mengangguk-angguk saja.

   "Suci, apa-apaan ini? Akulah yang seharusnya minta maaf kepadamu bahwa selama ini aku tidak mengunjungimu, bahkan sebaliknya hari ini kau datang berkunjung. Kenapa minta ampun?"

   "Sumoi, aku datang untuk membuat pengakuan akan dosaku yang tak berampun kepadamu. Aku "". Akulah yang telah menculik anak perempuanmu dahulu"

   Betapapun tenang dan sabarnya ia, Pek Mau To-kouw terlonjak kaget dan meloncat dari tempat duduknya. Sambil berdiri dengan muka pucat ia memandang sucinya "Akan tetapi " kenapa " kenapa kau lakukan itu, suci? Dan dimana ia sekarang? Diamana anakku?"

   Han Sin berkata "Jangan khawatir, pang-cu. Puterimu masih hidup dan sekarang telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi. Kang Sim To-kouw menjatuhkan dirinya duduk di atas kursi lagi, merangkap kedua tangan seperti menyembah dan berseru "Terima kasih kepada Thian. Anakku masih hidup, achh, anakku masih hidup"

   "Sumoi, maukah kau memaafkan aku?"

   "Tentu saja, suci. Peristiwa itu sudah berlalu belasan tahun lamanya dan anakku Lan Lan masih hidup. Dimana ia sekarang?"

   "Aku tidak tahu, sumoi dan Cian Han Sin inilah yang mengetahui dimana ia"

   "Aku juga tidak tahu dimana ia sekarang. Akan tetapi aku akan mencarikan ia untukmu, pang-cu. Tidak dapatkah pang-cu menduga siapa anakmu itu? Pernah pang-cu bertemu dengannya di sini"

   " Ehhhh ".? Siapakah? Sudah ratusan orang gadis kutemui di sini, yang datang bersembahyang ""

   "Akan tetapi puterimu itu lain lagi. Ia sendiri tidak tahu bahwa kaulah ibu kandungnya. Puterimu itu adalah gadis berpakaian putih yang bernama Kim Lan itu"

   Kembali Pek Mau To-kouw melonjak kaget, akan tetapi kali ia kelihatan gembira bukan main.

   "Ia ". Ah, terima kasih Tuhan, anakku menjadi gadis yang berbudi dan sakti. Ah, sicu, dimana ia sekarang? Aku ingin bertemu dengannya"

   "Tenanglah, pang-cu. Aku sendiri tidak tahu dimana ia sekarang ini, akan tetapi aku berjanji akan membawanya ke sini bertemu denganmu"

   Pek Mau To-kouw yang merasa bahagia sekali itu lalu bangkit dan mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada Han Sin.

   "Terima kasih, Cian-sicu, kau merupakan dewa penolong bagiku"

   Han Sin cepat membalas penghormatan itu "Aihh, pang-cu. Harap jangan bersikap seperti itu. Ingat, ketika aku dijadikan tawanan keluarga gila itu, pang-cu juga telah ikut menolongku"

   "Akupun berterima kasih kepadamu, suci. Dengan pengakuanmu ini, kau telah mendatangkan kebahagiaan dalam hatiku dan itu sudah cukup untuk menebus kesalahanmu dahulu" kata Pek Mau To-kouw bijaksana.

   Akan tetapi tiba-tiba Kang Sim To-kouw melakukan sesuatu yang membuat Pek Mau To-kouw dan Han Sin terkejut.

   Ketua Thian-li-pang itu tiba-tiba menjatuhkan dirinya berlutut didepan sumoinya sambil menangis.

   "Eh, apa yang kaulakukan ini suci?"

   "Sumoi, dosaku tak berampun. Aku bukan hanya minta ampun kepadamu, bahkan kalau sekarang juga kau membunuhku, aku rela untuk menebus dosaku, sumoi"

   "Suci, apa artinya ini?"

   "Aku ". Aku yang telah membunuh Ang Cun Sek "" Nenek itu kini menangis sesunggukan.

   Wajah Pek Mau To-kouw yang tadinya berseri dan kemerahan saking bahagianya mendengar berita tentang puterinya, kini mendadak pucat sekali dan matanya terbelalak. Jadi, pembunuh suaminya adalah sucinya ini juga.

   "Aku " aku menjadi gila ". Kemasukan setan karena iri kepadamu sumoi " " Kang Sim To-kouw menangis.

   Pek Mau To-kouw menegakkan kepalanya dan suaranya terdengar lembut namun ketus "Hemm, aku tidak berhak memberi ampun kepadamu, suci. Kau telah membunuh seorang manusia yang tidak berdosa. Kalau mau minta ampun, mintalah ampun kepada Thian. Sekarang pergilah dan jangan berada di sini lebih lama lagi" Pek-Mau To-kouw mengusir sucinya yang mengaku telah membunuh suaminya itu.

   Kang Sim To-kouw menangis. bangkit berdiri lalu berlari keluar sambil terus menangis.

   Setelah Kang Sim To-kouw pergi, barulah Pek Mau To-kouw tenang kembali dan ia merangkap kedua tangan depan dada.

   "Siancai " terima kasih kepada Thian yang telah memberi kekuatan kepada hambanya "" katanya lirih.

   Han Sin kagum sekali. To-kouw ini benar-benar telah memiliki kekuatan batin yang menganggumkan sehingga mendengar pengakuan orang yang membunuh suaminya tidak menjadi mata gelap dan marah.

   "Pang-cu, aku telah mengenal baik puterimu Kim Lan ""

   "Sebetulnya ia bernama Swi Lan, Sicu. Ang Swi Lan dan biasanya ketika kecil menyebut diri sendiri Lan Lan"

   "Ah, begitukah? Aku telah mengenalnya dengan baik dan aku akan mencarinya untukmu"

   "Terima kasih, Cian-sicu. Kau baik sekali. Akan tetapi bagaimana kalau ia tidak percaya jika diberitahu bahwa aku adalah ibu kandungnya?"

   "Hemmm, sulit juga. Bagaimana kalau ia minta bukti?" kata pula Han Sin ragu "Saksi mata satu-satunya, yaitu Thian Ho Hwesio yang menjadi gurunya, telah meninggal dunia"

   "Ah, aku ingat sekarang. Anak itu mempunyai tanda bercak hitam pada telapak kaki sebelah kanan. Itulah buktinya bahwa ia adalah puteriku"

   "Bagus. Terima kasih pangcu. Aku mohon diri untuk segera mencari jejaknya"

   "Selamat jalan, sicu, semoga kau berhasil dan sekali lagi terima kasih atas semua jerih payahmu"

   Han Sin lalu meninggalkan Hwa-li-pang dengan hati gembira. Dia merasa menerima tugas yang amat menggembirakan. Betapa hatinya tidak akan gembira? Dia akan dapat membahagiakan hati gadis yang di cintainya itu dengan berita tentang ibu kandungnya ini.

   ***

   Kaisar Yang Ti melaksanakan niatnya untuk melakukan pembersihan sendiri terhadap bangsa liar yang mengganggu tapal batas utara di Shan-si utara.
Kaisar Yang Ti membawa pasukan yang besar jumlahnya, tidak kurang dari sepuluh laksa orang. Akan tetapi Kaisar ini sama sekali tidak dapat disamakan dengan mendiang ayahnya, Kaisar Yang Cian yang merupakan seorang pendekar dan ahli perang. kaisar Yang Ti sudah terbiasa dengan kehidupan yang berfoya-foya mengejar kesenangan sehingga perjalanan memimpin pasukan inipun tidak ketinggalan ikut pula selir-selirnya tercinta. Perjalanan itu baginya bukan sebagai seorang panglima perang, melainkan seorang yang pergi berpesiar dengan selirnya untuk bersenang-senang.

   Ketika tiba di Shan-si, Kaisar di sambut oleh Gubernur Shan-si, Li Goan. Akan tetapi Li Si Bin tidak ikut menyambut, bahkan meninggalkan kota. Pemuda ini muak melihat sikap kaisar yang demikian angkuh dan demikian royal. Pergi berperang dalam kereta mewah berikut para selirnya. Dalam pandangan pemuda putera gubernur ini, kaisar Yang Ti tidak patut menjadi orang yang di sembah-sembah.

   Gubernur Li Goan dengan hati-hati memperingatkan Kaisar agar meninggalkan selir-selirnya di Tai-goan dan melakukan pembersihan mengutus para panglimanya saja. Akan tetapi Kaisar tidak ambil peduli. Dia hendak memimpin sendiri sambil memamerkan kepada para selirnya betapa "gagahnya" dia membuat aksi pembersihan para pemberontak.

   Hal ini tentu saja menggirangkan hati Lui Couw. Sudah lama sekali putera bekas Kok-su Toat-beng Giam-ong Lui Tat yang menjadi kok-su kerajaan Toba ini menanti saat baik untuk membunuh Kaisar, menggulingkan Kerajaannya dan kalau mungkin merampas tahta kerajaan. Dia bercita-cita mendirikan kembali Kerajaan Toba yang sudah jatuh. Dia sudah berhasil menyingkirkan penghalang utama, yaitu Panglima Cian Kauw Cu dan sekarang dia mendapat kesempatan baik sekali untuk membinasakan Kaisar. Dia tidak puas dengan hasil usahanya menyeret Kaisar ke dalam kehidupan yang hanya mengejar kesenangan belaka. Dan dia sudah menempatkan diri dengan kedudukan sebaik mungkin sehingga sebagai Panglima besar dia menyertai Kaisar Yang Ti mengadakan pembersihan ke utara. dan diam-diam Lui Couw sudah mengadakan persiapan sebaik mungkin. Dia sudah menyusupkan Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo menjadi prajurit karena kedua orang datuk inilah yang bertugas membunuh kaisar pada saatnya.

   Semua itu harus dilakukan dengan hati-hati sehingga kaisar seolah-olah terbunuh oleh pemberontak.

   Gubernur Li Goan dan puteranya yang tidak mau menghadap Kaisar Yang Ti memandang dengan hati prihatin melihat kaisar mereka berangkat ke perbatasan di utara yang berbahaya. Mereka tahu bahwa pihak Turki dan suku-suku Mongol sudah tahu akan gerakan pembersihan itu dan mereka tentu sudah mengatur perang gerilya yang akan membahayakan kedudukan pasukan Kaisar. Maka, Gubernur Li Goan lalu berunding dengan puteranya dan akhirnya Li Si Bin memimpin pasukan istimewa untuk membayangi pasukan kota raja itu dan melindungi kaisar kalau diperlukan.

   Beberapa hari kemudian, pasukan yang sepuluh laksa orang itu tiba di perbatasan utara, dekat dengan daerah Yak-ka. Akan tetapi jauh hari sebelumnya Tar-sukai sudah mendengar berita yang dikirim Li Si Bin akan datangnya pasukan besar itu dan dia sudah mengosongkan perdusunannya, bersembunyi di hutan-hutan dan mengatur barisan untuk melakukan perang gerilya.

   Juga suku-suku lain dan Bangsa Turki yang berada diperbatasan sudah menyingkir dan bersembunyi, akan tetapi bukan melarikan diri melainkan bersiap-siap untuk melakukan perang secara bersembunyi-sembunyi.

   Melihat dusun-dusun yang kosong, kesempatan baik ini dipergunakan Lui-ciangkun untuk menghadap Kaisar Yang Ti" Hamba melaporkan bahwa para pengacau sudah pergi meninggalkan dusun-dusun mereka dan melarikan diri, Yang Mulia. Kami tidak menemukan seorangpun musuh"

   "Hemm, lalu bagaimana baiknya, Lui-ciangkun?" Tanya kaisar.

   "Kita harus membagi-bagi tugas dan pasukan menjadi puluhan regu. Masing-masing melakukan pengejaran dan pembakaran terhadap dusun-dusun yang di tinggalkan, membunuhi ternak yang kita temukan dan membakar habis tanama mereka agar mereka mati kelaparan"

   Kaisar Yang Ti mengangguk-angguk "Bagus, akan tetapi kami ingin memimpin pasukan sendiri untuk mengobrak-abrik dan membinasakan mereka" kata Kaisar itu dengan sikap gagah karena di situ para selirnya juga hadir dan mendengarkan.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 16


   "Tentu saja, Yang Mulia. Paduka akan memimpin sepasukan pengawal istimewa dan juga hamba sendiri akan mengawal paduka. Kita boleh menghancurkan mereka sepuas hati paduka"

   "Baik, kalau begitu lekas atur pemecahan pasukan menjadi rombongan-rombongan agar semua perusuh dapat di cari dan dikejar lalu di basmi" kata Kaisar Yang Ti.

   Lui-ciangkun lalu memerintahkan para pembantunya untuk memecah-mecah pasukan itu menjadi beberapa rombongan.

   Dia memilih pasukan pengawal yang hanya terdiri dari dua ratus orang untuk mengawal Kaisar dan tentu saja di dalamnya terdapat Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo yang menyamar sebagai prajurit. Dengan kedua pembantunya ini dia sudah mengatur siasat. Malam nanti, ketika rombongan itu berhenti berkemah, dua orang pembunuh itu akan mengenakan kedok dan akan melakukan pembunuhan. Dengan demikian, tentu tidak akan ada yang mengira bahwa pembunuhnya adalah orang-orang dalam, melainkan mata-mata yang dikirim musuh. Dengan kesaktian mereka, andaikata ketahuan oleh pengawal, mereka akan mampu memukul mundur para pengawal dan melanjutkan usaha pembunuhan mereka sampai berhasil.

   Setelah hari mulai gelap, mereka pun membuat perkemahan dilereng sebuah bukit. Sama sekali mereka tidak tahu bahwa ada ribuan pasang mata mengintai mereka sejak hari mulai gelap. Begitu malam tiba, Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo sudah mengenakan pakaian serba hitam dan memakai topeng hitam pula. Akan tetapi sebelum mereka melaksanakan tugas keji itu, tiba-tiba terdengar ledakan keras di susul sorak sorai. Kiranya ribuan orang suku Yak-ka bercampur dengan bangsa Turki datang menyerbu. Tentu saja para prajurit yang hanya dua ratus orang jumlahnya itu menjadi kacau balau. Lui-ciangkun terkejut dan disertai dua orang yang berkedok itu diapun membela diri dan mengamuk. Banyak musuh dapat mereka bertiga robohkan. Melihat kekuatan musuh yang demikian besar, Lui-caingkun lalu berseru kepada dua orang pembantu rahasianya.

   "Kita tinggalkan pergi. Biar mereka yang mewakili pekerjaan kalian"

   Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo juga mengerti bahwa betapapun sakti mereka, tak mungkin mereka melawan ribuan orang itu. Pula, bukankah tugas mereka membunuh kaisar dan tentu kaisar akan terbunuh oleh orang-orang ini? Maka dalam kegelapan malam mereka bertiga melarikan diri. Para prjaurit juga banyak yang mengikuti jejak mereka. Perkemahan itu di bakar dan ketika musuh sudah pergi, Lui-ciangkun mengumpulkan sisa pasukannya, Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo sudah berganti pakaian prajurit biasa lagi. Mereka memeriksa keadaan dan mencari-cari mayat kaisar. Akan tetapi mereka tidak menemukan mayat itu. Bahkan tidak ada pula mayat seorangpun selir. Yang ada hanya mayat beberapa orang prajurit yang tewas.

   Tentu saja mereka menjadi heran dan tiga orang pengkhianat itu menjadi agak panik.

   "Heran sekali, kemana kaisar pergi?" kata Lui-ciangkun.

   "Tentu telah di tawan, karena kalau dibunuh tentu ada mayatnya" kata Pak-Te-Ong.

   "Hem, apa bedanya? Ditawan musuh sama saja dengan di bunuh" kata See-Thian-Mo.

   Agak lega hati Lui-ciangkun dan dia segera menghubungi pasukan lain yang berpencaran. Setelah dalam tiga hari dia bertemu dengan pasukan lain. kiranya pasukan lain juga mengalami serangan mendadak di tengah malam dan banyak mengalami kerugian. Akan tetapi para perwira terkejut setengah mati mendengar berita yang di sampaikan Lui-ciangkun bahwa kaisar beserta para selirnya jatuh ke tangan musuh dan ditawan.

   Selagi mereka kebingungan dan ramai membicarakan malapetaka itu, datang dua orang utusan bangsa Turki. Mereka menunggang kuda dan membawa bendera tanda utusan sehingga mereka tidak di ganggu dan di terima oleh Lui-ciangkun dan para perwira lainnya. Dua orang utusan itu membawa pesan raja Turki bahwa Kaisar Yang Ti berada di tangan mereka sebagai sandera dan kalau Kerajaan Sui tidak cepat menarik pasukan mereka, kaisar akan segera dibunuh.

   Mendengar pesan ini, tentu saja para panglima tidak ada yang berani melanjutkan pertempuran dan mereka semua menarik pasukan mereka dan mundur sampai ke Tai-goan.

   Sementara itu, pasukan yang di pimpin Li Si Bin juga sudah mendengar akan tertawannya Kaisar oleh bangsa Turki. Dia lalu menyuruh pasukannya untuk pulang dan dia sendiri cepat membalapkan kudanya menuju ke utara, ke pertengahan bangsa Turki di luar tapal batas.

   Li Si Bin diterima oleh para pimpinan Bangsa Turki dengan baik karena dia dianggap keluarga. Ibunya adalah seorang puteri Turki dan hubungannya dengan Bangsa Turki memang baik sekali. Apalagi ayahnya, Gubernur Li Goan. Juga bersahabat dan diantara keduanya tidak pernah terjadi permusuhan, walaupun Li Goan menjadi Gubernur di Shan-si.

   "Hemm, tentu maksud kunjunganmu ini ada hubungannya dengan kaisarmu yang tertawan, Li Si Bin" kata pimpinan suku Turki itu sambil mengelus jenggotnya yang pendek dan memuntir kumisnya yang panjang.

   "Tidak salah, yang Mulia. Saya bermaksud untuk mencegah kekeliruan besar yang mungkin paduka lakukan"

   "Kekeliruan besar? Apa maksudmu?"

   "Kalau paduka mengganggu atau membunuh kaisar Yang Ti, maka akan terjadi malapetaka di sini. Membunuh Kaisar itu tidak ada gunanya, tidak menguntungkan malah merugikan saja. Kaisar itu seperti boneka, tidak ada gunanya dan selama dia yang menjadi kaisar di Kerajaan Sui, paduka boleh tenang-tenang saja karena pasukannya tidak akan mungkin menyerbu ke sini. Akan tetapi kalau sampai dia terbunuh, lalu kerajaan Sui mengangkat seorang kaisar baru yang gagah perkasa seperti mendiang Kaisar Yang Chien, kita bisa celaka. Tempat ini pasti akan di serbu oleh puluhan laksa prajurit dan tempat paduka akan menjadi lautan api"

   Pemimpin Turki itu mengangguk-angguk setelah berpikir sejenak.

   "Hemmm, bicaramu masuk di akal. Memang kami masih ragu untuk membunuh kaisar pengecut itu yang dalam tahanan masih saja bersenang-senang dengan para selirnya dan selalu merengek minta ampun. Akan tetapi apa untungnya membebaskan kaisar seperti itu bagi kami?"

   "Untungnya banyak sekali, Yang Mulia. Selain kaisar merasa berhutang budi sehingga tidak memusuhi paduka, juga paduka mendapat kesempatan untuk menyusun kekuatan dan pada saatnya kelak kita bergerak ke selatan. Bahkan ada baiknya paduka menghadiahkan beberapa orang selir terdiri dari wanita-wanita yang cerdik untuk dijadikan penyelidik dan mata-mata di sana"

   "Bagus, bagus. kami setuju sekali"

   "Juga saya dapat membujuk Kaisar bahwa kalau paduka membebaskannya, kaisar akan memberi hadiah yang pantas untuk paduka"

   "Baik, laksanakanlah"

   Li Si Bin lalu memasuki tempat tahanan dan dia berlutut di depan kaisar. Kaisar memandang kepadanya dan bertanya "Kau siapakah? Kau seperti seorang Han"

   "Yang Mulia, hamba adalah Li Si Bin, putera Gubernur Li Goan"

   Kaisar terkejut sekali dan heran.

   "Eh, bagaimana kau dapat masuk ke sini?"

   "Yang Mulia, ketika mendengar bahwa paduka di tawan, hamba memberanikan diri menghadap pemimpin orang Turki untuk membujuknya agar mereka membebaskan paduka"

   "Hamba berhasil membujuknya dengan syarat bahwa kalau paduka di bebaskan, pertama akan memberi hadiah yang layak kepada mereka"

   "Tentu saja, itu hal mudah"

   "Dan kedua kalau paduka dibebaskan mereka mohon agar paduka tidak memusuhi dan menyerang mereka lagi"

   "Tentu, hal itupun pasti kulakukan. kalau dibebaskan, aku akan segera pulang ke selatan dan menarik mundur semua pasukan"

   "Kalau begitu, hari ini juga paduka akan bebas"

   "Bagus sekali, jasamu akan besar sekali, Li Si Bin"

   Pemimpin orang Turki lalu menghadap Kaisar dengan sikap hormat dan menyerahkan tiga orang gadis Turki yang cantik-cantik sebagai persembahan. Tentu saja mereka ini di terima dengan girang oleh Kaisar Yang Ti yang mata keranjang.

   Pembebasan itu di atur dengan mudah. Sepasukan pengawal ditugaskan mengantar rombongan Kaisar bersama Li Si Bin untuk meninggalkan tempat itu. Mereka lalu menuju ke Tai-goan.

   Tentu saja munculnya kaisar ini di sambut oleh Gubernur Li Goan dengan gembira sekali. akan tetapi pasukan kerajaan sudah meninggalkan Shan-si, di suruh kembali ke selatan oleh Lui-ciangkun. Sedangkan Lui-ciangkun sendiri sudah mendahului untuk memberi kabar kepada kota raja ditemani dua orang perajurit yang bukan lain adalah Pak-Tek-Ong dan See-Thian-Mo. Padahal, dia mendahului ke selatan ini adalah untuk melaksanakan rencana mereka yang busuk, yaitu mencoba untuk merampas tahta kerajaan.

   Saking girangnya dibebaskan oleh Bangsa Turki, Kaisar Yang Ti tidak tergesa-gesa pulang ke kota raja, melainkan tinggal beberapa lamanya di tai-goan dan tetap berseng-senang, terutama dengan tiga orang selir barunya dari Turki.

   ***

   Cian Han Sin melakukan perjalanan meninggalkan kota raja untuk melakukan pengejaran terhadap Lui-ciangkun. Akan tetapi dalam perjalanan itu dia mendengar tentang tertawannya Kaisar oleh musuh. Berita ini tidak terlalu diperdulikan karena dalam hatinya, Han Sin juga tidak begitu suka kepada Kaisar Yang Ti. banyak berita di dengarnya tentang kaisar itu, berita yang tidak baik saja. Bahkan dia dan ibunya diusir keluar dari rumah mendiang ayahnya yang sudah banyak jasanya dalam membantu Kaisar Yang Cien membangun Dinasti Sui.

   Mendengar di tariknya mundur pasukan Kerajaan dari utara, Han Sin menghentikan usahanya melakukan pengejaran ke utara karena dia tahu bahwa orang yang dia cari tentu bersama pasukan itu kembali pula ke kota raja. Lebih baik dia menanti di kota raja dan kelak menyelidiki kalau Lui-ciangkun sudah kembali ke kota raja. Sementara itu, lebih baik dia mencari Kim Lan untuk dipertemukan dengan ibu kandungnya. Akan tetapi kemana dia harus mencari?.

   Pada suatu hari dia memasuki kota Tai-bun yang terletak di tepi sungai Fen-ho. Kota itu cukup besar dan ramai karena mempunyai hubungan langsung dengan Tai-goan melalui sungai Fen-ho.

   Setiap hari hilir mudik perahu-perahu pedagang yang pergi dan datang. Karena hari telah mulai gelap, Han Sin mengambil keputusan untuk bermalam di kota Tai-bun. Dia memilih sebuah rumah penginapan yang juga sebuah rumah makan yang cukup besar dan bersih. Pelayan menyambutnya dan mempersilahkannya masuk dengan sikap ramah.

   "Kongsu hendak makan? Silahkan, masih banyak meja yang kosong di bagian dalam. Atau ingin makan di loteng?"

   "Nanti dulu. Aku hendak menyewa sebuah kamar malam ini, apakah masih ada yang kosong?"

   "Ada, kong-cu. Silahkan ikut saya"
Pelayan itu membawanya ke sebuah kamar yang tidak begitu besar namun cukup bersih. Setelah mandi dan bertukar pakaian, Han Sin lalu keluar dari kamarnya menuju ke rumah makan yang berada di bagian depan rumah penginapan itu. Ternyata rumah makan itu kini sudah penuh tamu dan dia mendapatkan meja yang berada di sudut. Sama sekali dia tidak tahu bahwa tiga pasang mata mengamatinya dari atas loteng. Tiga orang itu duduk menghadapi meja dan sedang makan ketika Han Sin muncul.

   Mereka itu bukan lain adalah Lui Couw atau Lui-ciangkun, murid keponakannya, Bong Sek Toan dan seorang Tosu tua yang bukan lain adalah Ngo-heng Thian-cu.

   "Itu dia, Cian Han Sin" bisik Bong Sek Toan ketika melihat Han Sin.

   "Wah, pinto pernah bertemu dengan dia dan bertanding. Dia lihai bukan main, memiliki ilmu pukulan sakti yang amat kuat" kata Ngo-heng Thian-cu.

   Lui Couw memandang tajam "Tidak salah lagi, tentu dia putera mendiang Cian Kauw Cu dan agaknya dia memiliki Bu-tek Cin-keng. Dia dapat merupakan orang yang amat berbahaya bagi kita. Mari kita pergi, jangan sampai dia melihat kita"

   Mereka bertiga meninggalkan loteng dan pergi dari rumah makan itu tanpa diketahui Han Sin. Dalam perjalanan Ngo heng Thian-cu mencela "Lui-ciangkun, kenapa kita melarikan diri? Pinto tidak takut kepadanya, apalagi kalau kita maju bertiga, mustahil dia dapat menandingi kita"

   "Hemm, kita harus berhati-hati. Aku hendak mengerahkan pasukan untuk mencegatnya besok. Pula, kita masih menanti munculnya puteraku dan Ma Goat. Bukankah janjinya hari ini mereka akan datang ke kota ini?"

   Mereka bertiga menuju ke sebuah rumah besar dan setelah tiba di situ, ternyata Ma Goat telah berada di situ.

   Begitu bertemu dengan Lui Couw, Ma Goat menghampiri lalu berkata dengan muka pucat "Lui-ciangkun, celaka sekali. Telah terjadi malapetaka hebat atas diri puteramu"

   Lui Couw terkejut bukan main dan memegang pundak gadis itu dengan kedua tangannya kuat-kuat. kalau Ma Goat bukan seorang gadis lihai, tentu kedua pundaknya sudah terluka atau setidaknya akan hancur tulang pundaknya. Dia mengguncang dan berseru "Apa? Apa yang terjadi dengan puteraku Sun Ek? Dimana dia?"

   "Dia ". Dia telah tewas terbunuh """ kata Ma Goat.

   Panglima itu melepaskan pegangannya lalu melangkah mundur seperti terhuyung, matanya terbelalak" Apa yang terjadi? Siapa pembunuh anakku? Katakan, siapa?"

   "Yang membunuhnya adalah Cian Han Sin dan Cu Sian. Mula-mula kami berdua telah berhasil menawan Cu Sian. Akan tetapi kemudian muncul Han Sin dan seorang gadis berpakaian putih yang tidak saja menolong Cu Sian, akan tetapi juga membunuh Lui-kongcu

   Bahkan gadis bernama Cu Sian itu menggunakan kipas milik Lui-kongcu untuk menghancurkan tubuh Lui-kongcu"

   "Aahhhh "" Lui Couw terhuyung dan kalau dia tidak cepat menjatuhkan diri di atas kursi, tentu dia sudah jatuh tersungkur. Mukanya pucat sekali dan wajahnya diliputi kedukaan yang mendalam. Kemudian dia melompat bangun.

   "Jahanam Cian Han Sin. Aku akan membunuhmu, aku akan menghancur leburkan tubuhmu. kita tidak boleh gagal. Aku akan mengerahkan pasukan"

   Dengan hati terasa sakit sekali, malam itu juga Lui Couw menghubungi pembesar setempat dan berhasil mengumpulkan pasukan sebanyak limapuluh orang penjaga keamanan kota. Dia tidak segera melakukan penagkapan atau penyerbuan malam itu juga karena dia tidak ingin gagal. Kalau malam itu di sergap, mungkin Han Sin yang berkepandaian tinggi itu akan mampu meloloskan diri. Dia lalu menaruh penjaga di sekeliling rumah penginapan untuk melakukan pengintaian. Demikian rapat penjagaan itu sehingga tidak mungkin pemuda itu meninggalkan rumah penginapan tanpa diketahui.

   Han Sin sama sekali tidak menyangka buruk. Malam itu dia tidur nyenyak, bahkan bermimpi bertemu dengan Kim Lan, mempertemukan gadis itu dengan ibu kandungnya dan saking girang dan berterima kasihnya, Kim Lan dalam mimpi itu merangkul dan menghadiahinya sebuah ciuman. Tentu saja semua ini timbul dari keinginan dan harapannya sendiri.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi Han Sin sudah mandi dan dengan tubuh terasa segar dan pikiran juga penuh dengan harapan yang indah, dia melanjutkan perjalanannya, tanpa tujuan tertentu karena dia ingin mencari jejak Kim Lan. Dia berkeliling ke dalam kota itu untuk melihat kalau-kalau gadis itu berada di dalam kota. Setelah tidak berhasil, dia melanjutkan perjalanan keluar dari pintu gerbang sebelah timur karena dia bermaksud untuk pergi ke kota An-yang. Di depan nampak deretan pegunungan Tai-hang-san dan baru beberapa li meninggalkan kota Tai-bun, dia sudah melalui jalan mendaki yang sunyi. Pagi itu amat cerah dan di pohon-pohon banyak burung berkicau. Biarpun musim semi sudah lewat namun masih banyak bunga menghias alam diantara daun-daun hijau.

   Han Sin sama sekali tidak mengira bahwa sejak dia meninggalkan rumah penginapan, banyak orang telah membayanginya. Ketika dia tiba di tempat yang sunyi, tiba-tiba dari empat penjuru bermunculan banyak orang. Tadinya dia sama sekali tidak menduga bahwa kemunculan mereka itu ada hubungannya dengan dirinya. Tahu-tahu mereka itu telah mengepungnya. Lebih dari limahpuluh orang dan mereka berpakaian seragam prajurit penjaga keamanan kota.

   "Heiii, ada apakah ini?" teriaknya heran melihat puluhan orang itu mengepungnya dengan golok siap di tangan dan dengan sikap mengancam. kalau mereka itu sebangsa perampok tentu dia tidakakan merasa heran. Akan tetapi mereka adalah pasukan keamanan.

   Kemudian muncul empat orang dan melihat tiga diantara mereka, mengertilah Han Sin bahwa dia berhadapan dengan musuh yang amat berbahaya. Dia tentu saja mengenal Bong Sek Toan, Ngo-heng Thian-cu dan Ma Goat. Dan yang seorang lagi tidak dikenalnya, seorang berpakaian panglima yang nampak bengis sekali ketika memandang kepadanya.

   Tentu saja Han Sin maklum bahwa dia terancam karena tiga orang itu pernah bermusuhan dengan dia. Akan tetapi anehnya, bukan tiga orang itu yang kelihatan marah sekali, melainkan si panglima yang kelihatan gagah perkasa itu. Kalau tiga orang itu hanya memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian, kecuali Ma Goat yang masih memandang kepadanya dengan sinar mata penuh gairah di samping kemarahan si panglima itu mengacungkan telunjuknya menuding ke arah muka Han Sin dan membentaknya.

   "Kamu yang bernama Cian Han Sin?"

   Karena memang merasa tidak mengenal panglima itu, Han Sin menjawab dengan heran "Rasanya aku belum pernah mengenalmu, ciang-kun. mengapa tiba-tiba saja kau mengepung dan marah-marah kepadaku?"

   Ma Goat tertawa "Heh he, Cian Han Sin. Kau telah membunuh kong-cu Lui Sun Ek dan Lui-ciangkun ini adalah ayahnya. Tentu saja dia kini menghendaki kematianmu. Bersiaplah kau untuk mati, Han Sin"

   "Aku akan mencincang tubuhmu sampai hancur" bentak Lui Couw penuh geram.

   Diam-diam Han Sin terkejut sekali dan juga girang. Di cari kemana-mana tidak tahunya kini berdiri di depannya. Akan tetapi dia menahan diri dan mencoba untuk membela diri "Bukan aku yang membunuh Lui Sun Ek temanmu itu, akan tetapi Cu Sian"

   "Kalau bukan kau yang datang menolong, bagaimana mungkin Cu Sian dapat membunuhnya? Kau yang memberi kesempatan Cu Sian untuk membunuhnya" kata Ma Goat.

   Akan tetapi Han Sin tidak peduli lagi kepada gadis itu. Dia memandang Lui Couw penuh perhatian dan diam-diam merasa heran bagaimana ibunya dapat mempunyai seorang sute seperti panglima ini?

   "Jadi kaukah yang bernama Panglima Lui Couw itu? Sudah lama aku memang mencarimu. Kaulah yang dahulu membunuh ayahku dengan curang dan merampas Hek-Liong-Kiam, kemudian kau pula yang membunuh ibuku, sucimu sendiri"

   Mendengar ucapan yang tegas itu, Lui Couw terkejut dan wajahnya agak berubah pucat. Akan tetapi karena rahasia sudah dibuka, dan pemuda ini sudah berada di ambang maut, diapun tertawa bergelak untuk menutupi keguncangan hatinya.

   "Ha-ha-ha-ha-ha. Dan sekarang aku akan mengirim kau menyusul ayah dan ibumu, keparat" Setelah berkata demikian, panglima itu menggerakkan tangannya, mencabut pedang, bukan pedang panglima yang tergantung di pinggang, melainkan pedang yang tersembunyi si balik bajunya.

   "Singggg "" Nampak sinar hitam berkilauan menyilaukan mata. Itulah Hek-Liong-Kiam dan Han Sin mengetahui ini. Timbul perasaan haru di hatinya. Inilah pedang peninggalan ayahnya. Akan tetapi dia bersikap tenang dan tertawa.

   "Ha-ha, seorang panglima besar memegang pedang curian menghadapi seorang muda dan masih menggunakan pengeroyokan puluhan orang lagi. Kau sungguh seorang yang gagah, Lui Couw"

   "Lui-ciangkun, biarkan pinto menghajar bocah lancang mulut ini" tiba-tiba Ngo-heng Thian-cu berseru dan tosu ini sudah mengebutkan hud-tim (kebutan) di tangan kiri dan menggerakkan tongkat putih di tangan kanan.

   Han Sin menoleh kepadanya dan tertawa "Bagus. Kau tentulah Ngo-heng Thian-cu yang telah membunuh guruku Ho Beng Hwesio. Akupun akan membalaskan kematian Ho Beng Hwesio guruku"

   "Ho Beng Hwesio perutmu. Dia adalah Hek-Liong-Ong Poa Yok Su, seorang datuk sesat yang amat jahat dan kau sebagai muridnya tentu jahat pula. Terimalah ini"

   Tongkat putih itu berkelebat menjadi sinar putih ketika dia menyerang kearah leher Han Sin, di susul sambaran kebutan yang menjadi kaku dan menotok kearah pusar.
Serangan itu hebat sekali, akan tetapi dengan lincahnya Han Sin mengelak sambil melompat ke belakang. Ketika di belakangnya empat orang prajurit menggerakkan golok, Han Sin memutar tubuh, kedua tangannya bergerak dan empat orang prajurit itu roboh mengaduh-aduh. Tongkat dan kebutan sudah menyambar lagi dan Han Sin menangkis tongkat, bahkan berusaha menangkap ujung kebutan, lalu balas menyerang dengan tangan kosong. Tamparan tangannya mengandung kekuatan yang amat hebat dan kedua lengannya bergerak bagaikan gelombang samudera. Dia memainkan ilmu silat Lo-hai-kun yang dia pelajari dari ibunya. Tentu saja dalam memainkan ilmi ini. Han Sin sekarang jauh lebih lihai dari mendiang ibunya karena dia memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat. Sampai tigapuluh jurus bertanding, belum juga Ngo-heng Thian-cu yang memegang dua macam senjata itu dapat mendesak Han Sin. Dia merasa penasaran sekali, mengeluarkan bentakan nyaring dan dua senjata itu bergerak semakin cepat.

   Akan tetapi, Han Sin juga sudah tidak sabar lagi. Dia mengerahkan Bu-tek Cin-keng dan tiba-tiba dia merendahkan tubuh sambil mendorongkan kedua tangan ke depan sambil membentak dengan suara melengking.

   "Hyyaatttttt """"

   Hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar dan tubuh Ngo-heng Thian-cu terlempar ke belakang. namun tosu ini memang memiliki kekebalan. Biarpun dia terbanting keras, dia tidak mengalami luka dalam terlalu parah, hanya kepalanya berpusing rasanya dan sampai beberapa detik dia tidak mampu bangkit kembali. Akan tetapi sepasang senjata itu masih tergenggam di tangannya. Orang yang dapat menahan pukulan tidak langsung dari Bu-tek Cin-keng jarang ada dan tosu ini adalah seorang diantaranya, tanda bahwa dia memang seorang yang amat tangguh. Tidak terlalu mengherankan kalau Hek-Liong-Ong sampai tewas di tangannya.

   Melihat kawannya roboh, Lui Couw marah sekali dan sambil membentak nyaring dia sudah menyerang dengan Hek-Liong-Kiam. Pedang itu merupakan pedang pusaka yang ampuh. Baru angina pukulannya saja terasa membawa ketajaman yang dingin sekali. Han Sin maklum akan kehebatan pedang dan pemegangnya, maka diapun mengandalkan keringanan tubuhnya, berkelebatan mengelak ke sana sini. Untung baginya bahwa ilmu pedang andalan lawan itu adalah Lo-hai-kun (Ilmu Pedang Pengacau Lautan), ilmu yang pernah dipelajari dari ibunya maka dia sudah mengenal gerakan dasarnya sehingga lebih mudah baginya untuk menghindarkan diri.

   Diapun menggunakan Bu-tek Cin-keng untuk melawannya dan sambaran tangannya mengeluarkan hawa yang mampu menangkis dan menolak pedang.

   Dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ngo-heng Thian-cu, ilmu kepandaian Lui Couw masih kalah setingkat. Akan tetapi karena ia memegang Hek-Liong-Kiam, maka dia lebih berbahaya dan Han Sin tahu benar akan hal ini.

   Untung bahwa ketika berada di kuil Siauw-lim-pai dan di gembleng oleh Hek-Liong-Ong, dia dengan tekun berlatih gin-kang sehingga kini dia dapat bergerak ringan dengan cepatnya seperti seekor burung wallet saja. Tubuhnya berkelebatan diantara gulungan sinar pedang berwarna hitam itu.

   Akan tetapi begitu melihat pemimpin mereka bertanding, para prajurit itu tidak mau tinggal diam lagi. Lebih dari lima puluh orang mengepung dan mengeroyoknya. Bukan itu saja, juga Ngo-heng Thian-cu yang sudah bangkit kembali kini maju. Ma Goat pun tidak tinggal diam. Gadis ini merasa sakit hati kepada Han Sin yang bukan saja menolak cintanya, bahkan telah merobohkannya dan membantu Cu Sian sehingga Lui Sun Ek tewas di tangan Cu Sian. Dengan suling mautnya Ma Goat ikut pula menyerang dan serangan gadis ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dalam hal kelihaian, gadis ini tidak kalah dibandingkan dengan Lui Couw sekalipun. Suling mautnya di tangan kanan diselingi pukulan Tian Ciang (Tangan Halilintar) di tangan kiri mengirim serangan-serangan maut.

   Dikeroyok tiga orang sakti itu di tambah lagi kurang lebih enampuluh orang prajurit yang mengepungnya, Han Sin menjadi kewalahan juga. Dia tidak dapat melarikan diri karena untuk lolos dari kepungan itu saja amatlah sukarnya. Pedang Naga Hitam mengurungnya dari segala jurusan, di tambah kebutan dan tongkat putih di tangan Ngo-heng Thian-cu dan suling maut di tangan Ma Goat, sudah cukup merepotkannya. Biarpun dia dapat melindungi dirinya dengan hawa sakti dari Bu-tek Cin-keng, namun dia tidak diberi kesempatan untuk membalas serangan lawan yang bagaikan hujan lebat datangnya.

   Keadaan Han Sin gawat, kalau di teruskan seperti itu, akhirnya dia dapat saja roboh terkena satu diantara banyak senjata ampuh itu. Akan tetapi dia bertekad untuk melawan sampai titik terakhir dan beberapa kali dengan dorongan kedua tangannya yang mengandung Bu-tek Cin-keng sepenuhnya dia dapat memaksa tiga orang lawannya mundur dan sebagian prajurit tersungkur. Akan tetapi tetap saja dia tidak dapat lolos dari lingkaran yang berlapis"lapis itu.

   Tiba-tiba terjadi perubahan. Han Sin merasakan betapa pengeroyokan para prajurit itu mengendur, bahkan kacau sehingga dia hanya menghadapi pengeroyokan Lui Couw, Ma Goat dan Ngo-heng Thian-cu bertiga saja. Apakah yang terjadi? Han Sin segera tahu bahwa ada orang-orang yang datang membantunya, menyerang para prajurit itu dari luar kepungan.

   "Ha-ha-ha, tiga orang di bantu puluhan prajurit mengeroyok seorang pemuda. Sungguh tidak tahu malu" terdengar suara seorang kakek yang bertubuh sedang dan dengan sebatang tongkat di tangan dia merobohkan banyak prajurit dengan amat mudahnya.

   "Orang-orang yang tak tahu malu ini patut di hajar" teriak seorang wanita setengah tua dan iapun menggerakkan sebatang pecut yang meledak-ledak dan merobohkan banyak prajurit.

   "Heeiii, dia itu Han Sin" teriak seorang gadis yang memegang sebatang tongkat pula.

   Han Sin melayani tiga orang pengeroyoknya lalu melompat jauh ke belakang. Hal ini dapat dia lakukan karena semua prajurit kini sibuk menghadapi tiga orang pendatang itu. Dia melihat dan terheran-heran. Bukankah kakek itu Kui Mo yang gila itu bersama isterinya dan anaknya Kui Ji? Akan tetapi mereka kini tidak lagi berpakaian kembang-kembang yang aneh. Kalau dulu Kui Mo berpakaian kembang-kembang tambal-tambalan, rambutnya riap-riapan suka tertawa dan menangis, kini dia berpakaian rapi, bahkan setengah mewah dan rambutnya pun di ikat ke atas dengan rapi, di ikat dengan sutera biru. Dan isterinya, yang usianya lima puluh tahun kurang itu, rambutnya juga tersisir dan tergelung rapi, tidak riap-riapan seperti dulu. Pakaiannya juga rapi, tidak berkembang-kembang. Kemudian gadis itu, Kui Ji nampak cantik sekali dengan pakaiannya yang serba hijau dan rambutnya di gelung ke atas seperti gelung rambut seorang puteri bangsawan.

   Senjatanya tongkat berwarna hitam dan gadis itu dengan gerakan yang indah menotok sana sini merobohkan para prajurit lalu memandang kepada Han Sin dengan sinar mata bercahaya dan mulut tersenyum manis.

   Keluarga gila. Han Sin merasa girang sekali. Keluarga itu jelas tidak gila lagi, dapat dilihat dari dandanan mereka dan juga sikap mereka. Mereka merobohkan para prajurit tanpa membunuh dan sebentar saja para prajurit itu kocar kacir. Kui Mo kini menerjang kearah Ngo-heng Thian-cu sambil berseru "Bukankah ini Ngo-heng Thian-cu yang tersohor itu? Ha-ha-ha, kiranya yang bernama Ngo-heng Thian-cu hanya seorang manusia curang dan licik mengeroyok seorang muda mengandalkan banyak teman"

   Tongkat kakek itu menyambar ke depan.

   "Trakkk" Ngo-heng Thian-cu menangkis dengan tongkat putihnya dan sejenak mereka berdiri saling pandang.

   "Hemm, pinto tidak mengenalmu. Siapakah kau dan mengapa kau mencampuri urusan kami?"

   "Mau tahu namaku? Ouwyang Mo namaku dan mengapa aku mencampuri urusan kalian? Karena melihat ketidak-adilan. Aku mengenal pemuda ini sebagai seorang yang gagah perkasa dan melihat dia di keroyok segerombolan srigala, bagaimana aku tidak akan mencampurinya?"

   "Bagus kalau begitu, aku akan membunuhmu lebih dulu, Ouwyang Mo" teriak Ngo-heng Thian-cu yang menjadi malu dan marah sekali. Dua orang itu segera bertanding dengan serunya karena ilmu kepandaian mereka memang seimbang.

   Kui Ji tidak mau kalah dengan ayahnya. Melihat betapa diantara para pengeroyok itu terdapat suling, iapun meloncat ke depan Ma Goat dan menudingkan tongkatnya.

   "Dan kau inipun gadis tak tahu malu, main keroyokan"

   Akan tetapi sebelum ia menyerang Ma Goat, ibunya yang tadi sudah melihat betapa gerakan Ma Goat lihai sekali dan ia khawatir kalau puterinya akan celaka, segera melompat maju dan berkata kepada puterinya" Kui Ji, kau hajar gerombolan anjing itu dan biar gadis tak tahu malu ini ibu yang menghajarnya" Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban puterinya, Nyonya Ouwyang Mo yang bernama Liu Si itu sudah menggerakkan cambuknya dan menerjang ke arah Ma Goat.

   "Tar-tar-tar "" Cambuk itu meledak-ledak dan melecut kearah kepala dan muka Ma Goat, Maklum bahwa ia menghadapi lawan berat, Ma Goat lalu memutar sulingnya dan terjadilah perkelahian seru antara kedua orang wanita itu. Kui Ji sendiri yang telah di dahului ibunya, tentu saja tidak mau mengeroyok dan iapun mengamuk diantara para prajurit yang sudah mulai kacau dan kocar kacir itu.

   Sementara itu, pertandingan antara Han Sin yang kini berhadapan satu lawan satu dengan Lui Couw terjadi amat hebatnya karena keduanya berusaha mati-matian untuk merobohkan lawan. Kini Han Sin yakin bahwa selain Lui Couw membunuh ayah dan ibunya dan mencuri Hek-Liong-Ong, juga orang jahat ini merencanakan terhadap Kaisar seperti yang diceritakan oleh Thian Ho Hwesio kepadanya. Buktinya kini Ma Goat berada bersamanya, berarti bahwa See-Thian-Mo dan Pak-Te-Ong tentu diperalat panglima ini karena Ma Goat adalah puteri Pak-Te-Ong. Orang ini jahat sekali harus dibinasakan agar tidak membahayakan manusia di dunia.

   Karena itulah menghadapi Hek-Liong-Ong yang ampuh itu, Han Sin mengerahkan seluruh tenaganya dan mainkan ilmu silat Bu-tek Cin-keng, ilmu peninggalan ayahnya. Beberapa kali tubuh Lui Couw terpental oleh pukulan jarak jauhnya dan tenaga Lui Couw makin lama semakin lemah. Ketika melihat lawannya terhuyung, Han Sin cepat mengirim tendangan kearah tangan kanan yang memegang pedang dan dia berhasil menendang tangan itu sehingga Hek-Liong-Kiam terpental jauh. Khawatir kalau pedang pusaka itu hilang, Han Sin tidak memperdulikan lawannya dan dia melompat dan berhasil menyambar pedang itu. Hek-Liong-Kiam milik ayahnya telah kembali ke tangannya. Bukan main girang dan leganya hati Han Sin, akan tetapi ketika dia mencari musuhnya, ternyata Lui Couw telah menghilang. Kiranya panglima itu telah kehilangan pedang dan melihat kawan-kawannya juga terdesak, menggunakan kesempatan selagi Han Sin mengejar pedang, dia dapat melarikan diri memasuki hutan lebat.

   Han Sin tidak tahu harus mengejar kemana. Dia melihat Kui Ji dikeroyok puluhan prajurit maka setelah menyimpan pedang Hek-Liong-Kiam, di selipkan di ikat pinggangnya, diapun membantu gadis itu mengamuk, menampar dan memandangi para prajurit yang akhirnya melarikan diri ketakutan.

   Ketika Han Sin menoleh, dia melihat Ng-heng Thian-cu sudah roboh terkapar dengan kepala pecah terpukul tongkat di tangan Ouwyang Mo, sedangkan Ma Goat juga tewas oleh lecutan cambuk di tangan Liu Si yang menotok pelipisnya. Han Sin menghela napas, diam-diam merasa kasihan kepada Ma Goat.

   Semua lawan telah pergi, meninggalkan mayat Ngo-heng Thian-cu dan Ma Goat. Han Sin berhadapan dengan tiga orang itu dan diapun cepat mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat dan berkata" Terima kasih atas pertolongan lo-cian-pwe bertiga. Kalau tidak ada samwi (kalian bertiga), tentu saya mengalami bahaya maut.

   "Ha-ha-ha, kau pandai sekali merendahkan diri, Han Sin. Kami melihat bahwa ilmu kepandaianmu memang hebat sekali"

   "Orang-orang jahat ini memang sudah sepantasnya di hokum, bukan hanya karena membantumu saja kami menentang mereka" kata Liu Si.

   "Telah lama sekali kami mencarimu kemana-mana, Han Sin. Kemana saja kau pergi?" Tanya Kui Ji dengan manis.

   Han Sin memandang kearah kedua mayat itu, terutama mayat Ma Goat. Kalau saja dia yang menghadapi Ma Goat, dia tentu tidak akan sampai hati membunuhnya.

   "Cian Han Sin, mengapa Ngo-heng Thian-cu memusuhi?"

   Pertanyaan Kui Mo yang ternyata kini bernama Ouwyang Mo itu membuat Han Sin tersadar dari lamunannya "Dia telah membunuh guru saya"

   "Siapa gurumu?"

   

   

   "Guru saya Hek-Liong-Ong Poa Yok Su"

   "Ah, datuk besar dari Pulau Naga itu?" Ouwyang Mo memandang heran dan kaget.

   "Dan mengapa gadis ini juga memusuhi mu, Han Sin?" Tanya Kui Ji.

   "Ia bernama Ma Goat, puteri Pak-Te-Ong. Sudahlah, kita bicara nanti saja. Harap Lo-cian-pwe maafkan saya, saya harus mengubur dulu dua jenazah ini" kata Cian Han Sin.

   "Han Sin, gadis ini memusuhimu, mengeroyokmu dan nyaris membunuhmu, kenapa kau hendak mengurus jenazahnya?"

   "Nona, ia pernah menyelamatkan nyawaku" jawab Han Sin yang segera mulai menggali lubang-lubang untuk mengubur dua jenazah itu.

   "Hemm, dan tosu itu pembunuh gurumu. Kenapa ia juga kau urus penguburannya?" Kui Ji mengejar dengan penasaran.

   "Nona, yang berbuat salah adalah orangnya ketika masih hidup. Kalau sudah mati, semua manusia sama saja dan kita harus menghormati orang yang sudah mati" jawab Han Sin tanpa berhenti menggali lubang.

   "Ha-ha, Kui Ji. Kau harus banyak belajar adab dari Cian Han Sin. Dia benar sekali" kata Ouwyang Mo yang segera turun tangan membantu pemuda itu menggali lubang.

   Setelah dua jenazah itu dikubur sepantasnya, barulah mereka melanjutkan percakapan.

   "Han Sin apa yang dikatakan Kui Ji tadi benar. Kami telah lama mencarimu dan kebetulan sekali sekarang kita dapat saling bertemu di tempat ini" kata Ouwang Mo.

   "Akan tetapi, saya tidak mempunyai urusan apa-apa lagi dengan lo-cian-pwe bertiga. Ada urusan apakah lo-cian-pwe mencari saya?"

   "Cian Han Sin, kami masih ingin menyambung hubungan antara kita yang dahulu putus. terus terang saja. Kami bertiga sepakat untuk menjodohkan puteri kami Kui Ji denganmu. Maafkan perbuatan kami dulu yang kami lakukan di luar kesadaran kami. Akan tetapi, kami bersungguh-sungguh untuk melanjutkan ikatan tali perjodohan itu"

   Han Sin menoleh dan memandang Kui Ji dan sama sekali tidak seperti dulu. Kini Kui Ji menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan seperti layaknya gadis biasa. Juga Liu Si memandang kepadanya dengan senyum penuh harapan.

   Han Sin bangkit dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Ouwyang Mo "Banyak terima kasih saya haturkan kepada Lo-cian-pwe yang telah memberi kehormatan besar itu bagi saya. Akan tetapi, saya mohon maaf sebesarnya karena terpaksa saya tidak dapat memenuhi keinginan hati samwi"

   "Eh, Han Sin mengapa kau menolak? Apakah kau tidak suka karena kami bertiga pernah menjadi tidak waras karena keracunan? Ataukah, apakah anakku Kui Ji kurang cantik bagimu?" Liu Si bertanya penasaran.

   "Maaf, bibi. Sama sekali tidak. Biarlah saya berterus terang saja. Saya telah mencinta gadis lain dan hanya dengan gadis itulah saya mau menikah.
Saya telah mencinta gadis itu jauh sebelum saya bertemu dengan nona Kui Ji"

   ***

   Terdengar Kui Ji menghela napas panjang "Ayah, ibu tidak baik memaksanya. Aku dapat memaklum keadaan hatinya"

   Han Sin merasa kagum sekali dan dia memberi hormat kepada Kui Ji "Nona, sungguh hatimu bijaksana dan mulia. Harap sudi memaafkan aku kalau aku mengecewakan dan terima kasih atas pengertianmu"

   Ayah dan ibu gadis itu saling pandang dan merekapun menghela napas panjang, nampak kecewa sekali. Han Sin sudah bersiap-siap, kalau-kalau keluarga itu akan memaksanya dengan kekerasan seperti dahulu lagi. Akan tetapi ternyata tidak, bahkan kakek itu berkata "Kalau begitu kamipun tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya kami minta agar kita dapat terus menjadi sahabat. Han Sin, aku tadi melihat panglima yang memegang pedang hitam itu siapakah dia?"

   Dia itu Panglima Lui Couw yang telah membunuh ayah dan ibuku"

   "Ah, sayang dia dapat lolos. Dan pedang hitam yang kau rampas itu, bukankah itu Hek-Liong-Kiam?"

   "Benar, pedang milik mendiang ayahku yang dia curi setelah dengan curang dia membunuh ayah dari belakang"

   "Ah, jadi Hek-Liong-Kiam itu milik ayahmu? dan kau she Cian? Ya, Tuhan, kalau begitu kau ini putera Panglima Cian Kauw Cu yang terkenal itu?"

   Han Sin terkejut "Bagaimana lo-cian-pwe bisa tahu?"

   "Jangan sebut aku lo-cian-pwe, cukup sebut paman saja. Siapa yang tidak mengenal nama besar Panglima Cian Kauw Cu yang telah berjasa besar mendirikan Kerajaan Sui? Ketahuilah, aku adalah putera dari Mendiang Ouwyang Koksu dari Kerajaan Sun yang juga telah ditundukkan oleh pasukan yang dipimpin ayahmu dan mendiang Kaisar Yang Chien"

   "Ah, kalau begitu saya telah bersikap kurang hormat kepada paman, harap maafkan"

   "Han Sin, aku suka sekali kepadamu karena kau sungguh seorang pemuda yang tahu sopan santun dan bersusila. Sayang kau tidak berjodoh dengan puteriku. Akan tetapi masih ada satu hal yang kami harapkan untuk mendapatkan keterangan darimu"

   "Apakah itu paman? Tentu akan saya bantu kalau saya mampu"

   "Begini Han Sin. Kami bertiga dapat sembuh karena pertolongan seorang gadis berpakaian putih yang menurut keterangan yang kami dapat dari Pek Mau To-kow ketua Hwa-li-pang di Hwa-san bernama Kim Lan. Nah, apakah kau mengetahui dimana adanya gadis itu? Kami ingin sekali bertemu dengannya dan menghaturkan terima kasih kami"

   Han Sin tersenyum. Tentu saja saya mengenalnya, paman. Akan tetapi namanya yang asli adalah Ang Swi Lan, alias Kim Lan alias Lan Lan. Ia adalah murid Thian Ho Hwesio yang berjuluk Siauw Bin Yok-sian, maka pandai dalam ilmu pengobatan. Memang ia yang telah menyembuhkan paman bertiga dan saya menjadi saksinya. Akan tetapi saya tidak tahu entah dimana adanya ia saat ini. Terus terang saja, saya sendiri juga sedang mencarinya.

   "Ah, penolong kami itu gadis yang kau cinta, Han Sin?" tiba-tiba Kui Ji berseru kaget akan tetapi juga girang.

   Han Sin terkejut sekali. Tak dapat dia menyangkal, maka dia bertanya "Adik Kui Ji bagaimana " kau bisa tahu "?"

   Kui Ji tersenyum. Lenyap sudah garis-garis kekecewaan yang tadi menghias wajah yang manis "Mudah saja, Han Sin-ko, ketika kau menyebutkan nama Ang Swi Lan, sepasang matamu bersinar-sinar dan pipimu menjadi kemerahan wajahmu berseri-seri"

   "Ha-ha-ha, alangkah tajamnya pandang matamu, Kui Ji" Ouwyang Mo tertawa. Han Sin jadi kau sekarang tidak dapat mengira-ngirakan dimana adanya nona Ang Swi Lan?"

   "Tidak, paman. Akan tetapi aku yakin akan dapat menemukannya"

   "Nah, kalau begitu, andaikata kau yang lebih dulu berjumpa dengannya tolong sampaikan perasaan terima kasih kami yang mendalam kepadanya"

   "Baik, paman, akan saya sampaikan"

   Karena ingin segera melanjutkan perjalanannya, terutama mencari Kim Lan dan melakukan pengejaran terhadap musuh besarnya, yaitu Lui Couw yang lolos dari tangannya, Han Sin lalu berpamit kepada keluarga yang telah menyelamatkannya itu. Perpisahan berjalan dengan hati ringan karena ternyata Kui Ji dapat mengatasi kekecewaannya dan kedua orang tuanya juga menghadapi penolakan itu dengan sikap yang bijaksana.

   "Semoga kau kelak berbahagia dengan Ang Swi Lan, Sin-ko" kata Kui Ji yang kini menyebut Han Sin dengan sebutan koko dan sikapnya juga tidak malu-malu seperti terhadap kakaknya sendiri.

   Han Sin merasa terharu sekali. Gadis ini boleh jadi pernah gila karena keracunan, akan tetapi sesungguhnya memiliki watak yang bijaksana, seperti ayahnya.

   "Terima kasih, Ji-moi. Dan semoga kau segera dapat bertemu dengan jodohmu yang cocok"

   Mereka berpisah dan mengambil jalan masing-masing.

   ***

   Han Sin melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja. Pedang Hek-Liong-Kiam telah berhasil dia rampas kembali dan menurut cerita Panglima Coa Hong Bu, Kaisar Yang Ti menghendaki pedang Hek-Liong-Kiam dan Kitab Bu-tek Cin-keng. Dia sudah berjanji apabila berhasil merampas Hek-Liong-Kiam, akan dikembalikan kepada Kaisar dan kalau Kaisar ingin belajar Bu-tek Cin-keng, dia akan mengajarkannya karena kitabnya sudah dia baker. Kini dia harus menghaturkan pedang itu kepada Kaisar susuai dengan janjinya kepada Panglima Coa Hong Bu yang tentu melapor kepada Kaisar tentang hal itu.

   Setelah tiba di kota raja, hari sudah sore dan Han Sin segera mencari kamar di rumah penginapan. Dia tidak tahu bahwa sejak dia memasuki pintu gapura kerajaan, dirinya sudah di incar dan dibayangi beberapa orang mata-mata yang menjadi anak buah Lui Couw atau Lui-ciangkun, segala gerak-geriknya diamati orang.

   Begitu melihat pemuda itu memasuki kota raja, Lui Couw segera menghadap Kaisar dan memberi laporan "Yang Mulia, pemuda putera mendiang Panglima Cian Kauw Cu yang memberontak itu kini nampak berada di kota raja"

   Kaisar mengerutkan alisnya "Putera mendiang Panglima Cian Kauw Cu memberontak? Apa maksudmu, Lui-ciangkun?"

   "Pemuda itu menyembunyikan pedang Hek-Liong-Kiam dan ilmu Bu-tek Cin-keng yang paduka kehendaki. Bukan itu saja, ketika hamba mencoba untuk memintanya, dia melawan bahkan telah membunuh putera hamba dan banyak prajurit tewas di tangannya. Sekarang dia datang ke sini tentu bukan dengan niat baik terhadap paduka"

   "Akan tetapi mengapa dia melakukan hal itu?" Bukankah dahulu ayahnya, Panglima Cian Kauw Cu merupakan seorang pahlawan yang setia?"

   "Apakah paduka lupa? Paduka telah memerintahkan agar rumah mereka di kosongkan, dan hal itu rupanya menimbulkan dendam di hati pemuda itu. Dia dapat berbahaya sekali karena ilmu kepandaiannya tinggi, Yang Mulia"

   "Kurang ajar. Berani dia memberontak? Tangkap dia"

   "Hamba akan lakukan, akan tetapi mengingat dia seorang yang berkepandaian tinggi, hamba mohon diberi surat perintah paduka agar dia tidak melawan"

   Kaisar Yang Ti segera membuat surat perintah itu dan Lui Couw lalu mengumpulkan dua ratus orang prajurit dan pagi"pagi sekali dia memimpin para prajuritnya mengepung rumah penginapan dimana Han Sin berada.

   Tentu saja pemilik rumah penginapan menjadi ketakutan melihat demikian banyaknya prajurit mengepung rumah penginapannya. Dia segera keluar menghadap Lui-ciangkun menanyakan apa kesalahannya.

   "Suruh tamu yang bernama Cian Han Sin keluar, atau ku obrak abrik rumah penginapan ini" kata Lui Couw.

   Pemilik rumah penginapan itu segera berlari masuk, mencari Han Sin dan setelah bertemu, dia segera berkata dengan muka pucat "Sicu, kami mohon sicu segera keluar. Sicu di cari oleh panglima Lui yang membawa ratusan prajurit yang sudah mengepung rumah penginapan ini. Kalau sicu tidak keluar, rumah penginapan ini akan di obrak abrik. Kasihanilah kami, sicu. Kami tidak ada sangkut pautnya dengan urusan sicu" kata pemilik rumah penginapan itu dengan wajah hampir menangis.

   Han Sin bersikap tenang saja. Dia tahu bahwa tentu Lui-ciangkun telah mengetahui akan kedatangannya dan telah bersiap-siap. Maka diapun berkata "Keluarlah dan katakan bahwa aku akan menemuinya"

   Han Sin lalu berkemas. Menggendong buntalan pakaiannya dan pedang Hek-Liong-Kiam dia selipkan dipinggang, dibalik bajunya. Kemudian dia melangkah keluar dengan sikap tenang. Kalau Lui Couw hendak menggunakan kekerasan menangkapnya, dia akan melawan. Akan tetapi kalau kaisar yang menyuruh tangkap, kebetulan baginya karena dia hendak menghadap kaisar dan selain akan menyerahkan pedangnya, juga dia akan membeberkan semua kebusukan Lui Couw.

   Setelah tiba di halaman rumah penginapan, benar saja di situ sudah berkumpul banyak sekali prajurit dan Lui Ciangkun dengan pakaian perangnya nampak gagah memimpin mereka. Disebelah kiri telah siap barisan anak panah yang sudah memasang anak panah pada busurnya. Siap membidik dan menyerang.

   Han Sin tersenyum kepada Lui-ciangkun.

   "Lui Couw, apa maksudmu dengan semua ini? Kalau kau hendak melawanku, kenapa harus mengerahkan banyak prajurit?" Tegur Han Sin sambil tersenyum mengejek.

   "Pemberontak Cian Han Sin. Berlututlah dan atas nama Sribaginda Kaisar kau di tangkap" Lui Couw tiba-tiba mengeluarkan surat perintah dari Kaisar itu dan melihat ini Han Sin terkejut. Kiranya benar kaisar yang menyuruh menangkapnya.

   "Apakah aku akan di hadapkan kepada Sri baginda kaisar?"

   "Tentu saja. Yang Mulia Kaisar sendiri akan menentukan hukuman apa yang harus dijatuhkan padamu"

   "Baiklah, kalau aku akan dihadapkan kepada sribaginda Kaisar, aku tidak akan melawan dan aku akan menyerah" kata Han Sin dengan tenang dan mendengar ini, Lui Couw merasa girang bukan main. Tidak disangkanya pemuda itu akan sedemikian mudahnya ditangkap.

   "Bagus" serunya dan dia lalu memerintahkan kepada para pembantunya.

   "Rampas buntalannya dan ringkus, belenggu kaki tangannya"

   Empat orang pembantunya melangkah maju menghampiri Han Sin. Akan tetapi ketika mereka hendak melaksanakan perintah itu, tiba-tiba mereka berempat terjengkang ke belakang.

   "Hemmm, Lui-ciangkun. Aku menyerah dan tidak akan melawan untuk di bawa menghadap Sri baginda kaisar akan tetapi bukan sebagai tawanan terbelenggu. Aku tidak akan melawan, maka tidak ada gunanya membelenggu aku"

   Lui Couw marah sekali akan tetapi dia memandang bimbang. Dia tahu benar akan kelihaian pemuda ini dan kalau dia menggunakan kekerasan, bisa jadi dia akan gagal dan pemuda ini akan dapat meloloskan diri. Dua orang pembantu yang paling diandalkan, yaitu Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo tidak berada di situ, yang berada dengannya hanyalah Bong Sek Toan, murid keponakannya yang biarpun cukup lihai, namun belum cukup menyakinkan. Dia sedang menyuruh pembantunya mengundang kedua orang datuk itu, akan tetapi belum kelihatan mereka muncul di situ. Dia menahan sabar dan memaksa diri tersenyum.

   "Hemm, maafkan aku. Ini hanya kebiasaan saja dan kalau benar kau tidak akan melakukan perlawanan, baiklah, kami tidak akan membelenggumu"

   Lalu kepada anak buahnya dia berseru "Biarkan dia berjalan sendiri. Kepung saja dia"

   Demikianlah, dengan di tonton banyak sekali orang, Han Sin melangkah dengan tenang di tengah-tengah kerumunan para prajurit yang berbaris rapi dan yang selalu siap dengan senjata ditangan kalau-kalau pemuda itu memberontak.

   Tentu saja peristiwa itu menjadi buah bibir penduduk kota raja dan merupakan berita hangat hari itu sehingga sebentar saja tersebar luas diantara pelosok kota. Seorang pemuda bernama Cian Han Sin di tangkap Panglima Lui. Bahkan ada yang mengenal nama itu sebagai putera mendiang Panglima Cian Kauw Cu sehingga berita itu menjadi lebih menarik lagi.

   Sambil melangkah dengan tegap, Han Sin selalu waspada. Maka dia dapat melihatnya ketika muncul dua orang kakek diluar kerumunan prajurit dan bersatu dengan Lui-ciangkun. Dia mengenal pula Bong Sek Toan yang juga berada di dekat Lui-ciangkun. Dua orang kakek itu bukan lain adalah Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo. Dan diapun tahu bahwa dia tidak dibawa menuju ke istana kaisar, melainkan dibelokkan kearah lain. Tahulah dia bahwa dia telah tertipu dan sedang di bawa ke tempat berbahaya dimana sudah menunggu perangkap yang akan mencelakakannya.

   Dia bersiap-siap dan tahu bahwa dia tidak jauh dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Tiba-tiba saja Han Sin menggerakkan tubuhnya dan belasan orang di sebelah kanannya roboh saling tabrak. Han Sin melompat dengan cepat sekali, bagaikan seekor burung terbang melalui kepala para prajurit dan sudah tiba di luar kepungan.

   Segera dia melarikan diri dan ketika beberapa belas orang prajurit paling luar menghadangnya, dia mencabut Hek-Liong-Kiam dan sekali pedang itu berkelebat, belasan buah golok dan pedang beterbangan dan Han Sin terus berlari.

   Melihat ini, Lui Couw terkejut dan marah sekali "Kejar" bentaknya dan dia sendiri lalu mengejar, diikuti Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo. Juga Bong Sek Toan ikut pula mengejar, demikian pula para prajurit yang banyak jumlahnya itu. Para penduduk dan pejalan kaki menjadi panik dan geger mereka berlarian karena takut terbawa-bawa.

   Sambil berlari, Han Sin merobohkan setiap orang yang menghadang diperjalanan. Juga dia merobohkan para penjaga pintu gerbang sehingga dia kini dapat melarikan diri keluar dari pintu gerbang. Dia telah dapat lolos dari kota raja.

   Akan tetapi, baru kurang lebih lima mil dia melarikan diri dari kota raja, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari belakang. Ketika dia menoleh, dia melihat belasan penunggang kuda mengejarnya. Tentu Panglima Couw, kedua orang datuk itu, Bong Sek Toan dan beberap orang perwira yang tangguh. Mereka itu menunggang kuda yang baik dan kuat. Sebetulnya dia dapat terus melarikan diri dengan kecepatan yang dapat mengimbangi larinya kuda, akan tetapi kalau dia terus berlari, akhirnya dia akan kehabisan napas dan kalau dia tersusul dalam keadaan kehabisan napas dan tenaga, dia dapat celaka. Karena yang mengejar hanya belasan orang lebih baik dia melawan sekarang.

   Setelah mengambil keputusan demikian, Han Sin berhenti, membalikan tubuh menunggu dan Pedang Hek-Liong-Kiam telah berada di tangan kanannya. Dia berdiri tegak dengan sikap tenang sekali, akan tetapi seluruh urat syaraf di dalam tubuhnya dalam keadaan siap siaga.

   Benar saja dugaannya. Setelah para pengejar itu tiba di depannya, ternyata mereka adalah Lui Couw, Pak-Te-Ong, See-Thian-Mo, Bong Sek Toan dan sepuluh orang perwira lain yang agaknya memiliki kepandaian pula. Mereka sudah berlompatan dari atas kuda mereka dan dengan senjata di tangan mereka mengepung Han Sin.

   "Ha-ha-ha, Cian Han Sin, Kau hendak lari kemana? Kau tidak akan terlepas dari tanganku" kata Lui Couw.

   "Lui-ciangkun, serahkan saja bocah ini kepadaku. Aku harus mencabut nyawanya untuk membalas kematian anakku" kata Pak-Te-Ong. Setelah berkata demikian, Pak-Te-Ong yang marah sekali itu sudah melancarkan pukulan Tian-Ciang ke arah Han Sin. Tian Ciang (Tangan Halilintar) dari Pak-Te-Ong ini lihai bukan main. Lawan yang di serang itu, terkena pukulan ini dari jarak jauh saja dapat roboh dan tewas. Serangkum angina pukulan yang amat panas menyambar dahsyat kearah tubuh Han Sin.

   Akan tetapi Han Sin yang pernah merasakan pukulan dahsyat ini, sudah siap siaga. Dia mengelak dengan melompat ke kiri, akan tetapi dari kiri menyambar angin pukulan yang teramat dingin. Tanpa menoleh tahulah Han Sin bahwa See-Thian-Mo yang memukulnya dengan Swat-Ciang (Tangan salju).

   Diapun pernah menderita karena pukulan ini, maka diapun mengelak lagi, kini kedua orang datuk itu memukul dengan berbarengan. Menghadapi pukulan ini, Han Sin mengerahkan tenaga Bu-tek Cin-keng dan dia menyambut dengan kedua tangannya setelah menggigit pedang Hek-Liong-Kiam.

   "Desss "" Akibatnya, kedua orang kakek itu terjengkang. Hebat bukan main Bu-tek Cin-keng itu. Han Sin sendiri terhuyung, lalu dia mengambil pedang yang di gigitnya, siap menghadapi pengeroyokan.

   Dua orang itu terjengkang dan dada mereka terguncang hebat, akan tetapi tidak sampai melukai mereka. Kini dengan marah Lui Couw memberi isyarat dan majulah semua orang mengeroyok Han Sin.

   Lui Couw sendiri menggunakan pedang yang cukup baik. Karena pedang itu adalah pedang pemberian kaisar sebagai tanda pangkatnya dan ia sudah memainkan lo-hai-kiamsut untuk menerjang Han Sin.

   Disampingnya, Bong Sek Toan juga memainkan pedangnya dengan ilmu pedang yang sama pula, membantu paman gurunya untuk menyerang Han Sin dari depan.

   Pak-Te-Ong Ma Giok menggunakan senjatanya tongkat kepala naga yang diputar dahsyat, menyambar-nyambar bagaikan seekor naga yang mengancam kepala Han Sin. Demikian pula See-Thian-Mo, datuk barat yang bekas lama ini menggunakan senjatanya berupa tasbeh yang menyambar dengan aneh, di seling pukulan Swat Ciang yang ampuh.

   Selain empat orang lawan tangguh ini, sepuluh orang perwira yang semua memegang pedang sudah mengepung dan ikut mengeroyok. Han Sin memutar Hek-Liong-Kiam dan mengamuk sekuat tenaga karena dia maklum bahwa lengah sedikit saja dia tentu akan terkena senjata lawan yang banyak dan semua lihai, terutama dua orang datuk itu.

   Hebat memang sepak terjang Han Sin di saat itu. Dia memainkan pedangnya dengan sepenuhnya memainkan ilmu silat Bu-tek Cin-keng, membuat pedang itu membentuk sinar yang bergulung-gulung berwarna hitam. Dari jauh nampak seolah dua ekor naga hitam yang mengamuk diantara sinar senjata lawan yang mengeroyoknya. Hanya empat orang pengeroyok yang berilmu tinggi saja, yaitu Lui Couw, Bong Sek Toan, Pak-Te-Ong dan see-thian mo yang masih dapat menghujankan serangan mereka kepada Han Sin. Sedangkan sepuluh orang perwira itu sudah beberapa kali terjungkal oleh tendangan kaki Han Sin atau oleh hawa sambaran pedang Hek-Liong-Kiam.

   Namun harus di akui kenyataannya bahwa saat itu Han Sin terancam bahaya besar. Betapapun lihainya, para pengeroyoknya amat tangguh, terutama sekali Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo yang berusaha mati-matian untuk merobohkannya.

   Pak-Te-Ong terutama sekali bernafsu untuk membunuh pemuda ini karena pemuda inilah yang di anggapnya telah menyebabkan kematian puterinya.

   Demikian pula Lui Couw yang berusaha keras membalaskan kematian puteranya dan juga untuk menguasai kembali pedang pusaka Hek-Liong-Kiam dari tangan pemuda itu.

   "Wuuktttt "" Tongkat kepala naga dari Pak-Te-Ong itu kembali menyambar ganas. Pada saat itu Han Sin sedang menggunakan pedangnya untuk menghalau senjata para pengeroyok lain maka hantaman tongkat kepala naga ke arah kepalanya ini terpaksa di tangkisnya dengan tangan kiri.

   "Wuuutttt " plakkk" Tongkat terpental, akan tetapi dia masih dapat memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga pada saat dia terhuyung tidak ada yang dapat mendekatinya.

   Akan tetapi para pengeroyok mengepung lagi dan pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Han Sin itu, tiba-tiba terdengar bentakan halus dan berwibawa sekali "Hei, kalian yang mengeroyok ini mengapa saling tempur dengan kawan sendiri?"

   Dan terjadilah kekacauan. Para perwira itu merasa betapa mereka tidak mengeroyok Han Sin melainkan bertanding melawan teman-teman sendiri. Tentu saja mereka terkejut dan berloncatan ke belakang. Bahkan Lui Couw dan Bong Sek Toan sendiri juga terkejut karena terpengaruh bentakan tadi dan mereka seolah bertanding melawan teman sendiri. Hanya Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo yang dapat melawan pengaruh itu karena sin-kang mereka sudah amat kuat.

   


PEDANG NAGA HITAM JILID 17


   Selagi keadaan kacau balau itu, mendadak muncul seorang gadis berpakaian putih yang tadi membentak itu bersama seorang gadis lain yang memegang sebatang tongkat. Dan gadis yang bertongkat itu tanpa banyak cakap lagi lalu menyerang para perwira. Gerakannya bagaikan seekor burung rajawali mengamuk. Tongkatnya berkelebatan dan para perwira itupun bergelimpangan.

   Yang datang itu adalah Kim Land an Cu Sian. Bagaimana kedua orang gadis itu dapat datang pada saat yang tepat untuk menolong Han Sin? Kedua orang gadis secara kebetulan saja saling bertemu ketika mereka berada di kota raja. Dan mereka bermalam di sebuah rumah penginapan. Di situ Kim Lan menghibur Cu Sian dan menyatakan bahwa Han Sin mencinta Cu Sian maka ia menganjurkan agar Cu Sian pergi mencarinya. Akan tetapi Cu Sian mengatakan bahwa setelah dirinya ternoda, ia merasa tidak pantas berdekatan lagi dengan Han Sin. Selagi mereka berbicara pada pagi hari itu, mereka mendengar berita bahwa Cian Han Sin di tangkap oleh Lui Ciangkun. Tentu saja keduanya terkejut bukan main dan mereka lalu keluar untuk mencari. Melihat Han Sin diantara ratusan prajurit itu, mereka pun tidak berdaya dan merasa heran mengapa Han Sin menyerah begitu saja ditangkap.
Mereka diam-diam membayangi dari jauh dan kemudian mereka melihat betapa Han Sin memberontak dan melarikan diri keluar dari pintu gerbang, dikejar oleh belasan orang yang menunggang kuda. Mereka pun melakukan pengejaran dan akhirnya mereka melihat Han Sin di keroyok dan keadaannya terdesak dan terancam.

   Kim Lan lalu mempergunakan kekuatan sihirnya untuk mengacau pengeroyokan itu dan Cu Sian sudah mengamuk dengan tongkatnya yang lihai. Para perwira yang sedang kebingungan itu tentu saja tidak mampu melawan Cu Sian yang mengamuk dan mereka sudah roboh bergelimpangan dan tidak mampu bertempur lagi.

   Kekuatan sihir Kim Lan melemah dan kini barulah Lui Couw dan Bong Sek Toan tahu bahwa yang mereka sangka bertempur dengan teman sendiri itu hanya khayalan belaka. Maka mereka menjadi marah sekali, apalagi Bong Sek Toan yang mengenal Cu Sian, sedangkan Lui Couw menyerang Kim Lan.

   Han Sin girang bukan main melihat munculnya dua orang gadis itu dan terutama sekali melihat Kim Lan, Lan-moi hati-hatilah terhadap Panglima jahat itu. Dan Sian-moi, hajarlah pemuda keparat itu"

   Dia sendiri kini dikeroyok oleh Pak-Te-Ong dan See-Thian-Mo. Akan tetapi pengeroyokan dua orang datuk itu tidak membuat Han Sin menjadi gentar. Kini dia merasa dapat melayani sebaik-baiknya karena hanya melawan dua orang.

   Pedangnya ia gerakkan dengan amat dahsyat sehingga kedua lawan itu pun terdesak.

   Pertandingan antara Cu Sin dan Bong Sek Toan amat serunya. Tingkat kepandaian kedua orang ini memang seimbang, akan tetapi permainan tongkat Cu Sian amat aneh. Ia telah menguasai Hek-tung-hoat sepenuhnya dan gadis ini menjadi lihai bukan main kalau sudah bersilat dengan tongkatnya. Ia bergerak dengan ringan dan lincah sekali sehingga kemana pun pedang di tangan Bong Sek Toan menyerang selalu hanya mengenai angina belakan. Sebaliknya, totokan-totokan tongkat yang mengarah jalan darah itu amat berbahaya bagi Bong Sek Toan sehingga dia terpaksa harus memutar pedang untuk melindungi seluruh tubuhnya bagian atas agar jangan menjadi korban totokan. Akan tetapi tiba-tiba tongkat menyambar ke bawah tanpa di sangka-sangka oleh Bong Sek Toan.

   "Tuukkk" Tongkat itu dengan tepat memukul tulang kering kaki kanan pemuda itu. Bong Sek Toan mengaduh. Hanya orang yang pernah terpukul tulang keringnya yang dapat merasakan betapa sakitnya tulang betis itu terpukul. Kiut miut rasanya, senut-senut sampai menusuk jantung rasanya. Akan tetapi rasa nyeri ini membuat Bong Sek Toan menjadi marah sekali. Kemarahannya yang memuncak membuat dia melupakan rasa nyeri itu dan diapun menubruk lalu menyerang dengan ganasnya. Akan tetapi Cu Sian sudah bergerak lincah lagi dan menghindar dengan cepatnya sambil kembali menghujankan totokan kearah seluruh jalan darah di tubuh Bong Sek Toan. Kembali pemuda itu menjadi repot dan terdesak hebat.

   Sementara itu, Lui Couw menyerang Kim Lan dengan hebatnya. Gadis berpakaian putih ini memang hebat. Ia adalah seorang gadis berbudi baik dan bijaksana, bahkan selalu mentaati petunjuk gurunya untuk tidak melakukan kekerasan. Akan tetapi kalau ia di serang, ia dapat membela diri dengan amat baiknya karena ilmu silatnya tinggi. Bahkan dibandingkan Cu Sian, Kim Lan lebih hebat gerakannya. Tubuhnya seperti sehelai bulu saja ringannya. Diserang pedang, tubuhnya melayang-layang, pakaian putihnya berkibaran akan tetapi tidak pernah dapat tersentuh pedang.

   Dan Kim Lan yang selamanya tidak pernah menggunakan senjata itu pun membalas dengan totokan-totokan jari tangannya yang membuat Lui Couw kewalahan totokan itu biarpun dilakukan dengan jari yang halus dan kecil, akan tetapi mendatangkan angina yang mengeluarkan bunyi bercuitan. Kalau saja Kim Lan bermaksud mencelakai lawan dan merobohkan, agaknya ia dapat melakukan lebih capet. Akan tetapi ia tidak mamu melakukan itu hanya bermaksud merobohkan tanpa melukai saja maka tentu agak sukar baginya karena Lui Couw juga merupakan lawan yang amat tangguh.

   Sementara itu, pertempuran antara Han Sin melawan dua orang datuk masih berjalan dengan seru. Para perwira yang tadi robohkan Cu Sian sudah tidak ada yang berani maju lagi, bahkan mereka bergerombol agak jauh dari tempat pertempuran, hanya menjadi penonton saja.

   Pada suatu saat yang diperhitungan dengan baik oleh Han Sin, ketika tasbeh di tangan See-Thian-Mo menyambar, dia mengerahkan tenaga sin-kang sekuatnya dan Hek-Liong-Kiam di tangannya menyambar dahsyat.

   "Sraattt " cinggg ". Tasbeh itu putus dan biji tasbehnya terlepas berantakan, sehingga See-Thian-Mo terkejut bukan main dan meloncat ke belakang. Pada saat itu tongkat naga di tangan Pak-Te-Ong menyambar. Han Sin tidak memberi hati lagi, mengerahkan tenaganya membabat dengan pedang pusakanya dan sekali ini, tongkat itu pun dapat di patahkan.

   Selagi kedua orang itu terkejut dan gugp, Han Sin sudah memukul dengan kedua tangannya, menggigit pedangnya dan pukulan Bu-tek Cin-keng ini dia lakukan dengan sekuat tenaganya.

   "Wuuuuttt " deessss "" Kedua orang kakek itu terlempar bagaikan dua helas daun tertiup angin. Ketika mereka tanpa di sangka menerima pukulan itu, mereka tidak sempat mengerahkan tenaga sinking mereka karena masih tertegun melihat senjata mereka rusak, maka mereka terpukul dengan telak sekali.

   Biarpun sudah terpukul sedemikian hebatnya. Kedua orang datuk sakti itu masih mampu merangkak berdiri, akan tetapi ketika mereka hendak menyerang dengan pengeraHan Sinking, tiba-tiba mereka muntahkan darah segar dari mulut dan merasa betapa dada mereka nyeri bukan main. Mereka telah terluka parah dan tahulah mereka bahwa mereka tidak mungkin lagi melanjutkan pertandingan. Tanpa malu dan tanpa pamit mereka lalu membalikan tubuh dan pergi dari situ meninggalkan Lui Couw dan Bong Sek Toan yang masih bertanding.

   Cu Sian sudah mendesak Bong Sek Toan dengan hebat dan ketika Bong Sek Toan agak lengah, tongkat Cu Sian sudah menotok dengan kecepatan kilat mengenai dada dan lehernya. Robohlah pemuda itu, tidak mampu berkutik lagi karena totokan tadi merupakan totokan maut yang seketika menewaskannya.

   Sementara itu, Kim Lan juga masih mempermainkan Lui Couw. Gadis ini tidak ingin melukai atau membunuh orang, maka ia tidak menyerang untuk melukai atau mematikan, karena itu sampai sekian lamanya ia masih belum mampu mengalahkan Lui Couw yang memang lihai sekali, melihat ini, Han Sin melompat ke depan.

   "Lan-moi, dia musuh besarku, serahkan dia kepadaku" katanya dan dia sudah melompat ke tengah diantara kedua orang yang berkelahi itu. Kim Lan melangkah mundur dan mendekati Cu Sian yang sudah berhasil menewaskan Bong Sek Toan.

   "Enci Lan, kenapa kau tidak membunuhnya? Dia jahat sekali" kata Cu Sian mencela.
Kim Lan menghela napas panjang "Suhu tidak pernah mengajarkan aku untuk membunuh atau melukai orang, melainkan untuk mengobati orang"

   "Kau terlalu baik hati, enci Lan. Dan lihat, sekarang Sin-ko menggantikanmu. Dia membelamu karena dia mencintamu enci"

   "Husshh, kau salah sangka, Cu Sian. Sin-ko hanya mencinta kau seorang. Sambutlah dia baik-baik, sekarang juga aku mau pergi"

   "Tidak enci Lan. Kau tidak boleh pergi. Aku yang akan pergi dari sini. Kau yang harus menemaninya"

   "Anak bodoh. Percayalah, hanya Sin-ko yang akan mampu mengobati luka-luka di hatimu dan membahagiakanmu"

   "Akan tetapi, aku tidak mungkin membahagiakannya, enci. Biarkan aku pergi"

   Kim Lan menghela napas panjang. Ia sudah minta dengan sungguh-sungguh kepada Han Sin agar membahagiakan gadis ini. Ia tahu bahwa Cu Sian amat mencinta Han Sin, dan biarpun di dalam hatinya ia tidak dapat menyangkal bahwa ia pun amat mencinta Han Sin, akan tetapi ia tidak ingin menghancurkan hati gadis yang baik ini.

   "Kalau begitu, biarlah dia yang memutuskan nanti" katanya sambil memegangi tangan Cu Sian seolah ia khawatir kalau gadis itu nekat pergi meninggalkannya. Mendengar ini, timbul keinginan hati Cu Sian untuk juga mengetahui bagaimana pendapat Han Sin, bagaimana isi hatinya. Biarpun ia sudah tidak mempunyai harapan lagi karena merasa rendah diri, merasa tidak berharga lagi bagi Han Sin.

   Pertandingan antara Han Sin dan Lui Couw terjadi berat sebelah. Pedang di tangan Lui Couw sudah patah-patah dan kini dia melawan Han Sin dengan tangan kosong.

   "Hyaattt" Lui Couw menyerang dengan ganasnya dengan pukulan mematikan dari Lo-hai-kun. Akan tetapi Han Sin sudah mengenal jurus itu dan dengan pengerahan Sin-kangnya, dia menangkis.

   "Dukkk " breesss "" Tubuh Lui Couw terbanting keras, akan tetapi dia bangkit kembali, mengusap keringat dari kening yang memasuki matanya dan mendengus.

   "Cian Han Sin, kau pemberontak. Berani melawan utusan Kaisar?"

   "Hemmm, Lui-ciangkun. Kau adalah pengkhianat. Kau amat jahat membunuh ayahku secara curang, membunuh pula ibuku dengan kau mencuri Hek-Liong-Kiam. Kau bahkan bersekutu dengan See-Thian-Mo da Pak-Te-Ong untuk membunuh kaisar. Sungguh manusia tak berbudi, sudah di beri pangkat tinggi masih hendak membunuh kaisar Pengkhianat besar"

   "Tidak mengherankan karena dia adalah putera mendiang Toat-beng Giam-ong, Koksu dari Kerajaan Toba" kata Kim Lan yang sudah mendapat keterangan tentang diri panglima itu.

   "Ah, kiranya kau putera Toat-beng Giam-ong? Jadi kau adalah saudara seperguruan ibuku sendiri, dan kau telah membunuhnya"

   "Keparat. Akan kukirim kau menyusul ibumu" Lui Couw menjadi marah dan nekat karena tahu bahwa dia tidak akan mampu melarikan diri lagi. Dia menubruk bagaikan seekor singa menerkam domba, dan serangan ini di sambut oleh Han Sin dengan pukulan Bu-tek Cin-keng.

   "Desss "" Tubuh Lui Couw terpental jauh dan jatuh terbanting keras, tak dapat bangkit kembali karena dia sudah tewas seketika.

   Setelah melihat bahwa Lui Couw dan Bong Sek Toan tewas, Han Sin menghela napas panjang dan dia segera membuat lubang untuk mengubur dua mayat itu. Tanpa berkata apapun Kim Lan membantu pekerjaan itu dan biarpun tadinya Cu Sian memandang dengan alis berkerut, akhirnya ia membantu pula.

   Mereka bertiga menggali lubang dan mengubur dua mayat itu tanpa banyak cakap.
Setelah selesai menguburkan dua mayat itu, barulah Han Sin menghadapi mereka dan berkata "Kalau kalian tidak datang tepat pada saatnya, tentu aku yang sekarang ini di kuburkan di sini, itupun kalau ada yang mau menguburku"

   "Kami sudah mengikutimu dari Kota raja, Sin-ko. Kami berdua kebetulan berada di kota raja dan kami mendengar berita bahwa kau di tangkap Lui-ciangkun, maka kami lalu membayangi dan mengejar sampai ke sini" kata Kim Lan.

   Han Sin memandang kepada dua orang gadis itu bergantian dan dia melihat perubahan sikap Cu Sian. Sungguh besar sekali bedanya antara Cu Sian dahulu dan sekarang. Sekarang Cu Sian menjadi begitu pendiam, bahkan agaknya seperti orang yang enggan untuk memandang kepadanya, melainkan selalu menundukkan muka.

   "Lan-moi, sungguh aku girang sekali dapat bertemu denganmu di sini, karena sudah lama aku mencari-carimu. Ada urusan penting sekali hendak kubicarakan denganmu, Lan-moi"

   Mendengar ini, Cu Sian memutar tubuhnya dan berkata "Enci Lan, maafkan aku. Aku akan pergi sekarang juga"

   Akan tetapi Kim Lan segera menangkap lengannya dan menahannya "Adikku, nanti dulu. Sebelum Sin-ko menyatakan pendapatnya, kau tidak boleh pergi dulu" Kemudian Kim Lan memandang kepada Han Sin dengan sinar mata penuh teguran, lalu berkata lantang "Sin-ko, sekarang kami berdua minta kepadamu agar berterus terang. Seorang pendekar gagah tentu tidak akan bersikap plin-plan, melainkan suka berterus terang dan tidak menyakiti hati orang"

   Tentu saja Han Sin memandang dengan heran, akan tetapi alisnya lalu berkerut dan jantungnya berdegub tegang karena dia teringat akan kata-kata dan sikap Kim Lan mengenai diri Cu Sian tempo hari.

   "Katakanlah, apa yang harus ku jawab dengan terus terang itu"

   "Sin-ko, biarpun sudah jelas bagi ku bahwa selama ini kau mencinta Cu Sian, akan tetapi adik Cu Sian minta penegasan dari mulutmu sendiri, karena ia menganggap bahwa kau mencintaku.

   "Nah sekarang di depan kami berdua, katakan, kepada siapa kau mencinta?"

   Biarpun Han Sin sudah menduga lebih dulu pertanyaan ini, namun dia tertegun juga dan sampai lama tidak mampu menjawab, hanya memandang bergantian kepada kedua orang gadis itu. Kepada Kim Lan yang menatap tajam wajahnya dan kepada Cu Sian yang menundukkan mukanya. Akhirnya dia berkata dengan suara yang sungguh-sungguh keluar dari lubuk hatinya, tidak di buat-buat "Aku sayang kepada kalian berdua, aku sayang kepada Sian-moi seperti aku sayang kepadamu, Lan-moi. Inilah jawabanku yang jujur"

   Wajah Kim Lan berubah pucat, lalu merah dan ia berkata dengan penasaran "Sin-ko, kau tidak boleh menjawab begitu. Kau harus menikah dengan adik Cu Sian, kalau tidak, aku ". Aku akan benci kepadamu"

   Cu Sian merengut tangannya terlepas dari pegangan Kim Lan, kemudian memandang kepada Kim Lan dengan kedua mata basah air mata "Tidak. Aku hanya mau menikah dengan Sin-ko akan tetapi dengan satu syarat ""

   "Apa syaratnya, adik Cu Sian?" Tanya Kim Lan heran.

   "Syaratnya, Sin-ko harus menikah dengan enci Kim Lan lebih dulu. Kalian tahu kemana akan dapat menemukan aku di Tiang-an" Setelah berkata demikian, Cu Sian melompat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

   Kim Lan menjadi bengong dan bingung. Setelah bayangan Cu Sian tidak nampak lagi, barulah Kim Lan menghadapi Han Sin dan dia berkata dengan bingung "Apa " apa maksudnya ia berkata seperti itu dan mengajukan syarat gila itu?"

   Han Sin tersenyum dan memandang nakal "Apanya yang aneh? Akupun mempunyai syarat, Lan-mo. Aku mau menikah dengan Cu Sian dan membahagiakan dengan syarat bahwa aku harus menikah dulu dengan Ang Swi Lan"

   "Ehhh? Siapa itu Ang Swi Lan?" Tanya Kim Lan dan matanya mencorong marah, kedua pipinya berubah merah sekali.

   "Ang Swi Lan adalah gadis tercantik di dunia, dan sebetulnya hanya kepada Ang Swi Lan saja aku jatuh cinta dan tergila-gila. Akan tetapi aku mau menikah dengan Cu Sian asalkan aku lebih dulu menikah dengan Ang Swi Lan"

   Kim Lan menjadi marah sekali. Ia mengepal tinju dan bertanya "Siapa itu Ang Swi Lan? Agaknya ada siluman betina yang telah menyihirmu sehingga kau tergila-gila kepadanya. Tunjukan dimana dia"

   "Kalian sudah tahu kau mau apa terhadap dirinya?"

   "Aku harus mengatakan kepadanya bahwa kau telah ada yang punya, bahwa kau sudah mencinta " eh, dua orang gadis dan aku akan mengenyahkannya kalau ia tidak melepaskan cengkraman sihirnya darimu"

   "Ha-ha-ha, kau mau tahu siapa orangnya? Ang Swi Lan adalah gadis yang kini berada di depanku, yang marah-marah karena cemburu. Kaulah Ang Swi Lan, Lan-moi"

   Kim Lan melangkah mundur dua langkah dan memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut "Apa " apa maksudmu, Sin-ko? Jangan kau mempermainkan aku"

   "Aku tidak mempermainkan, Lan-moi. Kau memang bernama Ang Swi Lan dan aku telah bertemu dengan ibu kandungmu"

   "Apa-apaan ini. Bagaimana kau bisa tahu bahwa ada seorang yang mengaku sebagai ibu kandungku? Bagaimana kalau ia berbohong?"

   "Panjang ceritanya, Lan-moi. Marilah kita duduk menjauhi kuburan ini dan mencari tempat yang enak untuk bercakap-cakap"

   Mereka meninggalkan kuburan itu dan duduk di bawah pohon besar di atas batu-batu gunung yang banyak terdapat di situ "Nah, ceritakanlah apa artinya semua ini, Sin-ko"

   "Secara kebetulan sekali aku bertemu dengan seorang yang menceritakan keadaan dirimu di waktu masih kecil. Kau di temukan orang itu dalam sebuah hutan, di tinggalkan oleh seorang wanita dan orang itu mengetahui siapa wanita yang membuangmu di hutan itu?"

   "Siapa orang itu?"

   "Dia bukan lain adalah mendiang Thian Ho Hwesio " "

   "Suhu "? Mendiang "... Jadi suhu telah ". Telah " "

   "Gurumu itu telah tewas dalam pelukanku, Lan-moi"

   "Aih, Suhu "" Kim Lan menahan sesengukan dan Han Sin membiarkannya saja karena dalam menerima berita yang mengejutkan dan mendukakan itu memang paling baik bagi Kim Lan untuk menangis. Pelampiasan rasa duka yang terbaik adalah melalui cucuran air mata.

   Akan tetapi tidak lama Kim Lan menangis. Ia sudah dapat menguasai lagi dirinya dan ia berhenti menangis, memandang Han Sin dengan kedua mata kemerahan dan bertanya "Bagaimana suhu meninggal dunia, Sin-ko? Apakah dia mati karena sakit?"

   "Dia terluka parah, Lan-moi. Dia bertemu dengan See-Thian-Mo dan Pak-Te-Ong, dua orang datuk yang berkelahi denganku tadi. Dua orang datuk itu sudah mengenalnya dan mereka membujuk suhumu agar membantu mereka bersekongkol dengan Lui Couw untuk membunuh kaisar. Akan tetapi suhumu tidak sudi dan dia lalu di serang dan di keroyok dua sehingga terluka parah. Dialah yang bercerita tentang dirimu kepadaku"

   "Aihhh, suhu, betapa malang nasibmu "" Kim Lan menghela napas panjang "Lalu bagaimana, Sin-ko? Lanjutkan ceritamu. Menurut suhu, siapakah wanita yang telah membuangku di hutan itu? Apakah ia itu ibu kandungku?"

   Sama sekali bukan, Lan-moi. Bagaimana ibu kandungmu bisa begitu jahat? Ibu kandungmu adalah seorang wanita yang bijaksana dan baik hati, seperti kau. Yang membuangmu di hutan itu dan terlihat oleh gurumu adalah seorang tokouw bernama Kang Sim To-kouw, ketua Thian-li-pang dari Thian-san"

   "Hemmm, mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia menculik aku?"

   Aku pun bertanya seperti itu dalam hatiku, karena merasa penasaran aku lalu pergi ke Thian-li-pang menemuinya. Kami sempat bertanding dan aku berhasil mengalahkannya. Sesuai dengan janjinya bahwa kalau kalah ia akan bercerita tentang dirimu, maka berceritalah Kang Sin To-kouw akan perbuatannya yang kejam, yang timbul karena perasaan iri hati"

   "Iri hati? Kepada siapa?"

   "Kepada ibumu. Dengarlah, Lan-moi. Ibumu adalah sumoi dari Kang Sim To-kouw. Mereka sama-sama menjadi murid Thian-li-pang yang sebetulnya tidak membolehkan para muridnya menikah. Karena ibumu melanggar, maka ia dikeluarkan dari Thian-li-pang. Melihat ibumu hidup bahagia dengan suaminya dan melahirkan kau, maka Kang Sim To-kouw menjadi iri hati. Ia tidak saja menculikmu bahkan ia telah membunuh ayah kandungmu karena iri"

   "Aih, betapa kejam dan jahatnya"

   "Akan tetapi ia telah sadar dan menyesali perbuatannya. Bersamaku lalu ia pergi menemui ibumu dan mengakui segala perbuatannya, baik mengenai pembunuhan suami ibumu maupun tentang penculikan atas dirimu. Ia bukan hanya mohon ampun, melainkan bersedia menerima hukuman dan rela di bunuh. Akan tetapi ibumu adalah seorang wanita yang bijaksana dan baik hati sekali, ia tidak marah hanya menyesal mengapa sucinya berbuat sekejam itu dan ia memaafkannya. Nah, dari ibu itulah aku dapat mengetahui bahwa sesungguhnya namamu adalah Ang Swi Lan. Aku sudah berjanji kepada ibumu untuk mencarimu sampai dapat dan membawamu pulang kepada ibumu"

   "Siapakah ibuku, Sin-ko?"

   "Kau tentu tidak pernah menduganya, Lan-moi. Kau pernah bertemu dengannya bahkan berkenalan. Ia adlah Pek Mau To-kouw ketua Hwa-li-pang di Hwa-san"

   "Ahhhh """"" Kim Lan membayangkan wanita tua dengan rambutnya yang sudah putih semua itu. Seorang nenek yang baik hati dan budiman. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya.

   "Sin-ko, bagaimana aku dapat yakin akan semua ceritamu ini? Biarpun suhu sudah bercerita, biarpun mereka semua sudah mengaku, akan tetapi apa buktinya bahwa aku adalah puteri Pek Mau To-kouw dari Hwa-li-pang?"

   Han Sin tersenyum. Dia tidak ragu lagi "Akupun sudah bertanya akan hal itu kepada Pek Mau To-kouw dan ia mengatakan bahwa pada rubuhmu terdapat tanda-tanda khas yang tidak mungkin terdapat pada orang lain"

   Wajah Kim Lan menjadi merah "Tanda-tanda khas? Apakah itu?"

   "Kata Pek Mau To-kouw, di telapak kaki kananmu terdapat bercak hitam. Nah, benar atau tidakkah, Lan-moi?"

   Mendengar ini, wajah Kim Lan menjadi merah sekali dan ia menutupi mukanya dengan kedua tangan "Ah, ibuuuu ""

   "Mari kita ke Hwa-San, Lan-moi. Kita temui ibumu yang tentu sudah mengharapkan dan menunggu-nunggu"

   "Baiklah, Sin-ko. Akan tetapi "". Bagaimana dengan Cu Sian?"

   "Bagaimana dengan ia tergantung kepada keputusanmu, Lan-moi, Kalau kau dapat memenuhi syaratnya dan syaratku, tentu semua menjadi beres"

   "Hemmm, berarti kau hendak mengawini kami berdua?"

   "Bukankah itu syarat dari Cu Sian? Kalau kau menghendaki agar ia berbahagia, dan kita berdua juga berbahagia, tidak ada jalan lain bagimu kecuali menyetujui, bukan?"

   "Ihhh, kau laki-laki mau enaknya saja" kata Kim Lan akan tetapi ia tersenyum. Han Sin tertawa dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju Hwa-San.

   ***

   Setelah meninggalkan tempat itu, Han Sin teringat akan pedang Hek-Liong-Kiam" Lan-moi, bagaimana pendapatmu? Apakah sebaiknya kalau pedang ini kuserahkan dulu kepada kaisar?"

   "Hemmm, jangan bodoh, Sin-ko. Kalau kau pergi ke kota raja dan menghadap kaisar, kau seperti ular mencari penggebuk saja. Para perwira tentu sudah melapor bahwa kau telah membunuh Lui-ciangkun dan kau akan ditangkap sebagai pemberontak. Pula, bukankah Hek-Liong-Kiam itu peninggalan ayahmu sendiri. Tidak semestinya kalau diserahkan kepada kaisar. Aka mendengar berita yang banyak tentang diri kaisar dan berita itu menyatakan bahwa dia adalah seorang yang kurang bijaksana, bahkan melakukan banyak hal yang merugikan rakyat. Kita tidak perlu kesana dan sebaiknya kau menjauhkan diri dari kota raja, Sin-ko"

   Han Sin mengangguk-angguk "Pendapatmu memang tepat sekali. Kalau selalu bersamamu, aku mempunyai seorang penasehat yang amat bijaksana. Nah, mari kita berangkat menuju ke Hwa-san"

   Mereka melakukan perjalanan dengan cepat tanpa halangan sesuatu dan tibalah mereka di kuil Hwa-li-pang di pegunungan Hwa-san itu.

   Kedatangan mereka di sambut sendiri olah Pak-Mau To-kouw. Pendeta wanita ini berdiri termangu-mangu melihat gadis berpakaian putih yang datang bersama Han Sin.

   Demikian pula Kim Lan atau Ang Swi Lan atau Lan Lan berdiri seperti terpesona memandang wanita yang sebetulnya belum begitu tua, belum lima puluh tahun akan tetapi yang rambutnya sudah putih semua seperti benang-benang kapas itu. Kemudian, keduanya seperti di tarik oleh besi sembrani, saling menghampiri dan saling rangkul sambil menangis """"

   "Swi Lan ". Lan-Lan, kau Lan-Lan-ku " ah, benar-benar kau Swi Lan. Terima kasih kepada Tuhan ""

   Tokouw itu mencium muka anaknya sambil menangis kegirangan, penuh bahagia terasa di hatinya.

   "Ibu, maafkan anakmu yang telah membuat ibu selalu bersedih hati" kata Lan-Lan sambil mencium pipi ibunya yang masih montok dan belum terganggu keriput itu.

   Ibunya merangkulnya, lalu membawanya duduk di kursi. Mereka bertiga duduk menghadap meja. Lan-Lan dekat sekali dengan ibunya dan Han Sin berhadapan dengan mereka "Bukan salahmu, anakku. Kau masih kecil ketika di culik orang, dan tentu baru sekarang kau mendengar semua tentang riwayatmu dari Han Sin"

   "Kang Sim To-kouw itu sungguh kejam dan jahat sekali, ibu. Bukan hanya menculikku, memisahkan aku dari ibu, akan tetapi ia juga membunuh ayahku"

   "Bukan kejam dan jahat, anakku. Melainkan iri hati. Nafsu iri memang dapat membutakan mata bathin manusia dan menghilangkan segala pertimbangan dan perasaan halus. Akan tetapi suci sudah menginsafi kesalahannya, bahkan jauh sebelum bertemu dengan Han Sin ia sudah tersiksa, terhukum karena dikejar-kejar oleh nuraninya sendiri yang merasa berdosa. Dan akupun sudah memaafkannya anakku"

   "Ibu bijaksana sekali dan aku bangga mempunyai ibu begini bijaksana" kata Lan Lan sambil memandangi wajah ibunya dengan penuh kasih sayang.

   "Semua ini berkat bantuan Han Sin. Kalau tidak ada dia, sampai sekarangpun belum kita akan dapat saling bertemu dan berkumpul kembali. Entah apa yang dapat kami lakukan untukmu, Han Sin. Untuk membalas budimu yang amat besar"

   "Tidak perlu sungkan, bibi. Karena kita adalah orang-orang sendiri. Harap bibi ketahui bahwa kalau aku bersusah payah menolong Lan-moi, itu berarti aku menolong calon istriku sendiri"

   "Ahhhh ".? Begitukah "?" Pek Mau To-kouw memandang kepada mereka bergantian dengan wajah berseri.

   Lan Lan menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan dan Han Sin tertawa lalu berkata "Kami berdua saling mencinta dan sudah berjanji untuk menjadi suami istri, bibi"

   "Siancai ". bagus, bagus. Wah, hari ini pinni mendapat kebahagiaan ganda. Menemukan kembali puteriku dan sekaligus memperoleh mantu yang baik sekali. Ini harus di rayakan" ia lalu memanggil para muridnya untuk mempersiapakn sebuah pesta untuk menyambut kembalinya anak yang hilang sejak kecil itu.

   Semua anggota Hwa-li-pang ikut bergembira dengan peristiwa itu. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa puteri ketua mereka adalah gadis baju putih yang sudah lama mereka kagumi dan calon mantunya adalah pemuda gagah yang dulu hampir dipaksa keluarga gila untuk menjadi mantu mereka.

   Malam itu, ibu dan anak ini melepas rindu dan saling bercakap sampai semalam suntuk. menceritakan semua pengalamannya kepada ibunya yang merasa bangga sekali kepada puterinya. Puterinya bukan saja telah menjadi pendekar wanita yang memiliki ilmu silat lebih tinggi darinya, akan tetapi juga pandai ilmu pengobatan dan ilmu sihir. Akan tetapi ketika ia menceritakan kepada ibunya tentang Cu Sian, pendeta wanita itu menjadi heran.

   "Cu Sian, yang kau maksudkan pemuda pengemis yang gagah perkasa itu?"

   "Ia bukan pemuda, Ibu, ia adalah seorang gadis yang manis sekali. Dan ia ". Ia amat mencinta Sin-ko jauh hari sebelum aku bertemu dengan Sin-ko"

   "Ahhhh ". Dan bagaimana dengan Han Sin? Apakah dia juga mencintainya?"

   "Sin-ko sayang kepadanya, sejak ia menyamar sebagai pria dan di sayang seperti adik sendiri, akan tetapi ""

   "Akan tetapi apa?"

   "Cu Sian sungguh amat mencinta Sin-ko, dan hatiku tidak tega membiarkan ia merana kalau ia sampai tidak dapat menikah dengan Sin-ko, apalagi setelah malapetaka itu menimpa dirinya"

   Dengan terus terang Lan Lan bercerita kepada ibunya tentang apa yang menimpa diri Cu Sian, betapa Cu Sian telah diperkosa oleh Lui Sun Ek yang kemudian dibunuhnya. Dan ia bercerita pula kepada ibunya bahwa ia telah mengalah dan menganjurkan kepada Han Sin untuk menikah dengan Cu Sian.
   


  
"Ah, kau keliru anakku. Kebijaksanaan ada batasnya, mengalahpun ada batasnya. Kau hendak memaksakan sesuatu yang tidak mungkin"

   "Akan tetapi aku rela mengalah demi kebahagiaan Cu Sian, ibu. Aku merasa kasihan sekali kepadanya"

   "Memang itu salah satu perasaan yang baik. Akan tetapi mengalah dengan mengorbankan diri sendiri? Dan apa kau kira bahwa perbuatanmu itu, pengorbananmu itu, akan mendatangkan kebahagiaan bagi Cu Sian sendiri? Bagaimana mungkin ia dapat berbahagia bersuamikan seorang yang hanya menyayangnya seperti adik sendiri? Kau harus ingat pula akan perasaan hati Han Sin. Apakah dia akan dapat hidup berbahagia, berpisah dari kau yang di cintanya dan terpaksa menikah dengan gadis yang hanya di sayangnya seperti adik? Dan kau sendiri. Ah, pengorbananmu yang kau anggap mulia itu akhirnya bahkan akan membuat kalian bertiga menderita kesengsaraan dan kekecewaan hati yang menimbulkan penyesalan selama hidup"

   Lan Lan tertegun dan ucapan ibunya itu meresap benar ke dalam sanubarinya. Ia seolah baru terbuka matanya dan melihat kemungkinan dalam pandangan yang benar dan tepat itu.

   "Akan tetapi sudah terlanjur, Ibu. Sudah kukatakan kepada Han Sin bahwa kalau dia tidak mau mengawini Cu Sian, aku akan membencinya. Semua itu kukatakan hanya untuk mendorongnya mengawini Cu Sian"

   "Anak bodoh. Dan Cu Sian sendiri? Apa katanya? Apakah ia mau diperisteri oleh Han Sin setelah dirinya ternoda? Apakah ia tidak akan merasa rendah diri?"

   "Mula-mula Cu Sian memang tidak mau, akan tetapi akhirnya ia mengatakan bahwa ia mau menjadi isteri Han Sin dengan satu syarat yaitu setelah Han Sin menikah dengan aku"

   Pak Mau To-kouw tersenyum dan mengangguk-angguk. Gadis itu berbudi baik.
Agaknya ia tahu bahwa kau mencinta Han Sin, maka ia mengajukan syarat seperti itu. Akan tetapi bagaimana dengan Han Sin sendiri? Maukah dia menikah dengan Cu Sian?"

   "Itulah ibu yang menjadi persoalan. Sin-ko juga mengajukan syarat. Dia mau menikah dengan Cu Sian asal boleh menikah dengan aku lebih dulu"

   "Hemmm, syarat yang sama. Dengan demikian maka mau tidak mau kau terpaksa menikah dengan Han Sin, begitukah?"

   "Agaknya demikianlah ibu, demi kebahagiaan mereka"

   "Lan-lan, kau selalu memikirkan kebahagiaan orang lain. Itu memang baik dan benar, akan tetapi kalau kau mengabaikan kebahagiaanmu sendiri, hal itu merupakan tindakan yang bodoh sekali. Apakah kau akan berbahagia kalau menjadi isteri Han Sin dengan dimadu bersama Cu Sian?"

   "Aku sayang kepada Cu Sian, Ibu. Aku tidak keberatan dan aku akan berbahagia sekali. Tentu saja kalau bukan Cu Sian, aku tidak akan sudi"

   "Baiklah kalau begitu, akan tetapi aku tidak membenarkan tindakan Cu Sian itu. Kalau memang Han Sin tidak mencintanya, mengapa ia memaksa diri menjadi isterinya? Hal itu hanya akan mendatangkan perasaan kecewa kelak. Ia masih muda, cantik dan aib itu tidak diketahui orang lain. Kelak tentu ia masih akan bertemu dengan seseorang pria yang benar-benar mencintanya. Akan tetapi kalau kalian bertiga sudah mengambil keputusan, akupun tidak dapat berbuat apa-apa lagi"

   "Jadi ibu setuju kalau aku menikah dengan Sin-ko?"

   "Tentu saja aku setuju. Dia seorang pemuda yang baik sekali"

   "Biarpun dia akan menikah pula dengan Cu Sian?"

   "Hemmm, aku tahu perasaannya. Dia mau menikah dengan Cu Sian karena kau memaksanya. Mungkin kaupun akan mengajukan syarat gila yang sama pula, yaitu, baru mau menikah dengan Han Sin kalau Han Sin berjanji hendak menikahi Cu Sian, bukan begitu?"

   Wajah Lan Lan menjadi kemerahan dan ia merangkul ibunya "Ibu tahu saja akan isi hatiku"

   "Hemm, lalu bagaimana seandaianya Cu Sian kelak tidak mau menikah dengan Han Sin?"

   "Ah, ibu ia amat mencinta Han Sin"

   "Mungkin saja ia mengubah pikirannya dan tidak mau menikah dengan Han Sin yang hanya sayang kepadanya seperti seorang adik, lalu bagaimana?"

   "Kalau ia yang tidak mau apa boleh buat. Akan tetapi kalau Sin-ko yang menolak. Akupun tidak mau menikah dengannya. Aku tidak mau mengecap kebahagiaan di atas penderitaan batin Cu Sian"

   "Kalau begitu, persoalannya tergantung kepada Han Sin, sudahlah, sudah cukup kita bicara. Hari sudah hampir pagi, kau belum tidur. Kau perlu mengaso, Lan-Lan"

   "Wah, aku yang lupa diri, ibu. Ibu yang harus mengaso. Ibu sudah tua dan tentu kelelahan"

   Kedua ibu dan anak ini tidur, akan tetapi sampai lama Lan Lan termenung memikirkan percakapan yang dilakukan bersama ibunya tadi.

   ***

   Sebulan kemudian, Hwa-li-pang mengadakan perayaan pernikahan antara Han Sin dan Lan Lan. Atas permintaan Han Sin, maka perayaan itu dilakukan dengan sederhana, hanya mengundang para penduduk yang menjadi tetangga. Han Sin mengajukan alasan kepada ibu mertuanya bahwa setelah dia membunuh Lui Couw, tentu dia akan di cari oleh pasukan Kerajaan dan di anggap sebagai pemberontak. Maka, kalau pesta pernikahan itu di rayakan secara meriah dan mengundang tokoh-tokoh kang-ouw, tentu akan ketahuan dan dapat mendatangkan keributan.

   Biarpun perayaan dilangsungkan dengan sederhana, namun cukup meriah dan membahagiakan hati sepasang mempelai yang saling mencinta itu.

   Baru tiga hari berpengantenan, Lan Lan mendesak suaminya agar mereka berdua pergi berkunjung kepada Cu Sian untuk melamar Cu Sian menjadi isteri kedua Han Sin.

   Han Sin tidak berani membantah biarpun hatinya merasa enggan sekali. Dia telah berjanji. Maka berangkatlah mereka menuju ke Tiang-an, kota raja, mereka menyamar sebagai suami isteri dusun yang berpakaian sederhana sekali.

   Dengan hati-hati mereka memasuki pintu gerbang kota raja di waktu senja setelah cuaca remang-remang sehingga mereka tidak dapat dikenali oleh para penjaga. Dan memang sesungguhnya mereka berdua terutama sekali Cian Han Sin sudahmasuk catatan sebagai pemberontak yang di cari-cari. Dengan berhati-hati sekali mereka memasuki pintu gerbang bersama rombongan orang-orang dusun lainnya sehingga tidak dikenali dan akhirnya mereka dapat masuk dengan selamat. Mereka segera mencari Hek-I Kai-pang yang pusatnya berada di Tiang-an dan mempunyai rumah besar di daerah selatan kota. Akan tetapi ketika mereka melihat rumah besar itu di tutup dan papan perkumpulan Hek I Kaipang telah tidak ada lagi. Di situ bahkan terdapat tulisan tertempel di pintu depan bahwa Hek I Kaipang telah di bubarkan dan rumah itu di sita oleh pemerintah.

   Selagi mereka kebingungan, seorang kakek berpakaian sederhana menghampiri mereka dan berbisik "Apakah sicu yang bernama Cian Han Sin?"

   Han Sin terkejut dan menoleh. Kakek itu berbisik lagi "Saya adalah utusan Cu-pangcu yang di tugaskan menghadang sicu di sini. Mari silahkan mengikuti saya dari jauh.

   "Setelah berkata demikian kakek itu berjalan pergi seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Han Sin dan Swi Lan segera mengikutinya dari jarak jauh agar jangan kentara dan kakek itu membawa mereka memasuki lorong yang berliku-liku dan ternyata lorong itu menuju ke sebuah tanah kuburan. Tentu saja tempat itu sepi sekali, apa lagi hari telah mulai malam.

   Mereka lalu duduk di depan sebuah kuburan tanpa menggunakan api agar tidak diketahui orang lain. Akan tetapi memang tidak perlu ada api penerangan karena bulan purnama muncul sore-sore dan cuaca tidaklah amat gelap. Setelah merasa yakin, bahwa di situ tidak terdapat orang lain, kakek itu memperkenalkan diri.

   "Saya bernama Lo Kian, dahulu menjadi pembantu dari nona Cu yang menjadi pangcu kami. Ketika Cu-pangcu pulang dari perantauannya, pada suatu hari datang ratusan prajurit yang menyerbu dan menyerang kami, dengan maksud menangkap pangcu. Kami semua tentu saja mengadakan perlawanan, akan tetapi jumlah prajurit terus bertambah sehingga banyak diantara kami yang tewas"

   "Bagaimana dengan Cu Sian?" Tanya Swi Lan khawatir.

   "Cu-pangcu berhasil melarikan diri bersama sisa anggota kami. Juga saya berhasil melarikan diri. Kami lalu menanggalkan pakaian hitam dan mengenakan pakaian biasa sehingga tidak dapat di temukan para prajurit. Tempat kami ini di sita dan kami tidak berani menampakkan diri sebagai anggota Hek I Kaipang lagi. Kemudian Cu-pangcu mengambil keputusan untuk membawa para anggota melarikan diri ke Shansi di utara"

   "Hemmm, mengapa ke Shansi?" Tanya Han Sin, teringat akan pengalamannya dengan Cu Sian ketika mereka merantau ke utara mengalami banyak hal yang aneh-aneh, terutama ketika mereka berdua menjadi tamu suku Yakka.

   "Karena pang-cu mendengar bahwa di utara ada pergolakan. Kaisar kabarnya mencurigai Li-kongcu putera Gubernur Li di Shansi yang di dakwa mempunyai hubungan dan bersekutu dengan orang Turki. Kaisar memanggil Li-kongcu, akan tetapi Li-Kongcu tidak mau datang sehingga dia di anggap pemberontak. Maka Cu-pangcu pergi ke sana untuk membantu kalau-kalau Gubernur Shansi mengadakan pemberontakan terhadap kaisar yang di kuasai orang-orang jahat. Banyak durna berkuasa di istana kaisar sehingga kami, perkumpulan pengemis yang tidak bersalah di anggap pemberontak"

   "Lalu kau di suruh menhadang kami di sini, apa pesan pangcu-mu untuk kami?"

   "Pangcu mengirim surat untuk Cian-sicu dan harus di terima oleh Cian-sicu sendiri. Oleh karena itu berpekan-pekan saya menanti di sini dan kebetulan sekali tadi saya melihat sicu"

   Lo Kian lalu mengeluarkan sepucuk surat bersampul untuk Han Sin.

   Bulan purnama bersinar dengan cerahnya. Karena tidak ada awan yang merintangi, maka sinarnya cukup terang bagi Han Sin untuk membaca surat itu. Dia memperlihatkan kepada Swi Land an mereka berdua membaca bersama-sama di saksikan oleh Lo Kian. Surat itu di tulis indah dan jelas.

   Sin-ko dan Lan-ci yang baik ,
Kalau kalian datang, aku sudah pergi ke utara. Perkumpulanku di serbu pasukan, agaknya aku sudah masuk daftar hitam mereka. Aku dan kawan-kawan akan membantu Gubernur Li menentang kaisar yang lalim.
Tentang janjiku, dengan ini kunyatakan bahwa aku menarik kembali janji itu. Maafkan aku, enci Lan. Aku tidak dapat menikah dengan Sin-ko yang ku sayang sebagai kakakku sendiri. Aku telah salah sangka terhadap perasaan hatiku sendiri. Dan pesanku bagimu, Sin-ko. Bahagiakanlah enci Lan, aku sangat sayang dan berhutang budi kepadanya.
Sekianlah, semoga kalian menjadi suami isteri yang berbahagia. Sampai berjumpa lagi kalau Tuhan menghendaki.
Hormat dari aku,
Cu Sian.

   Han Sin dan Swi Lan saling pandang dalam keremangan cuaca itu. Han Sin melihat betapa sepasang mata isterinya basah air mata. Dia sendiri merasa amat terharu akan tetapi juga berbahagia dan lega. Akhirnya Cu Sian menyadari bahwa cinta diantara mereka adalah kasih sayang antara saudara dan tidak lah baik kalau mereka berdua jadi menikah.

   "Nah, sicu, setelah saya menyerahkan surat, saya mohon diri. Saya harus kembali ke utara bergabung dengan kwan-kawan yang berada di sana"

   Han Sin dan Swi Lan mengucapkan terima kasih dan merekapun saling berpisah. Suami isteri ini melewatkan malam di sebuah kuil tua dimana banyak terdapat pula orang-orang dusun yang tidak kuat menyewa kamar. Dan pada keesokan harinya, mereka berdua keluar dari kota raja untuk kembali ke Hwa-li-pang.

   Sebetulnya apakah yang terjadi dengan pergolakan di utara? Kaisar Yang Ti yang masih dikelilingi banyak durna itu mendapat hasutan dari mereka.

   Mereka mengatakan bahwa Gubernur Li, terutama sekali puteranya, yaitu Li Si Bin pasti mempunyai hubungan persekongkolan dengan orang Turki. Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin dia dapat membebaskan kaisar ketika di tawan oleh mereka. Dan persekongkolan itu amatlah berbahaya. Siapa tahu Guebernur Li mengadakan rencana untuk memberontak, bergabung dengan orang-orang Mongol dan Turki yang menjadi musuh lama kerajaan.

   Mendengar hasutan ini, kaisar lalu menjadi curiga kepada Li Si Bin dan dia mengutus orang untuk memanggil Li Si Bin datang menghadap. Tentu saja dengan rencana kalau sudah menghadap, pemuda itu akan di tangkap dan di paksa mengaku tentang persekutuannya dengan orang-orang Turki. Akan tetapi diantara perwira yang menjadi utusan ini ada yang berpihak kepada Li Si Bin dan diam-diam dia memberi peringatan kepada Li Si Bin. Pemuda ini tentu saja menolak dan tidak mau menghadap. Para utusan tidak berani melakukan kekerasan dan kembali dengan tangan kosong.

   Peristiwa itu bagaikan api kecil yang membakar dan yang kemudian menjadi api besar yang menimbulkan perang pemberontakan. Li Si Bin memang sudah beberapa kali menganjurkan ayahnya untuk memberontak sejak mendengar ketidak-adilan kaisar. Mendengar tentang kaisar yang hanya berfoya-foya dan menekan rakyat, yang di kelilingi oleh para durna atau pembesar yang jahat. Akan tetapi Gubernur Li Goan masih menolak, ketika terjadi peristiwa itu, yaitu ketika Li Si Bin hendak di tangkap oleh kaisar, Gubernur Li Goan tidak lagi dapat di cegah kehendak puteranya. Mulai lah Li Si Bin bangkit, memimpin pasukan yang di dukung banyak golongan rakyat itu dan di bantu oleh pasukan dari Mongol dan Turki, menyerbu ke selatan.

   Terjadilah perang saudara yang hebat sampai akhirnya Kerajaan Sui jatuh dalam tahun 618. Akan tetapi ini merupakan kisah lain lagi.

   Kerajaan Sui yang di bangun dengan susah payah oleh Mendiang Yang Cien yang gagah perkasa, hancur di tangan puteranya yang tidak becus, Yang Ti 9604"6180 merupakan kaisar yang lemah dan menuruti kesenangan diri sendiri saja, sehingga Kerajaan Sui itu hanya mampu dan bertahan berdiri selama tahun 581 sampai 618 saja.

   Cu Sian dan anak buahnya, yaitu para anggota Hek I Kaipang, merupakan satu diantara golongan yang banyak membantu perjuangan Li Si Bin. Bahkan Cian Han Sin dan isterinya, Ang Swi Lan, akhirnya juga bergabung dan membantu menggulingkan Kaisar Yang Ti yang semakin lemah. Melalui perang selama hampir sepuluh tahun. Akhirnya Kerajaan Sui dapat di jatuhkan dan Li Si Bin mengangkat ayahnya sendiri, Guebernur Li Goan menjadi Kaisar dari sebuah kerajaan baru yang diberi nama Kerajaan Tang.

   Demikianlah, kisah ini selesai sampai di sini dan kalau dulu, pedang Naga Hitam di tangan Cian Kauw Cu membantu berdirinya Kerajaan Sui, kini di tangan Cian Han Sin, bahkan membantu meruntuhkan Kerajaan Sui dan membantu berdirinya Kerajaan Tang.

   Mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi para pembaca dan sampai jumpa lagi di lain kisah.

   TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEPASANG NAGA LEMBAH IBLIS